SIANG itu matahari bersinar terik. Namun, tiga puluh perempuan yang sedang mengikuti pelatihan kepemimpinan dan advokasi yang diselenggarakan LSM Bali Sruti bekerja sama dengan International Republican Institute (IRI) di Natour Bali Hotel, Sabtu (10/7), dengan senang hati berjemur dan berdiri berjejer membagi diri menjadi tiga kelompok. Permainan berjalan seperti kepiting sedang mereka lakoni di halaman hotel itu. Intruksi fasilitator, sepuluh orang dengan kaki diikat harus berjalan menyerupai kepiting agar sampai di garis finish. Tanpa dikomando, mereka segera berdiri sesuai dengan tinggi badannya. Masing-masing kelompok terlihat sangat serius. Kelompok dua misalnya. Ipung sibuk mengikat kaki temannya dengan tali. Sementara Sri Mudani berdiri paling depan karena merasa paling tinggi. Anggota kelompok lainnya siap berjajar. Kaki kanan teman diikat dengan kaki kiri temannya yang di sebelahnya. Ikatan harus kuat agar tidak lepas saat berjalan.
Permainan ini mengajarkan banyak hal kepada peserta pelatihan yang terdiri dari LSM, parpol, dan jurnalis ini. Bagaimana mereka mampu berjalan tanpa jatuh dan barisan tetap utuh. Tiap kelompok memiliki strategi masing-masing. Walaupun semua berambisi untuk menang, tingkah mereka yang saling berebut mengeluarkan ide memancing gelak tawa. Semua ingin jadi pemimpin. Salah satu kelompok mencoba terlebih dahulu dan baru berjalan beberapa langkah, sudah terjungkal dan semua anggotanya mengerang kesakitan karena tali mengerat kaki mereka. Ketika satu kelompok sudah mencapai garis finish, seorang anggotanya yang paling pertama menyentuh garis finish langsung berteriak. “Hore berhasil,” ujarnya bersorak. Dia lupa, kakinya masih terikat tali dan emosinya yang meledak membuat keseimbangannya goyang. Seketika teman disebelahnya disusul teman yang lainnya jatuh terjungkal. Mereka akhirnya gagal karena anggota lainnya terjatuh.
Ani Pratiwi salah satu fasilitator pelatihan mengatakan, sepintas berjalan seperti kepiting tampak mudah. Namun, untuk dapat berjalan ke depan dan mencapai garis finish diperlukan kerja sama yang baik, kebersamaan, dan strategi. “Tidak bisa semua menjadi pemimpin. Harus mau mendengarkan ide teman lain. Belajar berdiskusi. Perlu pengendalian diri, harus tenang, sabar, dan tidak emosi. Sangat sulit menjalin kebersamaan ketika masing-masing dengan egonya, dan tidak mau bekerja sama,” ujarnya. Artinya, kata dia, permainan ini mengajarkan latihan kepemimpinan, problem solving, membuat strategi, kepercayaan, kekompakan, solidaritas, kemandirian, dan tanggung jawab yang sangat berguna untuk diterapkan dalam semua bidang profesi. Menjadi pemimpin bukan hal yang mudah. Apalagi pemimpin perempuan. Untuk menjadi pemimpin, tidak hanya harus memiliki kecakapan dan kelebihan, namun, mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu demi pencapaian tujuan.
Ketua LSM Bali Sruti Luh Riniti Rahayu berpandangan, kaum perempuan kurang mendapat kesempatan menjalankan kepemimpinan dalam masyarakat. Untuk itu, perempuan perlu meningkatkan kualitas diri melalui pendayagunaan peluang, kesempatan, pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mampu menjadi pemimpin yang baik.
Kriteria Pemimpin
Pemimpin dalam bahasa Inggris disebut “Leader”. Makna lead itu sendiri terdiri dari loyality; pemimpin mampu membangkitkan loyalitas rekan kerjanya dan memberikan loyalitasnya untuk kebaikan. Educate; seorang pemimpin mampu mengedukasi rekan-rekannya dan mewariskan pengetahuannya kepada mereka. Advice; pemimpin memberikan saran dan nasihat dari permasalahan yang ada. Discipline; pemimpin memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan kedisiplinan dalam tiap aktivitasnya. Ia menyebutkan, pemimpin yang baik hendaknya memenuhi beberapa kriteria, pemimpin merupakan seorang yang memiliki orang-orang yang mendukungnya yang turut membesarkan nama sang pimpinan. “Pengaruh ini menjadikan sang pemimpin diikuti dan membuat orang lain tunduk pada apa yang dikatakan sang pemimpin.
Seorang pemimpin umumnya diikuti oleh orang lain karena dia memiliki kekuasaan yang membuat orang lain menghargai keberadaannya. Tanpa kekuasaan atau kekuatan tidak ada yang mau mendukungnya. Hubungan menjadi simbiosis mutualisme dimana kedua belah pihak sama-sama saling diuntungkan. Tanpa adanya pengikut maka pemimpin tidak akan ada. Pemimpin atau pengikut merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berdiri sendiri,” ujar Dekan Fisipol Universitas Ngurah Rai ini. Ia menyatakan, pemimpin sejati harus memiliki visi yang jelas. Pemimpin yang memunyai visi dan arah yang jelas kemungkinan sukses lebih besar daripada mereka yang hanya menjalankan sebuah kepemimpinan. Pemimpin membawa sebanyak mungkin pengikutnya untuk sukses bersamanya. Pemimpin sejati bukanlah mencari sukses atau keuntungan hanya untuk dirinya sendiri. Namun, ia tidak khawatir dan takut. Bahkan, kata dia, terbuka mendorong orang-orang yang dipimpinnya bersama-sama dirinya untuk ikut meraih kesuksesan bersama.
“Banyak hal yang harus dipelajari seorang pemimpin jika ia mau terus bertahan sebagai pemimpin yang dihargai oleh pengikutnya. Punya hati yang mau diajar baik oleh pemimpin lain ataupun bawahan dan belajar dari pengalaman diri dan orang lain. Melengkapi diri dengan buku-buku bermutu dan bacan yang positif serta bergaul akrab dengan pemimpin lain akan mendorong keterampilan kepemimpinannya meningkat,” ujarnya.
Pemimpin sejati bukanlah orang yang hanya menikmati dan melaksanakan kepemimpinannya seorang diri. Namun, dia adalah seorang yang visioner yang mempersiapkan pemimpin berikutnya untuk generasi masa depan. Stephen R. Coney menyatakan, prinsip seorang pemimpin adalah seorang yang belajar seumur hidup, berorientasi pada pelayanan, membawa energi positif, percaya pada orang lain, keseimbangan dalam kehidupan, melihat kehidupan sebagai tantangan, bersinergis dengan orang lain, dan berusaha mengembangkan diri sendiri. –ast
Koran Tokoh, Edisi 601, 18 s.d 24 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar