BAMBU jualah yang mengembalikan perupa Nyoman Sujana Kenyem ke pangkuan almamater. Hal itu terjadi beberapa waktu lalu saat musim tugas akhir ujian sarjana di ISI Denpasar. Kenyem memboyong instalasi bambu ke atas panggung Natya Mandala di kampus seni itu. Kenyem memang tidak sedang mengikuti ujian, karena dia telah lulus STSI Denpasar (sebelum menjadi ISI) pada 1998 silam. Kenyem memberi dukungan kepada temannya yang kebetulan berasal dari desanya. ”Saya mendukung kawan, I Kadek Sudiasa, kebetulan kita sama-sama terinspirasi bambu dalam berkarya,” kata Kenyem di studionya di Banjar Kutuh, Sayan, Ubud.
Sudiasa membawakan karya kerawitan berjudul Bhakti Pring yang menggambarkan betapa penting peran bambu di tengah kehidupan manusia. Pohon bambu dari akar hingga ujung dapat dimanfaatkan untuk berbagai ritus dan aktivitas serta mampu hadir dalam konteks ruang dan waktu yang memaknai berbagai sendi kehidupan.
Karena kecocokan visi dalam memandang alam, terutama bambu, sebagai sumber inspirasi, Kenyem bersedia menjadi penata instalasi. Sajian nomor garapan Sudiasa di atas panggung malam itu terasa mengalun lembut, kemudian meninggi dan beberapa saat kemudian menghentak rancak. Suasana panggung terasa hidup dengan kehadiran instalasi bambu Kenyem, dilengkapi daun-daun bambu kering yang berserak memenuhi lantai.
Selain Kenyem, ikut mendukung karya seni kerawitan ini Sanggar Tabuh Manik Sekecap, Banjar Kutuh, Sayan, Ubud, Gianyar. Kegotongroyongan warga banjar yang mendukung para seniman merupakan gambaran terjaganya iklim kesenian di desa itu. Apalagi, rumpun-rumpun bambu yang tetap dirawat ikut menjaga kelangsungan kebutuhan warga setempat. ”Penampilan ini juga untuk merayakan kesadaran warga desa yang ingin lingkungannya tetap terjaga, lestari, dan memberi energi kehidupan,” kata Kenyem.
Bambu memang menjadi bagian penting dari akivitas manusia hingga memasuki abad modern seperti sekarang. Konon bambu merupakan tanaman purba yang telah ada di bumi sejak 200.000 sebelum Masehi. Salah satu kegunaan bambu sebagai materi kerawitan tertulis dalam lontar Bharata Yuha yakni pring bumbang muni kanginan mangun luwung yang artinya bambu yang berlubang-lubang dapat berbunyi dengan indah karena ditiup angin. Sejak satu dasa warsa ini, Kenyem terus berkarya dengan eksperimen bambu yang diantara karyanya dipamerkan dalam pameran tunggal Heading for the Heart’s Way, di Gaya Fusion of Senses, Ubud (2006). Karya yang dipamerkan ketika itu berbeda dengan pameran tunggal pertama Kenyem, sepuluh tahun sebelumnya di Galeri Nakita Stockholm, Swedia (1996).
Indonesia termasuk banyak memiliki jenis bambu, yakni sekitar 39 bambu dari delapan marga. Sedangkan di dunia terdapat 1.250 jenis bambu yang berasal dari 75 marga. Untuk lebih menyelami soal bambu, dalam perjalanannya ke Malaysia, Thailand, dan terakhir China, Kenyem pun melakukan pengamatan lebih mendalam. Dari berbagai kawasan di negeri tirai bambu itu,. Kenyem melahirkan karya-karya mutakhir seperti digambarkan kritikus seni rupa Eddy Soetriyono: jutaan bambu berpusar melingkar. Mereka bergerak searah, atau berkelok menciptakan gelombang dan irama dinamis, bergesek-gesekan. Bisa Anda dengarkan: bagaimana bahana deritnya menciptakan simfoni semesta.
Seri bambu ini terus dikembangkan Kenyem. Dalam pengembaraanya ke negeri Cina, Kenyem ternyata juga menimba kearifan filosofi para seniman agung China. Maka Kenyem pun menggarap “serial lukisan empat musim” (cuen shia chiu tung) yang diberinya judul Lewati Empat Musim. Dalam karya ini, jelas Soetriyono, Kenyem melukiskan bahwa bambu sebagai bagian dari han tung san yu (tiga serangkai tumbuhan yang tetap hidup meski di musim salju: bambu, cemara, dan bunga meihoa) adalah salah satu teman manusia dalam mengarungi kehidupan dengan berbagai tantangannya. Soetriyono pun mempertanyakan bagaimana kiranya wajah kebudayaan dunia, baik itu dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan seni (seni arsitektur, seni rupa, seni musik, bahkan seni kuliner) tanpa kehadiran bambu? Jawabnya adalah seperti renungan dalam benak kita tentang hidup dan kehidupan. -ast
sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 543
Tidak ada komentar:
Posting Komentar