Pemberian methadone secara oral bagi pemakai narkoba, ternyata tidak efektif. Penderita tetap akan mengalami ketergantungan. Bahkan, untuk melepaskan diri dari ketergantungan methadone memerlukan waktu bertahun-tahun. Demikian diungkapkan Prof. Luh Ketut Suryani, Sp. KJ (K) dalam Forum Silaturahmi Media Massa Anti Narkoba, Senin (5/10) di Hotel Puri Saroon, Seminyak Kuta Bali.
Setiap orang yang ditemukan memakai narkoba, langsung ditangkap. Mereka tidak dipisahkan antara pemakai dan pengedar. Pemakai adalah korban. Mereka adalah penderita. “Hukuman penjara tidak akan membuat mereka jera. Karena di otak mereka sudah tertanam bagaimana cara mendapatkan narkoba lagi. Penanganan untuk korban harus direhabilitasi dengan pendekatan kemanusiaan,” ujar Ahli Kejiwaan FK Unud ini. Untuk menangani kasus ini, kata dia, bukan dengan menghilangkannya tapi mencari apa penyebabnya. Dari pengamatannya, para pemakai narkoba ingin tampil beda. Malah, sebagian lagi, memakai karena rekreasi. Sementara yang lain, karena merasa tidak mendapatkan kenyamanan.
Ia menilai penanganan narkoba di Bali belum efektif. Saat ini methadone menjadi pilihan pengobatan bagi pemakai narkoba. Namun, terapi methadone, bagi Prof. Suryani, bukanlah suatu alternatif pengobatan yang tepat bagi pemakai narkoba. Methadone merupakan opiat sintetis yang segolongan dengan heroin, kodein, dan morfin. Dengan mengikuti terapi methadone, bukan berarti pecandu narkoba sertamerta lepas dari ketergantungan. Mengapa demikian? Karena methadone sendiri adalah golongan opiat, sehingga pemberian obat ini sebenarnya bertujuan untuk mengganti kebutuhan pecandu terhadap opiat lainnya seperti putaw, morfin. Methadone juga memiliki efek samping seperti gangguan tidur, mual-mual dan muntah-muntah, sembelit, mulut kering, dan gatal-gatal. Pendiri Suryani Institute ini menegaskan pemberian methadone, juga akan membuat pasien ketergantungan. Bahkan sampai bertahun-tahun. Bahkan, kata Prof. Suryani, rumatan methadone yang dilegalkan pemerintah justru ditenggarai malah menjadi ajang marketer baru.
Ia menilai, pemberian methadone bukanlah suatu solusi yang tepat. Ibarat lepas dari mulut singa, masuk ke lubang buaya,” tandasnya. Menurutnya pasien ketergantungan sangat sulit melepaskan diri. Ada keinginan kuat untuk menggunakan zat tersebut. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku. Terus memakai walaupun menyadari berakibat pada kesehatan. Saat putus zat mereka menjadi gelisah, lemas, nyeri, ngilu, diare, mual, muntah, insomnia.
Prof. Suryani memberikan alternatif lain penanggulangan penderita narkoba. Tahun 1999 ia menawarkan program “Kembalikah Anakku Sayang (KAS)”. Program ini menggunakan pendekatan biopsikospirit sosiobudaya. Penderita ditangani dari segi fisik, jiwa, dan mental. Mereka diberikan terapi secara holistik, lingkungan, dan keagamaan. Dengan mengambil lokasi di Puskesmas Abiansemal, yang kebetulan waktu itu tidak digunakan karena tidak pasien. Kamar mayat yang tidak pernah dihuni mayat, dicat dengan warna-warni. Tidak ada perawat, tapi merekalah sebagai perawat diri mereka sendiri. “Saat fase kritis mereka diberi obat penenang. Biasanya kalau sakit mereka minta air. Kami ajak mereka berenang di kolam dekat puskesmas. Kolam yang digunakan sekarang sebagai perlombaan renang bergengsi di Asia juga pernah dipakai para pemakai narkoba,” ujarnya Prof. Suryani.
Lokasi Puskesmas Abiansemal sangat strategis. Selain tempatnya jauh dari keramaian, pemandangannya sangat indah dekat dengan persawahan. Pasien dapat berolah raga dan rekreasi ke hutan Sangeh. “Mereka diajak jalan-jalan mengenal lingkungan sekitar, seperti ke pasar, dan mengikuti persembahyangan dengan warga sekitar. Mereka diajak mengembangkan kreativitasnya dengan main musik bersama para lansia. Setelah tenang mereka diajak bermeditasi,” paparnya lebih jauh. Meditasi merupakan dasar pemusatan perhatian, dengan duduk 10-15 menit. Setelah itu pasien diajak relaksasi, agar mereka dapat tidur nyenyak.
Mereka diajarkan meditasi lilin untuk belajar melatih konsentrasi mata. Program yang terakhir mereka diajak mengikuti proses penemuan jati diri di Wantilan DPRD Bali. Setelah proses ini, pasien mengetahui dirinya sejak kecil tidak diinginkan orangtuanya.
Menurut Prof. Suryani memori waktu anak dilahirkan sampai berusia 10 tahun sangatlah penting. Ketika anak tidak mendapatkan kenyamanan selalu merasa salah dan tidak mendapatkan kasih sayang memori ini melekat dalam ingatannya. Ia dapat melarikan diri ke narkoba. Ie menilai masyarakat Indonesia memerlukan kebutuhan spiritual. Mereka beban karena stres yang tidak bisa ditangani. Mampukah mereka menghadapi stresnya sendiri?
Selain ke Wantilan DPRD, mereka juga diajak ke pantai. Ombak merangsang otak mereka bangkit. Otak seperti komputer dapat diprogram. Prof. Suryani mengajak pasien berjemur pukul 12 siang. Mereka berbaring 15 menit di pasir. Bagi yang mau menari silakan menari. Ternyata pasien dapat mengikutinya dengan tenang.
Puskesmas Abiansemal yang dijadikan markas KAS tidak dipagari tembok tinggi. Pasien dapat pergi kapan saja mereka mau. Program ini diikuti 28 orang dengan waktu 3 bulan. Walaupun program ini sangat sederhana, namun, hasilnya luar biasa. 79% pasien tidak lagi rindu narkoba. Namun, Prof. Suryani mengeluhkan tahun 2005 tanpa penyebab yang jelas, program ini harus dihentikan.
Ia menilai ada beberapa hal yang menghambat kesembuhan pasien seperti orangtua tidak menghargai kemajuan yang dicapai penderita. Sikap orangtua yang mengganggap penderita masih kanak-kanak, mendikte, dan menggurui. Orangtua masih selalu was-was dengan kekambuhan berulang yang masih selalu terbayang. Penderita masih sebagai perokok berat, tidak ada aktivitas tidak ada hobi, keterampilan dan perasaan jenuh. Ia menilai peran keluarga sangat besar. Keluarga sebagai sebuah tim saling menghargai, saling mencintai, dan saling memerlukan. Komunikasi modal untuk mencapai kebahagiaan hidup. Bagi pemakai yang sudah lepas dari pengaruh narkoba, sebaiknya tidak bergaul dengan teman-teman pemakai karena mereka selalu berusaha merangsang untuk memakai lagi. Bukalah diri dengan keluarga, karena mereka adalah orang yang paling menyayanginya. Hadapi semua tantangan, menarilah diatas stres. -ast
Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 561, 11 Oktober 2009
Setiap orang yang ditemukan memakai narkoba, langsung ditangkap. Mereka tidak dipisahkan antara pemakai dan pengedar. Pemakai adalah korban. Mereka adalah penderita. “Hukuman penjara tidak akan membuat mereka jera. Karena di otak mereka sudah tertanam bagaimana cara mendapatkan narkoba lagi. Penanganan untuk korban harus direhabilitasi dengan pendekatan kemanusiaan,” ujar Ahli Kejiwaan FK Unud ini. Untuk menangani kasus ini, kata dia, bukan dengan menghilangkannya tapi mencari apa penyebabnya. Dari pengamatannya, para pemakai narkoba ingin tampil beda. Malah, sebagian lagi, memakai karena rekreasi. Sementara yang lain, karena merasa tidak mendapatkan kenyamanan.
Ia menilai penanganan narkoba di Bali belum efektif. Saat ini methadone menjadi pilihan pengobatan bagi pemakai narkoba. Namun, terapi methadone, bagi Prof. Suryani, bukanlah suatu alternatif pengobatan yang tepat bagi pemakai narkoba. Methadone merupakan opiat sintetis yang segolongan dengan heroin, kodein, dan morfin. Dengan mengikuti terapi methadone, bukan berarti pecandu narkoba sertamerta lepas dari ketergantungan. Mengapa demikian? Karena methadone sendiri adalah golongan opiat, sehingga pemberian obat ini sebenarnya bertujuan untuk mengganti kebutuhan pecandu terhadap opiat lainnya seperti putaw, morfin. Methadone juga memiliki efek samping seperti gangguan tidur, mual-mual dan muntah-muntah, sembelit, mulut kering, dan gatal-gatal. Pendiri Suryani Institute ini menegaskan pemberian methadone, juga akan membuat pasien ketergantungan. Bahkan sampai bertahun-tahun. Bahkan, kata Prof. Suryani, rumatan methadone yang dilegalkan pemerintah justru ditenggarai malah menjadi ajang marketer baru.
Ia menilai, pemberian methadone bukanlah suatu solusi yang tepat. Ibarat lepas dari mulut singa, masuk ke lubang buaya,” tandasnya. Menurutnya pasien ketergantungan sangat sulit melepaskan diri. Ada keinginan kuat untuk menggunakan zat tersebut. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku. Terus memakai walaupun menyadari berakibat pada kesehatan. Saat putus zat mereka menjadi gelisah, lemas, nyeri, ngilu, diare, mual, muntah, insomnia.
Prof. Suryani memberikan alternatif lain penanggulangan penderita narkoba. Tahun 1999 ia menawarkan program “Kembalikah Anakku Sayang (KAS)”. Program ini menggunakan pendekatan biopsikospirit sosiobudaya. Penderita ditangani dari segi fisik, jiwa, dan mental. Mereka diberikan terapi secara holistik, lingkungan, dan keagamaan. Dengan mengambil lokasi di Puskesmas Abiansemal, yang kebetulan waktu itu tidak digunakan karena tidak pasien. Kamar mayat yang tidak pernah dihuni mayat, dicat dengan warna-warni. Tidak ada perawat, tapi merekalah sebagai perawat diri mereka sendiri. “Saat fase kritis mereka diberi obat penenang. Biasanya kalau sakit mereka minta air. Kami ajak mereka berenang di kolam dekat puskesmas. Kolam yang digunakan sekarang sebagai perlombaan renang bergengsi di Asia juga pernah dipakai para pemakai narkoba,” ujarnya Prof. Suryani.
Lokasi Puskesmas Abiansemal sangat strategis. Selain tempatnya jauh dari keramaian, pemandangannya sangat indah dekat dengan persawahan. Pasien dapat berolah raga dan rekreasi ke hutan Sangeh. “Mereka diajak jalan-jalan mengenal lingkungan sekitar, seperti ke pasar, dan mengikuti persembahyangan dengan warga sekitar. Mereka diajak mengembangkan kreativitasnya dengan main musik bersama para lansia. Setelah tenang mereka diajak bermeditasi,” paparnya lebih jauh. Meditasi merupakan dasar pemusatan perhatian, dengan duduk 10-15 menit. Setelah itu pasien diajak relaksasi, agar mereka dapat tidur nyenyak.
Mereka diajarkan meditasi lilin untuk belajar melatih konsentrasi mata. Program yang terakhir mereka diajak mengikuti proses penemuan jati diri di Wantilan DPRD Bali. Setelah proses ini, pasien mengetahui dirinya sejak kecil tidak diinginkan orangtuanya.
Menurut Prof. Suryani memori waktu anak dilahirkan sampai berusia 10 tahun sangatlah penting. Ketika anak tidak mendapatkan kenyamanan selalu merasa salah dan tidak mendapatkan kasih sayang memori ini melekat dalam ingatannya. Ia dapat melarikan diri ke narkoba. Ie menilai masyarakat Indonesia memerlukan kebutuhan spiritual. Mereka beban karena stres yang tidak bisa ditangani. Mampukah mereka menghadapi stresnya sendiri?
Selain ke Wantilan DPRD, mereka juga diajak ke pantai. Ombak merangsang otak mereka bangkit. Otak seperti komputer dapat diprogram. Prof. Suryani mengajak pasien berjemur pukul 12 siang. Mereka berbaring 15 menit di pasir. Bagi yang mau menari silakan menari. Ternyata pasien dapat mengikutinya dengan tenang.
Puskesmas Abiansemal yang dijadikan markas KAS tidak dipagari tembok tinggi. Pasien dapat pergi kapan saja mereka mau. Program ini diikuti 28 orang dengan waktu 3 bulan. Walaupun program ini sangat sederhana, namun, hasilnya luar biasa. 79% pasien tidak lagi rindu narkoba. Namun, Prof. Suryani mengeluhkan tahun 2005 tanpa penyebab yang jelas, program ini harus dihentikan.
Ia menilai ada beberapa hal yang menghambat kesembuhan pasien seperti orangtua tidak menghargai kemajuan yang dicapai penderita. Sikap orangtua yang mengganggap penderita masih kanak-kanak, mendikte, dan menggurui. Orangtua masih selalu was-was dengan kekambuhan berulang yang masih selalu terbayang. Penderita masih sebagai perokok berat, tidak ada aktivitas tidak ada hobi, keterampilan dan perasaan jenuh. Ia menilai peran keluarga sangat besar. Keluarga sebagai sebuah tim saling menghargai, saling mencintai, dan saling memerlukan. Komunikasi modal untuk mencapai kebahagiaan hidup. Bagi pemakai yang sudah lepas dari pengaruh narkoba, sebaiknya tidak bergaul dengan teman-teman pemakai karena mereka selalu berusaha merangsang untuk memakai lagi. Bukalah diri dengan keluarga, karena mereka adalah orang yang paling menyayanginya. Hadapi semua tantangan, menarilah diatas stres. -ast
Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 561, 11 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar