Ia menyayangkan, semua kasus gangguan keterbelakangan mental sering disamaratakan dengan idiot. Padahal, idiot merupakan gangguan keterbelakangan mental yang paling berat dengan IQ di bawah 20. “Nilai IQ 50-70 termasuk gangguan keterbelakangan mental ringan yang masih bisa dilatih. Mereka dilatih di SLB C, dengan model pengajaran satu per satu untuk mengetahui sejauh mana kemampuannya termasuk hobinya. Tujuannya, agar penderita tunagrahita mampu berjuang bertahan hidup,” ujarnya. Ia menyebutkan, dilihat dari pertumbuhan grafik secara umum, sekitar 70% -80% anak-anak memiliki IQ normal. Hanya 10% anak yang memiliki IQ superior di atas normal, dan 10% anak yang ber-IQ rendah. IQ normal berkisar di atas 90-110, batas 70-90 disebut IQ borderline.
Ia menyebutkan dua penyebab retardasi mental. Penyebab primer dibawa sejak lahir dan penyebab sekunder karena menderita penyakit radang otak saat berusia di bawah dua tahun. “Penyakit radang otak dapat menurunkan kecerdasan bayi yang berakibat terjadi gangguan keterbelakangan mental yang bersifat permanen,” paparnya lebih jauh. Gangguan kecacatan mental secara bawaan dari lahir memang bisa dideteksi mulai dari dalam kandungan. Namun, dilemanya, kata dia, kapan bisa mendeteksinya. Ketika ditemukan kasus usia kehamilan 2-5 bulan dan sudah terbentuk janin, apakah tega untuk dibunuh. Hukum juga melarang aborsi. Ia menegaskan, ada satu kalimat bijaksana yang perlu ditekankan untuk membangun motivasi bagi orangtua yang memiliki anak tuna grahita. “Memunyai anak cacat mental bukanlah kiamat. Mereka dapat dilatih untuk diberdayakan.” Anak yang pandai bermain musik hidupnya tetap berguna. Anak yang jago melukis bisa membuat pameran. Anak yang memunyai fisik yang kuat dapat dilatih olahraga. Itu juga merupakan prestasi. -ast
Koran Tokoh, Edisi 673, 11 s.d 17 Desember 2011