dengan Lina Meidevita (Bagian 1)
Polisi identik dengan sosok yang galak. Namun, lelaki kelahiran Gianyar 14 September 1964 ini sangat jauh dari kesan itu. Murah senyum dan sikap penuh keakraban terlihat jelas dalam diri Kabid Humas Polda Bali yang menjabat sejak Desember 2008 ini. Bahkan, lantaran sikapnya yang simpatik, Lina Meidevita gadis kelahiran Solo 31 Mei 1969 ini, terpincut kepadanya. Kisah cinta mereka sangat unik karena dipertemukan gara-gara tilang. Gde begitu ia akrab disapa, berhasil memboyong gadis korban tilang ini menemani hidupnya hingga kini mereka dikarunia satu putra dan tiga putri ini. Bagaimana kisah pertemuan mereka?
Terlahir dari pasangan Wayan Wetra Kranya dengan Ni Nyoman Nurathi, Gde termasuk anak yang tidak suka berulah. Ia mengaku kehidupan masa kecilnya dilewati dengan kesederhanaan. Ibunya yang seorang guru selalu menerapkan disiplin keras kepadanya. Waktu senggangnya selalu diisi dengan belajar. Tak heran Gde selalu juara di sekolah. “Buku selalu menjadi teman saya,” ujar anak kedua dari empat bersuadara ini. Selain belajar Gde menyukai olahraga terutama sepakbola. Sejak SMA Gde dipercaya menjadi kiper Persegi Yunior.
Hingga ia menamatkan pendidikannya di SMAN 1 Gianyar, Gde selalu juara. Gde tertarik melanjutkan pendidikan ke Teknik Sipil Unud. Namun, ketika ia sudah diterima, Gde malah membatalkan niatnya menjadi insinyur. Mendengar ada penerimaan taruna AKABRI, Gde tertarik. Sedikitpun ia tidak berkeinginan menjadi polisi. Dalam benaknya terpikir, alangkah gagahnya menjadi perwira TNI AD. Waktu itu kepolisian masih bergabung dengan AKABRI. Setelah mengikuti psikotes, Gde diarahkan masuk ke Akademi Kepolisian (Akpol). Setelah empat tahun mengenyam pendidikan di Akpol Semarang, Gde ditempatkan di Solo. Dinas pertama ia menjabat Pamapta (sekarang Kepala Sentral Pelayanan Kepolisian) Polresta Surakarta Polda Jateng. Gde pun tidak pernah menduga, ia bertemu dengan tambatan hatinya di Solo.
Kisahnya sangat unik. Waktu itu, seorang gadis kelas III SMA melintas begitu saja di jalan raya tanpa menggunakan helm. Karuan saja, laju motor gadis itu dihentikan polisi yang sedang berjaga. Setelah turun dari motor, gadis yang bernama Lina Meidevita ini dintrogasi. Lina, begitu ia disapa, ditilang karena lalai menggunakan helm. Sebagai Kepala Sentral Pelayanan Kepolisian, Gde dipertemukan dengan Lina. Saat bertemu Lina, tamatan FH. Universitas Wijaya Kusuma Purwokerto ini langsung terpikat. Malah, dengan dalih Lina melakukan kesalahan, banyak pertanyaan yang diajukan kepada gadis berkulit putih itu.
Menurut Gde, Lina menjawab semua pertanyaan dengan polos. Saat itu, kata Gde, ia sudah mengagumi kecantikan gadis yang masih berseragam abu-abu itu. Lina tampaknya santai saja. Sedikitpun tidak tampak rasa takut kepada polisi yang menilangnya itu. “Dia mengaku salah dan meminta maaf,” ujar Gde sembari tersenyum simpul mengenang awal pertemuannya dengan istrinya itu. Walaupun tidak termasuk dalam introgasi, kesempatan itu dipergunakan Gde untuk mengorek banyak informasi dari Lina. Bahkan dari sana juga, ia tahu Lina belum memunyai pacar. Kesempatan itu tidak disia-siakan Gde. Setelah diintrogasi, Lina diberikan pembinaan dan diperbolehkan pulang. Namun, pertemuannya dengan Lina sangat membekas di hati Gde. “Zaman dulu belum ada HP seperti sekarang. Saya catat saja alamatnya. Besoknya saya main ke rumahnya,” tutur Gde dengan tawa lepas.
Keesokkan harinya, Gde bertandang ke rumah Lina. Lina ternyata sudah yatim piatu. Ia tinggal bersama tantenya. Berangkat dari kesamaan hidup sederhana, mereka tampaknya cocok satu sama lain. Karakter Gde yang dewasa membuat Lina memantapkan niatnya untuk memilih Gde menjadi tambatan hatinya walaupun mereka berbeda keyakinan. Gde beragama Hindu dan Lina beragama Islam. Namun, perjalanan cinta mereka tidaklah mulus seperti perkiraan semula. Keluarga besar Lina tampaknya tidak menyetujui hubungan dua sejoli berbeda keyakinan ini. Namun, Gde tak patah semangat. Hasratnya untuk segera memiliki Lina makin mengebu. Untuk menjauhkannya dari Gde, Lina sempat diboyong ke Jakarta dan tinggal di rumah sanak familinya di sana. Lina akan segera dijodohkan. Namun, Gde dan Lina tidak kekurangan akal. Lina tetap bisa menghubungi Gde di kantornya.
Ia bersikeras ingin balik ke Solo dan tidak mau dijodohkan. Setelah beberapa bulan di Jakarta, Lina tidak betah. Atas bantuan tantenya di Solo, Lina akhirnya bisa kembali pulang dan bertemu pujaan hatinya. Hari-hari dilalui kedua pasangan yang sempat terpisah beberapa bulan ini dengan penuh kemesraan. Gde pun mulai belajar mengenalkan Lina adat Hindu. Lina diajak ke Candi Ceto salah satu peninggalan Hindu di Karanganyar. Dengan meminjam mobil temannya, Gde mengisi hari liburnya menikmati suasana alam di objek wisata Jawa Tengah. “Sekali-kali, kami menghabiskan malam minggu dengan naik motor pergi ke bioskop,” tutur Magister Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia ini. Tidak ingin berlama-lama pacaran, setelah Lina menamatkan pendidikannya Gde segera memberanikan diri melamar Lina. Walaupun ada keluarga besar Lina tidak menyetujui, mereka tetap melanjutkan rencana semula. Gde mendapat dukungan dari tante dan om yang mengasuh Lina selama ini. Dukungan mereka membuat Gde dan Lina memantapkan diri untuk segera meresmikan hubungan dalam ikatan perkawinan. Tahun 1990 mereka menikah di Bali. -ast
Dimuat di Koran Tokoh, Edisi 555, 30 Agustus 2009
Polisi identik dengan sosok yang galak. Namun, lelaki kelahiran Gianyar 14 September 1964 ini sangat jauh dari kesan itu. Murah senyum dan sikap penuh keakraban terlihat jelas dalam diri Kabid Humas Polda Bali yang menjabat sejak Desember 2008 ini. Bahkan, lantaran sikapnya yang simpatik, Lina Meidevita gadis kelahiran Solo 31 Mei 1969 ini, terpincut kepadanya. Kisah cinta mereka sangat unik karena dipertemukan gara-gara tilang. Gde begitu ia akrab disapa, berhasil memboyong gadis korban tilang ini menemani hidupnya hingga kini mereka dikarunia satu putra dan tiga putri ini. Bagaimana kisah pertemuan mereka?
Terlahir dari pasangan Wayan Wetra Kranya dengan Ni Nyoman Nurathi, Gde termasuk anak yang tidak suka berulah. Ia mengaku kehidupan masa kecilnya dilewati dengan kesederhanaan. Ibunya yang seorang guru selalu menerapkan disiplin keras kepadanya. Waktu senggangnya selalu diisi dengan belajar. Tak heran Gde selalu juara di sekolah. “Buku selalu menjadi teman saya,” ujar anak kedua dari empat bersuadara ini. Selain belajar Gde menyukai olahraga terutama sepakbola. Sejak SMA Gde dipercaya menjadi kiper Persegi Yunior.
Hingga ia menamatkan pendidikannya di SMAN 1 Gianyar, Gde selalu juara. Gde tertarik melanjutkan pendidikan ke Teknik Sipil Unud. Namun, ketika ia sudah diterima, Gde malah membatalkan niatnya menjadi insinyur. Mendengar ada penerimaan taruna AKABRI, Gde tertarik. Sedikitpun ia tidak berkeinginan menjadi polisi. Dalam benaknya terpikir, alangkah gagahnya menjadi perwira TNI AD. Waktu itu kepolisian masih bergabung dengan AKABRI. Setelah mengikuti psikotes, Gde diarahkan masuk ke Akademi Kepolisian (Akpol). Setelah empat tahun mengenyam pendidikan di Akpol Semarang, Gde ditempatkan di Solo. Dinas pertama ia menjabat Pamapta (sekarang Kepala Sentral Pelayanan Kepolisian) Polresta Surakarta Polda Jateng. Gde pun tidak pernah menduga, ia bertemu dengan tambatan hatinya di Solo.
Kisahnya sangat unik. Waktu itu, seorang gadis kelas III SMA melintas begitu saja di jalan raya tanpa menggunakan helm. Karuan saja, laju motor gadis itu dihentikan polisi yang sedang berjaga. Setelah turun dari motor, gadis yang bernama Lina Meidevita ini dintrogasi. Lina, begitu ia disapa, ditilang karena lalai menggunakan helm. Sebagai Kepala Sentral Pelayanan Kepolisian, Gde dipertemukan dengan Lina. Saat bertemu Lina, tamatan FH. Universitas Wijaya Kusuma Purwokerto ini langsung terpikat. Malah, dengan dalih Lina melakukan kesalahan, banyak pertanyaan yang diajukan kepada gadis berkulit putih itu.
Menurut Gde, Lina menjawab semua pertanyaan dengan polos. Saat itu, kata Gde, ia sudah mengagumi kecantikan gadis yang masih berseragam abu-abu itu. Lina tampaknya santai saja. Sedikitpun tidak tampak rasa takut kepada polisi yang menilangnya itu. “Dia mengaku salah dan meminta maaf,” ujar Gde sembari tersenyum simpul mengenang awal pertemuannya dengan istrinya itu. Walaupun tidak termasuk dalam introgasi, kesempatan itu dipergunakan Gde untuk mengorek banyak informasi dari Lina. Bahkan dari sana juga, ia tahu Lina belum memunyai pacar. Kesempatan itu tidak disia-siakan Gde. Setelah diintrogasi, Lina diberikan pembinaan dan diperbolehkan pulang. Namun, pertemuannya dengan Lina sangat membekas di hati Gde. “Zaman dulu belum ada HP seperti sekarang. Saya catat saja alamatnya. Besoknya saya main ke rumahnya,” tutur Gde dengan tawa lepas.
Keesokkan harinya, Gde bertandang ke rumah Lina. Lina ternyata sudah yatim piatu. Ia tinggal bersama tantenya. Berangkat dari kesamaan hidup sederhana, mereka tampaknya cocok satu sama lain. Karakter Gde yang dewasa membuat Lina memantapkan niatnya untuk memilih Gde menjadi tambatan hatinya walaupun mereka berbeda keyakinan. Gde beragama Hindu dan Lina beragama Islam. Namun, perjalanan cinta mereka tidaklah mulus seperti perkiraan semula. Keluarga besar Lina tampaknya tidak menyetujui hubungan dua sejoli berbeda keyakinan ini. Namun, Gde tak patah semangat. Hasratnya untuk segera memiliki Lina makin mengebu. Untuk menjauhkannya dari Gde, Lina sempat diboyong ke Jakarta dan tinggal di rumah sanak familinya di sana. Lina akan segera dijodohkan. Namun, Gde dan Lina tidak kekurangan akal. Lina tetap bisa menghubungi Gde di kantornya.
Ia bersikeras ingin balik ke Solo dan tidak mau dijodohkan. Setelah beberapa bulan di Jakarta, Lina tidak betah. Atas bantuan tantenya di Solo, Lina akhirnya bisa kembali pulang dan bertemu pujaan hatinya. Hari-hari dilalui kedua pasangan yang sempat terpisah beberapa bulan ini dengan penuh kemesraan. Gde pun mulai belajar mengenalkan Lina adat Hindu. Lina diajak ke Candi Ceto salah satu peninggalan Hindu di Karanganyar. Dengan meminjam mobil temannya, Gde mengisi hari liburnya menikmati suasana alam di objek wisata Jawa Tengah. “Sekali-kali, kami menghabiskan malam minggu dengan naik motor pergi ke bioskop,” tutur Magister Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia ini. Tidak ingin berlama-lama pacaran, setelah Lina menamatkan pendidikannya Gde segera memberanikan diri melamar Lina. Walaupun ada keluarga besar Lina tidak menyetujui, mereka tetap melanjutkan rencana semula. Gde mendapat dukungan dari tante dan om yang mengasuh Lina selama ini. Dukungan mereka membuat Gde dan Lina memantapkan diri untuk segera meresmikan hubungan dalam ikatan perkawinan. Tahun 1990 mereka menikah di Bali. -ast
Dimuat di Koran Tokoh, Edisi 555, 30 Agustus 2009
1 komentar:
Wah. .kisah asmara yg unik + lucu.
Itulah jodoh, gak ada yg tau kapan, siapa dan darimana dtngnya :)
Kenali Dan Kunjungi Objek Wisata Di Pandeglang
Posting Komentar