Menurut Ketua PKBI Prov. Bali dr. Mangku Karmaya secara budaya masih banyak mitos yang harus diluruskan. Kesehatan reproduksi bukan hanya pengetahuan untuk para perempuan tapi juga untuk laki-laki. “Banyak mitos yang salah seperti sering berhubungan seksual dan mencari daun muda membuat awet muda,” ujar Ketua PKBI Prov. Bali dr. Mangku Karmaya.
Mitos ini, kata dia, mengakibatkan banyak remaja terjerumus ke dunia prostitusi karena iming-iming uang. Malah, kata Dokter Mangku, alat reproduksi para remaja belum matang, robek dan paling fatal dapat mengakibatkan penyakit kelamin atau ada masalah dalam alat reproduksinya. Bagi para lelaki, mitos ini mengakibatkan mereka ingin mencoba berganti-ganti pasangan. Mitos lain yang juga salah, kata Dokter Mangku, perempuan atau istri yang berkelakuan baik tidak mungkin terkena HIV/AIDS. Menurutnya ketika mitos itu diyakini, mengakibatkan penyakit kelamin tidak terobati dengan tuntas. “Ada persepsi hanya PSK yang bisa kena HIV/AIDS,” jelasnya. Ia menilai masyarakat masih malu bicara seks dan menganggap hal itu kotor sehingga penyakit kelamin jarang diketahui sejak dini.
Ia mengatakan posisi perempuan menjadi lemah dan tidak berdaya. “Perempuan mendapatkan diskriminasi. Contohnya perempuan disunat. Klitorisnya dipotong karena dianggap sebagai perempuan penggoda. Dalam kehamilan tak diinginkan perempuan selalu disalahkan,” ujar Dokter Mangku.
Ia mencontohkan salah satu daerah di NTT ada budaya sunat untuk laki-laki. Setelah itu ada suatu ritual, setelah laki-lakinya disunat mereka harus mencoba melakukan hubungan seksual dengan perempuan. “Kalau mereka tidak memunyai istri, mungkin saja hubungan seksual dilakukan dengan PSK. Ini tentu rawan penularan virus HIV,” paparnya. Lanjutnya, kondom selalu dicerca dan diharamkan karena dituding melegalkan prostitusi. Padahal, kata dia, penggunaan kondom mengurangi penularan virus HIV/AIDS.
Secara sosial, kedudukan perempuan di masyarakat lebih rendah, dan perempuan selalu tersubordinasi. Ia mengatakan keputusan selalu ada ditangan laki-laki termasuk menentukan kapan memunyai anak dan berapa jumlah anak. Bahkan, kata Dokter Mangku, laki-laki diizinkan poligami. “Laki-laki memaksa istrinya harus melayaninya walaupun dalam keadaan mabuk. Istri tidak memuyai negoisasi dalam urusan seks,” ujarnya.
Malah, yang lebih parah, kata dia, laki-laki masih menganggap urusan keputihan, dan menstruasi adalah urusan perempuan.
Menurut Dokter Mangku, kesehatan reproduksi secara sosial juga menyangkut masalah gender. Perempuan selalu termarginalkan. Perempuan kurang mendapat akses pendidikan dan gizi kurang. “Anak laki-laki boleh mengenyam pendidikan tinggi, sedangkan perempuan toh nantinya akan masuk dapur,” jelasnya. Lapangan pekerjaan untuk perempuan susah. Ia mencontohkan supir truk khusus laki-laki sehingga jok mobil truk disetting khusus untuk laki-laki. Para perempuan dalam kenyataannya sering melakukan peran ganda. Selain sebagai istri dan ibu, mereka juga mencari nafkah. Perempuan menjadi lemah dan tidak berdaya karena terlalu banyak beban yang dipikul.
Kesehatan reproduksi, kata Dokter Mangku, juga menyangkut masalah gaya hidup. “Keinginan untuk hidup glamour dan konsumerisme akhirnya mengorbankan alat kelaminnya untuk kebutuhan semu. Akhirnya muncul penyakit kelamin di usai remaja. –ast
Mitos ini, kata dia, mengakibatkan banyak remaja terjerumus ke dunia prostitusi karena iming-iming uang. Malah, kata Dokter Mangku, alat reproduksi para remaja belum matang, robek dan paling fatal dapat mengakibatkan penyakit kelamin atau ada masalah dalam alat reproduksinya. Bagi para lelaki, mitos ini mengakibatkan mereka ingin mencoba berganti-ganti pasangan. Mitos lain yang juga salah, kata Dokter Mangku, perempuan atau istri yang berkelakuan baik tidak mungkin terkena HIV/AIDS. Menurutnya ketika mitos itu diyakini, mengakibatkan penyakit kelamin tidak terobati dengan tuntas. “Ada persepsi hanya PSK yang bisa kena HIV/AIDS,” jelasnya. Ia menilai masyarakat masih malu bicara seks dan menganggap hal itu kotor sehingga penyakit kelamin jarang diketahui sejak dini.
Ia mengatakan posisi perempuan menjadi lemah dan tidak berdaya. “Perempuan mendapatkan diskriminasi. Contohnya perempuan disunat. Klitorisnya dipotong karena dianggap sebagai perempuan penggoda. Dalam kehamilan tak diinginkan perempuan selalu disalahkan,” ujar Dokter Mangku.
Ia mencontohkan salah satu daerah di NTT ada budaya sunat untuk laki-laki. Setelah itu ada suatu ritual, setelah laki-lakinya disunat mereka harus mencoba melakukan hubungan seksual dengan perempuan. “Kalau mereka tidak memunyai istri, mungkin saja hubungan seksual dilakukan dengan PSK. Ini tentu rawan penularan virus HIV,” paparnya. Lanjutnya, kondom selalu dicerca dan diharamkan karena dituding melegalkan prostitusi. Padahal, kata dia, penggunaan kondom mengurangi penularan virus HIV/AIDS.
Secara sosial, kedudukan perempuan di masyarakat lebih rendah, dan perempuan selalu tersubordinasi. Ia mengatakan keputusan selalu ada ditangan laki-laki termasuk menentukan kapan memunyai anak dan berapa jumlah anak. Bahkan, kata Dokter Mangku, laki-laki diizinkan poligami. “Laki-laki memaksa istrinya harus melayaninya walaupun dalam keadaan mabuk. Istri tidak memuyai negoisasi dalam urusan seks,” ujarnya.
Malah, yang lebih parah, kata dia, laki-laki masih menganggap urusan keputihan, dan menstruasi adalah urusan perempuan.
Menurut Dokter Mangku, kesehatan reproduksi secara sosial juga menyangkut masalah gender. Perempuan selalu termarginalkan. Perempuan kurang mendapat akses pendidikan dan gizi kurang. “Anak laki-laki boleh mengenyam pendidikan tinggi, sedangkan perempuan toh nantinya akan masuk dapur,” jelasnya. Lapangan pekerjaan untuk perempuan susah. Ia mencontohkan supir truk khusus laki-laki sehingga jok mobil truk disetting khusus untuk laki-laki. Para perempuan dalam kenyataannya sering melakukan peran ganda. Selain sebagai istri dan ibu, mereka juga mencari nafkah. Perempuan menjadi lemah dan tidak berdaya karena terlalu banyak beban yang dipikul.
Kesehatan reproduksi, kata Dokter Mangku, juga menyangkut masalah gaya hidup. “Keinginan untuk hidup glamour dan konsumerisme akhirnya mengorbankan alat kelaminnya untuk kebutuhan semu. Akhirnya muncul penyakit kelamin di usai remaja. –ast
Koran Tokoh, Edisi 542, 31 Mei 2009
5 komentar:
Aku baru tahu kalo di NTT ternyata ada budaya seperti itu.
@buat andri:
hehhehheh, aku jg baru tahu tuuu
wuihhh judulnya "cari daun muda agar awet muda" ngeri amat
banyak orang mengabaikan masalah kesehatan reproduksi, alat untuk menjamin kelangsungan turunan
eh ternyata aku dah komen di sini
@buat attayaya:
hahahha, biar seram biar tertarik bacanya.
gpp komen dua kali, hehhehe
Posting Komentar