DUNIA pendidikan di Bali terjerat daya tarik watak industrialisasi global. Kata lain, wajah industrialis pendidikan cenderung mencolok. Cirinya dilukiskan melalui desakan kuat komersialisasi dunia pendidikan terhadap sumber daya sosial. Upaya mencetak manusia kampus berkarakter satya dharma terancam?
Wajah perempuan remaja itu bermuram durja. Impiannya menjadi dokter kandas di tengah jalan. Ijazah SMA yang dikantonginya tidak cukup mengantarkannya menyandang predikat mahasiswa fakultas kedokteran. Anak perempuan ini harus menyiapkan dana pendidikan puluhan juta rupiah untuk bisa mewujudkan impiannya menjadi mahasiswa di fakultas bergengsi itu. Ilustrasi itu dilukiskan cendekiawan muda Bali Dr. A.A.N. Oka Suryadinatha Gorda, S.E., M.M. “Sekarang ini tidak ada fakultas kedokteran di Indonesia yang menerima anak kuliahan yang hanya bisa bayar Rp 5 juta,” ujar Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Satya Dharma Singaraja itu saat memaparkan “College of Economics with Spiritual Insight” dalam diskusi Koran Tokoh berkerja sama dengan manajemen kampus yang dipimpinnya, Rabu (22/9), di Singaraja.
Pakar ekonomi lulusan Program Doktor Universitas Airlangga Surabaya ini tidak hanya mengangkat satu contoh itu. Oka Suryadinatha mensinyalir sejumlah kenyataan lain yang dilukiskannya sebagai kecenderungan praktik komersialisasi pendidikan modern di Bali khususnya. Menurutnya, ada sejumlah kenyataan di berbagai lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, yang cenderung menerjemahkan kalkulasi suplay and demand saat merekrut calon anak didiknya. “Kenyataan ini menyisakan pertanyaan besar bagi kita. Apakah dunia pendidikan kita masih komit untuk mendekatkan diri dengan masyarakatnya,” ujarnya.Implikasi dari mencoloknya orientasi komersialisasi pendidikan itu tidak main-main. Lulusan S2 IPB Bogor ini menunjukkan beberapa contoh nyata. Satu contoh yang diutarakannya berkaitan dengan perilaku manusia terdidik dalam berinteraksi sehari-hari. Khususnya praktik berinteraksi memakai produk komunikasi canggih, seperti handphone. “Ada orang yang cenderung membaca SMS bisnis ketimbang bersembahyang saat tiba waktu trisandya atau azan magrib. Ini musyrik, menduakan Tuhan,” jelasnya.Ada contoh lain yang dilukiskannya sebagai perilaku yang cenderung mengagungkan kekuasan duniawi ketimbang kekuasaan Tuhan. “Perilaku semacam ini merupakan penyakit yang sedang diderita manusia terdidik,” ujarnya.
Wajah perempuan remaja itu bermuram durja. Impiannya menjadi dokter kandas di tengah jalan. Ijazah SMA yang dikantonginya tidak cukup mengantarkannya menyandang predikat mahasiswa fakultas kedokteran. Anak perempuan ini harus menyiapkan dana pendidikan puluhan juta rupiah untuk bisa mewujudkan impiannya menjadi mahasiswa di fakultas bergengsi itu. Ilustrasi itu dilukiskan cendekiawan muda Bali Dr. A.A.N. Oka Suryadinatha Gorda, S.E., M.M. “Sekarang ini tidak ada fakultas kedokteran di Indonesia yang menerima anak kuliahan yang hanya bisa bayar Rp 5 juta,” ujar Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Satya Dharma Singaraja itu saat memaparkan “College of Economics with Spiritual Insight” dalam diskusi Koran Tokoh berkerja sama dengan manajemen kampus yang dipimpinnya, Rabu (22/9), di Singaraja.
Pakar ekonomi lulusan Program Doktor Universitas Airlangga Surabaya ini tidak hanya mengangkat satu contoh itu. Oka Suryadinatha mensinyalir sejumlah kenyataan lain yang dilukiskannya sebagai kecenderungan praktik komersialisasi pendidikan modern di Bali khususnya. Menurutnya, ada sejumlah kenyataan di berbagai lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, yang cenderung menerjemahkan kalkulasi suplay and demand saat merekrut calon anak didiknya. “Kenyataan ini menyisakan pertanyaan besar bagi kita. Apakah dunia pendidikan kita masih komit untuk mendekatkan diri dengan masyarakatnya,” ujarnya.Implikasi dari mencoloknya orientasi komersialisasi pendidikan itu tidak main-main. Lulusan S2 IPB Bogor ini menunjukkan beberapa contoh nyata. Satu contoh yang diutarakannya berkaitan dengan perilaku manusia terdidik dalam berinteraksi sehari-hari. Khususnya praktik berinteraksi memakai produk komunikasi canggih, seperti handphone. “Ada orang yang cenderung membaca SMS bisnis ketimbang bersembahyang saat tiba waktu trisandya atau azan magrib. Ini musyrik, menduakan Tuhan,” jelasnya.Ada contoh lain yang dilukiskannya sebagai perilaku yang cenderung mengagungkan kekuasan duniawi ketimbang kekuasaan Tuhan. “Perilaku semacam ini merupakan penyakit yang sedang diderita manusia terdidik,” ujarnya.
Saat ini, manusia modern dinilainya bukan hanya mengidap penyakit fisik, juga penyakit batin. Jika seseorang menderita sakit fisik, terapinya ke dokter. Ada orang berduit bahkan rela terbang ke Singapura sekadar general check up kesehatannya. “Sakit fisik memang gampang diobati, terutama jika ada uang,” katanya. Namun, sakit fisik berbeda dengan sakit batin. Orang yang menderita sakit batin bisa menikmatinya. “Jika menderita sakit batin, dirinya sering tidak perlu obat. Sakit batin ini dinikmati melalui berbagai cara, seperti membohongi diri sendiri, menipu, bahkan korupsi menjadi hal lumrah,” ujarnya. Renungan panjang dilakukan Oka Suryadinatha. Ada beban moril yang dipikulnya sebagai salah seorang putra mendiang tokoh pendidikan Prof. Dr. I Gusti Ngurah Gorda, M.S., M.M.
Ayahnya semasa hidup dilukiskannya kerap risau mengamati kecenderungan komersialisasi dunia pendidikan modern. Kerisauan itu memancing Prof. Gorda dulu getol menularkan model pendidikan spiritualitas. Model pendidikan ini diterjemahkan melalui konsep satya dharma.Prof. Gorda mewujudkannya melalui praktik pembelajaran di kampus STIE Satya Dharma Singaraja. Kampus yang digagas kelahirannya oleh prof Gorda sebagai salah seorang pendiri dan mantan rektor Undiknas University itu, me-launching spirit pembelajaran ini 26 Desember 2009 melalui program School of Management with Spiritual Insight. Program ini bersalin kemasan belakangan menjadi College of Economics with Spiritual Insight.
Terobosan baru dilakukan lewat pengembangan optimal department accounting.“Saya memikul tanggung jawab moril untuk melanjutkan pejuangan beliau, khususnya menularkan konsep pendidikan spiritual ini,” ujarnya.Warisan konsep pendidikan satya dharma diteruskan Oka Suryadinatha dua tahun berselang meninggalnya Prof. Gorda. Ini makin dimatangkan saat dirinya memimpin Kampus STIE Satya Dharma Singaraja yang berada di bawah bendera Yayasan Pendidikan Ratyni Gorda. Konsep college of economics with spiritual insight atau sekolah berbasis spiritual menjadi dasar penguatan proses pembelajaran wirausaha anak didiknya. “Dalam mengelola pendidikan di kampus ini, kami ingin mendekatkan dunia pendidikan dengan masyarakat,” katanya.
Sebagai lembaga pendidikan ekonomi, STIE Satya Dharma mengencangkan komitmen untuk menggodok anak didik yang memiliki bekal wirausaha berwawasan spiritual (entrepreneur with spirituality). Komitmen ini makin kencang dijalankan lagi setelah STIE Satya Dharma mendapatkan dana hibah kewirausahaan. Dua kali dana hibah ini dikucurkan pemerintah untuk menggodok keterampilan wirausaha berwawasan spiritual anak didik kampus ini. Dana hibah yang telah diterima sebesar Rp 320 juta. Dana ini yang dikembangkan untuk menciptakan pengusaha berbasis spiritual.Beberapa konsep spiritual dimasukkan dalam mata kuliah, seperti manajemen sumber daya manusia, pemasaran, etika bisnis, manajemen stres, kepemimpinan, dan pemasaran. “Kami memulai dengan diskusi spiritual di kelas. Setelah itu diharapkan berkembang ke ranah publik yang ditularkan anak didik kami,” katanya.
Konsep tersebut menonjolkan ajaran satya dharma kepada sivitas akademikanya. Ajaran kultural ini menekankan perhatian terhadap mutu, kerja keras dan idealisme, kepuasan pengguna jasa, standar etika perilaku yang tinggi, dan tanggung jawab warga negara yang baik.Konsep itu cocok dengan standar kompetensi pendidikan berkarakter. Standar kompetensi tersebut berwujud penguatan iman dan takwa kepada Tuhan YME; akhlak mulia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri; kepekaaan dan kepedulian sosial; kerja sama dan gotong royong; hidup bersatu dalam keragaman; demokratis, bertanggung jawab, dan partisipatif; berorientasi hidup sehat, hemat, dan bersahaja.Konsep pendidikan satya dharma digenjot STIE Satya Dharma untuk mengimbangi derasnya praktik pendidikan berwajah industrialis komersial. Pendidian spiritual ini menjadi alternatif yang masuk akal untuk mencetak manusia kampus yang dekat dengan masyarakatnya. —ast
1 komentar:
salam kenal aja ....kunjungan pertama
Posting Komentar