Kepala Perwakilan BKBBN Bali I Wayan Sundra mengatakan, awalnya jampersal diluncurkan memang tidak ada embel-embel KB. “Namanya gratis pasti masyarakat datang berbondong-bondong. Akhirnya keluarlah statement untuk membatasi jumlah anak, harus wajib ber-KB pasca bersalin,” ujarnya.
Ia mengatakan, pemasangan IUD pasca bersalin bagi pasien jampersal di RS Sanglah sudah diterapkan. Hasilnya memang belum optimal karena masih diujicobakan. Selain itu, petugas yang memasang alat kontrasepsi ini juga harus sudah terlatih,”jelas Sundra.
Menurut Sundra, dalam kesepakatan Menkes dengan BKKBN itu, dianjurkan menggunakan alat kontrasepsi yang efektif dalam jangka panjang seperti vasektomi, tubektomi dan implant. Namun, tidak menutup kemungkinan, pasien memilih alat kontrasepsi yang sesuai dengan dirinya seperti kondom atau suntik. Jika pilihan alat kontrasepsi itu diambil, klaim jampersal tetap masih bisa diberlakukan.
Bidan Made dari RS Wangaya menilai, pemberian kondom bukanlah hal yang efektif. Karena, menurutnya, urusan kondom lebih mengarah ke masalah prilaku. “Bisa saja di RS pasien menyanggupi memakai kondom, tapi sampai di rumah kondom tidak dipakai,” kata Made.
Sundra menegaskan, kondom juga termasuk alat kontrasepsi. “Paling tidak, usaha ini mengingatkan pasutri menggunakan kontrasepsi untuk menjarangkan anaknya disamping pemberian ASI ekslusif. 42 hari kemudian, mereka pasti datang kembali dan di sanalah dianjurkan menggunakan IUD,” paparnya.
Menurut dr. Laksmiwati dari Diskes Prov. Bali, dengan keterbatasan dana, tahun 2013 layanan jampersal akan dibatasi sampai anak kedua. Upaya ini dilakukan mendukung program KB.
Ketua PKBI Pusat dr. Sarsanto W. Sarwono, Sp.OG. menegaskan, berbicara KB pada usia produktif merupakan langkah terlambat. Sebaiknya, upaya ini atau yang lebih dikampanyekan sebagai revolusi KB diberikan kepada pasangan yang belum menikah atau remaja. “Jangan sampai para remaja mendapatkan informasi yang tidak jelas dan tidak bertanggungjawab yang justru akan merugikannya di kemudian hari,” ujar dokter Sarsanto. Caranya adalah, remaja diberikan suatu kegiatan yang mereka sukai, entah itu dialog, melukis, menulis, atau permainan dengan memasukkan materi kespro. Hal ini dilakukan rutin, misalnya tiap minggu dengan tema yang berbeda. Perempuan belajar mengenal apa itu menstruasi, kandungan, begitu juga laki-laki belajar tentang apa itu penis, mimpi basah, ejakulasi dan sebagainya. Intinya, dari remaja untuk remaja.
Menurutnya, relawan remaja harus direkrut tiap tahun agar program ini terus berkelanjutan.
Ia berpendapat, pendidikan kespro sudah seharusnya dimasukkan dalam kurikulum. Namun, sampai sekarang, usulannya tentang kespro tidak mendapat tanggapan. “Kespro dikatakan sudah menjadi bagian ilmu Biologi. Padahal, kespro dan biologi berbeda. Pengetahuan kespro dimulai dari pengenalan tubuh perempuan dan laki-laki. Pendidikan ini sudah harus diberikan sejak kecil, bisa melalui permainan boneka-bonekaan,” paparnya lebih jauh.
Ia mengakui, pendidikan kespro dianggap sebagai pisau bermata dua. Pengetahuan yang sama bisa dipakai untuk kebaikan dan keburukan. Artinya, bagaimana caranya ilmu yang diberikan tidak sampai berdampak negative. Misalnya, dalam informasi yang diberikan, dijelaskan, kalau Anda melakukan hubungan seksual saat remaja, bukan hanya bisa hamil, tapi, bisa juga mengakibatkan infeksi menular seksual. Lingkungan kadang memaksa, misalnya sebagai prasyarat untuk bisa masuk satu grup, harus pernah melakukan hubungan seks dengan PSK. Kadang, malah dibayari untuk datang ke lokalisasi. “Pengetahuan inilah yang harus diketahui para remaja agar mereka bisa mengatakan tidak tanpa harus mengorbankan dirinya. Jangan jadikan kespro hanya sebagai pencitraan,” ujarnya lebih jauh.
Menurut Sundra, BKKBN telah mengembangkan program penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja (PKBR) yang kini diarahkan menjadi generasi berencana (GenRe). Upaya ini dilakukan sebagai modal untuk menjadikan para remaja tegar mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera serta menyiapkan satu wadah yang disebut pusat informasi konseling (PIK) remaja. Dengan terbentuknya PIK di masing-masing sekolah lanjutan tingkat atas dan perguruan tinggi diharapkan mampu membantu para remaja di dalam dan di luar sekolah atau kampus dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Manfaat Sosial Media
Dokter Sari menyarankan, untuk metode yang digunakan untuk edukasi kespro harus disesuaikan dengan apa yang disukai remaja. “Kita tidak usah memaksakan metode kita tapi berusaha menggali metode apa yang disukai remaja, yang penting pesannya sampai,” sarannya. Saat ini, jejaring sosial media begitu booming. “Kita bisa manfaatkan media ini untuk memberikan edukasi kepada remaja. Saya rasa KISARA Bali sudah melakukannya,” kata Dokter Sari.
Ketua PKBI Bali Prof. I Nyoman Mangku Karmaya mengatakan, sejak tahun 1957 PKBI sebagai pelopor KB di Indonesia. PKBI konsisten membantu memberi perlindungan kepada kaum perempuan terhadap kehamilan tak diinginkan dan bahaya kehamilan serta persalinan. Namun, angka kematian ibu dan balita tetap tinggi 307/100.000. Padahal, angka kematian ibu dan anak merupakan indikator kesejahteraan suatu bangsa.
Ia menyebutkan, kasus aborsi 70% disebabkan karena kemiskinan. Sekitar 27% pelaku aborsi belum menikah dan 73% telah menikah. Sebab kematian ibu, 25% karena pendarahan, 14% infeksi, 13% kelainan hipertensi dalam kehamilan, 13% komplikasi aborsi yang tidak aman, dan 7% akibat persalinan yang lama.
Ia mengatakan, penyebab tidak langsung angka kematian ibu, terlalu muda, tua, sering, dan terlalu banyak dalam melahirkan. Penyebab lain, terlambat mengambil keputusan dan terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dan kebodohan juga menjadi penyebab tidak langsung.
Fakta yang dihadapi PKBI, banyaknya kasus kehamilan tak diinginkan, banyaknya permintaan aborsi, dan terpaksa menikah usia muda.
Menurutnya, program PKBI sudah menyasar remaja dan perempuan dengan pemberian informasi, pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, aborsi yang benar dalam rangka KB paripurna, dan advokasi memperjuangkan hak kespro dan seksual kaum perempuan.
Menurutnya, tantangan ke depan, masalah kespro dan seksual belum menjadi prioritas. Masalah bias gender masih menjadi masalah utama, ditambah lagi belum adanya payung hukum dan dukungan semua lapisan masyarakat dan sikap hipokrit.
Remaja Kena Sidak
Satu kisah menarik dituturkan Mustika dari PKBI Buleleng. Remaja di Buleleng lebih bersikap permisif. Mereka dengan mudah menyalurkan hasrat seksualnya apalagi didukung dengan menjamurnya hotel-hotel short time. Ironisnya, tiap sidak ke hotel yang dilakukan aparat keamanan, selalu saja ada siswa yang tertangkap. Kasus ini sering diserahkan langsung ke pihak sekolah. Hanya sayang, menurut Mustika, sidak ke hotel tidak rutin dilakukan.
Ketika terjadi kehamilan tak diinginkan, sebagian kasus diakhiri dengan menikah usia dini. “Karena belum siapnya dalam membina rumahtangga, tak jarang sering terjadi perceraian,” ujar Mustika.
Menurutnya, hambatan program di lapangan, karena remaja lebih suka mencari informasi di internet. “Bagaimana mengubah mental remaja ini agar mereka tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah yang masih harus dicarikan solusinya,” tandas Mustika.
Menurut dr Sarsanto, pelajaran budi pekerti menjadi hal utama yang harus digaungkan. Banyaknya tawuran antara remaja diakibatkan karena mereka tidak bisa belajar menghargai orang lain. Begitu juga urusan seksual bukan hanya masalah penetrasi, tapi berpegangan tangan, berciuman sudah termasuk ke dalam seksual. “Mari kita kembalikan model pacaran seperti dulu,” ujarnya. –ast. (Koran Tokoh, Edisi 715).