Dosen Fisipol Univ. Warwadewa ini mengatakan, kita hampir lupa dalam praktik ketatanegaraan otonomi itu berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini harus dibedakan dengan faham liberalisme. Di negara federal, kata Suantina, beberapa negara yang merdeka kemudian mereka yang membentuk pemerintahan pusat. Sedangkan negara Indonesia berbeda. Negara besar merdeka terlebih dahulu, kemudian dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan an efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat dibentuklah pemerintah daerah. Keberadan pemerintah daerah jelas berada dalam payung naungan NKRI.
Kalau dikaitkan dnegan sejarah perjalanan bansa Indonesia, kita sudah pernah bersumpah dalam kebinekaan menjadi satu bangsa dan satu tanah air. Akumulasi semangat nilai kebangsaan tercermin dalam butir pancasila misalnya persatuan Indonesia. Semua sila yang terkandung di dalamnya menyatukan kebinekaan itu.
Kalau sekarang sudah terjadi pengingkaran isensi persatuan dan menonjolkan ikatan primodial ini merupakan dampak dari diterapkan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang sistem pemerintahan daerah yang menganut otonomi seluas-luasnya. Penyebab lain, ekses dari kesalahfahaman dari reformasi. Reformasi malah diartinya serba boleh. Apa yang dulu tidak boleh sekarang iartikan boleh itu kesannya. Sehingga rambu-rambu yang mengikat kita dalam NKRI banyak dilanggar. Kalau hal ini dibiarkan fatal akibatnya. , Apa yang dialami negara Uni Soviet bisa terjadi di Indonesia. Uni Soviet yang awalnya negara federal, sekarang pecah belah hancur lebur. Negara bagian berdiri sendiri. Kalau sampai negara satuan pecah, kita tidak utuh lagi sebagai bangsa.
Jati diri bangsa iNdonesia tercermin dalam nilai pancasila.
Kita tidak bisa mengikari ada gerakan seperti NII.
Dalam pandangannya, pemerintah tidak cukupsigap atau merespon terhadap persoalan ini. Gerakan ini sudah berhadapan dengan gerakan KNRI Fenomen yang muncul di internal sendiri di pemerintahan baik itu eksekutif dan legislatif adanya prilaku yang bertentangan dengan prilaku kebangsaan nasionalisme, ikatan makin menyempit. Ironisnya, di zaman reformasi justru ikatan kedaaerahan yang muncul, misalnya bupati Tabanan merupakan putra kelahiran Tabanan, bupati Buleleng haruslah putra Buleleng. Di Bali karena dominan agama hindu calon bupati harus bergama hindu. Kalau saya mencalonkan diri menjadi anggota DPRD di Denpasar tidak diterima karena dianggap bukan putra Denpasar. Padahal, mungkin kalau saya mencalonkan diri di Denpasar , saya banyak teman dan network di Denpasar. Tapi Tidak laku dijual karena bukan putra daerah. Padahal kalau sesungguhnya, kita bicara KNRI, siapa saja boleh dicalonkan, yang masih dianggap bisa menyelamatkan garda NKRI.
Di era reformasi ini, kata Suantina, seharusnya kita lebih dewasa dalam menegakkan demokrasi. Syarat demokrasi adalah kesetaraan. Artinya, kemajuan demokrasi di Indonesia merupakan kemajuan yang semu.
Menurutnya, dalam mempertahankan keutuhan NKRI kita harus mereaktualiasasikan nilai pancasila itu ke seluruh komponen masyarakat.
Format orde baru seperti penataran P4 tidak hanya diberikan dalam dunia pendidikan, tapi sampai ke desa-desa lewat banjar agar masyarakat tidak lupa mempraktikkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya.
Jangan sampai menepuk dada pancasilais, tapi dalam praktiknya lebih liberal dengan warga negara liberal.
Apapun bentuk atau istilahnya, tidak mesti dalam bentuk penataran P4, misalnya doktrinasionalisme, pendidikan kebangsaan, penataran kewarganegaraan, yang jelas semua lapisan masyarakat harus didoktrinasi. Kalau hanya mengubah UU pendidikan, itu hanya menyasar dunia pendidikan. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak mengenyam bangku sekolah?
Yang saya lihat masih di tubuh TNI/POLRI saja yang menjaga kebinekaan tersebut. Gerakan emosional kebangsaan Indonesia berlawanan dengan gerakan zaman.
Gerakan zaman mengarah ke globalisasi, dimana batas –batas negara sudah rapuh. Artinya, orang sudah bicara dunia negara saya. Misalnya, capek menjadi warga negara Australia, dia bisa pindah ke Singapura.
Orang sudah berpikir seperti itu. Sedangkan di Indonesia makin mnyempit. Otonomi daerah, dan fanatisme suku. Yang perlu beradaptasi bukan Pancasilanya, tapi manusianya. Jangan Pancasila dibenturkan dengan keinginan egois kita. Amandemen UUD 45 sudah kebablasan. Sudah 4 kali diamandemenkan malah sudah tidak dijiwai roh pancasila. Dengan dihapuskan DPA, dengan dibentukkan lembaga baru DPD itu sama saja dengan semangat liberal. Lucunya, di satu sisi kita sudah sepakat negara kesatuan, tapi kita malah menpraktikkan negara federal. Tatanan terdahulu yang dibuat pendiri negara kita kembali kepada UUD 45 yang murni sebelum diamandemenkan. Bila perlu, buatkan UU khusus tentang doktrin ideologi nasional. Agar semua lapisan masyarakat mengetahui Pancasila sebagai idelologi negara. –ast
Kalau dikaitkan dnegan sejarah perjalanan bansa Indonesia, kita sudah pernah bersumpah dalam kebinekaan menjadi satu bangsa dan satu tanah air. Akumulasi semangat nilai kebangsaan tercermin dalam butir pancasila misalnya persatuan Indonesia. Semua sila yang terkandung di dalamnya menyatukan kebinekaan itu.
Kalau sekarang sudah terjadi pengingkaran isensi persatuan dan menonjolkan ikatan primodial ini merupakan dampak dari diterapkan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang sistem pemerintahan daerah yang menganut otonomi seluas-luasnya. Penyebab lain, ekses dari kesalahfahaman dari reformasi. Reformasi malah diartinya serba boleh. Apa yang dulu tidak boleh sekarang iartikan boleh itu kesannya. Sehingga rambu-rambu yang mengikat kita dalam NKRI banyak dilanggar. Kalau hal ini dibiarkan fatal akibatnya. , Apa yang dialami negara Uni Soviet bisa terjadi di Indonesia. Uni Soviet yang awalnya negara federal, sekarang pecah belah hancur lebur. Negara bagian berdiri sendiri. Kalau sampai negara satuan pecah, kita tidak utuh lagi sebagai bangsa.
Jati diri bangsa iNdonesia tercermin dalam nilai pancasila.
Kita tidak bisa mengikari ada gerakan seperti NII.
Dalam pandangannya, pemerintah tidak cukupsigap atau merespon terhadap persoalan ini. Gerakan ini sudah berhadapan dengan gerakan KNRI Fenomen yang muncul di internal sendiri di pemerintahan baik itu eksekutif dan legislatif adanya prilaku yang bertentangan dengan prilaku kebangsaan nasionalisme, ikatan makin menyempit. Ironisnya, di zaman reformasi justru ikatan kedaaerahan yang muncul, misalnya bupati Tabanan merupakan putra kelahiran Tabanan, bupati Buleleng haruslah putra Buleleng. Di Bali karena dominan agama hindu calon bupati harus bergama hindu. Kalau saya mencalonkan diri menjadi anggota DPRD di Denpasar tidak diterima karena dianggap bukan putra Denpasar. Padahal, mungkin kalau saya mencalonkan diri di Denpasar , saya banyak teman dan network di Denpasar. Tapi Tidak laku dijual karena bukan putra daerah. Padahal kalau sesungguhnya, kita bicara KNRI, siapa saja boleh dicalonkan, yang masih dianggap bisa menyelamatkan garda NKRI.
Di era reformasi ini, kata Suantina, seharusnya kita lebih dewasa dalam menegakkan demokrasi. Syarat demokrasi adalah kesetaraan. Artinya, kemajuan demokrasi di Indonesia merupakan kemajuan yang semu.
Menurutnya, dalam mempertahankan keutuhan NKRI kita harus mereaktualiasasikan nilai pancasila itu ke seluruh komponen masyarakat.
Format orde baru seperti penataran P4 tidak hanya diberikan dalam dunia pendidikan, tapi sampai ke desa-desa lewat banjar agar masyarakat tidak lupa mempraktikkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya.
Jangan sampai menepuk dada pancasilais, tapi dalam praktiknya lebih liberal dengan warga negara liberal.
Apapun bentuk atau istilahnya, tidak mesti dalam bentuk penataran P4, misalnya doktrinasionalisme, pendidikan kebangsaan, penataran kewarganegaraan, yang jelas semua lapisan masyarakat harus didoktrinasi. Kalau hanya mengubah UU pendidikan, itu hanya menyasar dunia pendidikan. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak mengenyam bangku sekolah?
Yang saya lihat masih di tubuh TNI/POLRI saja yang menjaga kebinekaan tersebut. Gerakan emosional kebangsaan Indonesia berlawanan dengan gerakan zaman.
Gerakan zaman mengarah ke globalisasi, dimana batas –batas negara sudah rapuh. Artinya, orang sudah bicara dunia negara saya. Misalnya, capek menjadi warga negara Australia, dia bisa pindah ke Singapura.
Orang sudah berpikir seperti itu. Sedangkan di Indonesia makin mnyempit. Otonomi daerah, dan fanatisme suku. Yang perlu beradaptasi bukan Pancasilanya, tapi manusianya. Jangan Pancasila dibenturkan dengan keinginan egois kita. Amandemen UUD 45 sudah kebablasan. Sudah 4 kali diamandemenkan malah sudah tidak dijiwai roh pancasila. Dengan dihapuskan DPA, dengan dibentukkan lembaga baru DPD itu sama saja dengan semangat liberal. Lucunya, di satu sisi kita sudah sepakat negara kesatuan, tapi kita malah menpraktikkan negara federal. Tatanan terdahulu yang dibuat pendiri negara kita kembali kepada UUD 45 yang murni sebelum diamandemenkan. Bila perlu, buatkan UU khusus tentang doktrin ideologi nasional. Agar semua lapisan masyarakat mengetahui Pancasila sebagai idelologi negara. –ast
Koran Tokoh, Edisi 645, 29 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar