Perempuan Bali kini tidak perlu lagi merasa terpinggirkan. Pesamuhan Agung III MUDP Bali telah memutuskan perempuan Bali juga berhak atas warisan. Keputusan MUDP Bali ini dibahas dalam seminar “Perempuan Bali dalam Perspektif Hukum Adat Waris”, yang digelar Ikatan Alumni Universitas Udayana (Ikayana), Jumat (5/8) di Ruang Theater Lantai IV FK Unud.
Ketua Sabha Walaka Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat Drs. Ketut Wiana, M.Ag. menyatakan, sesungguhnya ajaran Hindu sangat ideal yakni sradha dan bakti. Sradha, bagaimana kita percaya dan yakin kepada Tuhan, dan bakti berfungsi menjadi kekuatan spiritual dalam mengendalikan aspek diri untuk memberikan kecerdasan agar kepekaan emosional terkendali. Memang kata Wiana, mengucapkan kebaikan sangat gampang namun, melaksanakannya sulit. Perlu sosialisasi berkali-kali. Menurutnya, terpinggirnya wanita Hindu di Bali dan India, bukan karena keinginan laki-laki. Zaman weda kedudukan perempuan dan laki-laki setara, banyak tokoh perempuan ahli dalam weda. Sejak zaman perang kerajaan, segala kekayaan disita termasuk para perempuan. Hal ini mengakibatkan proteksi yang berlebihan terhadap perempuan. Kondisi perempuan menjadi mundur. Untuk mengembalikan kedudukan perempuan ini memerlukan waktu. Dalam ajaran Hindu tidak dikenal istilah perempuan berasal dari tulasng rusuk laki-laki. Semua kedudukannya sama. Selalu ada kesetaraan.
Sebenarnya, dalam hukum adat Bali sudah diatur, perempuan mendapat hak waris ¼ dari saudaranya yang laki-laki. Kalau saudara laki-lakinya menolak, dia akan dikenakan hukuman dijatuhkan martabatnya sebagai laki-laki. Dalam hukum adat Bali juga telah disebutkan, perempuan mendapat harta jiwa dana.
Wanita sering disebut dewi yang artinya sinar atau alat ukur rumahtangga. Istri disebut permaisuri (prama iswari) yang artinya pemimpin utama di rumahtangga. Namun, sangat disayangkan, kata Wiana, istri sering dianggap sebagai subordinat suami. Sering terdengar olokan ,”ngelah nyama terkenal tapi ketangkep kurenan.” Paradigma ini harus diubah. Orang yang ingin hidupnya sejahtera seharusnya selau menghormati wanita. Untuk itu, adat istiadat yang tidak berdasarkan kitab suci akan dapat menghancurkan masyarakat.
Dr. Dra Ni Made Wiasti, M.Si mengatakan, dalam konsep Hindu, laki-laki dan perempuan selalu hidup berpasangan. Pertiwi (ibu) akasa (bapak), melahirkan manusia, konsep purusa pradana, ardha naraswari tuhan maha tunggal. filosofi agama Hindu sudah menyatakan, perempuan dan laki-laki sudah memunyai kedudukan setara. Ironisnya, pelaksanaan realitas tidak sama. Sesungguhnya ketidakadilan gender sudah menjadi isu international. Untuk mempercepat kesetaraan gender pemerintah membuat program pengarusutamaan gender. Selama ini, kata dia, program pembangunan sebelum pencetusan pengarusutamaan gender sangat mengabaikan kepentingan perempuan. Berbagai piranti yuridis dan analisis dilakukan untuk mencapai kesetraan gender. Nilai –nilai budaya Bali khususnya budaya patriaki yang akhirnya melahirkan ideologi gender. Bicara gender bicara laki-laki dan perempuan. Namun, banyak yang mengartikan gender hanyalah perempuan. Ketika membicarakan perempuan yang hadir hanya perempuan. Padahal ini masalah hubungan perempuan dan laki-laki.
Zaman peradaban terjadi perbedaan kekayaan laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang memiliki kekayaan karena mereka bertugas mencari makan. Pada saat itu salah satu jenis kelamin diunggulkan. Kaum feminis menaruh perhatian besar terhadap perempuan. Secara terus menerus melakukan perjuangan. Gerakan perempuan sudah dilakukan mulai sebelum zaman kemerdekaan. Di Bali, perjuangan kaum wanita sebelum kemerdekaan, dimulai Putri Bali Sadar yang memperjuangkan masalah, pendidian dan nilai kesusilaan. Perjuangan kesetaraan gender, tidak hanya dilakukan lembaga negara, organisasi bisnis dan nonbisnis, departemen dan komunitas. Tahun 1978 dibentuk Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Tahun 1983 ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan program Panca Dharma Wanita yang mendukung peran ganda wanita. Muncul organisasi PKK, Iwapi, Pusat Studi Wanita yang berdiri di bawah perguruan tinggi, LSM, organisasi berbasis agama seperti WHDI.
Menurut Prof. Dr. I Wayan Windia, SH. MSi, bicara perempuan Bali, selalu terpinggirkan dan lascarya. Terpinggirkan karena tidak mendapatkan hak waris. Namun, istilah lascarya sering terlupakan. Kawin keluar, kawin mekutang, nyerod, gelahang pisaga istilah-istilah yang sangat melemahkan posisi perempuan ini tidak pernah dipermasalahkan. Seorang istri yang setia terhadap suaminya, berani melakukan satya yakni mencebur diri ke api ketika suaminya meninggal. Tidak ada laki-laki yang berani dan mau melakukan itu.
Hukum adat Bali mengenal beberapa aturan tentang pewarisan sejak tahun 1900 sampai sekarang. Paswara 13 Oktober 1900, awig-awig tertulis Desa Pakraman, dan Keputusan Pesamuhan Agung MUDP Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010.
Hukum adat Bali tidak mengenal konsep pembagian warisan, yang ada pelestarian dan penerusan. Warisan dijadikan harta pusaka. Kenyataan tidak seperti itu. Waris dibagi dan wanita tidak mendapat waris. Hanya keturunan yang berstatus purusa yang memiliki hak waris, sementara yang berstatus pradana tidak mendapatkan hak kecuali yang bersangkutan sentana rajeg ( berstatus purusa). Tapi walaupun berstatus purusa, kalau yang bersangkutan meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kadaton) hak warisnya menjadi gugur.
Untuk menghindari kerancuan, Pesamuhan Agung III MUDP Bali menegaskan ada dua ninggal kedaton yakni ninggal kedaton terbatas, dalam batas tertentu masih memungkinkan melaksanakan kewajibannya sebagai umat Hindu seperti, perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa, laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana, telah diangkat anak oleh keluarga lain sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat Bali, menyerahkan diri kepada keluarga lain atas kemauan sendiri. Mereka ini dimungkinkan mendapatkan mendapat harta warisan didasarkan atas asas ategen asuwun (dua berbanding satu) dengan suadaranya yang berstatus purusa. Sedangkan ninggal kedaton penuh yakni sama sekali tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban sebagai umat Hindu. Mereka ini tidak berhak sama sekali atas harta warisan, tapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris.
Suami dan istri serta suadara laki-laki suami dan istrinya, memunyai kedudukan sama dalam usaha menjamin harta pusaka dapat diteruskan kepada anak cucunya. Suami dan istri memunyai kedudukan sama terhadap harta gunakaya, anak kandung dan anak angkat (laki-laki atau perempuan) yang belum kawin berhak atas harta gunakaya orangtuanya sesudah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah yang dikuasai oleh anak yang melanjutkan tanggung jawab orangtuanya. Anak yang berstatus kapurusa berhak atas satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal kadaton terbatas berhak atas setengah dari harta warisan yang diterima anak berstatus kapurusa. Anak yang ninggal kadaton penuh tidak berhak atas harta warisan, tapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orangtuanya dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris.
Jika terjadi perceraian, Pesamuhan Agung III MUDP Bali memutuskan, pihak yang berstatus pradana kembali ke rumah asalnya status mulih daha atau mulih truna, kembali melaksanakan kewajibannya. Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya dengan pirnsip bagi rata. Setelah bercerai anak dapat diasuh ibunya tanpa memutuskan hubungan hukum anak tersebut dengan keluarga purusa karena anak mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
Menurut Hakim Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H. hukum harus mampu mengantisipasi dinamika yang begitu cepat dan tampil mengubah kontruksi sosial serta menangkap kosmologi masyarakat dan berusaha menggali nilai –nilai hukum yang hidup di masyarakat. Ia menilai, keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali sudah mencerminkan kesetaraan hak-hak yang sama tanpa membedakan status purusa dan pradana. “Jangan sampai keputusan sebagai peti kemas. Keputusan dissosialisasikan secara terencana sehingga nantinya menjadi kebiasaan yang diikuti dan dipatuhi sebagai bagian dari sistem hukum kekeluargaan,’ ujar Hakim Tinggi Makasar ini.
Ia menambahkan, lembaga adat makin menunjukkan eksistensi sejuah mana peran dan fungsinya dalam berbagai keputusannya memberi perhatian terhadap perempuan Bali dalam perpektif hukum adat waris. Menurutnya, ada adat yang harus dipertahankan, ada adat yang harus diperbaharui, dan ada adat yang harus ditinggalkan.Masih kurangnya pemahaman para hakim terhadap pentingnya hukum adapt akan sangat berpengaruh pada kualitas keputusan yang diambil. Ia mengajak untuk menghidupkan kembali lembaga perdamaian desa yang dulunya pernah ada. “Ini dapat menjadi pertimbangan di pengadilan, apa lagi hasilnya ditunjukkan pada kesepakatan,’ kata Madeg.
Wenten Ariawan Pengajar dari Politeknik Negeri Bali mengusulkan, agar di Bali ada pengadilan agama Hindu. Ia mengatakan, sudah mengusulkan hal ini dalam berbagai kesempatan simakrama dengan Gubernur Bali tapi belum terwujud. Menurutnya, hakim sebagai penegak hukum wajib menggali dan memahami hukum yang hidup di masyarakat. “Saya yakin, masih banyak hakim yang tidak memahami hukum adat Bali. Dalam memutuskan perkara, hakim tidak saja dari hakim karier, tapi perlu pertimbangan dari pihak pemerhati hukum adat Bali,” ujarnya.
Menurut Wayan Windia, membuat lembaga peradilan agama adalah masalah politik. Ukurannya tengkorak bukan otak. Itu sebabnya pada pemilu, intelektual tidak laku. Tapi tidak tertutup kemungkinan hal itu bisa terwujud. “Kita bisa berjuang lewat oganisasi seperti Majelis Desa Pakraman,” ujarnya.
Wenten juga mempertanyakan, dalam perkawinan pada gelahang, apakah ngayah-nya tidak berat karena negen dua? Menurut Windia, perkawinan Pada Gelahang sudah diteliti. Dari 28 kasus yang sudah melewatinya hanya satu yang pasang yang sampai menimbulkan masalah di masuk pengadilan. Urusan ngayah-nya memang berat. Namun, bentuk perkawinan ini sebagai solusi karena kedua belah pihak tidak memungkinkan melakukan perkawinan biasa.
Menurut Wiana, di pengadilan sering terjadi jual beli pasal. Hal itu tidak bisa dibuktikan. Sepeti kentut, baunya sudah menyengat tidak bisa dibuktikan. Dengan memahami hukum adat Bali dengan baik diharapkan hakim dapat memutuskan dengan hati nurani. Menurut Wiana, dalam perkawinan pada gelahang, mereka tidak akan kehilangan haknya. Ia berharap, desa pakraman jangan terlalu banyak mengintervensi kula cara, jika sudah terjadi kesepakatan antara keluarga. “Lanjutkanlah yang baik dan tolak yang tidak sesuai. Jangan sampai di Bali semuanya sulit, termasuk mati pun sulit,’ tandas Wiana Putu Astawa dari PHDI Kota Denpasar menyatakan, sudah ada payung tersendiri baik tertulis maupun tidak tertulis. Manusianya yang salah dalam penerapannya. Terjadi penyimpangan karena orang Bali tidak disiplin.
Sugiantari, mahasiswi IHDN Denpasar mempertanyakan, poligami dilakukan laki-laki, belum ada`poliandri. Kesetaraan belum terjadi.
Menurut Wiasti, kesetaraan dalam tatanan ideal sudah tercapai. Namun, dalam realitas masih banyak kepentingan. Banyak bukti perempuan mengalami kekerasan ketika berada di ranah gender. Ketika bertukar ranah, perempuan membayar lebih. Di Bali belum mengalami kesetaraan gender. Poligami tidak dibenarkan dalam agama. Sebisa mungkin tidak dilakukan, kecuali ada hal yang bersifat darurat. “Ketika manusia mampu berbuat adil seperti Betara Siwa, silakan saja, tapi kalau tidak bisa, sebaiknya dihindarkan,” katanya.
Luh Teri dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( BP3A) Prov. Bali mengatakan, apakah bisa jual beli waris dari orangtua ke anak. Menurut Windia, mungkin bisa saja dilakukan. Namun, terdengar tidak baik. sebaiknya dihibahkan saja.
Ketua Majelis Utama Desa Pakraman Jero Mangku Suena menilai, banyak aparat desa dan penegak hukum yang tidak paham dan sering melalaikan hukum adat. Mereka terkadang cenderung hanya menggunakan hukum nasional. Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP sudah disosialisasikan ke masing-masing desa pakraman. Sampai saat ini, kata dia, sosialisasi sudah berjalan ke enam kabupaten/kota. Yang belum hanya Kab. Karangasem, Bangli, dan Badung.
Menurutnya, selama sosialisasi tidak ada hambatan di lapangan. Hanya masalah waktu. “Mengumpulkan Bendesa Adat harus mencari waktu yang tepat. Disamping itu, tenaga Prajuru Majelis banyak yang bekerja sebagai dosen. Sedangkan pekerjaan di majelis bersifat ngayah. Kami sudah menandatangani kesepakatan dengan Ikayana untuk menyosialisasikan keputusan ini bersama-sama agar bisa lebih efektif,” paparnya.
Ketua Ikayana Pusat Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD menambahkan, hasil seminar ini akan dibukukan sehingga dapat dijadikan acuan bagi desa pakraman. Ke depannya, diharapkan dapat menjadi bagian dari hukum adat Bali. -ast
Koran Tokoh, Edisi 655, 31-6 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar