SEKITAR 4000 lebih penderita tuna grahita di Bali. Mereka baru terserap 5% di Sekolah Luar Biasa (SLB) C dan SD Luar Biasa di Bali. Kebanyakan orangtua yang memiliki anak tuna grahita merasa malu dan tertekan oleh stigma dari lingkungan. Ironisnya, mereka memperlakukan anak dengan tidak baik, bahkan menyembunyikannya. Sikap ini justru akan membuat anak tuna grahita tidak mampu mengembangkan diri. “Penyandang tuna grahita masih dapat diberi bekal keterampilan demi masa depannya. Dengan syarat, anak tersebut terdeteksi sejak dini sehingga dapat segera dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa dan dikembangkan bakatnya,” ujar Made Gintil Muliartha, Kepala Sekolah SLB C Denpasar.
Ia mengatakan, keterbatasan yang dimiliki penyandang tuna grahita sering menimbulkan kekhawatiran orangtua dan masyarakat. Program SLB C diharapkan dapat mengurangi ketergantungan penyandang tuna grahita pada orang lain. Salah satu tujuan pendidikan penyandang tuna grahita adalah menyiapkan peserta didik untuk memperoleh pekerjaan sesuai kemampuan dan minatnya.
Ia menyatakan, spirit pertama yang harus diterima penyandang tuna grahita dari orang terdekat, terutama orangtua. “Tiap orang dapat memberi kepercayaan bahwa mereka juga memiliki kemampuan seperti orang lain untuk berkarya,” ujarnya.
Tiga Kategori
Penyandang tuna grahita adalah individu yang diidentifikasikan psikolog memiliki kelambanan dalam berpikir dan belajar serta kesulitan dalam berbicara. Hal itu diukur dengan level IQ di bawah 70, dan semua gejala itu muncul sebelum usia 18 tahun.
Menurut Gintil, kategori penyandang tuna grahita yang mampu diterima di SLB kategori C IQ 50-70 disebut mampu didik . Mereka ini dapat menerima materi pelajaran dalam bentuk sederhana. Kategori C1 IQ 25-50 disebut mampu latih. Walaupun mereka sudah diklasifikasikan siswa SMA Luar Biasa mereka tetap tidak bisa membaca. Kategori IQ di bawah 25 (idiot), tidak dapat diterima di SLB C. Mereka tidak mampu menerima rangsangan. Mereka hanya duduk atau terlentang.
Dalam pengajaran di SLB C, para guru memegang peranan penting. Mereka dituntut kesabaran tinggi dengan tingkat emosi anak yang berbeda-beda. Namun, kata Gintil, para orangtua di Denpasar tampaknya makin sadar tentang pentingnya memberikan keterampilan kepada para penyandang tuna grahita.
Saat ini jumlah siswa SLB C di Denpasar 240 orang, dengan jumlah guru negeri 27 orang dan guru honorer 7 orang. Perbandingan jumlah guru dan siswa itu, kata Gintil, belum berimbang. Namun, tidak mudah mencari guru yang mau mengabdi di sekolah luar biasa. “Selain memiliki keterampilan mengajar khusus, mereka harus memiliki kesabaran yang tinggi,” ujar Gintil.
Special Olympics Indonesia
Dalam upaya memberdayakan para penyandang tuna grahita, kini telah dibentuk special olympics yakni sebuah gerakan global yang memberdayakan penyandang tuna grahita melalui pelatihan dan kompetisi olahraga. Disebut special olympics karena kekhususannya telah diakui international olympics committee (IOC) sebagai satu-satunya organisasi olahraga khususnya tuna grahita. Special olympics didirikan tahun 1966 oleh Eunice Kennedy Shriver. Program special olympics telah menyebar ke seluruh dunia dan memberdayakan banyak penyandang tuna grahita hingga menjadi manusia yang lebih produktif di masyarakat. Indonesia bergabung menjadi anggota tahun 1989, dan tahun 1999 masuk ke Bali.
Menurut Ketua SO Ina Bali A.A. Gde Oka, B.Sw, dalam pelantikan pengurus SO Ina Bali Periode 2009-2013 di Aula Kantor Disdikpora Bali, Selasa (28/10), program utama SO Ina; pelatihan dan kompetisi olahraga sepanjang tahun. Ada tujuh cabang olahraga yang telah dibina yakni atletik, bulu tangkis, tenis meja, sepak bola, bola basket, renang, dan bocce. Bagi atlet tuna grahita kategori low ability yang tidak dapat mengikuti kegiatan olahraga seperti biasa, dapat mengikuti motor activites training program. Kompetisi diadakan mulai tingkat kabupaten/kota hingga nasional. Program pendukung SO Ina di antaranya, pemeriksaan kesehatan atlet meliputi kesehatan mata, kesehatan gigi dan mulut, telinga, fisoterapi, kesehatan kaki dan tulang. serta pendidikan kesehatan, dan pelatihan kepemimpinan.
Ia mengatakan Bali cukup berbangga, karena prestasinya termasuk 5 besar nasional. Tahun 2004 atlet Bali meraih juara I loncat jauh dan lari 100 meter, yang diwakili SLB Tabanan. Tahun 2007 siswa SLB Karangasem menjuarai tenis meja tingkat nasional dan memperkuat tim nasional ke Shanghai dan berhasil meraih juara harapan II tingkat dunia.
Ketua Umum SO Ina dr. Pudji Hastuti M.Sc. mengungkapkan istilah mental retardation (cacat mental) saat ini tidak boleh digunakan karena dinilai akan makin merendahkan mental anak. Untuk itu dipakai istilah baru yakni keterbatasan intelektual. Ia mengatakan, anak-anak tuna grahita memunyai potensi besar jika dibina. Pendidikan olahraga adalah media utama bagi mereka. “Kegiatan ini jangan dipandang kegiatan pelengkap,” tegas Dokter Pudji. Ia berharap pengurus baru lebih solid dan para pengurusnya mementingkan jiwa kesukarelawanan yang berbasis kekeluargaan.
Prgram unified sports adalah kombinasi atlet special olympics dengan atlet bukan tuna grahita dalam teman seregu untuk pelatihan dan kompetisi. “Ini akan membuat dampak positif dan memperbaiki pemahaman tuna grahita di kalangan masyarakat,” jelasnya. Ia menegaskan, orangtua adalah alat bantu seumur hidup sehingga keterlibatan orangtua sangat penting.
YKI Peduli
Yayasan Kemanusiaan Indonesia (YKI) sebagai salah satu lembaga sosial yang gencar memberikan pelayanan kesehatan mata gratis turut mendukung program SO Ina. Pilot Project manager YKI Drs I Wayan Sukajaya yang juga salah seorang pengurus SO Ina Bali mengatakan, selain dalam pelayanan kesehatan, YKI bekerja sama dengan para relasi turut dalam penggalian dana. Program kesehatan YKI juga akan menyasar para penyandang tuna grahita. Hal ini, kata Sukajaya, merupakan komitmen dan kepedulian YKI kepada para penyandang cacat, agar mereka dapat eksis bersosialisasi di masyarakat. –ast
Sudah dimuat di Koran tokoh, Edisi 564, 1 November 2009
Ia mengatakan, keterbatasan yang dimiliki penyandang tuna grahita sering menimbulkan kekhawatiran orangtua dan masyarakat. Program SLB C diharapkan dapat mengurangi ketergantungan penyandang tuna grahita pada orang lain. Salah satu tujuan pendidikan penyandang tuna grahita adalah menyiapkan peserta didik untuk memperoleh pekerjaan sesuai kemampuan dan minatnya.
Ia menyatakan, spirit pertama yang harus diterima penyandang tuna grahita dari orang terdekat, terutama orangtua. “Tiap orang dapat memberi kepercayaan bahwa mereka juga memiliki kemampuan seperti orang lain untuk berkarya,” ujarnya.
Tiga Kategori
Penyandang tuna grahita adalah individu yang diidentifikasikan psikolog memiliki kelambanan dalam berpikir dan belajar serta kesulitan dalam berbicara. Hal itu diukur dengan level IQ di bawah 70, dan semua gejala itu muncul sebelum usia 18 tahun.
Menurut Gintil, kategori penyandang tuna grahita yang mampu diterima di SLB kategori C IQ 50-70 disebut mampu didik . Mereka ini dapat menerima materi pelajaran dalam bentuk sederhana. Kategori C1 IQ 25-50 disebut mampu latih. Walaupun mereka sudah diklasifikasikan siswa SMA Luar Biasa mereka tetap tidak bisa membaca. Kategori IQ di bawah 25 (idiot), tidak dapat diterima di SLB C. Mereka tidak mampu menerima rangsangan. Mereka hanya duduk atau terlentang.
Dalam pengajaran di SLB C, para guru memegang peranan penting. Mereka dituntut kesabaran tinggi dengan tingkat emosi anak yang berbeda-beda. Namun, kata Gintil, para orangtua di Denpasar tampaknya makin sadar tentang pentingnya memberikan keterampilan kepada para penyandang tuna grahita.
Saat ini jumlah siswa SLB C di Denpasar 240 orang, dengan jumlah guru negeri 27 orang dan guru honorer 7 orang. Perbandingan jumlah guru dan siswa itu, kata Gintil, belum berimbang. Namun, tidak mudah mencari guru yang mau mengabdi di sekolah luar biasa. “Selain memiliki keterampilan mengajar khusus, mereka harus memiliki kesabaran yang tinggi,” ujar Gintil.
Special Olympics Indonesia
Dalam upaya memberdayakan para penyandang tuna grahita, kini telah dibentuk special olympics yakni sebuah gerakan global yang memberdayakan penyandang tuna grahita melalui pelatihan dan kompetisi olahraga. Disebut special olympics karena kekhususannya telah diakui international olympics committee (IOC) sebagai satu-satunya organisasi olahraga khususnya tuna grahita. Special olympics didirikan tahun 1966 oleh Eunice Kennedy Shriver. Program special olympics telah menyebar ke seluruh dunia dan memberdayakan banyak penyandang tuna grahita hingga menjadi manusia yang lebih produktif di masyarakat. Indonesia bergabung menjadi anggota tahun 1989, dan tahun 1999 masuk ke Bali.
Menurut Ketua SO Ina Bali A.A. Gde Oka, B.Sw, dalam pelantikan pengurus SO Ina Bali Periode 2009-2013 di Aula Kantor Disdikpora Bali, Selasa (28/10), program utama SO Ina; pelatihan dan kompetisi olahraga sepanjang tahun. Ada tujuh cabang olahraga yang telah dibina yakni atletik, bulu tangkis, tenis meja, sepak bola, bola basket, renang, dan bocce. Bagi atlet tuna grahita kategori low ability yang tidak dapat mengikuti kegiatan olahraga seperti biasa, dapat mengikuti motor activites training program. Kompetisi diadakan mulai tingkat kabupaten/kota hingga nasional. Program pendukung SO Ina di antaranya, pemeriksaan kesehatan atlet meliputi kesehatan mata, kesehatan gigi dan mulut, telinga, fisoterapi, kesehatan kaki dan tulang. serta pendidikan kesehatan, dan pelatihan kepemimpinan.
Ia mengatakan Bali cukup berbangga, karena prestasinya termasuk 5 besar nasional. Tahun 2004 atlet Bali meraih juara I loncat jauh dan lari 100 meter, yang diwakili SLB Tabanan. Tahun 2007 siswa SLB Karangasem menjuarai tenis meja tingkat nasional dan memperkuat tim nasional ke Shanghai dan berhasil meraih juara harapan II tingkat dunia.
Ketua Umum SO Ina dr. Pudji Hastuti M.Sc. mengungkapkan istilah mental retardation (cacat mental) saat ini tidak boleh digunakan karena dinilai akan makin merendahkan mental anak. Untuk itu dipakai istilah baru yakni keterbatasan intelektual. Ia mengatakan, anak-anak tuna grahita memunyai potensi besar jika dibina. Pendidikan olahraga adalah media utama bagi mereka. “Kegiatan ini jangan dipandang kegiatan pelengkap,” tegas Dokter Pudji. Ia berharap pengurus baru lebih solid dan para pengurusnya mementingkan jiwa kesukarelawanan yang berbasis kekeluargaan.
Prgram unified sports adalah kombinasi atlet special olympics dengan atlet bukan tuna grahita dalam teman seregu untuk pelatihan dan kompetisi. “Ini akan membuat dampak positif dan memperbaiki pemahaman tuna grahita di kalangan masyarakat,” jelasnya. Ia menegaskan, orangtua adalah alat bantu seumur hidup sehingga keterlibatan orangtua sangat penting.
YKI Peduli
Yayasan Kemanusiaan Indonesia (YKI) sebagai salah satu lembaga sosial yang gencar memberikan pelayanan kesehatan mata gratis turut mendukung program SO Ina. Pilot Project manager YKI Drs I Wayan Sukajaya yang juga salah seorang pengurus SO Ina Bali mengatakan, selain dalam pelayanan kesehatan, YKI bekerja sama dengan para relasi turut dalam penggalian dana. Program kesehatan YKI juga akan menyasar para penyandang tuna grahita. Hal ini, kata Sukajaya, merupakan komitmen dan kepedulian YKI kepada para penyandang cacat, agar mereka dapat eksis bersosialisasi di masyarakat. –ast
Sudah dimuat di Koran tokoh, Edisi 564, 1 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar