Ia berpandangan, keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminsi terhadap perempuan yang selama ini masih terjadi di masyarakat. Diskriminasi di tempat kerja dalam wujud anggapan, pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan, penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan padahal beban kerjanya sama. Diskriminasi di hadapan hukum yang merugikan posisi perempuan, misalnya dalam kasus perceraian.
Menurutnya, hanya dalam jumlah yang signifikan perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti seperti perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara antikekerasan. Perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian agenda nasional. “Mengabaikan perempuan Indonesia dalam pembuatan keputusan politik sama artinya dengan meminggirkan penduduk Indonesia dari proses politik,” tandasnya di depan peserta pelatihan yang terdiri atas anggota parpol, LSM, dan jurnalis ini.
Ia berpandangan, kehadiran perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif akan benar-benar dapat mewarnai dan memengaruhi proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan yang lebih mencerminkan kehendak rakyat, khususnya perempuan. Hanya dengan partisipasi langsung dalam struktur kekuasaan dan proses pengambilan keputusan, serta perumusan kebijakan publik, maka masalah yang dihadapi sebagian besar warga negara yakni perempuan diperjuangkan menuju terjadinya perubahan ke arah terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
Kembangkan Jiwa Patriotik
Ketua KPU Provinsi Bali I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, S.H., M.H. berpandangan, banyak hal yang menyebabkan kegagalan caleg perempuan. Dari segi kuantitas, jumlah caleg perempuan sedikit. Dua faktor lain yang juga memengaruhi, segi internal: perempuan menghadapi banyak kendala seperti keluarga, kemampuan, termasuk belum mengerti dan paham aturan main berpolitik, dan peta politik. Segi ekternal: persaingan melawan laki-laki belum bisa maksimal karena masyarakat belum sepenuhnya mendukung calon perempuan. Pemimpin perempuan di Bali belum diterima secara terbuka. Budaya patrinialis di Bali menganggap persoalan politik hanya urusan laki-laki. Untuk itu, kata Lanang, perempuan perlu melakukan pengisian diri agar berkualitas, berpendidikan, dan tahu aturan permainan dalam politik.
Ia menilai, satu kelemahan perempuan, belum sepenuhnya berjiwa patriotik. Misalnya, meniru jiwa patriotik Jempiring. “Kalau dulu ia berperang dengan kekerasan, perempuan sekarang menggunakan kemampuan diplomasi dan argumentasi yang kuat. Perempuan berani mengambil posisi untuk perjuangan semua bukan untuk pribadi,” paparnya. Contoh dalam kasus Pilkada Jembrana. Perempuan berani menggugat ke Mahkamah Konstitusi karena bupati yang sudah menjabat dua kali ingin tampil lagi menjadi calon wakil bupati. Perempuan menggugat agar kasus itu tidak terjadi di Indonesia. Perempuan harus berani memanfaatkan momentum penting. Dalam sekian abad di Bali, baru pertama kali ada perempuan menjadi bupati di Bali.
Ia berpandangan, kelebihan perempuan menjadi politikus yang harus digaungkan. Bagaimana perempuan mampu memecahkan masalah tanpa menggunakan adu otot, tetapi dengan cara mediasi. Keras tidak harus menggunakan adu fisik. “Ungkapan sambil tersenyum tetapi berisi dan bagus substansinya, akan lebih tepat. Orang tidak lagi melihat dia laki-laki atau perempuan, namun, apa yang dikemukakan,” kata Lanang. Ia mengingatkan, perempuan hendaknya memiliki peta konsep perjuangannya dan peta politik. Ibarat bermain bola, jika ingin menjadi gelandang, dia harus bisa sebagai penyerang. Punya misi pribadi. Tahu langkah yang harus diambil. Tahu aturan mainnya, dan tahu di mana lokasi lapangan bolanya. Namun, masih banyak perempuan yang mengabaikan hal itu. Tidak cukup hanya menjadi kader partai, tetapi mengisi diri di internal partai dan mengerti aturan main berpolitik. Itu semua tidak hanya didapatkan di parpol. Bisa datang dan belajar ke KPU atau LSM, atau tokoh politik. Tidak bisa hanya mengandalkan parpol. Kalau hanya memenuhi ketentuan quota 30%, itu formalitas. Namun, bagaimana memenuhi itu karena memiliki kemampuan dan pemahaman lebih.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan perempuan untuk menjadi pemimpin. Harus memiliki jaringan yang kuat. Artinya, harus memiliki massa pendukung. Kualitas intelektual, artinya tahu berpolitik dan cerdas, dan juga uang. Ini masalah nyata yang terjadi sekarang. “Orang yang tahu dirinya sendiri, tahu aturan main, tahu berpolitik, dan tahu peta politik saja, belum tentu menang, apalagi yang tidak tahu. Tetapi, saya rasa belum terlambat untuk memulainya. Untuk pemilu 2014, masih ada waktu tiga tahun untuk belajar,” tandasnya. –ast
Koran Tokoh, Edisi 602, 25 s.d 31 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar