Media memiliki kekuatan luar biasa. Bahkan lebih kuat daripada politik.
Riniti mengatakan, selama ini perempuan termarginalkan karena banyak faktor. Budaya patriaki yang menjadi kambing hitam. Seharusnya posisi media sangat strategis menyuarakan kaum perempuan yang selama ini tertindas. Namun, kata Riniti, faktanya kekuatan kekuatan media bukannya membantu menyuarakan pihak yang termarginalkan tapi malah memperkuat penindasan kaum perempuan.
“Kaum perempuan belum diperlakukan sama oleh media. Media sangat patriatik, karena pemiliknya banyak laki-laki, wartawannya banyak laki-laki, pola pikirnya juga dipengaruhi kebiasaan di mayarakat bahwa laki-laki itu lebih kuat daripada perempuan, sehingga para wartawan juga menulis seperti itu,” papar Riniti.
Salah satu contoh diungkapnya. "Kalau laki-laki yang berselingkuh, tidak pernah ada judulnya perempuan menangkap suaminya berselingkuh. Paling yang ditulis perempuan melaporkan suaminya berselingkuh,” kata Riniti. Artinya, perempuan dikonotasikan sangat lemah dan tidak berdaya.
Contoh lain dipaparkan Riniti. Dalam berita pemerkosaan wartawan menceritakan bagaimana proses terjadinya pemerkosaan tersebut, Artinya, penulis secara tidak langsung ikut memperkosa demi para pembaca.
Contoh lain, berita cewek café diciduk. “Mengapa media hanya menulis perempuan yang digembar-gemborkan sedangkan hidung belangnya tidak pernah dipermasalahkan. Disinilah letak ketidakadilan media pada perempuan. Media harus faham apa itu gender,” katanya.
Menurutnya, gender dan seks pemahamannya sama tapi berbeda. “Seks jenis kelamin yang diberikan Tuhan pada manusia. Seks tidak bisa berubah. Laki-laki punya alat kelamin yang tidak bisa ditukar dengan perempuan dan itu berlaku di seluruh dunia. Sedangkan gender adalah jenis kelamin yang dibentuk oleh sosial budaya setempat yang bisa berkembang dan berubah. Gender di Bali dan Eropa berbeda,” paparnya.
Riniti berharap media punya rasa empati dan keadilan pada perempuan. Tulisan yang melecehkan perempuan mulai secara pelan-pelan berubah.
Menurut Hanafi dari DSM Bali, budaya patriatik di
Menanggapi hal itu, Riniti mempertanyakan mengapa perempuan mau ke café? Tentu ada alasannya. Semua itu, kata Riniti, karena tidak terjadi kesetaraan perempuan dan laki-laki.
Ia menilai, secara umum keadilan perempuan dengan laki-laki sangat jauh baik dari segi pendidikan, kesempatan, dan akses. “Tidak mempunyai modal, tidak punya ijazah, apalagi tidak ada akses, akhirnya yang paling gampang mencari kerja ke café rela mengalami kekerasan oleh germo maupun lelaki hidung belang. Memang kelihatan perempuanlah yang datang ke café mencari pekerjaan. Namun, siapa penyebab perempuan datang ke café? “ ujarnya dengan nada tanya.
Begitu juga dengan qouta 30% keterwakilan perempuan di legislatif. Menurutnya, tidak pernah ada kesempatan yang sama antara perempuan dengan laki-laki. “Memang benar perempuan itu tidak faham, tidak siap, dan tidak punya kemauan. Jangan menyalahkan perempuan saja. Ibarat dalam sebuah pertandingan laki-laki berlari menggunakan baju training dan sepatu ket. Sedangkan perempuan berlari menggunakan kain membawa jinjingan dan menggendong anak. Makanya perempuan harus ditolong,” tegasnya.
Ia berpandangan, keberpihakan 30% untuk perempuan sering salah kaprah. “Dalam ujian nilai perempuan dan laki-laki sama-sama 8. Kalau diambil 30% nya, artinya nilai perempuan menjadi turun.
Itu artinya bukan keberpihakan tapi penurunan. "Bagaimana bisa siap, seperti layaknya disuruh menari ke panggung tapi tidak pernah latihan. Laki-laki yang harus mengandengnya,” jelas Riniti.
Luh De Suryani koresponden The Jakarta Post menilai, media memperkosa hak perempuan. “Wartawan tidak cukup mempunyai empati pada korban khususnya perempuan. Alasan mendasar bukan karena ingin mengejar oplah, Namun, disini dituntut kewajiban para wartawan untuk menulis berita sesuai kode etik wartawan.
Sementara kontrol pembaca pada media, kata Luh De, sangat kurang. “Semestinya ada kolom kontak pembaca di masing-masing media,” katanya. Ia juga mengajak bersama-sama untuk menolak caleg yang melakukan penindasan pada anak dan perempuan.
Zinda Ruud Purnama dari Komunitas sahaja menilai kontrol pembaca sangat rendah dikarenakan minat membaca masyarakat masih lemah dan sangat kurang.
Lindo dari Community Development Radio Heartline FM Bali berpendapat jangan menyalahkan media, karena media melakukan sentilan agar masyarakat terbangun. Seharusnya pemberdayaan perempuan dimulai dari keluarga terlebih dahulu. Ayah menjaga istri dan anak-anaknya, ibu sebagai penolong suami. Rumah menjadi tempat yang menyenangkan.
Sebuah contoh diungkapkan Lindo. “Zaman dulu di Papua suami berjalan di depan membawa parang karena ingin melindungi istrinya dari sergapan binatang buas. Zaman sekarang di jalan yang sudah aman begini para suami tetap berjalan di depan dengan santainya sedangkan si istri menggendong anak sambil menjingjing barang. Dengan perubahan zaman semestinya terjadi keadilan gender,” katanya.
Riniti menilai, budaya patriatik sebuah ideologi menempatkan laki-laki lebih kuat daripada perempuan. Disinilah media seharusnya berperan sebagai pencerah dan edukasi bagi keluarga. –ast
5 komentar:
saya setuju dengan paparan yang disampaikan nara sumber. Dan sepertiya perlu waktu ya...
wah berat amir postingnya yakkkk :D
waduh...engga komenk deh...
@buat bagus pras:
iya , benar tuh
sekarang zamannya kesetraan gender. Buktinya banyak wartawan perempuan termsuk aku yahhh..he.heh.he.he.he.
@buat bloggeraddicter:
halo gmn kabar?
senang kamu bisa mmapir lagi. He.he.he gak dikomentari juga gpp kok. makasi udah mampir yahh
nanti aku bikin posting berjudul : Isteri menangkap basah suaminya yang selingkuh. Gimana ?
Wah bahasannya berat nih
Posting Komentar