ALIT ARDANA dari Desa Adat Kuta mengatakan gepeng di Kuta menolak jika diberi uang Rp 1.000. Mereka malah punya uang kembalian. Sebelum ada gepeng di Kuta, kata Alit, dulu banyak pencopet estafet. Mereka mencopet tamu, dan lari berestafet saling oper dengan teman pencopet lainnya, sehingga jejaknya hilang.
Ia mengatakan, sebagian besar gepeng berasal dari Karangasem, sehingga ia mencoba berkoordinasi dengan Bupati Karangasem Wayan Geredeg. Namun, Pemkab. Karangasem beralasan tidak memiliki anggaran. Dinas Sosial Kabupaten Badung juga beralasan tidak cukup anggaran untuk menangani masalah gepeng di Kuta. Padahal, kata Alit Ardana, kantor Bupati Badung sangat megah yang menghabiskan dana miliaran rupiah.
“Petugas Satpol PP jangan hanya waktu Presiden Obama akan datang ke Bali memperketat penjagaan. Petugas sekarang ini hanya bekerja sesuai jam kerja Senin sampai Jumat. Kalau gepeng beroperasi Sabtu dan Minggu mereka kami bawa ke mana,” kata Alit.
Ia mengungkapkan, hansip Kantor Lurah Kuta pernah menangkap gepeng dan memandikan mereka di pantai. Tidak terima mendapat perlakukan tersebut, gepeng tadi melapor ke kelompoknya, dan kemudian melapor ke polisi. “Hansip kami terkena pasal penganiayaan. Mereka minta uang Rp 5 juta. Akhirnya kami negoisasi dan hanya bisa penuhi Rp 1,7 juta. Kasus ini membuktikan, kami dikalahkan kelompok mereka. Mengapa polisi malah memihak mereka. Akhirnya hansip kami takut pada gepeng,” ungkap Alit.
Ia menyarankan, segera dibentuk perda dan sosialisasikan pada wisatawan asing agar mereka memahaminya. Sebab, sebagian besar yang memberi uang, para tamu.
Kelian Adat Desa Kapal A.A. Darmayasa juga menyarankan, perlu adanya perda agar ada kekuatan hukumnya. Gepeng pun mulai menjamur di desa ini. Ada pengepulnya. Perlu diatur sanksi terhadap pengepul gepeng.
Made Sudarma anggota Komisi IV DPRD Prov. Bali mengatakan, setelah semua data lengkap, DPRD segera menggagendakan perda gepeng. Sebagai putra kelahiran Tianyar Timur, Karangasem, secara psikologis ia merasa turut bertanggung jawab.
Apa Perda bisa Menjamin?
Wakil Ketua KPAID Bali Luh Anggreni, S.H. mengungkapkan kajian perda gepeng yang dibuat tim FH Unud belum dapat disosialisasikan terbentur masalah anggaran. Ia berharap Gubernur Bali memberikan prioritas dana dalam penanganan masalah yang terkait kemiskinan ini.
Wayan Suardika dari Yayasan Manikaya Kauci menilai sudah banyak ada perda. “Apakah perda dapat menyelesaikan masalah? Korban KDRT tetap meningkat tiap tahun. Artinya, peraturan belum menjamin adanya perubahan. Perlu kerja sama dan komitmen antarkabupaten untuk mengatasi masalah ini. Apa yang bisa dilakukan Denpasar dan Badung untuk Karangasem? Jangan serahkan semua ke provinsi,” tandasnya.
Mungkin kerja sama pernah dilakukan, namun, katanya, apakah pernah dilakukan evaluasi. Di mana kelemahannya, dan apakah pernah ada pemberdayaan terhadap gepeng. Ia berharap, pemberdayaan dilakukan per kabupaten. “Studi banding saja bisa, kalau serius dan berkomitmen pasti bisa,” tegasnya. –ast
Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 584, 22 s.d 27 Maret 2010
Ia mengatakan, sebagian besar gepeng berasal dari Karangasem, sehingga ia mencoba berkoordinasi dengan Bupati Karangasem Wayan Geredeg. Namun, Pemkab. Karangasem beralasan tidak memiliki anggaran. Dinas Sosial Kabupaten Badung juga beralasan tidak cukup anggaran untuk menangani masalah gepeng di Kuta. Padahal, kata Alit Ardana, kantor Bupati Badung sangat megah yang menghabiskan dana miliaran rupiah.
“Petugas Satpol PP jangan hanya waktu Presiden Obama akan datang ke Bali memperketat penjagaan. Petugas sekarang ini hanya bekerja sesuai jam kerja Senin sampai Jumat. Kalau gepeng beroperasi Sabtu dan Minggu mereka kami bawa ke mana,” kata Alit.
Ia mengungkapkan, hansip Kantor Lurah Kuta pernah menangkap gepeng dan memandikan mereka di pantai. Tidak terima mendapat perlakukan tersebut, gepeng tadi melapor ke kelompoknya, dan kemudian melapor ke polisi. “Hansip kami terkena pasal penganiayaan. Mereka minta uang Rp 5 juta. Akhirnya kami negoisasi dan hanya bisa penuhi Rp 1,7 juta. Kasus ini membuktikan, kami dikalahkan kelompok mereka. Mengapa polisi malah memihak mereka. Akhirnya hansip kami takut pada gepeng,” ungkap Alit.
Ia menyarankan, segera dibentuk perda dan sosialisasikan pada wisatawan asing agar mereka memahaminya. Sebab, sebagian besar yang memberi uang, para tamu.
Kelian Adat Desa Kapal A.A. Darmayasa juga menyarankan, perlu adanya perda agar ada kekuatan hukumnya. Gepeng pun mulai menjamur di desa ini. Ada pengepulnya. Perlu diatur sanksi terhadap pengepul gepeng.
Made Sudarma anggota Komisi IV DPRD Prov. Bali mengatakan, setelah semua data lengkap, DPRD segera menggagendakan perda gepeng. Sebagai putra kelahiran Tianyar Timur, Karangasem, secara psikologis ia merasa turut bertanggung jawab.
Apa Perda bisa Menjamin?
Wakil Ketua KPAID Bali Luh Anggreni, S.H. mengungkapkan kajian perda gepeng yang dibuat tim FH Unud belum dapat disosialisasikan terbentur masalah anggaran. Ia berharap Gubernur Bali memberikan prioritas dana dalam penanganan masalah yang terkait kemiskinan ini.
Wayan Suardika dari Yayasan Manikaya Kauci menilai sudah banyak ada perda. “Apakah perda dapat menyelesaikan masalah? Korban KDRT tetap meningkat tiap tahun. Artinya, peraturan belum menjamin adanya perubahan. Perlu kerja sama dan komitmen antarkabupaten untuk mengatasi masalah ini. Apa yang bisa dilakukan Denpasar dan Badung untuk Karangasem? Jangan serahkan semua ke provinsi,” tandasnya.
Mungkin kerja sama pernah dilakukan, namun, katanya, apakah pernah dilakukan evaluasi. Di mana kelemahannya, dan apakah pernah ada pemberdayaan terhadap gepeng. Ia berharap, pemberdayaan dilakukan per kabupaten. “Studi banding saja bisa, kalau serius dan berkomitmen pasti bisa,” tegasnya. –ast
Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 584, 22 s.d 27 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar