TAK terlintas sedikit pun di benak Yunus sebelumnya, berkah bakal datang pada dirinya. Suatu sore, seorang laki-laki yang bernama Gidion membeli rujak cingur di dekat kios tempatnya ia bekerja sebagai penjahit. Tanpa sengaja, Gidion melirik Yunus. Gideon kaget, karena Yunus memiliki kekurangan, kaki kanannya cacat. "Terlintas rasa kagum saya padanya karena ia mampu produktif walaupun memiliki kekurangan fisik," tutur Gidion.
Pertemuan singkat dengan obrolan sekitar 10 menit tersebut, berbuah satu harapan di benak Yunus. Gidion menawarkan kaki palsu (kaki buatan) padanya. Yunus tertarik, namun sempat pesimis karena hampir lima bulan ia menanti, belum ada kabar gembira dari Gidion.
Kini Yunus sumringah. Ia baru saja pulang dari Mojokerto, tempat pembuatan kaki palsunya. Yunus kini mampu berjalan tanpa harus memakai sarana tongkat lagi.
"Saya terlahir cacat sejak kecil. Kaki kanan saya putus sampai di paha," tutur Yunus pagi itu, saat wartawati Koran Tokoh datang menemuinya di kios tempatnya bekerja di Jalan Saelus Denpasar. Untuk berjalan, dulunya lelaki asal Lumajang, Jawa Timur, itu memakai tongkat. Yunus hanya mampu bersekolah sampai kelas V SD. Penghasilan orangtuanya yang pas-pasan sebagai petani, mengharuskannya tinggal di rumah saja. Yunus berkenalan dengan Heru yang masih kerabat dekatnya. Heru iba melihat kondisi Yunus. Saat ia pindah ke Bali, ia mengajak Yunus ikut dengannya. Ia ingin mencoba peruntungan sebagai tukang jahit. Sebelumnya Heru pernah bekerja di salah seorang tukang jahit di Kuta. Setelah memiliki modal, Heru memberanikan diri membuka usaha sendiri. Ia memiliki tiga karyawan yang masih terhitung kerabat dekatnya.
Pelan-pelan usaha Heru mulai dikenal orang. Banyak pesanan berdatangan dari berbagai perusahaan. "Kebanyakan pesanan untuk menjahit seragam karyawan. Ada hotel dan juga spa," katanya. Awal bekerja, Yunus diajari teknik menjahit selama 6 bulan. Dengan mengggunakan mesin dinamo, Yunus hanya menggunakan kaki kirinya yang masih sehat dalam menggerakkan mesin jahit. Yunus bertempat tinggal bersama Heru sekitar ½ kilometer dari kiosnya. Yunus tidak pernah pergi ke mana-mana. Sehari-hari kegiatannya hanya menjahit di kios. Ia berada di kios pukul 08.00 sampai 21.00. Yunus menuturkan, berjalan memaki tongkat tidak gampang. "Tidak bisa cepat-cepat. Lagipula tangan saya sering pegal memegang tongkat kalau berjalan jauh," tuturnya.Kini Yunus sumringah. Ia baru saja pulang dari Mojokerto, tempat pembuatan kaki palsunya. Yunus kini mampu berjalan tanpa harus memakai sarana tongkat lagi.
"Saya terlahir cacat sejak kecil. Kaki kanan saya putus sampai di paha," tutur Yunus pagi itu, saat wartawati Koran Tokoh datang menemuinya di kios tempatnya bekerja di Jalan Saelus Denpasar. Untuk berjalan, dulunya lelaki asal Lumajang, Jawa Timur, itu memakai tongkat. Yunus hanya mampu bersekolah sampai kelas V SD. Penghasilan orangtuanya yang pas-pasan sebagai petani, mengharuskannya tinggal di rumah saja. Yunus berkenalan dengan Heru yang masih kerabat dekatnya. Heru iba melihat kondisi Yunus. Saat ia pindah ke Bali, ia mengajak Yunus ikut dengannya. Ia ingin mencoba peruntungan sebagai tukang jahit. Sebelumnya Heru pernah bekerja di salah seorang tukang jahit di Kuta. Setelah memiliki modal, Heru memberanikan diri membuka usaha sendiri. Ia memiliki tiga karyawan yang masih terhitung kerabat dekatnya.
Suatu hari, seorang laki-laki bernama Gidion membeli rujak cingur di sebelah kios tempatnya bekerja. Gideon tertarik ingin membantunya dengan membuatkan kaki palsu. Setelah obrolan singkat itu, Yunus terus menanti Gideon. Ia berharap segera mendapatkan kaki palsu harapannya. Setelah lima bulan menanti, akhirnya, harapan Yunus terkabul. Yunus diajak ke rumah Pak Sugeng di Mojekerto untuk dibuatkan kaki palsu. Selama sebulan Yunus belajar berjalan dengan kaki palsu di sana.
Ia kemudian kembali ke Bali dan langsung melakukan kegiatan rutinnya sebagai penjahit. Walau sekarang ia mengaku kakinya masih sakit, tetapi ia merasa lebih baik dibandingkan dulu ketika memakai tongkat. Setelah Yunus melepas tongkatnya dan mampu berjalan, ia pulang ke kampung kelahirannya di Lumajang. "Semua keluarga saya senang melihat perubahan ini. Saya dan keluarga sangat bersyukur," kata Yunus dengan mata berkaca-kaca.
Kini Yunus punya cita-cita, suatu saat kalau modalnya sudah cukup, ia ingin membuka usaha sendiri. Gidion mengatakan, ia hanya sebagai perantara dalam membantu Yayasan Kick Andy yang sedang mengagas bantuan 1000 kaki palsu. Bagi yang membutuhkan kaki palsu, ia siap memfasilitasinya. –ast
Koran Tokoh, Edisi 593, 23-29 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar