Sebagian orang sering ingin tampil menjadi pembicara yang baik. Namun, tak banyak yang bisa dan mau mendengarkan orang lain. Saat seminar, diskusi, atau rapat, pembicara dan peserta lainnya sama-sama ramai. Padahal, dengan menjadi seorang pendengar yang baik, akan membuat kita lebih percaya diri dan mampu memahami diri sendiri dan orang lain. Miranda Suryadjaja mencoba berbagi tips.
Semua orang bisa mendengar. Namun, bagaimana cara mendengarkan yang baik? Ketika seseorang merasa dirinya didengarkan waktu bicara, ada suatu perasaan psikologis tentang sesuatu, adanya keterbukaan, dan orang tersebut merasa nyaman. Ini terlihat dari raut wajahnya yang tampak hidup dari pancaran matanya yang bersinar. Bicaranya juga menjadi lebih lancar. Ada perasaan happy terpancar dari bahasa tubuhnya.
Menurut pakar life coach dan jewelry designer yang meminati bidang motivasi dan pemberdayaan perempuan ini, banyak yang hanya tahu teori mendengarkan. Ketika orang yang bicara belum merasakan didengarkan, Anda belum sukses menjadi pendengar yang baik. Jadi, sebelum Anda ingin didengarkan, marilah belajar mendengarkan terlebih dahulu. Bisa dilatih tiap hari. Tak lama, hanya butuh waktu 3 menit. Tapi hasilnya akan membawa dampak yang luar biasa. Menurut Miranda, ada tiga elemen penting dalam mendengarkan yakni perhatian penuh, mampu mengulang kembali apa yang disampaikan bisa dengan kata-kata kita sendiri, dan memberi feedback. “Feedback tidak harus selalu baik dan membuat orang senang. Yang penting harus jujur dan sportif. Misalnya, “Saya merasa agak tersinggung dengan apa yang Anda sampaikan,” ujar Peraih gelar MBA dari National University, San Diego, AS ini. Menurutnya, sampaikan aja apa yang dirasakan sebagai pendengar sehingga komunikasi menjadi lebih lancar dan riil.
Ia menyebutkan, ada beberapa penyebab sehingga kita tidak mau mendengarkan orang lain. Suka memberi nasihat. Ketika orang baru mulai bicara, langsung sudah memberikan saran tanpa mau mendengarkan sampai tuntas. Penyebab lain, hanya mau mendengar yang menurutnya suka didengar (filter). Hal lain yang dia tidak suka, tidak diperdulikan. Faktor lain, dreaming. Wajahnya tampak serius, tapi pikirannya melayang entah kemana. Sebab lain, suka mengindentifikasi. Ketika orang lain sedang bicara, contoh “saya baru pulang dari Kalimantan,,,,,,, tiba-tiba langsung ikut ngomong oh ya, saya juga…….. bla bla bla. Mendebat juga salah satu penyebab. Begitu ada orang ngomong sesuatu, langsung didebat. “Menurut saya tidak seperti itu kok”. Ada juga karena orang tersebut sudah biasa latihan bicara sebelumnya. Atau ada juga karena keluar jalur. Artinya, tiba-tiba pembicaraan dialihkan seenaknya. Penyebab lain, jugdement, ada unsur menjelekkan atau gosip. Ini sangat bahaya karena dapat membentuk opini orang lain. Main reading, belum apa-apa sudah berkata, “jangan-jangan begini, atau………”
Menurut Konsultan Bisnis dan Pengajar Publik Speaking ini, kalau semua hal ini terjadi akan sangat sulit menjadi pendengar yang baik. “Waktu mendengarkan, pikiran kita kosong. Kita hanya membuka diri berkonsentrasi mendengarkan orang berbicara. Kita tidak perlu setuju atau tidak. Mendengarkan dengan baik terlihat dari pandangan mata yang fokus. Selain mata, mencondongkan badan, tersenyum, menggangguk, juga menunjukkan keseriusan kita mendengarkan. Mendengar seperti ini bukan percakapan. Kita tidak memberikan opini,” paparnya lebih jauh.
MenurutChairman Toastmasters Leadership Institute (TLI) ini, dengan melihat matanya, dan mendengarkan dengan telinga dan hati, mereka merasa didengarkan. Ini sangat membantu mengubah orang dengan cepat. Baik sekali diterapkan bagi para konselor dan juga dengan pasangan kita. Jangan sampai terjadi saat mengobrol dengan pasangan mata lebih tertuju ke televisi. That is hearing not listening.
Miranda mengatakan, yang sering jadi masalah, ketika kita bicara dengan orang yang status sosialnya lebih tinggi atau atasan kita. Padahal kuncinya, adalah mendengarkan. Dengan cara seperti ini, akan timbul rasa percaya diri, Lihat matanya, dan dengarkan. Dengan sering melatih diri seperti ini, kita tidak hanya bisa mendengar dengan telinga, tapi juga dengan mata, dan hati. Orang yang didengarkan juga merasakan hal yang sama. Jika kita bisa mendengarkan dengan suara hati, kita akan berhenti menilai diri kita kurang dan rasa percaya diri akan tumbuh.
Disamping itu, kata dia, dengan melatih mendengarkan, kita bisa melihat orang dengan lebih jujur. Apa yang dibicarakan bisa disesuaikan dengan bahasa tubuhnya, sehingga kita bisa lebih memahami. Kebiasaan kita, bagaimana cara kita melihat dan menilai sesuatu. Makin kita paham dengan diri kita sendiri, maka makin mudah kita melihat orang lain. Bukan kebalikannya.
Ia mengatakan, kita tidak perlu berkecil hati jika belum mampu mendengarkan dengan baik. Masa kanak-kanak menjadi hal yang sangat menentukan. Semua orang menyandang luka batin waktu kecil. Waktu masih kecil sering dilarang bicara. Kalau salah bicara takut dipukul. Akhirnya, terus merasa ketakutan berbicara. Rasa kemarahan, kesedihan, penyesalan terbawa sehingga kita mencoba mencari kesempatan untuk bicara tanpa mau mendengarkan orang lain. Terkadang, malah terjadi perang dengan hati sendiri. “Sudah pengen ngomong saja. Apalagi yang tidak sesuai dengan hati. Kebanyakan dari kita seperti ini,” kata perempuan yang pernah mengikuti pelatihan World Class Speaking Coach Certification – USA dan Toastmasters Leadership Institute ini. Kalau ada teman curhat, seringkali kita mencoba mencarikan solusi. Padahal, belum tentu saran yang mereka perlukan. Terkadang mereka hanya ingin didengarkan. Sering kita lupa, betapa berharganya merasa didengarkan. Ketika orang lain sedang curhat ke kita, jangan pernah memegang fisiknya seperti mengelus ketika dia sedang berbicara. Sikap itu sama saja artinya menyatakan, seolah-olah apa yang diceritakan itu sangat menyedihkan. Biarkan saja dia bicara selepasnya. Setelah selesai, tunggu reaksinya, apakah dia meminta saran atau tidak.
Salah seorang aktivis berkata, ketika mendengar orang curhat saya selalu ingin menasihati karena merasa lebih tua. Padahal, saya sadar, saya tidak mendapatkan apa-apa dari itu. Tapi saya merasa ada suatu kepuasan. Hal ini, kata Miranda, juga merupakan satu bentuk penyakit yang harus dihilangkan. Kita merasa lebih tua dan merasa lebih tahu sehingga ingin sekali menasihatinya. Padahal, dengan mendengarkannya, kita juga dapat memperkaya diri kita. Memahami apa yang dibicarakan menjadi satu tambahan ilmu bagi diri sendiri. Orang harus berkembang. Mulai dari kepompong hingga menjadi kupu-kupu. Dia harus berproses sendiri melalui tahapan hidupnya yang akan membuatnya berkembang menjadi pribadi yang lebih baik dan maju
Mendengarkan cerita menyenangkan atau menyedihkan efeknya sama saja. Komunikasi yang baik dimana tidak ada pengkondisian, tapi timbul dengan apa adanya. Kita tidak harus selalu membentengi diri dan menunjukkan yang terbaik dari diri kita.
Ada anggapan, kita perlu waktu lama untuk mengenal orang lain. Sebenarnya tidak. Ketika kita coba menjadi pendengar yang baik dengan tatapan mata yang menunjukkan respon bersahabat, kita bisa mengenal orang lain lebih dekat. Karena kita mencoba membuka diri dan orang itu merasa bebas dan lega untuk bicara.
Aktivis lainnya menanyakan, bagaimana jika kita bicara dengan lawan jenis? Jangan-jangan kalau saya menatap matanya, saya dikira suka ama dia. Menurut Miranda, ketika pikiran ini sudah muncul, teknik mendengarkan menjadi terhambat. Artinya, kita sudah tidak mendengar yang baik. Salah seorang bertanya biasanya malu memandang mata yang diajak bicara. Lebih suka memandang bibirnya. Solusinya, ubah kebiasaan. Mulai belajar tatap matanya. Bukan harus melotot untuk menunjukkan keseriusan mendengar. Menurutnya, belajar mendengarkan ini, merupakan salah satu bentuk bagaimana para perempuan juga mampu mengubah dunia. –ast
Koran Tokoh, Edisi 657, 21-27 Agustus 2011
1 komentar:
very nice post...menjadi pendengar kadang lebih baik menjadi pembicara, bisa belajar ilmu lebih banyak
Posting Komentar