SITGMA di masyarakat “orang cacat tidak berguna” tidak membuat I Ketut Sudarmada putus asa. Dengan rasa jengah ia mencoba membuat kaki palsu sendiri dengan bahan seadanya. Alhasil, ia mampu menciptakan kaki palsu yang nyaman yang dapat menopangnya berjalan. Bahkan, kini kaki palsu buatannya sudah banyak digunakan orang cacat di berbagai wilayah Indonesia. “Saya bukan penjual kaki. Saya membantu orang yang tidak bisa berjalan menjadi bisa berjalan dengan bantuan kaki palsu,” tutur lelaki asal Desa Sanda, Kec. Pupuan, Kab. Tabanan ini, saat ditemui di rumahnya.
Saat tiba, wartawati Koran Tokoh melihat beberapa orang cacat di rumahnya. Selain membuatkan kaki palsu, Ketut juga menawarkan pasiennya menginap di sana. Selain untuk memudahkannya, ia juga mengajarkan pasien belajar berjalan menggunakan kaki palsu. Banyak hal yang diajarkan Ketut kepada pasiennya. Motivasi untuk terus berjuang, dan kedisiplinan untuk maju, selalu ditegaskan lelaki berperawakan gempal ini.
Ketut lebih suka menyebut pasien dibanding konsumen, karena usahanya ini tidak murni bisnis. Ketut lebih banyak mengemban misi kemanusiaan. Beberapa pasein yang berasal dari keluarga miskin diberikan keringanan biaya bahkan tidak membayar. Ketut pun memperlakukan pasien yang tinggal di rumahnya seperti layaknya keluarga sendiri.
Kaki Diamputasi
Ketut, begitu ia disapa, mengalami musibah kecelakaan di daerah Abian Tuwung, Tabanan, saat hendak pulang ke kampungnya. Waktu itu Ketut masih berstatus mahasiswa semester V Fak. Hukum Unud. Kecelakaan itu mengakibatkan tulang kakinya patah menjadi 4, dan harus diamputasi. Kejadian tragis tersebut, membuat Ketut syok. “Cukup lama saya mengalami kekalutan dalam diri akan masa depan yang suram,” tuturnya mengenang kembali peristiwa tragis itu. Sesaat, Ketut terdiam. Tampaknya, banyak kesedihan mewarnai perjalanan hidupnya yang tak mampu ia ceritakan.
Ketut langsung berkata, tahun 1995 ia mendengar dari orang, ada seorang pembuat kaki palsu di Solo. Dia memutuskan mencoba datang ke Solo. “Waktu itu harga kaki palsu Rp 475.000. Namun, setelah dipakai di rumah, rasanya kaki saya tidak nyaman. Tiap memakainya, saya merasakan sakit,” tutur suami Ni Ketut Ratika ini.
Ketut mencoba berkonsultasi dengan si pembuat kaki palsu tersebut, dan menceritakan semua keluhan yang dirasakan. Namun jawaban yang diterimanya, Ketut harus terus mencobanya. Lama-kelamaan, ia akan terbiasa dan tidak sakit. Ketut kembali mencoba memakainya. Karena tidak tahan selalu merasakan sakit, Ketut akhirnya melepas kaki palsunya. Ia mencoba membongkar kaki palsu tersebut dan merekontruksi ulang sesuai dengan bayangannya. “Setelah saya pakai kembali, rasanya enak,” tuturnya. Ketut merasa penasaran, akhirnya ia mencoba meneliti ulang, mengapa kaki palsu yang dibelinya sakit waktu dipakai.
Buat Kaki Palsu Sendiri
Dengan bahan dan alat seadanya, Ketut mencoba membuat sendiri kaki palsu. Ia menggunakan kayu yang mudah ia dapatkan di sekelilingnya. Ia menambahkan kulit dan menggunakan drum bekas sebagai penyangga kaki. Kaki palsu buatannya dirasakan lebih nyaman dipakainya. Awal mula, tongkat sebagai bantuan. Setelah terbiasa, tongkat dilepas. Ketut mampu berjalan layaknya orang normal. Kakinya pun kuat tanpa takut terjatuh lagi. Bahkan, Ketut mampu mengendarai sepeda motor dan menyetir mobil.
Ketut pun kembali memunyai motivasi untuk hidupnya. Ia melanjutkan hidupnya dengan menikahi perempuan yang masih terhitung sanak familinya. Mereka dikarunia dua anak.
Sebagai seorang kepala keluarga, berbagai pekerjaan sudah dilakoni Ketut. Usaha kecil-kecilan, menjadi guru, bahkan mencoba menghimpun orang-orang cacat di Tabanan. Namun, usahanya gagal dalam menghimpuan orang cacat karena kurang mendapat dukungan. Adanya stigma masyarakat dan belum adanya kepedulian Pemkab. Tabanan. Belum lagi sumber daya manusia orang cacat yang rendah. Sebagian besar orang cacat miskin dan tidak berpendidikan. “Secara ekonomi saya hancur. Keluarga juga hancur. Ibu meninggal, bapak sakit. Warisan habis. Akhirnya, untuk bisa bertahan hidup, saya bekerja di pabrik pembuatan lilin di Tabanan,” tutur Ketut.
Saat pulang kerja, Ketut melihat seorang anak cacat di jalan. Ia langsung menawarkan bantuan membuatkan kaki palsu di rumahnya. Selain niat untuk membantu, Ketut ingin memperdalam ilmunya dengan mencoba membuatkan kaki palsu untuk orang lain.
Tahun 2000 unit pelayanan sosial keliling (UPSK) Dinas Sosial Kab. Tabanan sedang melakukan pendataan ke Pupuan. Ketut ditawari kaki palsu. Namun, Ketut menolaknya dan mengatakan ia sudah memiliki kaki palsu. Ketut memperlihatkan kaki palsunya, dan mereka kaget. Bahan yang digunakan sangat sederhana dan tidak sesuai. Sejak itu, Ketut sering dipanggil ke Dinas Sosial Prov. Bali untuk diberikan tambahan ilmu.
“Dulu saya marah kepada Pemkab Tabanan. Saya sudah mengajukan 20 proposal tapi tidak pernah mendapat respon. Saya akhirnya jengah, dan mencoba berdiri sendiri. Kalau terus menunggu uluran tangan dari orang lain sampai kapan? Saya sadar, mereka tidak pernah tahu permasalahan kami,” katanya dengan suara lirih.
Untuk bertahan hidup, Ketut bersama istrinya memutuskan berjualan nasi. Makanan khas Bali yang dijualnya menjadi favorit di desanya. Namun, Ketut tetap membantu orang cacat yang ingin dibuatkan kaki palsunya. Walau ia sendiri miskin, ia tetap ingin berbagi dengan orang lain. Berbagai usaha dilakoninya, sampai-sampai meminjam uang ke renternir. “Jatah untuk keluarga saya kurangi. Untungnya mereka mengerti. Anak saya tidak sekolah tinggi. Anak pertama hanya tamat SMP. Sempat mengenyam pendidikan di STM. Namun, saat ulangan umum dikeluarkan karena tidak mampu mambayar SPP,” kata Ketut. Namun, Ketut tidak marah. Justru anak sulungnya, kini sangat ahli dalam pembuatan kaki palsu karena waktunya terus digunakan untuk belajar membuat kaki palsu. Anak sulung Ketut, Putu Pande Ambara Dana kini dipercaya sebagai asistennya. Anak keduanya, Pande Made Beni Ariadi menamatkan SMA-nya, dan kini kerja di sektor pariwisata.
Angkat Anak
Tahun 2006, tiba-tiba seorang perempuan membawakannya bayi mungil yang berusia 7 bulan ke rumahnya. Perempuan itu memohon Ketut dan keluarganya membantu merawat dan membesarkannya.
“Awal mulanya, istri saya keberatan karena hidup kami saja sudah pas-pasan. Jangankan untuk menambah satu anak lagi, untuk makan saja kekurangan. Namun, saya trenyuh melihat bayi laki-laki tersebut,” tuturnya. Akhirnya, Ketut menerima bayi tersebut dan diangkat sebagai anak dan diberi nama Komang Sadu Gunawan.
Enam bulan setelah kejadian itu, Ketut bermimpi diberi sesuatu. Beberapa hari kemudian, tiba-tiba seorang pengusaha dari Jakarta bernama Sugeng Hartono mengontaknya. Dia mengetahui keberadaan Ketut lewat berita di salah satu koran nasional. Dia bertemu dengan Ketut dan langsung menawarkan bantuan Rp 50 juta sebagai modal. Pelan tapi pasti, buatan kaki palsu Ketut mulai dikenal orang. Untuk bahan ia memakai kayu waru, kayu gembinis, atau kayu sengon, kulit, fibber glass, dan plat. Kaki palsu buatannya ini bertahan lama. Dua pasien pertamanya sudah memakai kaki palsu ini sekitar 10 tahun. Sampai sekarang tidak terjadi masalah.
Kini, sudah banyak pasien yang menggunakan kaki palsu buatannya. Ketut dan putra sulungnya juga bisa mengunjungi berbagai daerah di Indonesia saat membawakan kaki palsu ke rumah pasiennya.
Ketut mengatakan, pembuatan kaki palsu ini memakan waktu tiga hari. Setelah itu, pasien dilatih berjalan. Tergantung kondisi pasien. “Ada yang seminggu sudah bisa dengan baik memakai kaki palsu. Ada juga yang butuh waktu berminggu-minggu karena kondisinya yang lemah. Yang penting, kaki palsu itu nyaman dipakai,” jelas Ketut.
Pasien terkecil yang pernah ditangani usia 4,5 tahun dan yang tertua 78 tahun. Kesulitan yang dialaminya, memotivasi anak-anak untuk belajar berjalan menggunakan kaki palsu. Perlu kesabaran untuk melatih mereka. Kaki palsu ini bisa dibuka pasang. Saat mandi, tidur atau capek menggunakanya, pasien dapat melepasnya.
“Saya harus belajar 4 ilmu yakni ilmu kedokteran, psikologi, teknik, dan ekonomi, “selorohnya sembari tertawa.
Beratnya 1 ½ Kilogram
Sehari-hari selain dibantu anaknya, Ketut dibantu satu orang karyawan. Namanya Pan Erik. Selain bekerja di kebun, lelaki ini sering bertandang ke rumah Ketut. Lama-kelamaan, ia tertarik membantu Ketut.
Satu kaki palsu, kata dia, beratnya hampir mencapai 1½ kg. Setelah dibuatkan sketsa sesuai kontruksi tulang oleh Ketut, mulailah ia membuat telapak kaki dari kayu yang dilapisi karet. Kemudian disumbat dengan plat sebagai penyanggahnya. Kemudian dilapisi kulit dan fiber glass. Pengerjaan ini diulang sampai tiga kali. Kemudian dijemur, diamplas dan dicat sesuai warna kulit. Kemudian dibuatkan penyanggah di paha. Setelah kaki palsu jadi, pasien langsung mencobanya. “Asal pasien sudah nyaman, tinggal belajar berjalan saja,” kata Pan Erik. –ast
Saat tiba, wartawati Koran Tokoh melihat beberapa orang cacat di rumahnya. Selain membuatkan kaki palsu, Ketut juga menawarkan pasiennya menginap di sana. Selain untuk memudahkannya, ia juga mengajarkan pasien belajar berjalan menggunakan kaki palsu. Banyak hal yang diajarkan Ketut kepada pasiennya. Motivasi untuk terus berjuang, dan kedisiplinan untuk maju, selalu ditegaskan lelaki berperawakan gempal ini.
Ketut lebih suka menyebut pasien dibanding konsumen, karena usahanya ini tidak murni bisnis. Ketut lebih banyak mengemban misi kemanusiaan. Beberapa pasein yang berasal dari keluarga miskin diberikan keringanan biaya bahkan tidak membayar. Ketut pun memperlakukan pasien yang tinggal di rumahnya seperti layaknya keluarga sendiri.
Kaki Diamputasi
Ketut, begitu ia disapa, mengalami musibah kecelakaan di daerah Abian Tuwung, Tabanan, saat hendak pulang ke kampungnya. Waktu itu Ketut masih berstatus mahasiswa semester V Fak. Hukum Unud. Kecelakaan itu mengakibatkan tulang kakinya patah menjadi 4, dan harus diamputasi. Kejadian tragis tersebut, membuat Ketut syok. “Cukup lama saya mengalami kekalutan dalam diri akan masa depan yang suram,” tuturnya mengenang kembali peristiwa tragis itu. Sesaat, Ketut terdiam. Tampaknya, banyak kesedihan mewarnai perjalanan hidupnya yang tak mampu ia ceritakan.
Ketut langsung berkata, tahun 1995 ia mendengar dari orang, ada seorang pembuat kaki palsu di Solo. Dia memutuskan mencoba datang ke Solo. “Waktu itu harga kaki palsu Rp 475.000. Namun, setelah dipakai di rumah, rasanya kaki saya tidak nyaman. Tiap memakainya, saya merasakan sakit,” tutur suami Ni Ketut Ratika ini.
Ketut mencoba berkonsultasi dengan si pembuat kaki palsu tersebut, dan menceritakan semua keluhan yang dirasakan. Namun jawaban yang diterimanya, Ketut harus terus mencobanya. Lama-kelamaan, ia akan terbiasa dan tidak sakit. Ketut kembali mencoba memakainya. Karena tidak tahan selalu merasakan sakit, Ketut akhirnya melepas kaki palsunya. Ia mencoba membongkar kaki palsu tersebut dan merekontruksi ulang sesuai dengan bayangannya. “Setelah saya pakai kembali, rasanya enak,” tuturnya. Ketut merasa penasaran, akhirnya ia mencoba meneliti ulang, mengapa kaki palsu yang dibelinya sakit waktu dipakai.
Buat Kaki Palsu Sendiri
Dengan bahan dan alat seadanya, Ketut mencoba membuat sendiri kaki palsu. Ia menggunakan kayu yang mudah ia dapatkan di sekelilingnya. Ia menambahkan kulit dan menggunakan drum bekas sebagai penyangga kaki. Kaki palsu buatannya dirasakan lebih nyaman dipakainya. Awal mula, tongkat sebagai bantuan. Setelah terbiasa, tongkat dilepas. Ketut mampu berjalan layaknya orang normal. Kakinya pun kuat tanpa takut terjatuh lagi. Bahkan, Ketut mampu mengendarai sepeda motor dan menyetir mobil.
Ketut pun kembali memunyai motivasi untuk hidupnya. Ia melanjutkan hidupnya dengan menikahi perempuan yang masih terhitung sanak familinya. Mereka dikarunia dua anak.
Sebagai seorang kepala keluarga, berbagai pekerjaan sudah dilakoni Ketut. Usaha kecil-kecilan, menjadi guru, bahkan mencoba menghimpun orang-orang cacat di Tabanan. Namun, usahanya gagal dalam menghimpuan orang cacat karena kurang mendapat dukungan. Adanya stigma masyarakat dan belum adanya kepedulian Pemkab. Tabanan. Belum lagi sumber daya manusia orang cacat yang rendah. Sebagian besar orang cacat miskin dan tidak berpendidikan. “Secara ekonomi saya hancur. Keluarga juga hancur. Ibu meninggal, bapak sakit. Warisan habis. Akhirnya, untuk bisa bertahan hidup, saya bekerja di pabrik pembuatan lilin di Tabanan,” tutur Ketut.
Saat pulang kerja, Ketut melihat seorang anak cacat di jalan. Ia langsung menawarkan bantuan membuatkan kaki palsu di rumahnya. Selain niat untuk membantu, Ketut ingin memperdalam ilmunya dengan mencoba membuatkan kaki palsu untuk orang lain.
Tahun 2000 unit pelayanan sosial keliling (UPSK) Dinas Sosial Kab. Tabanan sedang melakukan pendataan ke Pupuan. Ketut ditawari kaki palsu. Namun, Ketut menolaknya dan mengatakan ia sudah memiliki kaki palsu. Ketut memperlihatkan kaki palsunya, dan mereka kaget. Bahan yang digunakan sangat sederhana dan tidak sesuai. Sejak itu, Ketut sering dipanggil ke Dinas Sosial Prov. Bali untuk diberikan tambahan ilmu.
“Dulu saya marah kepada Pemkab Tabanan. Saya sudah mengajukan 20 proposal tapi tidak pernah mendapat respon. Saya akhirnya jengah, dan mencoba berdiri sendiri. Kalau terus menunggu uluran tangan dari orang lain sampai kapan? Saya sadar, mereka tidak pernah tahu permasalahan kami,” katanya dengan suara lirih.
Untuk bertahan hidup, Ketut bersama istrinya memutuskan berjualan nasi. Makanan khas Bali yang dijualnya menjadi favorit di desanya. Namun, Ketut tetap membantu orang cacat yang ingin dibuatkan kaki palsunya. Walau ia sendiri miskin, ia tetap ingin berbagi dengan orang lain. Berbagai usaha dilakoninya, sampai-sampai meminjam uang ke renternir. “Jatah untuk keluarga saya kurangi. Untungnya mereka mengerti. Anak saya tidak sekolah tinggi. Anak pertama hanya tamat SMP. Sempat mengenyam pendidikan di STM. Namun, saat ulangan umum dikeluarkan karena tidak mampu mambayar SPP,” kata Ketut. Namun, Ketut tidak marah. Justru anak sulungnya, kini sangat ahli dalam pembuatan kaki palsu karena waktunya terus digunakan untuk belajar membuat kaki palsu. Anak sulung Ketut, Putu Pande Ambara Dana kini dipercaya sebagai asistennya. Anak keduanya, Pande Made Beni Ariadi menamatkan SMA-nya, dan kini kerja di sektor pariwisata.
Angkat Anak
Tahun 2006, tiba-tiba seorang perempuan membawakannya bayi mungil yang berusia 7 bulan ke rumahnya. Perempuan itu memohon Ketut dan keluarganya membantu merawat dan membesarkannya.
“Awal mulanya, istri saya keberatan karena hidup kami saja sudah pas-pasan. Jangankan untuk menambah satu anak lagi, untuk makan saja kekurangan. Namun, saya trenyuh melihat bayi laki-laki tersebut,” tuturnya. Akhirnya, Ketut menerima bayi tersebut dan diangkat sebagai anak dan diberi nama Komang Sadu Gunawan.
Enam bulan setelah kejadian itu, Ketut bermimpi diberi sesuatu. Beberapa hari kemudian, tiba-tiba seorang pengusaha dari Jakarta bernama Sugeng Hartono mengontaknya. Dia mengetahui keberadaan Ketut lewat berita di salah satu koran nasional. Dia bertemu dengan Ketut dan langsung menawarkan bantuan Rp 50 juta sebagai modal. Pelan tapi pasti, buatan kaki palsu Ketut mulai dikenal orang. Untuk bahan ia memakai kayu waru, kayu gembinis, atau kayu sengon, kulit, fibber glass, dan plat. Kaki palsu buatannya ini bertahan lama. Dua pasien pertamanya sudah memakai kaki palsu ini sekitar 10 tahun. Sampai sekarang tidak terjadi masalah.
Kini, sudah banyak pasien yang menggunakan kaki palsu buatannya. Ketut dan putra sulungnya juga bisa mengunjungi berbagai daerah di Indonesia saat membawakan kaki palsu ke rumah pasiennya.
Ketut mengatakan, pembuatan kaki palsu ini memakan waktu tiga hari. Setelah itu, pasien dilatih berjalan. Tergantung kondisi pasien. “Ada yang seminggu sudah bisa dengan baik memakai kaki palsu. Ada juga yang butuh waktu berminggu-minggu karena kondisinya yang lemah. Yang penting, kaki palsu itu nyaman dipakai,” jelas Ketut.
Pasien terkecil yang pernah ditangani usia 4,5 tahun dan yang tertua 78 tahun. Kesulitan yang dialaminya, memotivasi anak-anak untuk belajar berjalan menggunakan kaki palsu. Perlu kesabaran untuk melatih mereka. Kaki palsu ini bisa dibuka pasang. Saat mandi, tidur atau capek menggunakanya, pasien dapat melepasnya.
“Saya harus belajar 4 ilmu yakni ilmu kedokteran, psikologi, teknik, dan ekonomi, “selorohnya sembari tertawa.
Beratnya 1 ½ Kilogram
Sehari-hari selain dibantu anaknya, Ketut dibantu satu orang karyawan. Namanya Pan Erik. Selain bekerja di kebun, lelaki ini sering bertandang ke rumah Ketut. Lama-kelamaan, ia tertarik membantu Ketut.
Satu kaki palsu, kata dia, beratnya hampir mencapai 1½ kg. Setelah dibuatkan sketsa sesuai kontruksi tulang oleh Ketut, mulailah ia membuat telapak kaki dari kayu yang dilapisi karet. Kemudian disumbat dengan plat sebagai penyanggahnya. Kemudian dilapisi kulit dan fiber glass. Pengerjaan ini diulang sampai tiga kali. Kemudian dijemur, diamplas dan dicat sesuai warna kulit. Kemudian dibuatkan penyanggah di paha. Setelah kaki palsu jadi, pasien langsung mencobanya. “Asal pasien sudah nyaman, tinggal belajar berjalan saja,” kata Pan Erik. –ast
Koran Tokoh, Edisi 591, 9 s.d 15 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar