KASUS pemerkosaan yang menimpa anak di bawah umur di kawasan Monang-Maning Denpasar menjadi perhatian serius Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Bali. “Sudah tiga korban di wilayah Monang-maning. Pelakunya belum terungkap,” kata Wakil KPAID Bali Luh Putu Anggreni, S.H. Kawasan Monang-Maning merupakan wilayah permukiman penduduk yang padat dan beragam pekerjaannya. “Dalam kondisi seperti itu perlu ditumbuhkan suasana kekerabatan, penduduk peduli terhadap tetangga atau lingkungan di sekitarnya. Tanamkan dalam diri ‘anakmu adalah anak saya juga’,” ujar Ketua KPAID Bali dr. Sri Wahyuni, Sp.KJ, dalam sosialisasi UU Perlindungan Anak di Monang-Maning, Jumat-Sabtu (19-20/2).
Korban tiga kasus pemerkosaan itu, siswa SD. Kasus ketiga menimpa siswi SD yang berusia 7 tahun. Kasus berawal ketika si anak pulang dari kegiatan pengajian di sekolahnya. Dia didatangi laki-laki dewasa yang menyatakan ayahnya sedang menantinya di Sanur. Anak tadi menuruti ajakan tersebut dan bersedia dibonceng. Namun, sampai di suatu tempat, anak itu mendapat perlakuan kekerasan seksual hingga alat kemaluannya robek. Dua hari sebelum kejadian itu, kasus pemerkosaan juga dialami teman korban sepulang dari pengajian di sekolahnya.
Usahakan Bergerombol
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Poltabes Denpasar AKP Yohana mengharapkan sebaiknya tiap orangtua memberikan pemahaman pada anak-anaknya. “Sebelum dijemput, jangan mudah dibujuk rayuan orang lain, apalagi tidak dikenal. Biasanya pelaku akan mengiming-imingi anak hadiah cokelat, permen, atau es krim,” ujarnya. Kalau anak-anak pulang berjalan kaki, ia menyarankan, usahakan bergerombol dengan temannya. Orangtua ajari anak-anaknya tahu lingkungan. “Mana namanya Sanur, Renon, Lapangan Buyung, dan tempat-tempat strategis lainnya. Kalau terjadi sesuatu atas dirinya mereka tahu lokasinya. Ingat sepeda motor yang digunakan, dan catat nomor platnya,” saran Yohana. Ia mengungkapkan, korban pemerkosaan bukan hanya anak perempuan. Pedofil mengincar dan menyukai anak laki-laki.
Ia menyarankan, warga masyarakat yang melihat kejadiannya, tidak usah takut menjadi saksi. “Saksi dibolehkan tidak hadir di pengadilan. Dengan disumpah mereka menyatakan hal yang benar, dan dengan membuat keterangan yang dibubuhi tanda tangan mereka bisa tidak datang ke pengadilan,” kata Yohana.
Jika melihat barang bukti seperti celana dalam atau darah di lokasi kejadian, jangan disentuh. Hal itu penting untuk penyidikan.
Yohana menyarankan warga masyarakat mulai meningkatkan kewaspadaan dan saling peduli satu sama lain. “Perhatikan orang asing (orang yang tidak dikenal) yang tingkah lakunya mencurigakan misalnya mondar-mandir tidak jelas. Kalau ada anak yang dibonceng, perhatikan anak tersebut, apakah dia tampak ketakutan. Perhatikan jika ada anak yang diturunkan di jalan sendirian terutama pada jam yang rawan pukul 13.00-15.30,” paparnya.
Kipem Terus-menerus
Dokter Sri Wahyuni menyarankan, aparat banjar sebaiknya jangan berlakukan kipem (kartu identitas penduduk musiman) terus-menerus. ”Jangan terjadi, sudah 10 tahun menetap, tetapi masih tidak punya KTP,” katanya. Ia mengungkapkan ada kecenderungan anak mengenakan pakaian meniru artis yang dilihatnya di televisi. Ada yang ikut-ikutan mengenakan pakaian minim, celana pendek atau baju tank top di jalanan. Kondisi ini bisa menjadi sasaran empuk orang-orang yang mentalnya sakit. “Sebaiknya orangtua mengajari anak perempuan mereka, jangan berlarian di luar rumah tanpa mengenakan baju atau hanya memakai kaus dalam dan celana pendek,” sarannya.
Ia mengungkapkan, ada kecenderungan orang yang mentalnya sakit ingin melampiaskan nafsu bejatnya dan menyukai anak-anak kecil, karena mereka masih bersih belum terinfeksi HIV. Kalau pelaku datang ke lokalisasi PSK, rentan terhadap penyakit kelamin dan HIV/AIDS. -ast
Koran Tokoh, Edisi 581, 28 Februari s.d 7 Maret 2010
Korban tiga kasus pemerkosaan itu, siswa SD. Kasus ketiga menimpa siswi SD yang berusia 7 tahun. Kasus berawal ketika si anak pulang dari kegiatan pengajian di sekolahnya. Dia didatangi laki-laki dewasa yang menyatakan ayahnya sedang menantinya di Sanur. Anak tadi menuruti ajakan tersebut dan bersedia dibonceng. Namun, sampai di suatu tempat, anak itu mendapat perlakuan kekerasan seksual hingga alat kemaluannya robek. Dua hari sebelum kejadian itu, kasus pemerkosaan juga dialami teman korban sepulang dari pengajian di sekolahnya.
Usahakan Bergerombol
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Poltabes Denpasar AKP Yohana mengharapkan sebaiknya tiap orangtua memberikan pemahaman pada anak-anaknya. “Sebelum dijemput, jangan mudah dibujuk rayuan orang lain, apalagi tidak dikenal. Biasanya pelaku akan mengiming-imingi anak hadiah cokelat, permen, atau es krim,” ujarnya. Kalau anak-anak pulang berjalan kaki, ia menyarankan, usahakan bergerombol dengan temannya. Orangtua ajari anak-anaknya tahu lingkungan. “Mana namanya Sanur, Renon, Lapangan Buyung, dan tempat-tempat strategis lainnya. Kalau terjadi sesuatu atas dirinya mereka tahu lokasinya. Ingat sepeda motor yang digunakan, dan catat nomor platnya,” saran Yohana. Ia mengungkapkan, korban pemerkosaan bukan hanya anak perempuan. Pedofil mengincar dan menyukai anak laki-laki.
Ia menyarankan, warga masyarakat yang melihat kejadiannya, tidak usah takut menjadi saksi. “Saksi dibolehkan tidak hadir di pengadilan. Dengan disumpah mereka menyatakan hal yang benar, dan dengan membuat keterangan yang dibubuhi tanda tangan mereka bisa tidak datang ke pengadilan,” kata Yohana.
Jika melihat barang bukti seperti celana dalam atau darah di lokasi kejadian, jangan disentuh. Hal itu penting untuk penyidikan.
Yohana menyarankan warga masyarakat mulai meningkatkan kewaspadaan dan saling peduli satu sama lain. “Perhatikan orang asing (orang yang tidak dikenal) yang tingkah lakunya mencurigakan misalnya mondar-mandir tidak jelas. Kalau ada anak yang dibonceng, perhatikan anak tersebut, apakah dia tampak ketakutan. Perhatikan jika ada anak yang diturunkan di jalan sendirian terutama pada jam yang rawan pukul 13.00-15.30,” paparnya.
Kipem Terus-menerus
Dokter Sri Wahyuni menyarankan, aparat banjar sebaiknya jangan berlakukan kipem (kartu identitas penduduk musiman) terus-menerus. ”Jangan terjadi, sudah 10 tahun menetap, tetapi masih tidak punya KTP,” katanya. Ia mengungkapkan ada kecenderungan anak mengenakan pakaian meniru artis yang dilihatnya di televisi. Ada yang ikut-ikutan mengenakan pakaian minim, celana pendek atau baju tank top di jalanan. Kondisi ini bisa menjadi sasaran empuk orang-orang yang mentalnya sakit. “Sebaiknya orangtua mengajari anak perempuan mereka, jangan berlarian di luar rumah tanpa mengenakan baju atau hanya memakai kaus dalam dan celana pendek,” sarannya.
Ia mengungkapkan, ada kecenderungan orang yang mentalnya sakit ingin melampiaskan nafsu bejatnya dan menyukai anak-anak kecil, karena mereka masih bersih belum terinfeksi HIV. Kalau pelaku datang ke lokalisasi PSK, rentan terhadap penyakit kelamin dan HIV/AIDS. -ast
Koran Tokoh, Edisi 581, 28 Februari s.d 7 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar