Rabu, 31 Maret 2010

SBI Ibarat Tsunami

STANDAR sekolah bertaraf internasional (SBI) dinilai kalangan guru sangat tinggi. Akibatnya, berbagai terobosan harus dilakukan masing-masing sekolah untuk meresponsnya. Menurut guru SMA I Denpasar Nyoman Budiasa, SBI ibarat tsunami yang datang melanda kalangan sekolah. Program ini dihadirkan ketika kemajuan teknologi dan keharusan berbahasa Inggris datang di tengah dunia pendidikan kita. Sementara, para guru sudah terlahir duluan sebelum globalisasi datang dan tidak semua disiapkan untuk itu.
Untuk mewujudkan itu, katanya, berbagai terobosan telah dilakukan SMAN 1 Denpasar. Mereka mendatangkan konsultan dari pengajar MIPA lulusan Australia dari Unud. Pihaknya juga mengirim beberapa guru menjalani kursus berbahasa Inggris di lembaga kursus di Denpasar. Saat waktu luang, para guru diarahkan untuk belajar berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, konsultan diajak menemani para guru mengajar di kelas. Namun, saat itu siswa justru masih tampak menjadi penonton.

Terobosan lain, kerja sama dengan beberapa sekolah di luar negeri seperti Singapura dan Australia. Sekolah asing tersebut sudah pernah mengirimkan siswanya untuk belajar di SMAN 1 Denpasar. Para guru juga sudah melakukan studi banding ke sekolah di Merbourne. Tujuannya, kerja sama pengembangan IT dan kurikulum.
“Walaupun sudah mengantongi ISO, kami perlu standar yang memang betul-betul sebagai sekolah internasional. Itu yang sedang kami usahakan,” ujarnya. —ast

SBI Belum Terwujud

SEKOLAH bertaraf internasional (SBI) belum berhasil diwujudkan di Bali. Walau sudah dirintis sejak tahun 2006, hingga kini belum ada sekolah yang mampu mencapai fase mandiri. Kendalanya, guru tidak siap mengajar dalam dua bahasa atau bilingual, bahasa Indonesia dan Inggris. “Di samping itu, metode pengajaran bahasa Inggris dianggap belum mampu membuat siswa menyenangi bahasa Inggris,” ujar Kabid. Dikmen Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Bali Drs. I Gusti Ketut Ngurah Widiartha, M.Sc.

Untuk mewujudkan SBI perlu penjaminan mutu. Standar jaminan mutu ini meliputi akreditasi A, pengembangan kurikulum satuan pendidikan yang mengacu pada standar isi yang lebih tinggi, serta kurikulum ditulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Ada standar lain yang belum bisa dipenuhi, yaitu muatan mata pelajaran pun harus setara atau lebih tinggi daripada sekolah unggul luar negeri, minimal 30% pengajar bergelar S2 dan S3, dan sarana-prasarana pendidikan mengacu pada teknologi modern.

“Bagaimana mau berpacu dengan luar negeri kalau alat-alat praktik di sekolah saja masih menggunakan produk lama. Padahal, sekarang sudah zaman digital,” ujar lelaki kelahiran Ubud, Gianyar, ini. Saat ini, katanya, setelah dilakukan evaluasi, beberapa sekolah yang dikatagorikan SBI belum mampu mandiri dan masih tergolong menuju SBI. Padahal, instansinya memunyai visi mencetak siswa menjadi cerdas dan kompetitif. Empat kecerdasan meliputi cerdas spiritual (olah pikir), cerdas emosional (olah rasa), cerdas intelektual (olah otak), dan cerdas fisik (olah raga). “Bukan hanya cerdas yang diinginkan, tetapi memiliki jiwa mandiri dan tidak tergantung pada orang lain sehingga mampu bersaing,” katanya.

Dalam era globalisasi, terjadi persaingan ketat di bidang teknologi, manajemen, dan SDM. “Kita hanya sebagai penonton dan ditindas jika tidak ikut meningkatkan kemampuan,” katanya. Pemerintah daerah diharapkan mampu menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Sekolah bertaraf internasional adalah sekolah yang telah memenuhi seluruh standar nasional pendidikan dan mengembangkan keunggulan yang mengacu pada peningkatan daya saing yang setara dengan mutu sekolah unggul tingkat internasional.

Empat SMA SBI di Bali yakni SMA 1 Denpasar, SMA 4 Denpasar, SMA 1 Gianyar, dan SMAN 1 Singaraja. Sekarang ada 27 SD dan SMP yang didorong menjadi sekolah berstandar internasional. Masalah sumber dana menjadi keluhan beberapa sekolah bertaraf internasional. Parahnya, masih terjadi ketidakjujuran profesional di sekolah. Para guru masih mengatrol nilai siswa. Siswa mendapat nilai bahasa Inggris 7 atau 8 di rapor. Padahal, kenyataannya siswa tersebut hanya meraih nilai 3 atau 4.

Ia menilai, SBI tidak hanya diwujudkan dari gedung yang megah, tetapi isinya harus sesuai dengan standar SBI. Proses pembelajarannya interaktif, inspiratif, menyenangkan, dan menantang. Contoh di AS. Siswa dengan mudah mengakses internet di sekolah. Mereka belajar mandiri berkelompok. “Kalau SBI ini dipaksakan, kasihan siswanya. Mereka belum siap bersaing dan seolah-olah dipaksakan. Apalagi ada syarat penerimaan siswa di SBI melalui tes prestasi akademik dan psikologi,” paparnya.

Untuk mengajar di SBI, katanya, perlu diangkat guru baru sesuai dengan kriteria. “Tidak menggunakan guru yang sudah ada karena sebagian besar sudah berumur tidak muda lagi. Kalau para guru ini dipaksakan untuk mengajar bahasa Inggris tentu menghadapi kendala,” ujarnya. Ke depan sedang dipikirkan untuk dicarikan sekolah partner di luar negeri.Beberapa guru baru juga diangkat untuk ditempatkan di SBI. Kerja sama juga dilakukan dengan lembaga kursus bahasa Inggris untuk meningkatkan kemampuan para guru. Ia berharap, lima tahun ke depan SBI bisa diwujudkan di Bali. Untuk itu, sistem sedang dibenahi dan kurikulum diperbaiki. Depdiknas bekerja sama dengan Sampoerna Foundation membuat satu rintisan SBI di Desa Kubutambahan, Buleleng. Terdapat 150 siswa cerdas yang berasal dari keluarga tidak mampu. Ia berharap, sekolah ini mampu menjadi contoh bagi sekolah lain.

Pemerintah Provinsi Bali menggelontorkan dana Rp 329 miliar untuk pengembangan pendidikan. Dana ini difokuskan untuk empat hal. Salah satunya, yakni mengentaskan masyarakat dari kemiskinan melalui beasiswa pendidikan. Sekitar 10.000 siswa didorong untuk sekolah dengan dana sekitar Rp 41 miliar. Dana BOP (bantuan operasional pendidikan) juga diberikan untuk meringankan beban anak miskin di sekolah. Selain itu, peningkatan mutu dilakukan dengan pembelajaran berbasis informastion and technology (IT) dengan alokasi dana sekitar Rp 21 miliar. Siswa diarahkan belajar dengan multimedia agar pelajaran lebih menarik.

Selain itu, semua program keahlian yang diselenggarakan lembaga nonformal diberi bantuan dana. Tidak hanya keterampilan kecantikan, tetapi juga komputer dan bahasa Inggris. Keterampilan ini diberikan secara gratis kepada tamatan SMA yang belum bekerja dan tidak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi. -ast

Rabu, 24 Maret 2010

Diajari Calistung dan Keterampilan (3)

BEBERAPA di antara 31 anak pekerja di Pasar Badung, kini mengikuti pendidikan di Yayasan Kecantikan Agung termasuk Wayan Budi dan saudaranya. A.A. Ratna Sari Dewi dari Yayasan Kecantikan Agung menuturkan, kegiatan ini sudah dilakukan Oktober 2009. “Diawali rasa simpati kami terhadap para gepeng, tukang suun dan penjual buah potong keliling yang ada di sekitar Yayasan Kecantikan Agung. Mereka diajari membaca, menulis, dan berhitung dan keterampilan khususnya di bidang kecantikan,” ujarnya.

Para gepeng datang seminggu sekali pukul 09.00 s.d 15.00. Mereka diajari menata diri mereka, mulai dari kesehatan, penampilan dan tingkah laku yang baik dan sopan.
Proses pembelajaran dibedakan karena ada yang sudah pernah mengenyam bangku sekolah namun putus sekolah di tengah jalan, atau ada yang tidak pernah sekolah tidak mengenal huruf dan yang tidak bisa membaca.

Untuk menarik perhatian mereka, di sela-sela pembelajaran, diajarkan cara membersihkan wajah dan potong rambut. “Mereka juga kami ajak mengikuti workshop tata rias di Karangasem agar mereka bisa melihat langsung bagaimana keterampilan tersebut berguna nantinya bagi mereka.
Saat ini pengemis yang terdidik di yayasan ini 20 orang, terdiri atas 3 laki-laki dan 17 perempuan. Usia mereka 9 - 23 tahun.

Kejar Paket A
Sebanyak 17 pekerja anak juga telah mengikuti pendidikan kejar paket A dan pelatihan keterampilan yang diselenggarakan Yayasan Kasih Peduli Anak.
Surya Dwipayani, sekretaris Yayasan menuturkan, awal mulanya Putu Etiartini selaku pendiri, prihatin terhadap banyaknya pekerja anak di sekitar Pantai Double Six Kuta. Usia mereka 10-14 tahun.
Mereka diajari calistung di pinggir pantai dengan beralaskan tikar. Setelah ada rumah aman di wilayah Umadui Padang Sambian Kelod, mereka dipindahkan ke sana.

Awalnya tahun 2007 ada 5 anak yang tinggal di sana. Tahun 2010 sebanyak 17 anak terdiri atas 12 laki-laki dan 5 perempuan yang mengikuti program pendidikan di Yayasan Kasih Peduli Anak.
Pagi hari setelah sarapan, anak-anak diajari belajar mencuci piring dan membersihkan dapur. Pukul 10.00 mereka belajar calistung, pukul 13.00 mengikuti kejar paket A di sekolah Ki Hajar Dewantara. Anak-anak juga diajari berbagai keterampilan seperti menari, berbahasa Inggris, menggambar, dan bermain drama. -ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 584, 22 s.d 27 Maret 2010

Hansip Takut Gepeng (2)

ALIT ARDANA dari Desa Adat Kuta mengatakan gepeng di Kuta menolak jika diberi uang Rp 1.000. Mereka malah punya uang kembalian. Sebelum ada gepeng di Kuta, kata Alit, dulu banyak pencopet estafet. Mereka mencopet tamu, dan lari berestafet saling oper dengan teman pencopet lainnya, sehingga jejaknya hilang.
Ia mengatakan, sebagian besar gepeng berasal dari Karangasem, sehingga ia mencoba berkoordinasi dengan Bupati Karangasem Wayan Geredeg. Namun, Pemkab. Karangasem beralasan tidak memiliki anggaran. Dinas Sosial Kabupaten Badung juga beralasan tidak cukup anggaran untuk menangani masalah gepeng di Kuta. Padahal, kata Alit Ardana, kantor Bupati Badung sangat megah yang menghabiskan dana miliaran rupiah.

“Petugas Satpol PP jangan hanya waktu Presiden Obama akan datang ke Bali memperketat penjagaan. Petugas sekarang ini hanya bekerja sesuai jam kerja Senin sampai Jumat. Kalau gepeng beroperasi Sabtu dan Minggu mereka kami bawa ke mana,” kata Alit.
Ia mengungkapkan, hansip Kantor Lurah Kuta pernah menangkap gepeng dan memandikan mereka di pantai. Tidak terima mendapat perlakukan tersebut, gepeng tadi melapor ke kelompoknya, dan kemudian melapor ke polisi. “Hansip kami terkena pasal penganiayaan. Mereka minta uang Rp 5 juta. Akhirnya kami negoisasi dan hanya bisa penuhi Rp 1,7 juta. Kasus ini membuktikan, kami dikalahkan kelompok mereka. Mengapa polisi malah memihak mereka. Akhirnya hansip kami takut pada gepeng,” ungkap Alit.

Ia menyarankan, segera dibentuk perda dan sosialisasikan pada wisatawan asing agar mereka memahaminya. Sebab, sebagian besar yang memberi uang, para tamu.
Kelian Adat Desa Kapal A.A. Darmayasa juga menyarankan, perlu adanya perda agar ada kekuatan hukumnya. Gepeng pun mulai menjamur di desa ini. Ada pengepulnya. Perlu diatur sanksi terhadap pengepul gepeng.
Made Sudarma anggota Komisi IV DPRD Prov. Bali mengatakan, setelah semua data lengkap, DPRD segera menggagendakan perda gepeng. Sebagai putra kelahiran Tianyar Timur, Karangasem, secara psikologis ia merasa turut bertanggung jawab.

Apa Perda bisa Menjamin?
Wakil Ketua KPAID Bali Luh Anggreni, S.H. mengungkapkan kajian perda gepeng yang dibuat tim FH Unud belum dapat disosialisasikan terbentur masalah anggaran. Ia berharap Gubernur Bali memberikan prioritas dana dalam penanganan masalah yang terkait kemiskinan ini.
Wayan Suardika dari Yayasan Manikaya Kauci menilai sudah banyak ada perda. “Apakah perda dapat menyelesaikan masalah? Korban KDRT tetap meningkat tiap tahun. Artinya, peraturan belum menjamin adanya perubahan. Perlu kerja sama dan komitmen antarkabupaten untuk mengatasi masalah ini. Apa yang bisa dilakukan Denpasar dan Badung untuk Karangasem? Jangan serahkan semua ke provinsi,” tandasnya.

Mungkin kerja sama pernah dilakukan, namun, katanya, apakah pernah dilakukan evaluasi. Di mana kelemahannya, dan apakah pernah ada pemberdayaan terhadap gepeng. Ia berharap, pemberdayaan dilakukan per kabupaten. “Studi banding saja bisa, kalau serius dan berkomitmen pasti bisa,” tegasnya. –ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 584, 22 s.d 27 Maret 2010

Perbudakan Anak tetap Terjadi di Jalanan (1)

PAGI itu Wayan Budi tidak menggepeng (meggelandang dan mengemis). Ia datang bersama dua saudara perempuannya. Dia tiba saat diskusi di Kantor BP3A sudah berlangsung. Tak mudah mengajak Wayan Budi datang ke forum diskusi. Dia mengaku kehilangan pekerjaan jika tidak bekerja (mengemis). Dia meminta Rp 20.000 sebagai ganti waktunya yang hilang.

Wayan Budi berasal dari Pedahan Kaja Karangasem. Ia memiliki empat saudara lagi. Ibunya tukang suun (menjinjing barang) di pasar dan bapaknya bekerja di proyek. Mereka tidur bertujuh dalam satu kamar. Wayan sering tidur di luar karena kamarnya sempit. Dalam forum diskusi itu pandangan Wayan Budi tampak kosong. Dua saudara perempuanya asyik mengobrol dengan dialek mereka yang khas. Mereka tidak mempedulikan diskusi yang sedang membahas nasib mereka.

Hari itu Wayan Budi diminta menuturkan pengalamannya sebagai gepeng. Namun, walaupun uang Rp 20.000 sudah diterima, ia menjawab pertanyaan moderator, Luh Anggreni, S.H. hanya sekenanya. Akhirnya, Wayan dibolehkan pergi setelah duduk bengong satu jam.

Berpenyakit Menular
Perbudakan terhadap anak-anak yang berasal dari Karangasem sudah terjadi sejak lama. Aturan hukum perlindungan anak sudah ada, namun tidak diterapkan dalam kasus ini. Sanksi tidak ada kepada bos atau germonya. Dikatakan mereka diekploitasi orangtuanya, namun ironisnya setelah ditangkap aparat mereka diekploitasi lagi. Mereka digunduli dan disuruh membersihkan WC.
Dalam Diskusi Terbatas Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Bali bekerja sama dengan BP3A Bali, Kamis (11/3) di Denpasar, Asana Viebeke L dari I am an Angel lebih jauh mengungkapkan, perbudakan anak tetap terjadi di jalanan, di pantai Kuta dan Legian. Anak-anak itu usia hingga 12 tahun berasal dari Karangasem Timur dan Kintamani bagian timur dekat Buleleng.

“Sejak bayi, mereka digendong orangtuanya mengemis. Setelah bisa berjalan mereka disuruh meminta-minta di pinggir jalan. Setelah lebih besar lagi disuruh menjual gelang. Usia 10-12 tahun dijadikan pekerja seks komersial (PSK),” tutur Asana. Ia mengatakan, bos mereka keluarga sendiri yang lebih dewasa. Sekolah tidak menjadi prioritas. Mereka diharuskan menjual gelang, mengemis, menjadi PSK. Jika pendapatan tidak memadai, mereka tidak dibolehkan tidur dan diharuskan terus bekerja di jalanan.

“Kalau mereka ditangkap, orangtuanya membayar petugas Rp 2.000 s.d. Rp 20.000 tergantung jenis pekerjaan anaknya,” katanya.
Asana menambahkan, bos/famili yang diketahui bertindak kejam mendapat keleluasaan untuk menentukan keputusan terhadap anak-anak tersebut. Eksploitasi terus berlangsung. “Hansip kantor lurah yang mengangkutnya juga menyakiti mereka dengan berbagai cara, seperti mencukur rambutnya, memukuli, menyuruh membersihkan toilet, merampas uangnya saat mereka menanti orangtua/bos yang akan menjemputnya,” ujarnya.

Tempat mereka tinggal bersama orangtua/bos/sanak familinya di Jalan Mataram dan Jalan Kubu Anyar, Kuta. Kawasan tempat mereka menjual gelang, Pantai Double Six, Jalan Benesari, dan Jalan Poppies. Mereka selalu berpindah tempat. Selain itu, ada lokasi tempat orang-orang yang lebih tua bisa dilihat mendekati mereka. “Kaum pedofil ini sudah seperti orang asli Kuta. Lokasinya di belakang hotel Jayakarta, bahkan ada kantornya. Pukul 09.00-11.00 mereka mengajak anak-anak menyantap sarapan. Alasan mereka, memberi anak-anak pekerjaan seperti menjaga anjing atau pergi ke tukang penatu. Anak-anak diiming-imingi uang dan mereka dengan senang hati menerimanya,” papar Asana.

Asana mengutip penuturan warga masyarakat Pedahan yang menyatakan, mereka menghadapi masalah tidak adanya air. Padahal, sudah banyak LSM yang membangun cubang air. Rosela, jambu mete, lontar, tumbuh bagus di sana. Ada juga LSM yang memberi pelatihan membuat topi. Namun, terganjal masalah pemasaran. “Apakah dengan terbukanya pekerjaan, menjamin mereka tidak akan mengemis lagi?” ujarnya.

Ia berpandangan, yang harus diwaspadai bongkolnya yakni bapak atau omnya yang menjadi mafia. “Hidup enak, anak-anak ini bisa menghasilkan Rp 3 juta s.d 10 juta per bulan. Walau sudah ada cubang air, sudah ada lahan pekerjaan, fakta menunjukkan anak-anak mereka tetap masih mengemis,” kata Asana.
Mereka menjadi pengemis bukan karena miskin, namun sudah ada indikasi sindikat atau mafia. Jangan samakan permasalahan gepeng di Jakarta dengan di Bali. Mengemis sudah menjadi sumber pendapatan stabil. Di desanya, ada rumah gedung milik bos dan mereka sudah mampu membeli ternak.

Tahun 2004, Asana bersama I am an Angel melakukan pemeriksaan pap smear kepada para ibu di Desa Pedahan Kaja. Kemaluan mereka berbau dan lumutan. “Februari 2010 kami melayani 60 ibu untuk pap smear, sebagian besar mengalami penyakit menular seksual. Sudah ada infeksi dan mengarah kanker 70-90%,” tandasnya.
Sebagian besar mereka mengonsumsi ketela dan jagung. Akibatnya, anak-anak kekurangan gizi dan yodium.

Ia berpandangan perlu rancangan program terpadu yakni menjauhkan mereka dari jalanan dan melibatkan mereka dalam pembangunan di desanya, Bangun balai sebagai tempat mengumpulkan anak-anak dengan berbagai kegiatan. Arahkan mereka tinggal di panti asuhan sambil mengikuti kegiatan/pelatihan sesuai usia dan potensinya.
Kebanyakan jaringan ini bersifat homogen dari satu kelompok desa atau satu keluarga besar, jadi lebih mudah diputuskan jaringannya sebelum menjadi heterogen. Perlu penyuluhan kepada pemimpin/masyarakat di wilayah aktivitas mereka dan menggugah nuraninya bahwa anak Bali adalah anak mereka juga. Ia berpendapat, perlu pararem dalam upaya mengatasi masalah gepeng ini.

Uang adalah Segalanya
Saat ini sekitar 300 anak bekerja sebagai pengemis dan tukang suun secara paksa di Pasar Badung. KPAID Bali bekerja sama dengan Bagian Psikiatri FK Unud/RS Sanglah berhasil mewawancarai 31 anak yang termasuk dalam eksplotasi ekonomi/sosial tersebut. Sekitar 25% usia mereka berkisar 10 tahun. Anak-anak di bawah 5 tahun tidak bisa dipantau, karena ibunya melarikan diri ketika didekati.
Dari 31 anak tersebut, laki-laki 6 dan perempuan 25 orang. Sebanyak 58% berasal dari Desa Pedahan Kaja, 25% dari Desa Pedahan Klod, dan 16,12% dari Desa Tianyar, Karangasem. Sebanyak 24 orang mengatakan tidak pernah mengenyam bangku sekolah, 6 orang pernah sekolah dan bisa membaca, satu orang bisa membaca karena belajar dari kakaknya.

Mereka di Denpasar hanya tinggal di tempat kos ukuran 3 x 2 meter. Sebanyak 5 orang mengatakan tinggal sekamar dengan 2-4 orang, 7 orang tinggal sekamar dengan 5-6 orang, dan 9 orang sekamar dengan 7 orang.
Lokasi tempat tinggal mereka di sekitar Jalan Kusuma Bangsa, Jalan Gunung Batukaru, Banjar Monang-maning, dan Jalan Penjahitan Banjar Kerandan Denpasar. Alasan mereka datang ke Denpasar, ingin membantu orangtua membangun rumah di kampungnya. Ada juga yang beralasan bapaknya sakit, atau mencari bekal untuk membeli keperluan upacara odalan di kampungnya.

Mereka beroperasi 3 shift, dan tidak merebut lahan saat mengemis. Jadwalnya, pukul 08.00-12.00, 14.00-18.00, dan 18.00-21.00. Sebagian anak-anak ini pindahan dari Kuta. Mereka mengaku, lebih sulit mengemis di Kuta karena banyak saingan. Rata-rata penghasilan mereka Rp 20. 000, minimal Rp 5.000, dan maksimal Rp 50.000. Jika tinggal bersama orangtua, hasil mengemis diserahkan semuanya kepada orangtuanya. Jika mereka tinggal bersama bibi/kakak, uang mereka dipotong 20% untuk biaya kos.

Dari 31 anak, 11 orang mengatakan tidak ingin sekolah, 14 orang mengatakan ingin bisa membaca, menulis, berhitung, dan 6 orang ingin melanjutkan sekolah.
Ketika ditanya cita-citanya, ada yang ingin menjadi presiden. Alasannya, presiden hidupnya enak. Ada yang ingin bercita-cita menjadi guru, dokter, pengusaha, polisi, buka usaha foto, tukang masak, sopir, buruh.
Sudah tertanam dalam benak anak-anak tersebut uang adalah segalanya. Ketika diwawancarai, mereka meminta uang untuk mau mengobrol.

Anak-anak ini rentan tindak kekerasan yang dilakukan teman mereka saat berebut penghasilan. Orangtua menjambak dan memukuli mereka kalau nakal dan tidak mau bekerja. Kekerasan juga bisa dilakukan orang dewasa yang merasa tersaingi dalam meraih rezeki dari pengunjung pasar.
Sebagian besar mereka tidak berani berobat ke klinik di Pasar Badung, walaupun gratis. Mereka hanya membeli obat di warung dan menggunakan loloh dan boreh. Tidak pernah ke puskesmas dengan alasan uangnya nanti habis.

Ketua KPAID Bali Dokter Sri Wahyuni berpandangan, mereka perlu pendampingan sebagai motivator agar mereka percaya diri bahwa hidup adalah perjuangan. Mereka juga membutuhkan bantuan pendidikan, keterampilan, kesehatan, penyediaan lahan pekerjaan dan bantuan pangan selama masa transisi.
Ketua LPA Prov. Bali Nyoman Masni, S.H. menyarankan, dalam menangani kasus gepeng jangan menindak anak-anak. “Mereka hanya korban. Menggepeng bukan cita-cita mereka. Yang harus ditindak para bos dan yang memberi tempat tinggal/menampung mereka,” ujarnya.

Perlu Perda dan Perarem
I Nengah Sukarta dari Satpol PP Badung mengungkapkan, setelah ditangkap, gepeng diangkut ke Dinas Sosial Badung, kemudian Dinas Sosial memulangkan mereka ke daerah asalnya. Besoknya, mereka datang lagi. Begitu seterusnya.
Satpol PP sudah berkoordinasi dengan semua instansi terkait di masing-masing kecamatan. Para gepeng ini setelah ditangkap dikarantina di Kantor Lurah Kuta dan diberi pembinaan. Namun, kata Sukarta, upaya tersebut masih belum maksimal. “Setelah titik strategis diawasi, mereka lari ke Denpasar,” katanya.

Ia menganggap penting adanya peraturan daerah. Dalam perda diatur sanksi kepada yang memberikan uang. “Kalau para gepeng tidak mendapatkan uang dari mengemis, mereka pasti akan tertarik mengikuti pelatihan yang diberikan beberapa LSM,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, di Jakarta ada fatwa MUI yang mengharamkan gepeng. “Apakah itu bisa juga diterapkan di Bali?” ujar Sukarta.

Ketut Suparsa dari Dinas Trantib Kota Denpasar berpandangan, penyelesaian gepeng sekarang ini masih sendiri-sendiri sehingga belum tuntas. Di Denpasar ada kelompok anak jalanan punk. Usianya muda, penampilannya kumuh, tidak pernah mandi, dan tidur di emper toko. Mereka pernah ditangkap kemudian dikembalikan ke orangtuanya. Tetapi, mereka tetap kembali ke jalanan. Ia pun berpendapat, diperlukan perda yang ada sentuhan humanisnya. “Diatur pos penertibannya, ke mana mereka akan dibawa. Harus ada penyaluran yang tepat agar mereka berhenti menjadi anak jalanan. Setelah ada perda, kemudian dibuat pararem,” katanya.

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 584, 22 s.d 27 Maret 2010

Jumat, 19 Maret 2010

Konsumsi Buah sebelum Makan Nasi

Yang baik, mengonsumsi buah sebelum menyantap makanan utama seperti nasi dan lauknya, bukan sebaliknya makan buah setelah makan nasi. Porsi buah maupun sayur 100 gram tiap makan. Namun, berdasarkan hasil penelitian, tingkat konsumsi buah dan suyur remaja SMA di Denpasar masih rendah. Untuk memaksimalkan peran buah dan sayur di dalam tubuh, bagaimana sebaiknya mengomsumsi sayur dan buah yang benar?

“Buah dan sayuran adalah salah satu jenis makanan yang memiliki kandungan gizi vitamin, dan mineral yang sangat baik dikonsumsi tiap hari. Dibandingkan dengan suplemen obat-obatan kimia yang dijual di pasaran, mengonsumsi buah dan sayuran jauh lebih aman karena tanpa efek samping yang berbahaya. Dari sisi harga jauh lebih murah dibanding suplemen yang memiliki fungsi yang sama,” ungkap Dosen Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Denpasar Ida Ayu Eka Padmiari, S.K.M., M.Kes.

Perempuan yang akrab disapa Dayu Eka ini mengatakan, buah dan sayur memiliki fungsi yang berbeda-beda tergantung jenisnya. Selain berfungsi sebagai vitamin dan mineral, buah dan sayur mengandung serat atau polisakarida nonpati, yaitu karbohidrat kompleks yang terbentuk dari gugusan gula sederhana yang bergabung menjadi satu serta tidak dapat dicerna. Serat makanan juga bisa didefinisikan sebagai sisa yang tertinggal dalam kolon setelah makanan dicerna atau setelah zat-zat gizi dalam makanan diserap tubuh. Serat makanan dibagi menjadi dua jenis, yakni serat yang tidak larut air dan serat yang larut dalam air. “Buah juga mengandung enzim yakni substansi yang bertindak sebagai katalis reaksi-reaksi kimia di dalam tubuh sehingga sangat berperan dalam kelangsungan hidup sel. Enzim tidak tahan terhadap suhu tinggi, sehingga untuk memperoleh enzim yang aktif hendaknya mengonsumsi bahan pangan sumber enzim bentuk segar,” paparnya lebih jauh. Ia menyebutkan enzim papain pada pepaya dan enzim bromelin pada nanas.

Ia mengungkapkan, papain dan bromelin mempunyai fungsi yang menguntungkan, yakni membantu melancarkan pencernaan, mencegah bercampurnya keping-keping darah, mempercepat penyerapan antibiotik, mengurangi peradangan pada kasus artritis (peradangan dan pembengkakan pada tulang persendian), mengerem nafsu makan, mencegah atau menghentikan pembengkakan setelah terjadi benturan atau pascabedah, mempercepat penyembuhan luka, dan menekan jumlah koloni candida albican yang merusak gigi.
Kandungan fitonutrien juga terdapat dalam buah dan sayuran yang memunyai peran besar bagi kesehatan. Fitonutrien terdiri dari pigmen (karoten, flavonoid atau bioflavonoid, klorofil), zat-zat yang menyerupai vitamin, (karnitin, kholin, koenzim Q10 (CoQ10), inositol) dan zat makanan minor (fenol,polifenol,indole, dan isocyanate, isoflavon,saponin,dan monoterpene, ellagic,chlorogenic acid, dan cafeic acid, gluthatione)
Ia mencontohkan beberapa buah dan sayuran yang bermanfaat untuk tubuh.

Tomat mengandung vitamin A, B1 dan C. Tomat dapat membantu membersihkan hati dan darah. Selain itu, tomat dapat mencegah beragam penyakit dan gangguan kesehatan seperti gusi berdarah, rabun senja, penggumpalan darah, usus buntu, kanker prostat, dan kanker payudara.
Pepaya mengandung vitamin C dan provitamin A yang membantu memecah serat makanan dan membuat lancar saluran pencernaan makanan. Pepaya dapat menanggulangi atau mengobati beragam penyakit seperti menyembuhkan luka, menghilangkan infeksi, dan menghilangkan alergi. Pisang mengandung vitamin A, B1, B2 dan C yang membantu mengurangi asam lambung dan membantu menjaga keseimbangan air dalam tubuh. Pisang dapat menanggulangi beragam gangguan kesehatan seperti gangguan pada lambung, penyakit jantung dan stroke, stres, dan menurunkan kadar koleterol dalam darah.

Mangga mengandung vitamin A, E dan C. Mangga dapat bertindak sebagai disinfektan dan membersihkan darah. Mangga dapat menanggulangi bau badan yang tidak enak dan menurunkan panas tubuh saat demam.
Strawberri mengandung provitamin A, vitamin B1, B dan C. Selain mengandung antioksidan untuk melawan zat radikal bebas, juga memiliki kegunaan seperti mengobati gangguan kesehatan pada kandung kemih, dan antivirus.
Apel mengandung vitamin A, B dan C. Apel dapat membantu menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan memunyai kegunaan seperti zat antikanker dan mengurangi nafsu makan yang terlalu besar.
Jeruk mengandung vitamin A, B1, B2 dan C. Berfungsi sebagai antikanker bagi tubuh dan mencegah dan mengobati beragam penyakit seperti mengobati sariawan dan menurunkan resiko terkena kardiovaskuler, kanker, dan katarak. Sari buah jeruk yang banyak mengandung vitamin C sangat baik karena selain menstimulasi sistem kekebalan tubuh, juga menghilangkan sumbatan lendir di tenggorokan, rongga hidung, paru-paru dan perut. Berguna pula untuk membersihkan liver dan menghilangkan rasa sakit di tubuh akibat influenza. Bagi mereka yang memiliki gangguan lambung, tentu pilih buah jeruk yang tidak terlalu asam.

Jambu Biji Merah mengandung vitamin C yang sangat banyak sebagai zat antioksidan dan antikanker. Fungsinya menurunkan kadar kolesterol darah, mengobati infeksi, menjaga dan mengobati sariawan, memperlancar peredaran darah. Semangka mengandung vitamin C dan provitamin A dan dapat menjadi antialergi. Semangka memunyai kegunaan seperti menurunkan kadar kolesterol dan mencegah dan menahan serangan jantung. Melon mengandung vitamin C dan provitamin A, zat anti kanker dan anti oksidan. Fungsinya untuk mencegah darah menggumpal, membersihkan kulit, melancarkan saluran pencernaan dan menurunkan kadar kolesterol.

Wortel kaya akan vitamin A, baik untuk menjaga kesehatan mata. Fungsinya meningkatkan kekebalan dan ketahanan tubuh jasmani dan menjaga hati tetap sehat. Belimbing mengandung vitamin C dan provitamin A. Berfungsi untuk memperlancar pencernaan makanan, menurunkan tekanan darah, dan menurunkan kadar / tingkat kolesterol dalam tubuh. Nenas mengandung vitamin B dan C. Berfungsi mencegah terkena serangan jantung dan stroke, dapat menyembuhkan luka dan menyembuhkan infeksi pada saluran pencernaan.
Pir mengandung vitamin C dan provitamin A, dan antioksidan yang baik untuk menjaga kesehatan. Pir dapat mencegah beragam penyakit seperti menurunkan demam / panas tubuh dan mengencerkan dan menghilangkan dahak pada batuk berdahak.
Kandungan kalori, lemak dan minyak yang tinggi dalam alpukat tidak saja menjadi sumber energi yang melimpah yang dibutuhkan pada saat puasa, tapi juga mengurangi kadar kolesterol dan menjaga kelenturan otot-otot sendi.

Warna Buah dan Sayur
Ia menyatakan, warna buah dan sayuran bukanlah sekadar membedakan jenis antara buah dan sayuran yang satu dengan lainnya. Warna buah dan sayur merupakan informasi kandungan nutrisinya. “Untuk mengoptimalkan kebutuhan nutrisi tubuh, ia menyarankan, kenali dengan baik apa kandungan dibalik warna-warnanya,” ujar Dayu Eka.
Buah dan sayuran berwarna merah tua bahkan hampir mendekati ungu umumnya mengandung anthocyanin, yakni sejenis antioksidan yang mampu menghambat terbentuknya gumpalan dalam pembuluh darah, sehingga risiko penyakit jantung dan stroke berkurang. Contohnya, cherri, blackberri, blueberri, plum, anggur merah dan ungu, terong ungu, apel merah, kol ungu, pir merah, dan paprika. “Buah berwarna merah mengindikasikan kandungan antosianin dan likopen. Antosianin berguna untuk mencegah infeksi dan kanker kandung kemih, sedangkan likopen menghambat fungsi kemunduran fisik dan mental agar tidak mudah pikun, dan mencegah bermacam-macam penyakit kanker. Sayuran berwarna merah mengandung flavonoid yang berfungsi sebagai antikanker,” paparnya.

Buah berwarna merah adalah semangka, stroberi, tomat dan jambu biji merah. Sedangkan sayur berwarna merah kol merah dan bayam merah. Buah dan sayuran berwarna jingga mengandung betakaroten yang berfungsi menghambat proses penuaan dan meremajakan sel-sel tubuh. Selain itu juga, betakaroten yang ada di dalam tubuh berubah menjadi vitamin A yang akan memacu sistem kekebalan, sehingga tidak mudah terserang penyakit. Contoh ubi jalar, labu kuning dan wortel, melon, pepaya, aprikot, mangga dan jeruk.
Buah berwarna kuning kaya akan kalium, unsur nutrisi yang sangat bermanfaat untuk mencegah stroke dan jantung koroner. Sedangkan jenis sayuran yang berwarna kuning diyakini ampuh memerangi katarak, serangan jantung, dan stroke. Contohnya, belimbing, nanas, pisang.

Buah berwarna hijau banyak mengandung asam alegat yang ampuh menggempur berbagai bibit sel kanker. Asam alegat membantu menormalkan tekanan darah. Sedangkan sayuran berwarna hijau banyak mengandung vitamin C dan B Kompleks. Selain itu juga besar kandungan zat besi, kalsium, magnesium, fosfor, betakaroten, dan serat. “Kekurangan sayuran berwarna hijau menyebabkan kulit jadi kasar dan bersisik,” katanya. Buah berwarna hijau adalah alpukat, melon, anggur hijau. Sedangkan sayuran berwarna hijau adalah bayam, caisim, sawi hijau, bokcoi, brokoli dan daun singkong.

Ia menyatakan, sayur berwarna hijau merupakan sumber kaya karoten (provitamin A). “Semakin tua warna hijaunya, maka semakin banyak kandungan karotennya. Kandungan beta karoten pada sayuran membantu memperlambat proses penuaan dini mencegah resiko penyakit kanker, meningkatkan fungsi paru-paru dan menurunkan komplikasi yang berkaitan dengan diabetes. Sayuran yang berwarna hijau tua diantaranya adalah kangkung, daun singkong, daun katuk, daun papaya, genjer dan daun kelor,” paparnya.
Ia mengatakan, buah dan sayuran berwarna putih relatif tinggi mengandung serat dan vitamin C, meskipun hanya sedikit mengandung antioksidan. Selain ampuh menjaga kesehatan sistem pencernaan, kata Dayu Eka, sayuran berwarna putih dapat meningkatkan ketahanan tubuh. Sayuran berwarna putih antara lain taoge, kol, kembang kol, sawi putih, rebung, dan jamur, kol dan kembang kol. Sedangkan buah berwarna putih antara lain sirsak, duku, kelengkeng, dan leci.

Merangsang Selera Makan
Buah sebaiknya dimakan 30 – 45 menit sebelum makanan utama (nasi) dan dalam keadaan bersih dan segar karena buah dan sayur berserat dan mengaktifkan enzim pencernaan yang ada di lambung. Fungsinya, untuk merangsang enzim pencernaan untuk makanan yang lebih berat nantinya. “Untuk mengolah buah, tubuh tidak membutuhkan metabolisme yang tinggi. Berbeda pada saat tubuh mengonsumsi protein dan karbohidrat dimana memerulukan energi yang lebih besar,” jelasnya.
Selain itu, dengan memakan buah terlebih dahulu, mengondisikan saluran pencernaan menjadi lebih baik untuk pengolahan makanan selanjutnya. Mengacu pada menu makanan Eropa, mereka biasa menyajikan appetizer sebagai makanan pembuka yakni berupa salad. Fungsinya untuk merangsang selera makan, dan menyiapkan saluran pencernaan untuk makanan yang lebih berat (menu utama).

100 gram Tiap Kali Makan
Jumlah buah dan sayuran yang harus dikonsumsi adalah 100 gram per porsi tiap kali makan. Maksimal 5 kali tiap hari atau 500 gram. Untuk anak-anak porsi yang cukup 50 gram per porsi tiap kali makan. Sayuran yang dihitung adalah sayuran yang sudah matang (sudah dimasak). “Apapun makanan yang dikonsumsi secara berlebihan tidak baik bagi kesehatan tubuh. Kalau kelebihan buah terkadang beberapa orang mengalami diare. Begitu juga dengan kelebihan sayuran. Serat tinggi akan menyerap mineral dalam usus dan dibuang melalui feses,” ujarnya.
Padahal, kata dia, tubuh memerlukan beberapa mineral penting seperti zat besi yang berfungsi untuk pembentukkan darah, atau kalsium diperlukan untuk wanita saat terjadinya menstruasi, dan membantu pertumbuhan tulang dan gigi. Kalsium sangat penting bagi anak-anak, dan lanjut usia.
Ia menyarankan, untuk membiasakan mengonsumsi buah sebelum mengonsumsi makanan utama, sebaiknya dilakukan dengan porsi yang sedikit terlebih dahulu, sebelum mengikuti aturan 100 gram per porsi tiap kali makan.
Ia menyarankan, sangat baik jika mengonsumsi buah dikombinasikan dengan berbagai jenis tiap harinya atau porsi dibagi sesuai waktunya. Contohnya, pepaya 50 gram (sepotong) dan pisang 50 gram ( satu biji yang besar). Tidak disarankan, mengonsumsi buah yang mengandung gas seperti durian, atau nangka karena efeknya kurang baik bagi kesehatan mengakibatkan perut kembung.

Konsumsi Buah Rendah
Berdasarkan hasil penelitian Ir. I Komang Agusjaya Mataram, M.Kes, yang kini sedang menempuh Program Doktor di Unud menyatakan, dari sampel 400 orang remaja SMA di Denpasar tahun 2009, diperoleh hasil, konsumsi sayur 2-3 porsi baru mencapai 57,7% dan konsumsi buah 3-5 porsi hanya mencapai 18,5%. Keadaan ini, kata dia, menunjukkan konsumsi buah masih rendah sehingga perlu mendapat perhatian agar jumlah konsumsinya dapat ditingkatkan karena sayur dan buah juga memegang peranan penting dalam pertumbuhan.
Konsumsi sayur 2-3 porsi (57,7%) tampak lebih baik dibandingkan dengan konsumsi buah 3-5 porsi (18,5%). Kemungkinan sampel menganggap jumlah konsumsi sayur maupun buah sama banyaknya, karena sama-sama merupakan sumber vitamin dan mineral serta bisa saling mensubstitusi.

Susunan hidangan pada pagi hari masih banyak yang belum sesuai anjuran, demikian juga pada saat santap malam masih perlu mendapat perhatian. Keadaan ini kemungkinan disebabkan karena waktu pagi para orangtua tidak sempat menyiapkan makanan secara lengkap. Para orangtua diburu waktu untuk segera berangkat bekerja, dilain pihak sampel juga harus berangkat ke sekolah dengan terburu-buru, kadang-kadang sudah berangkat lebih pagi dari para orangtuanya.
Dari hasil sampel juga menyatakan, susunan hidangan makan pagi masih belum memenuhi anjuran yaitu sampel hanya sarapan roti (24,00%), nasi dan lauk hewani (22,50%), roti dan lauk hewani (11,75%), lainnya bervariasi antara nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah.

Susunan hidangan makan siang tampak lebih baik variasinya yaitu nasi, lauk hewani, sayur dan buah (31,75%); nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah (28,25%), lainnya nasi, lauk hewani/nabati, sayur/buah.
Susunan makan malam hampir mirip dengan susunan hidangan makan siang yaitu nasi, lauk hewani, sayur dan buah (46,25%); nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah (19,75%); nasi, lauk hewani dan sayur (19,25%), lainnya nasi, lauk hewani/nabati, sayur/buah.
Susunan hidangan makan pagi, siang maupun malam yang terdiri dari nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah masih perlu ditingkatkan karena baru sebagian kecil sampel yang menerapkan untuk memenuhi kebutuhan zat gizinya. Cara memasak sayuran pun bervariasi. Sampel menyatakan, cara memasak sayuran yang biasa dilakukan adalah ditumis 59,5% dan sisanya dibening, diurap dan dilodeh. Jenis sayuran yang sering dikonsumsi adalah bayam, kangkung, wortel, sawi, kacang panjang dan jenis buah adalah pisang, jeruk, pepaya, semangka, dan melon. –ast

Sudah dimuat dfi Koran Tokoh, Edisi 583, 14-20 Maret 2010

Selasa, 02 Maret 2010

Salah Pola Asuh bisa Timbulkan Penyimpangan Seksual

TELAH banyak terungkap kasus penyimpangan seksual, khususnya pedofilia. Yang menggegerkan, Siswanto atau Robot Gedek melakukan sodomi disertai pembunuhan anak di Jakarta dan Jawa Tengah dengan korban 12 anak. Kasus lain, Baekuni alias Babe, diduga melakukan sodomi dan mutilasi pada 8 anak. Juga, pernah terungkap anak-anak di Bali juga banyak menjadi korban pedofil turis asing. Data CASA (committee against sexual abuse) menyebutkan, MM warga Italia melakukan praktik pedofilia pada 14 anak di Buleleng. WSB dan HMR asal Prancis melakukan praktik pedofilia di Karangasem, HPW asal Jerman melakukan pedofilia pada 9 anak di Serangan.

Perilaku penyimpangan seksual disebabkan tiga faktor yakni faktor genetik atau keturunan, faktor kepribadian/kejiwaan, dan faktor lingkungan sosial. Ketiga faktor ini saling berhubungan secara implisit. “Mereka umumnya tidak melewati fase falik dengan baik,” ujar Dokter Spesialis Kejiwaan RS Sanglah dr. Wayan Westra, Sp.KJ.

Ia mengatakan, anak usia 4 tahun akan melewati fase oedipus complex, saat seorang anak laki-laki dapat sangat dekat dengan ibunya atau saat anak perempuan yang sangat dekat dengan ayahnya. Jika pada masa ini berjalan dengan normal, mereka mendapatkan pendidikan yang baik, rasa kasih sayang cukup, dan pengertian dari orangtuanya, mereka dapat tumbuh dengan normal. Jika pola asuh orangtua salah, dan orangtua tidak mengerti kejiwaan anaknya, akan terjadi, anak laki-laki yang sangat dekat dengan ibunya tak jarang mereka sampai mengidolakan ibu kandungnya. Ia akan selalu bertentangan dengan ayahnya, bahkan sampai membenci ayahnya. Begitu juga pada anak perempuan yang sampai membenci ibunya. “Kalau orangtuanya tidak memiliki wawasan luas, mereka akan merespons kemarahan anak dengan kemarahan pula. Akhirnya, perkembangan jiwa anak terganggu,” ujarnya.

Dengan bertambahnya usia, anak laki-laki terus mengidolakan ibunya. Ia akan tumbuh sebagai laki-laki yang bersifat keibuan. Semua sifat perempuan masuk ke dalam jiwanya. Ia cenderung menyukai laki-laki dan menjadi homo. Begitu juga pada anak perempuan, ia akan terlahir menjadi lesbian. “Secara psikoanalisis, penyimpangan seksual terjadi karena faktor psikologis dan pola asuh orangtua yang salah,” jelasnya.

Jenis Penyimpangan
Ia mengungkapkan, banyak jenis penyimpangan seksual, di antaranya homoseksual yakni seseorang menyukai orang lain sesama jenis. Pada laki-laki disebut gay dan pada wanita isebut lesbian/lesbi.
Eshibisionisme, penyimpangan seksual yang senang memperlihatkan alat vital/alat kelamin kepada orang lain. “Penderita penyimpangan seksual ini akan suka dan terangsang jika orang lain takjub, terkejut, dan takut melihat pelaku memamerkan alat kelaminnya,” ujarnya.
Fetishisme, perilaku seks menyimpang yang suka menyalurkan kepuasan seksnya dengan cara onani /masturbasi dengan melihat dan menyimpan benda-benda kecil milik perempuan seperti gaun, bando, anting, celana dalam, BH. Voyeurisme, pelaku penyimpangan seks ini mendapatkan kepuasan seksual setelah mengintip orang lain yang sedang telanjang, atau sedang mandi. Pedofilia, penyimpangan seksual yang dilakukan orang dewasa yang yang suka melakukan hubungan seks/kontak fisik yang merangsang dengan anak di bawah umur. Bestially, perilaku penyimpangan seksual bagi manusia yang suka melakukan hubungan seks dengan binatang seperti kambing, kerbau, sapi, kuda.

Necrofilia, penyimpangan seksual bagi orang yang suka melakukan hubungan seks dengan mayat.
Sodomi, pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks baik pasangan sesama jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan. “Pedofil lebih menyukai sodomi. Mereka tidak melakukan hubungan seksual sebagaimana mestinya, karena dalam hati ada ketakutan untuk melakukan hubungan seksual dengan orang dewasa karena proses oedipus complex-nya tidak dilewati dengan baik,” paparnya.
Ia mengatakan, pedofil ingin mencurahkan kemampuan superiornya dengan anak-anak kecil usia 12 tahun ke bawah. Selain memiliki penyimpangan seksual karena bergairah dengan anak kecil untuk memuaskan fantasi seksualnya, tak jarang mereka juga memiliki kelainan kepribadian (psikopat) seperti kasus Babe yang melakukan mutilasi kepada 8 anak-anak. “Ketika korban menolak disodomi, ia lalu ingin melampiaskan sakit hatinya dengan melakukan mutilasi,” ungkapnya.
Psikopat secara harfiah berarti sakit jiwa. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya. Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Gejalanya sering disebut psikopati, pengidapnya sering disebut orang gila tanpa gangguan mental.

Trauma Masa Kecil
Prof. Suryani dan dr. Tjok Jaya Lesmana, Sp.KJ dalam buku “Pedofil Penghancur Masa Depan Anak” menulis, pedofil menaruh perhatian pada anak dengan menyampaikan keinginan untuk memberi pendidikan yang lebih baik dan memberi pengalaman melihat dunia luar. Pedofil adalah seseorang yang memilih menunjukkan aktivitas seksual kepada anak prapubertas atau awal masa pubertas atau yang berumur kurang dari 13 tahun.
Aktivitas seksual dapat berupa fantasi, keinginan, atau perilaku seksual yang terjadi karena penderitaan atau penghinaan dari seseorang atau pasangan hidupnya. Juga, sering terjadi pada orang-orang yang sewaktu kecil mengalami trauma seksual yang dilakukan pedofil.
Berdasarkan usia anak-anak yang disasar, pedofilia dikelompokkan dalam teleiofilia, orang dewasa yang menyenangi pasangan yang sudah matang secara fisik, infantofilia, orang dewasa yang tertarik dengan anak yang berumur di bawah 5 tahun. Mereka yang aktivitas seksualnya memilih remaja pubertas atau anak di bawah umur (13-16 tahun) diklasifikasikan hebofil (tertarik terhadap perempuan) atau efebofilia (tertarik pada laki-laki).

Cara pelaku pedofilia melampiaskan dorongan seksualnya pada anak-anak beraneka ragam di antaranya memamerkan diri mereka pada anak-anak, menanggalkan pakaian anak-anak, memerhatikan anak-anak yang tanpa busana sambil melakukan masturbasi tanpa diketahui korban atau masturbasi di depan anak-anak dengan meraba genitalia korban.
Pedofil perempuan cenderung memiliki usia lebih muda, 22-23 tahun. Biasanya mereka dimasukkan dalam kriteria gangguan psiatri khususnya depresi atau gangguan kepribadian.
Pedofil mengalami masa kecil dengan kekerasan, isolasi, atau penghinaan. Setelah dewasa menjadikan dirinya sebagai orang yang menyenangi kekerasan.
Prof. Suryani menulis, trauma akibat kekerasan seksual yang dialami waktu kanak-kanak, dapat juga menimbulkan gangguan panik setelah ia dewasa. Sering kali mereka ketakutan berada sendirian atau di tempat umum.

Gangguan stres pascatrauma, gejalanya, bayangan kejadian traumatik terulang kembali, mudah marah, sulit tidur, dan tegang. Jika anak mengalami kekerasan seksual dan tidak mampu mengatasi penderitaannya, kemungkinan anak itu depresi seperti kosentrasi berkurang, kepercayaan dirinya berkurang, merasa masa depan suram, pesimis, nafsu makan berkurang.
Penderitaan yang dialami anak-anak yang sukar dipahaminya, dapat menyebabkan gangguan jiwa berat berupa gangguan psikosis (gila). Ia sering mengamuk, menjerit, curiga, menarik diri dari pergaulan, alami ketidakmampuan dalam bekerja yang biasa dilakukan.

Rawan HIV/AIDS
Berdasarkan penelitian, kata Dokter Westra, setelah korban dewasa, ada kecenderungan seolah-olah dia ingin meneruskan kenikmatan yang pernah dirasakan. “Dulu dia menjadi korban kini dia menjadi pelaku, apakah dengan maksud balas dendam atau menikmati kedaan itu dan ingin mempraktikkannya,” ujarnya. Jika pelaku sodomi orang yang mengidap virus HIV/AIDS besar kemungkinan korban pedofil akan tertular karena sodomi dapat merusak jaringan anus anak. “Virus masuk lewat aliran darah karena rusaknya jaringan anus,” katanya. –ast

Jangan Letakkan Komputer di Kamar Anak (Bagian 4)

PESATNYA perkembangan teknologi informasi memberikan imbas kepada kehidupan sosial masyarakat. Internet merupakan dunia maya ibarat pisau bermata dua. “Jika dimanfaatkan dengan benar, kita dapat mendapatkan manfaat positif. Jika salah dalam pemanfaatannya, bisa menjadikan anak-anak kecanduan bahkan berperilaku kriminal.,” papar Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Bali dr. Sri Wahyuni, Sp.KJ.

Dokter spesialis kejiwaan RS Sanglah ini mengatakan, seseorang dikatakan kecanduan, apabila dia sudah melupakan tugas utamanya dan fungsi sosialnya. Pelajar atau mahasiwa lupa belajar, karyawan lupa bekerja, suami/istri melupakan pasangannya. Internet menyajikan sesuatu yang tidak memerlukan tindakan fisik, sangat menyenangkan tanpa melelahkan. Anak-anak, khayalannya makin melambung.
Untuk meminimalkan efek negatif internet, ia menyarankan, orangtua meningkatkan aktivitas anak-anak di dalam dan lingkungan rumah. “Ajak anak-anak belajar berkebun, berolahraga atau bermain, yang mengajarkan anak-anak keterampilan, ketangkasan, keberanian, dan keperkasaan,” sarannya.

Ia mengatakan, jika ada fasilitas intenet di rumah, jangan meletakkan komputer di kamar anak, agar orangtua dapat mengawasi saat anak browsing di internet. “Kalau mereka ke warnet beri anak uang saku secukupnya. Jangan sampai pulang melewati pukul 21.00,” tambahnya. Sudah banyak warga masyarakat yang telah menjalankan apa yang disarankan Dokter Sri Wahyuni itu. Misalnya Suartini. Ibu tiga anak ini menuturkan, untuk mengawasi dua anaknya yang sudah kuliah, ia hanya membolehkan mereka ke warnet sampai pukul 21.00. “Kebetulan warnet ada di depan rumah saya. Jadi mudah diawasi,” katanya.

Leni, mahasiswi FE Unud, menuturkan walaupun berlangganan internet, ia jarang membuka facebook. “Paling seminggu sekali, itu pun hanya ½ jam,” ujar perempuan usia 24 tahun yang kuliah sambil bekerja ini. Ia mengaku, tidak pernah tertarik berselancar mencari pacar di dunia maya. “Lebih baik cari pacar di dunia nyata. Kita bisa tahu kepribadiannya. Kalau di dunia maya bisa saja dia bohong,” kata Leni. –ast

Koran Tokoh, Edisi 582, 28 Februari s.d 7 Maret 2010

Perhatikan Lingkungan Luar sekolah (Bagian 3)

KASUS pemerkosaan yang menimpa siswa SD di kawaswan Monang-maning membuat para guru di kawasan itu segera berbenah diri. Mereka lebih meningkatkan kewaspadaan. Hal itu diungkapkan Plt. Kepala SD 26 Pemecutan Ketut Sukayasa, saat berlangsung sosialisasi UU Perlindungan Anak oleh KPAID Bali kepada para guru di lingkungan Gugus R.A. Kartini. “Setelah kasus pemerkosaan merebak, satpam sekolah ditugaskan mengantar siswa pulang, kalau penjemputnya belum datang,” ujar Sukayasa.

SD 26 Pemecutan memiliki 560 siswa, 11 kelas. Perbandingan jumlah siswa dan ruangan kelas yang tersedia, tidak seimbang. “Kami memang memiliki kelas gemuk. Satu kelas diisi 50 siswa,” katanya. Ia mengungkapkan, komite sekolah sudah mengusulkan kepada pemerintah agar ruangan kelas ditambah mengingat kapasitas siswa yang terus bertambah. Hal itu dibenarkan Pengawas SD Gugus R.A. Kartini Ni Wayan Rinun Artini. Gugus ini menaungi 6 SD yakni SD 19 Pemecutan, SD 15 Pemecutan, SD 26 Pemecutan, SD 27 Pemecutan, SD 32 Pemecutan, dan SD Muhamadiyah 3 Denpasar. Ia menyatakan, rata-rata SD di gugus ini memiliki kelas gemuk. Hal ini, kata Rinun, tidak lepas dari padatnya jumlah penduduk di Monang-maning. Padahal, berdasarkan peraturan mendiknas satu kelas normalnya terisi 28 siswa. “Kelas gemuk dengan satu guru kelas tentu membuat guru sangat kewalahan. Tak jarang guru sampai berteriak karena suara anak-anak yang gaduh,” katanya.

Kepala SD 32 Pemecutan Ni Nyoman Ritini menyatakan, guru tidak bisa sepenuhnya bertanggung jawab pada siswanya. “Pukul 07.00 sampai 12.30, itu tanggung jawab guru. Setelah itu tanggung jawab orangtuanya. Mari kita bersama-sama menjaga anak kita,” ujarnya. Setelah kejadian pemerkosaan ini, kata Ritini, para guru diberi pengarahan agar lebih memerhatikan lingkungan sekitar sekolah.

Ketut Suari, salah seorang ibu rumah tangga di Monang-maning menuturkan sejak kejadian pemerkosaan ini, ia menjemput sendiri anaknya. “Dulu anak saya suka pulang sendiri,” kata istri Nyoman Gede Sumerta ini.
Dua siswa SD 15 Pemecutan Yunika dan Patrisia Dewi menuturkan, sejak kasus pemerkosaan itu mereka menjadi lebih berhati-hati terhadap orang asing dan lebih suka bermain di rumah. Mereka mengungkapkan, sudah dipesan orangtuanya agar jangan mudah percaya iming-iming hadiah dari orang tak dikenal. Demi keamanannya kedua bocah ini kini selalu mengenakan celana pendek di dalam rok sekolahnya. –ast

Koran Tokoh, Edisi 581, 28 Februari s.d 7 Maret 2010

Bukan Hanya Kekerasan Seksual (Bagian 2)

DATA Polda Bali menyebutkan, tahun 2007 terjadi 40 kasus korban kekerasan seksual. Khusus di wilayah Poltabes Denpasar, 27 kasus. Tahun 2008 terjadi 62 kasus korban kekerasan seksual, di antaranya 32 kasus di wilayah Poltabes Denpasar. Dokter Sri Wahyuni menyatakan jumlah sebenarnya diyakini lebih banyak lagi karena diduga banyak kasus yang tidak dilaporkan atau sengaja dirahasiakan karena dianggap aib oleh korban, keluarga, maupun masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud anak dalam UU Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Kekerasan pada anak adalah tindakan yang dilakukan seseorang/individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik atau mentalnya terganggu.

Bentuk tindak kekerasan terhadap anak meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Kekerasan fisik (dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit, dicekik, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas), kekerasan psikis (dihina, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, diancam), kekerasan seksual (diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, dipaksa oral sex, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja di warung remang-remang). Kekerasan ekonomi (dipaksa menjadi pemulung, pengamen, pembantu rumah tangga, pengemis).
Dampak tindak kekerasan terhadap anak yang paling dirasakan yakni pengalaman traumatis yang susah dihilangkan, yang berlanjut pada timbulnya permasalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial. “Mereka cenderung menyalahkan dirinya, menutup, dan menghukum dirinya. Masyarakat cenderung menyalahkan korban, tidak menghiraukan hak privasi korban. Bahkan, media massa tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban secara terbuka,” ujarnya.

Untuk itu, katanya, berbagai upaya pencegahan perlu dilakukan. Pencegahan primer untuk semua orangtua dalam upaya meningkatkan kemampuan pengasuhan dan menjaga agar perlakuan salah tidak terjadi. “Orangtua memberikan perawatan anak dan layanan yang memadai. Kebijakan tempat bekerja yang mendukung, serta pelatihan life skill bagi anak. Pelatihan life skill meliputi penyelesaian konflik tanpa kekerasan, keterampilan menangani stres, membuat keputusan efektif, komunikasi interpersonal secara efektif, tuntunan dan perkembangan anak, termasuk penyalahgunaan narkoba,” paparnya.

Pencegahan sekunder, ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan risiko tinggi dalam upaya meningkatkan keterampilan pengasuhan, termasuk pelatihan dan layanan korban untuk menjaga agar perlakuan salah tidak terjadi pada generasi berikutnya. Kegiatan yang dilakukan dengan melakukan kunjungan rumah bagi orangtua yang baru mempunyai anak/tempat tinggal padat untuk melakukan penilaian diri apakah mereka berisiko melakukan kekerasan pada anak di kemudian hari. Pencegahan tersier, layanan terpadu untuk anak yang mengalami korban kekerasan, konseling, pelatihan tata laksana stres. -ast

Koran Tokoh, Edisi 581, 28 Februari s.d 7 Maret 2010

Tumbuhkan Suasana Peduli terhadap Lingkungan (Bagian 1)

KASUS pemerkosaan yang menimpa anak di bawah umur di kawasan Monang-Maning Denpasar menjadi perhatian serius Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Bali. “Sudah tiga korban di wilayah Monang-maning. Pelakunya belum terungkap,” kata Wakil KPAID Bali Luh Putu Anggreni, S.H. Kawasan Monang-Maning merupakan wilayah permukiman penduduk yang padat dan beragam pekerjaannya. “Dalam kondisi seperti itu perlu ditumbuhkan suasana kekerabatan, penduduk peduli terhadap tetangga atau lingkungan di sekitarnya. Tanamkan dalam diri ‘anakmu adalah anak saya juga’,” ujar Ketua KPAID Bali dr. Sri Wahyuni, Sp.KJ, dalam sosialisasi UU Perlindungan Anak di Monang-Maning, Jumat-Sabtu (19-20/2).

Korban tiga kasus pemerkosaan itu, siswa SD. Kasus ketiga menimpa siswi SD yang berusia 7 tahun. Kasus berawal ketika si anak pulang dari kegiatan pengajian di sekolahnya. Dia didatangi laki-laki dewasa yang menyatakan ayahnya sedang menantinya di Sanur. Anak tadi menuruti ajakan tersebut dan bersedia dibonceng. Namun, sampai di suatu tempat, anak itu mendapat perlakuan kekerasan seksual hingga alat kemaluannya robek. Dua hari sebelum kejadian itu, kasus pemerkosaan juga dialami teman korban sepulang dari pengajian di sekolahnya.

Usahakan Bergerombol
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Poltabes Denpasar AKP Yohana mengharapkan sebaiknya tiap orangtua memberikan pemahaman pada anak-anaknya. “Sebelum dijemput, jangan mudah dibujuk rayuan orang lain, apalagi tidak dikenal. Biasanya pelaku akan mengiming-imingi anak hadiah cokelat, permen, atau es krim,” ujarnya. Kalau anak-anak pulang berjalan kaki, ia menyarankan, usahakan bergerombol dengan temannya. Orangtua ajari anak-anaknya tahu lingkungan. “Mana namanya Sanur, Renon, Lapangan Buyung, dan tempat-tempat strategis lainnya. Kalau terjadi sesuatu atas dirinya mereka tahu lokasinya. Ingat sepeda motor yang digunakan, dan catat nomor platnya,” saran Yohana. Ia mengungkapkan, korban pemerkosaan bukan hanya anak perempuan. Pedofil mengincar dan menyukai anak laki-laki.

Ia menyarankan, warga masyarakat yang melihat kejadiannya, tidak usah takut menjadi saksi. “Saksi dibolehkan tidak hadir di pengadilan. Dengan disumpah mereka menyatakan hal yang benar, dan dengan membuat keterangan yang dibubuhi tanda tangan mereka bisa tidak datang ke pengadilan,” kata Yohana.
Jika melihat barang bukti seperti celana dalam atau darah di lokasi kejadian, jangan disentuh. Hal itu penting untuk penyidikan.
Yohana menyarankan warga masyarakat mulai meningkatkan kewaspadaan dan saling peduli satu sama lain. “Perhatikan orang asing (orang yang tidak dikenal) yang tingkah lakunya mencurigakan misalnya mondar-mandir tidak jelas. Kalau ada anak yang dibonceng, perhatikan anak tersebut, apakah dia tampak ketakutan. Perhatikan jika ada anak yang diturunkan di jalan sendirian terutama pada jam yang rawan pukul 13.00-15.30,” paparnya.

Kipem Terus-menerus
Dokter Sri Wahyuni menyarankan, aparat banjar sebaiknya jangan berlakukan kipem (kartu identitas penduduk musiman) terus-menerus. ”Jangan terjadi, sudah 10 tahun menetap, tetapi masih tidak punya KTP,” katanya. Ia mengungkapkan ada kecenderungan anak mengenakan pakaian meniru artis yang dilihatnya di televisi. Ada yang ikut-ikutan mengenakan pakaian minim, celana pendek atau baju tank top di jalanan. Kondisi ini bisa menjadi sasaran empuk orang-orang yang mentalnya sakit. “Sebaiknya orangtua mengajari anak perempuan mereka, jangan berlarian di luar rumah tanpa mengenakan baju atau hanya memakai kaus dalam dan celana pendek,” sarannya.
Ia mengungkapkan, ada kecenderungan orang yang mentalnya sakit ingin melampiaskan nafsu bejatnya dan menyukai anak-anak kecil, karena mereka masih bersih belum terinfeksi HIV. Kalau pelaku datang ke lokalisasi PSK, rentan terhadap penyakit kelamin dan HIV/AIDS. -ast

Koran Tokoh, Edisi 581, 28 Februari s.d 7 Maret 2010