KETIKA anak bermasalah dengan kasus hukum para penegak hukum belum sepenuhnya melaksanakan perlindungan pada anak baik itu sebagai korban ataupun pelaku. Padahal, dalam Pasal 59 UU Perlindungan Anak disebutkan anak wajib mendapatkan perlindungan khusus. Demikian diungkapkan Luh Anggreni, S.H., Wakil Ketua KPAID Bali dalam diskusi terbatas yang digelar Koran Tokoh Bekerja sama dengan KPAID Bali, Rabu (28/1).
Ia menilai masih banyak fakta di lapangan, kasus hukum pada anak masih mengacu pada KUHP dan mengabaikan UU Perlindungan anak. “Ketika anak itu tidak punya akses, tidak punya pemahaman hukum, mereka bingung harus mengadu kemana, atau minta pendampingan ke mana, “ujarnya.
Ia menyayangkan, aparat hukum langsung saja menahan si anak. Padahal, kata Anggreni, penahanan pada anak adalah upaya hukum paling akhir.
Ia berpandangan, diskresi, diversi, dan restorative justice kepolisian belum efektif. “Ketika menghadapi persoalan hukum pada anak seharusnya ada kebijakan yang harus dimunculkan,” tambahnya.
Ia juga mempertanyakan bagaimana dengan jaksa anak yang sudah dilatih?
“Ketika hakim bertanya di sidang pun sering memojokkan anak. Contohnya masalah pencabulan. Psikologis anak tidak diperhitungkan. Kalau itu tidak ada pendamping, anak ini bisa stres,” kata Anggreni.
Menurutnya pelabelan pada anak berpengaruh pada aparat. “Ketika anak perempuan sebagai korban pencabulan yang dicap sebagai anak nakal terus mengejar si pelaku, aparat penegak hukum menganggap si anak yang nakal dan rusak ini tidak perlu dilindungi. Malah mereka mempertanyakan, mengapa anak yang rusak ini sampai membuat si pelaku di penjara,” ujarnya.
Ia sendiri pernah bertemu dengan jaksa yang lebih sayang germonya dibanding anak yang kena kasus hukum , karena dalam pandangan jaksa ini, si anak sudah menjadi perek dan tidak dapat diselamatkan. Padahal, kata Anggreni, anak masih punya masa depan yang panjang untuk hidupnya. Ia bahkan menilai, persepsi ini sering berpengaruh pada siding pengadilan dan putusannya seperti apa nanti, ia sudah dapat menebak dari awal.
Ia menilai, visum psykiatrikum belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan korban dalam pembuktian karena yang menjadi penekanan polisi sekarang ini adalah visum at repertum.
“Ketika si anak trauma karena kekerasan psikis, disinilah sebenarnya diperlukan visum psykiatrikum,” ujarnya.
Ia berharap ada persamaan persepsi di tingkat kebijakan untuk sepakat melakukan perlindungan anak demi kepentingan terbaik bagi anak. “Bukan kepentingan orang tua atau orang dewasa yang menganggap anak itulah yang bernasalah,” katanya. Para penegak hukum memanfaatkan UU Perlindungan Anak dalam menyelesaikan kasus hukum pada anak. “UU Perlindungan Anak harus menjadi acuan yang jelas dan tegas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi,” ujarnya tegas. –ast
Ia menilai masih banyak fakta di lapangan, kasus hukum pada anak masih mengacu pada KUHP dan mengabaikan UU Perlindungan anak. “Ketika anak itu tidak punya akses, tidak punya pemahaman hukum, mereka bingung harus mengadu kemana, atau minta pendampingan ke mana, “ujarnya.
Ia menyayangkan, aparat hukum langsung saja menahan si anak. Padahal, kata Anggreni, penahanan pada anak adalah upaya hukum paling akhir.
Ia berpandangan, diskresi, diversi, dan restorative justice kepolisian belum efektif. “Ketika menghadapi persoalan hukum pada anak seharusnya ada kebijakan yang harus dimunculkan,” tambahnya.
Ia juga mempertanyakan bagaimana dengan jaksa anak yang sudah dilatih?
“Ketika hakim bertanya di sidang pun sering memojokkan anak. Contohnya masalah pencabulan. Psikologis anak tidak diperhitungkan. Kalau itu tidak ada pendamping, anak ini bisa stres,” kata Anggreni.
Menurutnya pelabelan pada anak berpengaruh pada aparat. “Ketika anak perempuan sebagai korban pencabulan yang dicap sebagai anak nakal terus mengejar si pelaku, aparat penegak hukum menganggap si anak yang nakal dan rusak ini tidak perlu dilindungi. Malah mereka mempertanyakan, mengapa anak yang rusak ini sampai membuat si pelaku di penjara,” ujarnya.
Ia sendiri pernah bertemu dengan jaksa yang lebih sayang germonya dibanding anak yang kena kasus hukum , karena dalam pandangan jaksa ini, si anak sudah menjadi perek dan tidak dapat diselamatkan. Padahal, kata Anggreni, anak masih punya masa depan yang panjang untuk hidupnya. Ia bahkan menilai, persepsi ini sering berpengaruh pada siding pengadilan dan putusannya seperti apa nanti, ia sudah dapat menebak dari awal.
Ia menilai, visum psykiatrikum belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan korban dalam pembuktian karena yang menjadi penekanan polisi sekarang ini adalah visum at repertum.
“Ketika si anak trauma karena kekerasan psikis, disinilah sebenarnya diperlukan visum psykiatrikum,” ujarnya.
Ia berharap ada persamaan persepsi di tingkat kebijakan untuk sepakat melakukan perlindungan anak demi kepentingan terbaik bagi anak. “Bukan kepentingan orang tua atau orang dewasa yang menganggap anak itulah yang bernasalah,” katanya. Para penegak hukum memanfaatkan UU Perlindungan Anak dalam menyelesaikan kasus hukum pada anak. “UU Perlindungan Anak harus menjadi acuan yang jelas dan tegas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi,” ujarnya tegas. –ast
8 komentar:
benar saya agak miris suatu hari sempat nonton berita, anak kecil disidangkan dengan paksa sambil menjerit-jerit karena ketakutan diruang sidang.
Hmmm..bagaimana ya psikologis anak itu nanti ya...
Benar, masa depan mereka perlu diselamatkan. Banyak anak-anak yang sekarang diculik dan dijadikan PSK.
@buat boykesn:
weh jangan miris dnng. yakin masih ada aparat epnegak hukum yang punya hati nurani. heheheheh
@buat erik:
idnya kok pakai angka, baru too????
kasihan generasi depan bangsa.
apa yang akan terjadi kalau sudah demikina parahnya nasib anak-anak Indonesia sekarang ini?
memprihatinkan memang, sudah menjadi korban, eh... malah semakin ketambahan beban......
Mudah2an Kak Seto membaca ini
biar lebih aktif dan giat lagi dam hal perlindungan anak
Padahal anak adalah bua hati setiap bunda dan Papanya
semoga pemerintah lebih memperhatikan masalah ini
ayo selamatkan anak Indonesia agar bisa berguna bagi agama, bangsa, negara, orang tua, lingkungan, de el el
Artikel parenting yang sangat bagus. Salam kenal & sukses ......
Posting Komentar