MAHABARATA adalah sebuah cerita yang tak lekang oleh zaman. Karya agung yang mengisahkan tragedi keluarga yang berujung pada satu perang besar di padang Kurusetra, menghadapkan dua kubu: Pandawa dan Kurawa. Dua keluarga ini menjadi sentral cerita dengan kisah yang begitu kompleks. Mulai lahir sampai meninggalnya Pandawa dan juga Kurawa. Babakan cerita yang dalam komik wayang terbagi dalam Mahabharata, Barata Yuda, Pandawa Seda, ini memuat beragam karakter tokoh yang mewakili karakter manusia di dunia. Tidak mengherankan bila orang menyebut cerita ini menjadi semacam cermin kehidupan manusia. Mulai karya RA Kosasih sampai Teguh Santosa kisah Mahabharata yang sudah menjadi bagian budaya negeri ini, menjadi lebih dekat lagi dengan masyarakat.
Namun, jayanya komik wayang, tak berlangsung lama. Mulai 1980 hingga sekarang komik wayang mengalami masa suram. “Komik-komik terjemahan mendominasi pasar. Mulai dari komik Eropa, seperti Asterix & Obelix, hingga kemunculan komik-komik Jepang (Manga) tahun 1990-an,” ujar Trias Agung Pakerti, salah satu pencinta komik. Masuknya komik-komik ini diperkuat dengan keberadaan toko-toko buku besar seperti Gramedia. Apalagi salah satu penerbit komik, Elex Media Komputindo juga menerbitkan komik manga. Komik manga menjadi satu ikon budaya sendiri. Perkembangan komik wayang pun lesu di beberapa toko buku. “Komik wayang bagaimana riwayatmu kini,” ujar Trias.
Persediaan komik wayang mulai menipis di toko buku. Contohnya, Toko Buku Garuda Wisnu. Di rak khusus komik, komik wayang hanya tersedia beberapa judul. Itu pun tanpa seri lengkap. Menurut Ketut Putra, staf buku, kebanyakan pengunjung yang datang mencari buku pelajaran bukan buku komik. Kalaupun ada, mereka mencari buku komik Jepang seperti Sinchan. Menurut lelaki yang sudah bekerja selama 18 tahun ini, dulu komik wayang sangat digemari. Banyak konsumen yang datang mencarinya. “Kalau dulu modelnya beda, bukunya panjang. Sekarang bentuknya lebih kecil,” ujar Ketut. Konsumen pun, kata Ketut, beragam ada anak-anak, remaja, maupun orang tua. Beda dengan sekarang, walaupun ada yang tertarik membeli itu pun hanya para orang tua yang mencari referensi atau pun untuk arsip perpustakaan. “Sebulan bisa laku satu atau dua. Beda dengan komik manga. Sebulan bisa laku 10 atau lebih,” kata Ketut. Kadang, kata Ketut, pembeli harus menunggu lama. Buku yang dicari, belum tentu ada karena persediaan terbatas. “Kiriman akan datang, jika pesanan banyak. Kalau hanya pesan satu, mungkin agak lama,” jelasnya.
Mahabrata karya RA Kosasih yang dicetak ulang kini dengan hard cover. Penampilannya yang lebih mewah tetap saja tidak menggugah selera pengunjung. Harganya masih dapat dijangkau Rp. 95.000 perbuku. Namun, tetap saja sepi peminat. Sekarang ini, menurut Ketut, cergam karya pengarang Bali seperti Made Taro sangat digemari masyarakat Bali. Permintaan banyak karena sering digunakan untuk bacaan di sekolah. Sama halnya dengan Toko Buku Gramedia Denpasar. Penjualan komik manga sangat melonjak drastis terutama terbitan Elex Media Komputindo. Bahkan sebelum buku akan diluncurkan pesanan sudah banyak. Contohnya saja, Naruto bisa laku seribu dalam sebulan. Belum lagi Detektif Conan dan komik manga yang lainnya. Sangat berbeda dengan komik wayang. “Kadang laku tiga buku dalam sebulan. Walaupun ada, seri tidak lengkap. Kalau stok habis pemesanan bisa lama, sampai berbulan-bulan,” ujar Made Suardana, Supervisor Penjualan Gramedia Denpasar.
Selain sepi peminat, kata Suardana, komik wayang kendalanya dalam distribusi dan penerbit. “Sekarang ini tergantung kebutuhan pasar. Kami tidak berani terlalu banyak stok. Kalau belum laku, belum pesan. Hanya 25% judul komik wayang yang tersedia,” ujar Made. Namun, dibalik melesunya peminat komik wayang, tahun 2008, salah satu pembeli datang ke toko buku Gramedia memborong semua komik wayang karya RA Kosasih. Sampai stok habis. Dia mengatakan akan membawanya ke Belanda. “Tapi pembeli seperti ini jarang ada. Dia seorang budayawan,” papar Suardana.
Menurut Trias, di tengah lesunya komik Indonesia terutama komik wayang, komik Indonesia sebenarnya diam-diam tetap menggeliat, yakni komik indi. “Mereka membuat sendiri dan memasarkannya di kalangan sendiri karena kendala di penerbitan,” ujar perempuan yang menyukai komik sejak mampu membaca usia 4 tahun ini. Trias tak banyak mengoleksi komik. Koleksinya hanya berkisar ratusan. Namun, ia mengaku sangat tertarik komik. Karena menurutnya, komik tidak merusak, tapi bermanfaat dan dapat membantu dalam pendidikan. Selain melatih minat membaca pada anak, juga belajar apresiasi keindahan gambar.
Ia memberikan contoh, komik buatan Jepang Quod Erat Demonstrandum (QED) karya Motohiro Katou. Kisah ini menceritakan pertemanan seorang laki-laki siswa SMA yang super jenius dengan perempuan yang otaknya pas-pasan tapi memiliki fisik kuat. “Dalam komik ini disajikan banyak pemecahan masalah. Dua sahabat ini dalam menghadapi masalah menggunakan logika dengan beberapa rumus seperti matematika,” kata Trias. Selama ini, kata Trias, pelajaran matematika dan biologi menjadi momok bagi siswa. Seandainya model pembelajarannya seperti komik, mungkin siswa akan menyukainya.
Ia menilai cerita bergambar (cergam) Indonesia ilustrasinya bagus dan serius, namun sayang isinya kurang. “Isinya tidak sesuai dengan ilustrasi gambarnya,” ujar Trias. Ia menyayangkan mengapa yang dibidik hanya anak TK dan siswa? Padahal, ia menilai, semua usia sangat menyukai bahasa gambar. Dalam buku pelajaran sangat sedikit ada ilustrasinya. Kadang hal ini membuat siswa menjadi malas belajar.
Komik Digital
Dengan berkembangnya teknologi, komik pun masuk era digital. Para pencinta komik yang bergabung dalam komunitas komik saling berbagi informasi komik. Salah satunya lewat internet. Sampai saat ini, Trias memiliki 100 koleksi komik digital. Bahkan komik wayang Ramayana karya komikus India yang tinggal di AS juga ada. Uniknya, komik ini digambarkan pada era masa depan tahun 3392. Detil kerajaan dan busana yang digunakan khas India yang dipadukan dengan era masa depan. Tokoh Rama yang bisa terbang layaknya superman. Komik ini menggunakan bahasa Inggris.
Menurut Trias, lebih enak membaca komik yang sudah berupa buku dibanding membaca digital. “Mata cepat lelah di komputer,” ungkapnya. Mendapatkan komik lewat internet, gampang-gampang susah. “Kita memang hanya membutuhkan waktu khusus untuk mengunduh (download),” jelas Trias. Namun, kata dia, kadang kita tidak mendapatkan seperti yang diharapkan. Trias memiliki satu pengalaman yang membuatnya kesal. Satu komik digital minimal kapasitasnya 5 MB. Pernah ia mengunduh komik digital dengan kapasitas 70 MB. Trias sudah menyiapkan waktu seharian untuk mengunduhnya. “Ketika selesai, data tidak bisa dibuka. Karuan saja saya kesal dibuatnya,” ujar perempuan yang bergerak dalam usaha weeding organizer ini sambil tertawa lebar.
Komikus Indonesia Kurang Inovasi
Ia menilai bukan hal mudah para komikus menghasilkan karya yang berpotensi menjadi karya besar. Para komikus umumnya bekerja sendiri karena komiknya dikerjakan di luar rutinitasnya sebagai pekerja. Namun, kata Trias, komikus Indonesia seperti R A. Kosasih atau Teguh Santosa dapat disejajarkan dengan komikus luar. Namun, sekarang ini, ia menilai, komikus Indonesia kurang inovasi. “Mereka kurang berani membuat karakter sendiri. Walaupun ada karakter baru dasarnya kurang kuat,” ujarnya. Malah, kata Trias, komik klasik secara geografis kurang cocok, referensinya kurang. “Penciptanya hanya menduga-duga saja, mereka malas mencari referensi,” tambah perempuan asal Malang ini. Hal ini, kata Trias, sangat berbeda dengan karya komikus dari luar seperti Jepang. Mereka sangat inovatif, kaya ide, dan apresiatif. Karakternya kuat dan gambarnya enak dipandang. –ast
Tidak ada komentar:
Posting Komentar