KELUARGA ideal digambarkan ajaran Hindu sebagai keluarga sukinah (hita sukaya). Keluarga hita sukayah dilukiskan sebagai cukup sandang, pangan, papan, selalu rukun, dan berpendidikan. “Tujuan pendidikan agama Hindu dinyatakan sebagai pembentukan karakter luhur (swami satya narayana). Ajaran tat twan asi, engkau adalah aku dan aku adalah engkau, menjadi pijakan. Inilah cermin pendidikan budi pekerti baik. Anak berkarakter atau berbudi pekerti luhur lahir dari ibu yang berbudi luhur dan ayah yang penuh pengabdian kepada Tuhan dan kemanusiaan,” ujar cendekiawan Hindu Prof. I Made Titib, Ph. D.
Menurut Rektor Institut Hindu Dharma Indonesia (IHDN) Denpasar ini, anak baik berperilaku sebagai penolong utama dan pertama bagi orangtuanya. Istri sebagai belahan jiwa memberikan kesejukan kepada suami jika suami sedang bersedih hati.
Seorang istri juga berperan sebagai guru pertama bagi anaknya. Ibu yang menimang, memberikan makan, mengajar cara makan, membiasakan anak sejak kecil berdoa, dan mengajarkan kata manis dan baik. Namun, perkembangan anak tidak lepas dari peran ayah. Tanggung jawab serta perlindungan ayah kepada keluarga akan menjadi panutan seorang anak.
Karakter anak sangat ditentukan kedua orangtuanya, lingkungan, dan upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran anak. Tugas dan kewajiban orangtua terhadap anak-anaknya tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan jamani, juga pendidikan yang baik, lebih khusus pendidikan budi pekerti luhur.
“Pendidikan budi pekerti dapat ditunjukkan melalui keteladanan. Dalam keluarga anak diajari cara berbicara yang lembut, rajin sembahyang, rajin bekerja. Ini harus selalu dicontohkan kedua orangtuanya. Selain itu, sejak kecil, anak sebaiknya sudah dibisiki gayatri mantram di lubang telinga kiri dan kanan. Lingkungan rumah pun senantiasa dibiasakan kasih sayang dan pelayanan kepada siapa saja sebagai bentuk ngayah,” paparnya.
Di India ada kebiasaan kuno yang mengisahkan berbagai cerita mengenai pahlawan dan orang suci kepada ibu hamil. Janin dalam rahim diharapkan dapat terpengaruh dengan vibrasi cerita yang timbul melalaui diri sang ibu. “Tradisi mendengarkan mantram atau kitab suci Weda dan Sloka, seperti kakawin Ramayana atau Arjuna Wiwaha baik bagi wanita hamil,” ujarnya.
Pertengkaran dalam rumah tangga dinilai merupakan hal yang wajar. Zaman dulu sering ditandai ngambul-nya perempuan yang pulang ke rumah asalnya. Esoknya ia disusul suaminya. Biasanya orangtua atau orang yang dituakan menjadi tempat yang dituju pasutri untuk membantu menyelesaikan masalah mereka. Sampai sekarang, peran orang tua masih dianggap penting untuk membantu bilamana pasutri mengalami masalah dalam perkawinannya. Namun, ia menilai, cara ngambul, sudah mulai ditinggalkan. Dengan kesetaraan gender, pasutri hendaknya mampu menyelesaikan masalah mereka dengan lebih bijaksana. —ast
Koran Tokoh, Edisi 598
Menurut Rektor Institut Hindu Dharma Indonesia (IHDN) Denpasar ini, anak baik berperilaku sebagai penolong utama dan pertama bagi orangtuanya. Istri sebagai belahan jiwa memberikan kesejukan kepada suami jika suami sedang bersedih hati.
Seorang istri juga berperan sebagai guru pertama bagi anaknya. Ibu yang menimang, memberikan makan, mengajar cara makan, membiasakan anak sejak kecil berdoa, dan mengajarkan kata manis dan baik. Namun, perkembangan anak tidak lepas dari peran ayah. Tanggung jawab serta perlindungan ayah kepada keluarga akan menjadi panutan seorang anak.
Karakter anak sangat ditentukan kedua orangtuanya, lingkungan, dan upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran anak. Tugas dan kewajiban orangtua terhadap anak-anaknya tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan jamani, juga pendidikan yang baik, lebih khusus pendidikan budi pekerti luhur.
“Pendidikan budi pekerti dapat ditunjukkan melalui keteladanan. Dalam keluarga anak diajari cara berbicara yang lembut, rajin sembahyang, rajin bekerja. Ini harus selalu dicontohkan kedua orangtuanya. Selain itu, sejak kecil, anak sebaiknya sudah dibisiki gayatri mantram di lubang telinga kiri dan kanan. Lingkungan rumah pun senantiasa dibiasakan kasih sayang dan pelayanan kepada siapa saja sebagai bentuk ngayah,” paparnya.
Di India ada kebiasaan kuno yang mengisahkan berbagai cerita mengenai pahlawan dan orang suci kepada ibu hamil. Janin dalam rahim diharapkan dapat terpengaruh dengan vibrasi cerita yang timbul melalaui diri sang ibu. “Tradisi mendengarkan mantram atau kitab suci Weda dan Sloka, seperti kakawin Ramayana atau Arjuna Wiwaha baik bagi wanita hamil,” ujarnya.
Pertengkaran dalam rumah tangga dinilai merupakan hal yang wajar. Zaman dulu sering ditandai ngambul-nya perempuan yang pulang ke rumah asalnya. Esoknya ia disusul suaminya. Biasanya orangtua atau orang yang dituakan menjadi tempat yang dituju pasutri untuk membantu menyelesaikan masalah mereka. Sampai sekarang, peran orang tua masih dianggap penting untuk membantu bilamana pasutri mengalami masalah dalam perkawinannya. Namun, ia menilai, cara ngambul, sudah mulai ditinggalkan. Dengan kesetaraan gender, pasutri hendaknya mampu menyelesaikan masalah mereka dengan lebih bijaksana. —ast
Koran Tokoh, Edisi 598
Tidak ada komentar:
Posting Komentar