KOMIK wayang langka di pasaran. Meskipun toko buku Gramedia dan Gunung Agung masih menjualnya, serinya tidak lengkap. Komik wayang juga sulit ditemui di kios penyewaan komik. Padahal legenda klasik seperti Mahabharata banyak memuat filosofi kehidupan yang mengajarkan manusia untuk selalu berbuat kebenaran.
Menurut Prof. L.K. Suryani, orangtua zaman dahulu tidak pernah mengajarkan karma pala, tetapi mereka menceritakan kisah-kisah kehidupan. Komik wayang banyak menceritakan drama kehidupan tentang pemahaman baik dan buruk. “Komik wayang baik dibaca anak-anak,” kata Suryani.
Bowo, penjaga salah satu kios penyewaan komik di Panjer, Denpasar, mengatakan sejak 2001 komik Mahabharata telah raib. Kabarnya komik diburu kolektor dari Jakarta. Tiap hari kios yang menyediakan ribuan komik dan novel ini didatangi sekitar 20 pengunjung. “Sebagian besar anak SMA dan kuliahan. Mereka menyukai komik Jepang,” tuturnya.
Beberapa kali kios tempatnya bekerja didatangi siswa sekolah yang mencari komik wayang. “Mereka mencari komik Mahabharata untuk tugas sekolah. Jarang yang mencarinya khusus untuk dibaca,” ujar Bowo. Lesunya komik wayang juga dipengaruhi selera pasar. Tren yang digandrungi saat ini komik Jepang. “Komik wayang masih diburu karena nostalgianya bukan ceritanya. Komik Mahabharata identik dengan R.A. Kosasih. Walaupun ada pengarang lain, kolektor tetap memburu karya Kosasih. Waktu kecil saya juga suka R.A. Kosasih. Gambarnya memunyai ciri khas,” lanjutnya.
Komik Wayang Pahami Hidup
“Saya memunyai koleksi hampir ratusan komik. Saya masih ingat, Mahabharata ada 16 seri,” ujar Rosa sapaan akrab Rosalina Norita. Ia mengaku hanya dijatah membeli satu buku tiap bulannya. Terpaksa harus puas hanya membaca di toko buku. “Jika ada yang bagus, waktunya tepat, saya beli,” tutur Executive Asisstant Director Grup Rudana Putra (GRP) ini sembari tertawa.
Sejak usia lima tahun, Rosa telah mulai tertarik mengenal buku cerita bergambar, termasuk komik Mahabharata, tertarik melihat gambar wayangnya. Walaupun ia belum paham, kerap dilihat-lihatnya buku komik tersebut. Setelah duduk di bangku SD, mulai dibacanya kisah dua bersaudara Pandawa dan Kurawa. Dalam pandangannya komik wayang dapat dijadikan landasan untuk memahami hidup. Banyak contoh nyata perbuatan baik dan buruk yang dapat dipahami dengan mudah.
Anak-anak jika ditanya setelah besar ingin menjadi apa? Tak jarang spontan terdengar jawaban, ”Dokter”. Memasuki SMP pandangan terhadap hidup ini acap berubah. Usia dewasa mengalami beragam benturan dengan kehidupan yang lebih kompleks. Kala pertanyaan masa kecil diulang kembali, ”Setelah besar ingin menjadi apa?” Meluncur jawaban tanpa beban, ”Terserah nanti,” tuturnya.
Menurut Rosa, dalam proses pertumbuhan kita mengalami suatu perubahan dalam diri. Untuk memahami kehidupan, komik wayang dapat digunakan sebagai salah satu acuan.
Wajah Krisna yang tampan, sikap bijaksana, tutur kata yang halus, membuat perempuan berusia 40 tahun ini mengidolakan tokoh pewayangan ini. Juga terkesima pada Bima. Bima mewakili sosok kuat yang senantiasa membela adik-adiknya. Memberi contoh teladan ada cinta keluarga di dalamnya.
Komik Wayang Membuat Peka
Komik Mahabharata mengajarkan nilai-nilai luhur dalam keluarga dan sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Saat ini ada perubahan besar di sekolah. “Dulu kesusastraan diajarkan di sekolah. Sekarang anak-anak lebih suka belajar teknologi. Kesusastraan membuat anak-anak lebih sensitif. Komik Mahabharata banyak mengandung nilai positif yang dapat membuat lebih peka,” kata Rosa.
Di tengah gempuran globalisasi, cerita pewayangan masih layak dijadikan pedoman hidup. “Para orangtua seharusnya menyadari banyak hal dapat dipetik dari komik wayang. Banyak pesan moral kebenaran dan kebajikan. Komik wayang mesti dibangkitkan kembali,” tandasnya. Ini menjadi peluang bagi generasi muda. Jika ingin mengikuti perkembangan zaman, dapat dibuatkan tapebook seperti di AS. Buku dibuat dalam bentuk CD, sehingga dapat didengarkan. Materinya dapat berupa cerita pewayangan seperti Mahabharata dan Ramayana.
Dokter Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp. KJ., menuturkan pertama kali mengenal komik wayang saat berkunjung ke rumah kakeknya. Melihat buku komik tersebut, enam bersaudara ini berebut untuk membacanya. Tak seorang pun rela mengalah. Maka, dibuatlah aturan. Kakak tertua diputuskan mendapat giliran membaca yang pertama. Satu buku satu minggu. Mereka pun harus rela berbagi dengan saudara sepupu. Dijatah satu buku untuk satu keluarga. Mereka sepakat menabung uang saku untuk membeli komik.
Enam bersaudara ini seluruhnya laki-laki. Berjarak satu tahun dengan saudara berikut. Cok Jaya Lesmana mengaku kerap terjadi pertengkaran antarsaudara. Akhirnya cerita Mahabharata menyadarkan mereka. Tidak mau berperilaku seperti Kurawa.
”Dengan mengibaratakan diri sebagai Panca Pandawa ditambah Karna membuat kami merasa sebagai satu keluarga untuk saling menghormati satu sama lain,” tuturnya. Hal senada dilontarkan pebasket nasional Cokorda Raka Satrya Wibawa, adik Cokorda Jaya Lesmana. Setelah dewasa dan menikah, nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalam legenda klasik tersebut masih membekas. Cerita Mahabharata secara tidak langsung telah membentuk kepribadiannya.
Tahun 2004 saat bertandang ke rumah pamannya, tanpa sengaja ia melihat komik Mahabharata. Design telah berubah. Ada hardcover dan gambarnya berwarna. Ia tertarik kembali untuk membacanya. Walaupun ceritanya sama, tak ada rasa jenuh di dalamnya. Justru rasa kangen untuk kembali membacanya. Sungguh disayangkan komik wayang mulai menipis di toko buku. Serinya sulit dicari. Anjuran pria jangkung ini, agar seri dikemas dalam satu bendel hingga ending.
Kenalkan Komik Usia 9 Tahun
Dalam mendidik keenam putranya itu, Prof Suryani menekankan pesan moral yang terkandung dalam komik. “Setelah anak-anak membaca komik, saya beri mereka pemahaman agar mengerti.
Tidak dilepas begitu saja,” ujarnya. Tanpa sadar, akhirnya akan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Cara mendidik ini diperoleh dari orangtuanya.
“Sejak kecil saya biasa mendengarkan cerita Bapak. Berdasarkan pengalaman itulah patokan saya buat. Tidak perlu mendidik anak dengan memarahinya. Cukup dengan bercerita,” kata Ahli Kejiwaan FK Unud ini.
Anak-anak menyukai komik karena lebih banyak gambarnya. Komik menciptakan dunia khayal.
“Sebaiknya dikenalkan pada usia 9 tahun, ketika anak-anak telah mampu membaca. Pada usia ini logika sudah jalan. Jika belum bisa membaca, orangtualah yang bercerita,” jelas Suryani.
Sangat penting mengembangkan imajinasi pada anak. Efek membaca komik berbeda dengan menonton TV. Saat membaca komik, anak-anak membayangkan bagaimana cerita itu. Sangat baik untuk perkembangan kecerdasannya. Menjadi kreatif. Juga merangsang minat baca. Harus dilanjutkan dengan memberi buku-buku pengetahuan sehingga gemar membaca menjadi budaya. -ast
sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 551
Menurut Prof. L.K. Suryani, orangtua zaman dahulu tidak pernah mengajarkan karma pala, tetapi mereka menceritakan kisah-kisah kehidupan. Komik wayang banyak menceritakan drama kehidupan tentang pemahaman baik dan buruk. “Komik wayang baik dibaca anak-anak,” kata Suryani.
Bowo, penjaga salah satu kios penyewaan komik di Panjer, Denpasar, mengatakan sejak 2001 komik Mahabharata telah raib. Kabarnya komik diburu kolektor dari Jakarta. Tiap hari kios yang menyediakan ribuan komik dan novel ini didatangi sekitar 20 pengunjung. “Sebagian besar anak SMA dan kuliahan. Mereka menyukai komik Jepang,” tuturnya.
Beberapa kali kios tempatnya bekerja didatangi siswa sekolah yang mencari komik wayang. “Mereka mencari komik Mahabharata untuk tugas sekolah. Jarang yang mencarinya khusus untuk dibaca,” ujar Bowo. Lesunya komik wayang juga dipengaruhi selera pasar. Tren yang digandrungi saat ini komik Jepang. “Komik wayang masih diburu karena nostalgianya bukan ceritanya. Komik Mahabharata identik dengan R.A. Kosasih. Walaupun ada pengarang lain, kolektor tetap memburu karya Kosasih. Waktu kecil saya juga suka R.A. Kosasih. Gambarnya memunyai ciri khas,” lanjutnya.
Komik Wayang Pahami Hidup
“Saya memunyai koleksi hampir ratusan komik. Saya masih ingat, Mahabharata ada 16 seri,” ujar Rosa sapaan akrab Rosalina Norita. Ia mengaku hanya dijatah membeli satu buku tiap bulannya. Terpaksa harus puas hanya membaca di toko buku. “Jika ada yang bagus, waktunya tepat, saya beli,” tutur Executive Asisstant Director Grup Rudana Putra (GRP) ini sembari tertawa.
Sejak usia lima tahun, Rosa telah mulai tertarik mengenal buku cerita bergambar, termasuk komik Mahabharata, tertarik melihat gambar wayangnya. Walaupun ia belum paham, kerap dilihat-lihatnya buku komik tersebut. Setelah duduk di bangku SD, mulai dibacanya kisah dua bersaudara Pandawa dan Kurawa. Dalam pandangannya komik wayang dapat dijadikan landasan untuk memahami hidup. Banyak contoh nyata perbuatan baik dan buruk yang dapat dipahami dengan mudah.
Anak-anak jika ditanya setelah besar ingin menjadi apa? Tak jarang spontan terdengar jawaban, ”Dokter”. Memasuki SMP pandangan terhadap hidup ini acap berubah. Usia dewasa mengalami beragam benturan dengan kehidupan yang lebih kompleks. Kala pertanyaan masa kecil diulang kembali, ”Setelah besar ingin menjadi apa?” Meluncur jawaban tanpa beban, ”Terserah nanti,” tuturnya.
Menurut Rosa, dalam proses pertumbuhan kita mengalami suatu perubahan dalam diri. Untuk memahami kehidupan, komik wayang dapat digunakan sebagai salah satu acuan.
Wajah Krisna yang tampan, sikap bijaksana, tutur kata yang halus, membuat perempuan berusia 40 tahun ini mengidolakan tokoh pewayangan ini. Juga terkesima pada Bima. Bima mewakili sosok kuat yang senantiasa membela adik-adiknya. Memberi contoh teladan ada cinta keluarga di dalamnya.
Komik Wayang Membuat Peka
Komik Mahabharata mengajarkan nilai-nilai luhur dalam keluarga dan sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Saat ini ada perubahan besar di sekolah. “Dulu kesusastraan diajarkan di sekolah. Sekarang anak-anak lebih suka belajar teknologi. Kesusastraan membuat anak-anak lebih sensitif. Komik Mahabharata banyak mengandung nilai positif yang dapat membuat lebih peka,” kata Rosa.
Di tengah gempuran globalisasi, cerita pewayangan masih layak dijadikan pedoman hidup. “Para orangtua seharusnya menyadari banyak hal dapat dipetik dari komik wayang. Banyak pesan moral kebenaran dan kebajikan. Komik wayang mesti dibangkitkan kembali,” tandasnya. Ini menjadi peluang bagi generasi muda. Jika ingin mengikuti perkembangan zaman, dapat dibuatkan tapebook seperti di AS. Buku dibuat dalam bentuk CD, sehingga dapat didengarkan. Materinya dapat berupa cerita pewayangan seperti Mahabharata dan Ramayana.
Dokter Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp. KJ., menuturkan pertama kali mengenal komik wayang saat berkunjung ke rumah kakeknya. Melihat buku komik tersebut, enam bersaudara ini berebut untuk membacanya. Tak seorang pun rela mengalah. Maka, dibuatlah aturan. Kakak tertua diputuskan mendapat giliran membaca yang pertama. Satu buku satu minggu. Mereka pun harus rela berbagi dengan saudara sepupu. Dijatah satu buku untuk satu keluarga. Mereka sepakat menabung uang saku untuk membeli komik.
Enam bersaudara ini seluruhnya laki-laki. Berjarak satu tahun dengan saudara berikut. Cok Jaya Lesmana mengaku kerap terjadi pertengkaran antarsaudara. Akhirnya cerita Mahabharata menyadarkan mereka. Tidak mau berperilaku seperti Kurawa.
”Dengan mengibaratakan diri sebagai Panca Pandawa ditambah Karna membuat kami merasa sebagai satu keluarga untuk saling menghormati satu sama lain,” tuturnya. Hal senada dilontarkan pebasket nasional Cokorda Raka Satrya Wibawa, adik Cokorda Jaya Lesmana. Setelah dewasa dan menikah, nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalam legenda klasik tersebut masih membekas. Cerita Mahabharata secara tidak langsung telah membentuk kepribadiannya.
Tahun 2004 saat bertandang ke rumah pamannya, tanpa sengaja ia melihat komik Mahabharata. Design telah berubah. Ada hardcover dan gambarnya berwarna. Ia tertarik kembali untuk membacanya. Walaupun ceritanya sama, tak ada rasa jenuh di dalamnya. Justru rasa kangen untuk kembali membacanya. Sungguh disayangkan komik wayang mulai menipis di toko buku. Serinya sulit dicari. Anjuran pria jangkung ini, agar seri dikemas dalam satu bendel hingga ending.
Kenalkan Komik Usia 9 Tahun
Dalam mendidik keenam putranya itu, Prof Suryani menekankan pesan moral yang terkandung dalam komik. “Setelah anak-anak membaca komik, saya beri mereka pemahaman agar mengerti.
Tidak dilepas begitu saja,” ujarnya. Tanpa sadar, akhirnya akan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Cara mendidik ini diperoleh dari orangtuanya.
“Sejak kecil saya biasa mendengarkan cerita Bapak. Berdasarkan pengalaman itulah patokan saya buat. Tidak perlu mendidik anak dengan memarahinya. Cukup dengan bercerita,” kata Ahli Kejiwaan FK Unud ini.
Anak-anak menyukai komik karena lebih banyak gambarnya. Komik menciptakan dunia khayal.
“Sebaiknya dikenalkan pada usia 9 tahun, ketika anak-anak telah mampu membaca. Pada usia ini logika sudah jalan. Jika belum bisa membaca, orangtualah yang bercerita,” jelas Suryani.
Sangat penting mengembangkan imajinasi pada anak. Efek membaca komik berbeda dengan menonton TV. Saat membaca komik, anak-anak membayangkan bagaimana cerita itu. Sangat baik untuk perkembangan kecerdasannya. Menjadi kreatif. Juga merangsang minat baca. Harus dilanjutkan dengan memberi buku-buku pengetahuan sehingga gemar membaca menjadi budaya. -ast
sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 551
Tidak ada komentar:
Posting Komentar