Pendidikan usia dini menjadi hal utama dan penting dalam pendidikan anak. Orangtua merupakan pendidik utama yang memegang peranan penting mengantarkan kesuksesan anak. Ironisnya, tak banyak orangtua yang memberikan pendidikan usia dini yang baik kepada putra-putrinya. Bahkan, ketika mereka besar dan tidak mampu menjadi anak seperti yang mereka inginkan, celaan tak urung mereka lakukan. Ini kesalahan fatal. Demikian ditegaskan praktisi pendidikan Gidion Hidarto.
Ayah Dominic Brian seorang anak Indonesia pemecah rekor dunia ini mengungkapkan pengalaman masa kecilnya.Ia mengaku akses untuk melakukan perlawanan dan penolakan terhadap kemauan keras orangtua tidak didapatkan. Ia berasal dari keluarga keturunan Tionghoa, bertempat tinggal di desa, yang dididik keras dan disiplin, harus menuruti semua kemauan orangtuanya. Gidion mengaku, tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan ayahnya.
Ketika tamat SMA, ia tidak diterima di ITS. Ia diharuskan kuliah ke Amerika Serikat. Ia tidak punya kekuasaan untuk menolak perintah orangtuanya sampai ia menyelesaikan pendidikan S-2 di sana. Setelah dewasa, ia menikah dan memiliki anak yang bernama Dominic Brian. Ia mencoba mengembangkan konsep baru dalam mendidik putra tunggalnya itu. Ia tidak ingin mengulang kesalahan orangtuanya, yang memaksakan kehendaknya kepada dirinya.
Tak tanggung-tanggung, sejak Brian dalam kandungan, ia sudah diajarkan menjadi anak yang berkarakter. “Saya tidak mau mengulang kesalahan orangtua. Saya diajari tidak bisa mengambil keputusan. Saya tumbuh dan besar tanpa menjadi diri saya sendiri,” tuturnya.
Setelah Gidion terjun sebagai pengajar tahun 2002 dan membuka kursus, ia mulai menyelami dunia anak-anak dengan baik. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, pikirnya.
“Saya biarkan Brian bereksperimen. Saya biarkan ia mencoret tembok, bahkan mencoret mobil. Menggambar daun dengan warna merah, atau warna apa saja terserah dia. Saya bebaskan dia menjadi dirinya sendiri. Saat dia bermain bola, dan jatuh di rumput, saya biarkan. Dia akan banyak belajar dari pengalamannya itu,” kata Gidion tentang kiatnya mendidik Brian.
Saat usianya satu tahun, Brian diajari kata-kata dengan menunjukkan dan membacakannya. Tiap malam istrinya, Debora, membacakan buku sebelum ia tidur. Ketika usia tiga tahun, Gidion terkaget-kaget, karena Brian sudah mampu membaca dan menunjukkan kepiawaiannya membaca di depannya. Sejak itu, Gidion rajin mengajak Brian ke Gramedia untuk membeli apa pun buku yang ia suka. Usia 5 tahun Brian sudah mahir membaca koran.
Gidion menuturkan, buku Brian semuanya dalam bahasa Inggris. Saat usianya tiga tahun, Brian sangat lancar berbahasa Inggris. Semua itu dipelajari Brian, karena tiap malam ia selalu mendengar ibunya membacakan cerita dalam bahasa Inggris untuknya. Brian tumbuh dalam dua bahasa tanpa stres.
Ada orangtua yang protes. Anak diajari matematika atau bahasa Inggris sejak kecil bisa stres. Gidion berpandangan, yang membuat anak menjadi stres karena cara pengajarannya yang salah. Kurang pendekatan orangtua dengan anak. “Kalau orangtua dekat dengan anak potensinya mudah dikenali. Kalau waktu kecil anak suka memotong sayur, suka masak, besarnya nanti mungkin bisa menjadi koki terkenal. Dengan pendekatan seperti itu, orangtua mampu mengenali potensi anak dengan baik,” paparnya.
Fungsi orangtua diibaratkan pemantik korek api. Potensi anak tidak terbendung. Orangtua sebagai sumber ispirasi dengan melakukan hal kecil. Seperti yang ia lakukan. Hanya dengan membacakan buku tiap malam, Brian mahir membaca tanpa harus diajari huruf demi huruf. Anak akan bisa membaca tanpa disadari.
Ia menyayangkan sikap orangtua yang sering menghardik anak dengan kalimat yang kurang mengenakkan. Melihat anaknya suka musik, langsung berkata, ’jika besar nanti kamu mau jadi tukang ngamen’.
Kalau itu diucapkan orang lain, mungkin anak tidak peduli. Namun, ketika kalimat itu dilontarkan bapaknya akan membuat mental anak menjadi drop.
Ia menilai, anak merupakan titipan Tuhan. Tuhan yang mengetahui, apa yang menjadi panggilan jiwa anak itu. Kalau orangtua memberi kebebasan mengekspresikan dirinya, ia akan menjadi anak yang berkarakter.
Gidion mengatakan, ia selalu menekankan kepada Brian, sahabat terbaik adalah orangtuanya.
Dengan dekat kepada anak, para orangtua akan tahu seberapa besar keinginan anak, seberapa besar ketakutan anak, dan mengerti kebutuhan anak. Tiap hari, ia selalu mengucapkan kalimat “I love you” untuk Brian.
’Home Schooling’
Ketika Brian kelas VI, ia mengambil suatu keputusan besar. Ia tidak ingin masuk ke sekolah normal. Brian ikut home schooling alias belajar di rumah. Hanya Gidion dan istrinya, Debora, yang mengajar Brian. Tidak ada guru yang dipanggil. Tidak ada rapor. Kelas bisa di kamar, supermarket, atau di bioskop.
Bagaimana kita melihat kehidupan, ada panggilan jiwa yang diajarkan. Rumah adalah tempat yang terbaik. Guru yang terbaik adalah para orangtua. Menurut Gidion ia memberi anaknya kebebasan dari awal. Pilihan pasti ada konsekuensinya. “Saya ajarkan Brian untuk mengambil keputusan sendiri. Saya belum pernah mengatakan ’kamu goblok’, atau ’kamu tidak bisa diatur’. Kadang Brian juga lupa, dan teledor. Tetapi, saya menganggap dia orang yang harus dihargai. Bukan diberi kata-kata kasar seperti itu,” ujar Gidion.
Ketika ia memutuskan untuk home schooling, Brian sudah memikirkan matang-matang. Walaupun Brian home schooling bukan berarti ia tidak bersosialisasi dengan teman-temannya. Brian biasa menjadi pembicara dalam seminar, ia suka berenang, main musik, temannya banyak di facebook, ia ikut komunitas di gereja. Banyak hal dilakukan Brian sama seperti anak lainnya.
Prestasi Brian memang membuat decak kagum banyak orang. Brian mendapatkan penghargaan Muri tahun 2002 dalam usia 5 tahun karena mampu mengingat 100 angka dalam waktu 12 menit. Tahun 2009, Brian kembali mendapatkan rekor Muri. Tak berselang lama, Brian memecahkan rekor dunia (guinness world record) mengingat angka terbanyak. Tahun 2010, kembali prestasi spektakuler diraihnya. Rekor dunia mengingat angka terbanyak 216 dalam waktu satu menit mengalahkan pemegang rekor dunia yang lama, Nischal Narayanan dari India yang hanya mampu mengingat 132 angka.
Gidion menolak jika dirinya dikatakan mengekpoitasi anak. Tiap anak punya potensi yang terpendam. Einstein yang autis hanya menggunakan kemampuan otaknya sekitar 8%, apalagi anak normal tentu potensinya lebih besar. Selama anak diajari menjadi pribadi yang bertanggung jawab, ia akan mampu tumbuh secara optimal.
Ia berpandangan, para orangtua tidak bisa mengatakan, anak tidak boleh main internet. Orangtua cukup memberi bekal kedewasaan dan kebijaksanaan kepada anak. Godaan tidak bisa dicegah. Namun, dengan bekal yang cukup dalam usia dini, itu akan menancap di otaknya dengan baik.
Apalagi, kata dia, itu dilakukan sejak bayi dalam kandungan. Pendidikan Brian sudah disiapkan dengan baik mulai dalam kandungan. Saat ia berusia satu bulan saya bahas karakter kejujuran. Bulan berikutnya saya bahas karakter baik lainnya. Saya rasa itu sangat berpengaruh dan bermanfaat bagi Brian.
Kuliah karena Pacar
Gidion mengaku tergelitik, saat mengikuti seminar Andy Noya pemandu Kick Andy di Metro TV di kampus Unud. Ketika ditanya, apa alasan para mahasiswa kuliah di sana, sebagian menjawab karena ajakan teman, bahkan karena pacar, dan mengikuti keinginan orangtua.
Kalau kita telusuri, kata Gidion, kesalahan memilih sekolah berasal dari kesalahan sebelumnya. Kesalahan waktu SMA, SMP, SD, TK bahkan sebelumnya. Anak tidak mampu menentukan pilihannya sendiri, sesuai dengan panggilan jiwa mereka. Ia menilai, pendidikan usia dini yang harus dibenahi agar harapan orangtua untuk mendapatkan anak yang berkarakter dapat tercapai.
Ia mengaku, terinspirasi dengan dua orang penyandang cacat Aceng dan Stephani yang ditampilkan dalam acara Kick Andy. Aceng tidak punya tangan, bisa SMS-an, bisa main gitar, menikah pula. Stephani cacat mental. IQ tidak sampai 90. Namun, ia mampu mewakili Indonesia dalam kejuaraan renang di Yunani. Ironisnya, angka bunuh diri di Indonesia tinggi, padahal seorang Aceng dan Stephani mampu menjadi motivator bagi banyak orang. Sementara, bagi orang yang terlahir normal, mereka tidak mampu menghadapi persoalan dalam hidupnya.
Ia berencana membuat buku tahun depan yang menuturkan bagaimana perjalanan Brian dalam meraih kesuksesan. Buku dengan judul “Panggilan Jiwa” ini rencananya akan dihiasi kata pembuka dari Presiden SBY dan Gubernur Bali. –ast.
Ayah Dominic Brian seorang anak Indonesia pemecah rekor dunia ini mengungkapkan pengalaman masa kecilnya.Ia mengaku akses untuk melakukan perlawanan dan penolakan terhadap kemauan keras orangtua tidak didapatkan. Ia berasal dari keluarga keturunan Tionghoa, bertempat tinggal di desa, yang dididik keras dan disiplin, harus menuruti semua kemauan orangtuanya. Gidion mengaku, tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan ayahnya.
Ketika tamat SMA, ia tidak diterima di ITS. Ia diharuskan kuliah ke Amerika Serikat. Ia tidak punya kekuasaan untuk menolak perintah orangtuanya sampai ia menyelesaikan pendidikan S-2 di sana. Setelah dewasa, ia menikah dan memiliki anak yang bernama Dominic Brian. Ia mencoba mengembangkan konsep baru dalam mendidik putra tunggalnya itu. Ia tidak ingin mengulang kesalahan orangtuanya, yang memaksakan kehendaknya kepada dirinya.
Tak tanggung-tanggung, sejak Brian dalam kandungan, ia sudah diajarkan menjadi anak yang berkarakter. “Saya tidak mau mengulang kesalahan orangtua. Saya diajari tidak bisa mengambil keputusan. Saya tumbuh dan besar tanpa menjadi diri saya sendiri,” tuturnya.
Setelah Gidion terjun sebagai pengajar tahun 2002 dan membuka kursus, ia mulai menyelami dunia anak-anak dengan baik. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, pikirnya.
“Saya biarkan Brian bereksperimen. Saya biarkan ia mencoret tembok, bahkan mencoret mobil. Menggambar daun dengan warna merah, atau warna apa saja terserah dia. Saya bebaskan dia menjadi dirinya sendiri. Saat dia bermain bola, dan jatuh di rumput, saya biarkan. Dia akan banyak belajar dari pengalamannya itu,” kata Gidion tentang kiatnya mendidik Brian.
Saat usianya satu tahun, Brian diajari kata-kata dengan menunjukkan dan membacakannya. Tiap malam istrinya, Debora, membacakan buku sebelum ia tidur. Ketika usia tiga tahun, Gidion terkaget-kaget, karena Brian sudah mampu membaca dan menunjukkan kepiawaiannya membaca di depannya. Sejak itu, Gidion rajin mengajak Brian ke Gramedia untuk membeli apa pun buku yang ia suka. Usia 5 tahun Brian sudah mahir membaca koran.
Gidion menuturkan, buku Brian semuanya dalam bahasa Inggris. Saat usianya tiga tahun, Brian sangat lancar berbahasa Inggris. Semua itu dipelajari Brian, karena tiap malam ia selalu mendengar ibunya membacakan cerita dalam bahasa Inggris untuknya. Brian tumbuh dalam dua bahasa tanpa stres.
Ada orangtua yang protes. Anak diajari matematika atau bahasa Inggris sejak kecil bisa stres. Gidion berpandangan, yang membuat anak menjadi stres karena cara pengajarannya yang salah. Kurang pendekatan orangtua dengan anak. “Kalau orangtua dekat dengan anak potensinya mudah dikenali. Kalau waktu kecil anak suka memotong sayur, suka masak, besarnya nanti mungkin bisa menjadi koki terkenal. Dengan pendekatan seperti itu, orangtua mampu mengenali potensi anak dengan baik,” paparnya.
Fungsi orangtua diibaratkan pemantik korek api. Potensi anak tidak terbendung. Orangtua sebagai sumber ispirasi dengan melakukan hal kecil. Seperti yang ia lakukan. Hanya dengan membacakan buku tiap malam, Brian mahir membaca tanpa harus diajari huruf demi huruf. Anak akan bisa membaca tanpa disadari.
Ia menyayangkan sikap orangtua yang sering menghardik anak dengan kalimat yang kurang mengenakkan. Melihat anaknya suka musik, langsung berkata, ’jika besar nanti kamu mau jadi tukang ngamen’.
Kalau itu diucapkan orang lain, mungkin anak tidak peduli. Namun, ketika kalimat itu dilontarkan bapaknya akan membuat mental anak menjadi drop.
Ia menilai, anak merupakan titipan Tuhan. Tuhan yang mengetahui, apa yang menjadi panggilan jiwa anak itu. Kalau orangtua memberi kebebasan mengekspresikan dirinya, ia akan menjadi anak yang berkarakter.
Gidion mengatakan, ia selalu menekankan kepada Brian, sahabat terbaik adalah orangtuanya.
Dengan dekat kepada anak, para orangtua akan tahu seberapa besar keinginan anak, seberapa besar ketakutan anak, dan mengerti kebutuhan anak. Tiap hari, ia selalu mengucapkan kalimat “I love you” untuk Brian.
’Home Schooling’
Ketika Brian kelas VI, ia mengambil suatu keputusan besar. Ia tidak ingin masuk ke sekolah normal. Brian ikut home schooling alias belajar di rumah. Hanya Gidion dan istrinya, Debora, yang mengajar Brian. Tidak ada guru yang dipanggil. Tidak ada rapor. Kelas bisa di kamar, supermarket, atau di bioskop.
Bagaimana kita melihat kehidupan, ada panggilan jiwa yang diajarkan. Rumah adalah tempat yang terbaik. Guru yang terbaik adalah para orangtua. Menurut Gidion ia memberi anaknya kebebasan dari awal. Pilihan pasti ada konsekuensinya. “Saya ajarkan Brian untuk mengambil keputusan sendiri. Saya belum pernah mengatakan ’kamu goblok’, atau ’kamu tidak bisa diatur’. Kadang Brian juga lupa, dan teledor. Tetapi, saya menganggap dia orang yang harus dihargai. Bukan diberi kata-kata kasar seperti itu,” ujar Gidion.
Ketika ia memutuskan untuk home schooling, Brian sudah memikirkan matang-matang. Walaupun Brian home schooling bukan berarti ia tidak bersosialisasi dengan teman-temannya. Brian biasa menjadi pembicara dalam seminar, ia suka berenang, main musik, temannya banyak di facebook, ia ikut komunitas di gereja. Banyak hal dilakukan Brian sama seperti anak lainnya.
Prestasi Brian memang membuat decak kagum banyak orang. Brian mendapatkan penghargaan Muri tahun 2002 dalam usia 5 tahun karena mampu mengingat 100 angka dalam waktu 12 menit. Tahun 2009, Brian kembali mendapatkan rekor Muri. Tak berselang lama, Brian memecahkan rekor dunia (guinness world record) mengingat angka terbanyak. Tahun 2010, kembali prestasi spektakuler diraihnya. Rekor dunia mengingat angka terbanyak 216 dalam waktu satu menit mengalahkan pemegang rekor dunia yang lama, Nischal Narayanan dari India yang hanya mampu mengingat 132 angka.
Gidion menolak jika dirinya dikatakan mengekpoitasi anak. Tiap anak punya potensi yang terpendam. Einstein yang autis hanya menggunakan kemampuan otaknya sekitar 8%, apalagi anak normal tentu potensinya lebih besar. Selama anak diajari menjadi pribadi yang bertanggung jawab, ia akan mampu tumbuh secara optimal.
Ia berpandangan, para orangtua tidak bisa mengatakan, anak tidak boleh main internet. Orangtua cukup memberi bekal kedewasaan dan kebijaksanaan kepada anak. Godaan tidak bisa dicegah. Namun, dengan bekal yang cukup dalam usia dini, itu akan menancap di otaknya dengan baik.
Apalagi, kata dia, itu dilakukan sejak bayi dalam kandungan. Pendidikan Brian sudah disiapkan dengan baik mulai dalam kandungan. Saat ia berusia satu bulan saya bahas karakter kejujuran. Bulan berikutnya saya bahas karakter baik lainnya. Saya rasa itu sangat berpengaruh dan bermanfaat bagi Brian.
Kuliah karena Pacar
Gidion mengaku tergelitik, saat mengikuti seminar Andy Noya pemandu Kick Andy di Metro TV di kampus Unud. Ketika ditanya, apa alasan para mahasiswa kuliah di sana, sebagian menjawab karena ajakan teman, bahkan karena pacar, dan mengikuti keinginan orangtua.
Kalau kita telusuri, kata Gidion, kesalahan memilih sekolah berasal dari kesalahan sebelumnya. Kesalahan waktu SMA, SMP, SD, TK bahkan sebelumnya. Anak tidak mampu menentukan pilihannya sendiri, sesuai dengan panggilan jiwa mereka. Ia menilai, pendidikan usia dini yang harus dibenahi agar harapan orangtua untuk mendapatkan anak yang berkarakter dapat tercapai.
Ia mengaku, terinspirasi dengan dua orang penyandang cacat Aceng dan Stephani yang ditampilkan dalam acara Kick Andy. Aceng tidak punya tangan, bisa SMS-an, bisa main gitar, menikah pula. Stephani cacat mental. IQ tidak sampai 90. Namun, ia mampu mewakili Indonesia dalam kejuaraan renang di Yunani. Ironisnya, angka bunuh diri di Indonesia tinggi, padahal seorang Aceng dan Stephani mampu menjadi motivator bagi banyak orang. Sementara, bagi orang yang terlahir normal, mereka tidak mampu menghadapi persoalan dalam hidupnya.
Ia berencana membuat buku tahun depan yang menuturkan bagaimana perjalanan Brian dalam meraih kesuksesan. Buku dengan judul “Panggilan Jiwa” ini rencananya akan dihiasi kata pembuka dari Presiden SBY dan Gubernur Bali. –ast.
Tokoh, Edisi 620, 28 Nov s.d 4 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar