Tampilkan postingan dengan label Limbah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Limbah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Juli 2011

22 Ribu Kubik Limbah Diolah tiap Hari


Untuk menangani persoalan sanitasi di bidang air limbah, kini Kota Denpasar dan Kab. Badung sudah dapat menikmati proyek Denpasar Sewerage Development Project (DSDP). Proyek kerja sama pemerintah pusat dengan JICA, pemprov. Bali, Kota Denpasar dan Kab. Badung ini melayani masyarakat yang tinggal di Denpasar, Sanur, Kuta, Legian, dan Seminyak. Sebanyak 8647 sambungan rumah sudah terlayani sejak Desember 2008.

Menurut Kepala Badan Layanan Umum Pengelola Air Limbah (BLUPAL) Ir. Tjok Bagus Budiana, DJPL, HE volume limbah yang masuk ke Pengolahan air limbah di Suwung awalnya sekitar 12 ribu kubik per hari. Namun, sekarang sudah mencapai 22 ribu kubik per hari. Kapasitas instalasi ini didesain agar bisa menampung 51 ribu kubik limbah per hari. Luas tanah yang diharapkan untuk instalasi ini sekitar 17,5 hektar. Yang sudah disetujui baru 10 hektar. Yang terbangun kolam seluas 2,5 hektar.

Ia mengatakan, puncak kedatangan limbah mulai pukul 8.00-10.00 pagi dan sore pukul 16.00-18.00. Limbah yang diolah merupakan limbah rumahtangga terdiri dari limbah dapur, kamar mandi, air cucian, dan toilet. Empat sumber air limbah ini sudah disediakan pipa penyalur agar masuk ke sistem pengolahan air limbah DSDP ini. Dengan masuknya proyek DSDP ke rumah penduduk, tidak perlu lagi ada septic tank dan lahan bisa dimanfaatkan untuk hal lain. Limbah masyarakat yang berasal dari Denpasar, Sanur, Kuta, Legian, dan Seminyak ini dikumpulkan terlebih dahulu di rumah pompa. Untuk Denpasar dan Sanur masuk ke rumah pompa di Sanur. Untuk wilayah Kuta, Legian dan Seminyak masuk ke rumah pompa di Kuta.
Ia mengatakan, kandungan limbah domestik ini terkadang menyertakan lemak, dan daun atau serpihan kecil yang semestinya tidak boleh masuk ke sistem pengolahan limbah ini. Saat bercampur di rumah pompa limbah sudah menyatu. Dari rumah pompa, limbah dimasukkan ke kolam aerasi. Dalam kolam ini terdapat suatu alat yang disebut aerator yang berfungsi mengaktifkan mikroba untuk menghancurkan limbah. “Fungsi aerator mengangkap O2 agar mikroba cukup oksigen untuk hidup. Ditambah proses fotosistesis sinar matahari mikroba akan tumbuh dengan baik. Makin banyak mikroba hasil yang didapat makin baik,” ujarnya.

Dalam kolam aerasi limbah tadi diproses dalam dua hari. Setelah masuk ke kolam aerasi, limbah tadi terurai menjadi dua, sebagian keluar berupa air dan sebagian lagi berupa endapan. Air mengalir ke kolam sediment yang kemudian mengalir ke kanal yang akan dilepas ke badan air dan masuk ke hutan mangrove.
Ia mengatakan, kolam aerasi dan kolam sediment selalu menyisakan endapan. Menurutnya, dalam sistem ini sudah dirancang tiap 10 tahun kolam harus dikeruk untuk mengambil endapan. “Sistem ini sudah didesain seperti itu. Diperkirakan setelah 10 tahun endapan akan muncul setinggi 75 cm. Endapan ini akan dikeruk yang tujuannya agar efektivitas mikroba bisa dipelihara,” jelasnya.

Para petugas lab. BLUPAL mengecek sampel air olahan limbah ini tiap hari. Tujuannya, untuk mengecek bakteri, ph, dan temperaturnya sesuai yang diharapkan yakni kualitas baku mutu air mendekati air irigasi. Tiap bulan tim BLUPAL bekerja sama dengan laboratorium daerah untuk melakukan pengecekan agar baku mutu air sesuai dengan aturan.
Menurutnya, aerator merupakan penentu. Sistem ini memerlukan kesadaran masyarakat. Menhol-menhol yang dibangun di jalanan tujuannya untuk operasional dan pemeliharaan. Ia mengimbau kepada masyarakat yang tinggal di kawasan yang sering terkena banjir, jangan membuka menhol dan mengalirkan air hujan ke dalam menhol. “Dengan membuka menhol, bukan hanya air hujan yang masuk, tapi sampah ikut terangkut dan ini membahayakan sistem. Kami pernah menemukan bantal guling, bantal tempat duduk dan keset di dalam instalasi. Ini bisa menganggu kerja mesin,” kata Tjok Budiana.
Ia menyebutkan, proyek DSDP II ada penambahan sambungan sebanyak 7200. Penambahan sambungan ini ada yang berasal dari sistem jemput bola dan permintaan warga. Diharapkan sambungan ini sudah selesai tahun 2012.

Ia menyatakan, selama kurun waktu 2014 penyambungan ke rumah penduduk masih digratiskan. “Disamping tetap menyambung saluran ke rumahtangga proyek kedua ini akan menyasar restoran dan hotel di kawasan Sanur, Kuta, Legian dan Seminyak. Untuk hotel dan restoran biaya sharring. Proyek DSDP I sambungan lebih banyak ke rumahtangga dan hotel di seputaran Kota Denpasar,” ujarnya.
Ia mengakui, sebagian hotel telah memiliki pengolahan limbah tersendiri. Namun, ia berharap, jika sistem ini sudah dibuatkan SOP, harapan ke depan semua hotel ikut bekerja sama. Bagi hotel yang ikut menyambung akan diberi award lingkungan.

Menurut dia, roda penggerak sistem pengolahan limbah ini adalah listrik. Saat ini sistem instalasi dikenai tarif listrik bisnis. Sedangkan, kata dia, misi pengolahan limbah ini lebih banyak ke pelayanan umum. Ia berharap, PLN kembali mengkaji tarif agar bisa dimasukkan ke tarif social.
Bagi masyarakat yang sudah menikmati proyek ini, diharapkan mulai ikut berpartisipasi ikut membayar. Sosialisasi terus digencarkan ke banjar-banjar. Diharapkan bulan September 2011 sudah bisa direalisasikan dan masyarakat memenuhi kewajibannya. Tarif rumahtangga ditentukan Rp 15.000 s.d. Rp 25.000 per bulannya. –ast

Senin, 14 Januari 2008

Bakar Sampah Picu Kanker

HINGGA kini penanganan limbah medis padat masih menyisakan masalah.
Sebagian besar limbah medis padat dimusnahkan dengan tungku pembakaran.
Padahal, pembakaran limbah atau sampah yang mengandung senyawa-senyawa berbahaya itu akan menghasilkan dioksin yakni bahan beracun yang dihasilkan saat terjadi pembakaran substansi alami kimia.
Demikian diungkapkan Ketua II Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Unud dr. I Wayan Darwata, M.P.H.

Master of Public Health tamatan Universitas Hawai tahun 1983 ini menegaskan, pembakaran limbah terutama yang berbahan baku plastik menghasilkan gas CO dan benzopyrin yang dapat memicu kanker.
“Bukan hanya pembakaran limbah medis yang berbahaya, pembakaran sampah, daun-daunan, dan kayu bakar juga mengganggu kesehatan.

Pembakaran ini menghasilkan gas karbon yakni gas yang tidak berbau, tidak berwarna berasal dari proses pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar non fosil (kayu bakar).
Gas SO2 mengakibatkan iritasi mata dan CO2 mengakibatkan sesak napas,” ujarnya.
Ia mengatakan jangka pendek efek asap pembakaran dapat menurunkan daya tahan paru-paru, dan jangka panjang dapat memicu kanker.

Katagori limbah medis padat seperti limbah infeksius terdiri atas bekas balutan, spesimen laboratorium, jaringan busuk. Limbah tajam seperti peralatan gelas yakni thermometer, jarum suntik dan alat suntik.
Limbah plastik seperti bekas kemasan obat dan barang, spuit sekali pakai.
Ada juga limbah kimia, obat-obatan, radioaktif, dan dapur.

Limbah cair seperti air cucian perabotan dapur,bahan makanan, cucian pakaian, darah, dan cairan infus.
“Limbah tersebut kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya,” katanya.
Saat ini katanya, limbah medis cair sudah ditangani dengan Instalasi Pengendalian Air Limbah (IPAL) di masing-masing rumah sakit.
Hanya saja, Darwata menilai penanganan limbah padat medis dengan proses pembakaran masih menyisakan masalah.

Selain limbah medis, kata dokter Darwata sektor sandang seperti pencucian batik, dan sablon yang memakai warna sistetis dapat mengakibatkan pencemaran karena proses pencucian memerlukan air sebagai mediumnya dalam jumlah besar. “Proses ini mengakibatkan air limbah yang besar mengandung sisa warna kimia, kadar minyak dan mengandung limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun).
Jika dialirkan ke sungai menimbulkan gangguan pencernaan, sakit kulit, dan gangguan organ tubuh lainnya,” ujarnya.

Menurut Kepala Bidang Kesehatan Lingkungan IKM Utami Dwipayanti, S.T., M.Bev. air laut adalah suatu komponen yang berinteraksi dengan lingkungan daratan dimana buangan limbah dari daratan akan bermuara di laut.
Selain itu, air laut juga sebagai penerima polutan yang jatuh dari atmosfir.
Limbah tersebut yang mengandung polutan masuk ke dalam ekosistem perairan, sebagian larut dalam air, sebagian tenggelam ke dasar laut dan sebagian masuk ke jaringan tubuh organisme laut termasuk ikan, kerang, udang lainnya.
“Bila makanan laut atau sea food yang tercemar ini dimakan manusia akan berbahaya bagi kesehatan.

Makanan yang tercemar logam berat mempunyai daya racun tinggi yang mengakibatkan kematian.
Seperti kasus penyakit Minamata yang terjadi di Jepang,” ujar Utami.
Tamatan University of New South Wales Sydney tahun 2005 ini mengatakan penyakit Minamata ini terjadi akibat akumulasi logam berat merkuri dalam tubuhnya karena mengnsumsi ikan dan hewan laut yang berasal dari teluk Minamata yang tercemar merkuri limbah industri PI Chisso.
Mereka mengalami gejala kerusakan otak, gangguan bicara dan hilangnya keseimbangan tidak dapat berjalan.
“Pencemaran logam berat tidak mengenal ambang batas karena jika sudah masuk ke tubuh manusia dia bersifat akumulatif dan tertimbun.

Logam berat yang terakumulasi dalam tubuh manusia dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tubuh, menimbulkan cacar fisik, melemahkan sistem saraf.
Bagi ibu hamil, pencemaran logam berat sangat berbahaya bukan saja merusak kesehatan ibunya, tapi kesehatan dan pertumbuhan bayinya juga terganggu.

Ia menyebutkan industri yang memberikan limbah buangan merkuri seperti pabrik tinta, pertambangan, pabrik kimia, pabrik kertas, penyamakan kulit, tekstil, farmasi.
Ia mengatakan risiko tinggi yang berpotensi terkena masyarakat yang mengonsumsi ikan yang berasal dari daerah perairan yang tercemar mercuri.

Pada industri pertambangan emas memerlukan bahan merkuri atau air raksa yang akan menghasilkan limbah logam berat cair. Hal ini kata Utami, dapat memicu keracunan saraf dan merupakan bahan teratogenik.
Selain itu, timbal (Pb) sumber emisi dari pabrik plastik, percetakan, pabrik baterai, kendaran bermotor, dan cat, juga termasuk logam berat yang berbahaya. Ia mengatakan sekali masuk ke tubuh akan masuk ke darah, sumsum tulang, liver, otak, tulang dan gigi. Efeknya gangguan ginjal kronis. -ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh Edisi 471, 13-19 Januari 2008

Energi Listrik dari Sampah

Energi Listrik dari Sampah

SAMPAH identik dengan bau, kotor, dan jorok.
Tapi pernahkah terbayangkan, sampah bisa menyalakan lampu dan menghidupkan barang elektronika seperti televisi dan kulkas?
Proyek (Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu) Sarbagita di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Suwung telah berhasil menyulap sampah menjadi penghasil energi listrik.
Saat uji coba 13 Desember 2007 lalu disaksikan Gubernur Bali Dewa Beratha proyek ini sudah mampu menghasilkan energi listrik dari tumpukan sampah di TPA Suwung.


Menurut Kasubdin TPA Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar Drs. Dewa Made Suarjana tiap hari sampah yang dihasilkan Badung dan Denpasar sekitar 2000-2500 m3.
Dengan kian terbatasnya lahan TPA suwung, sejak tahun 2001 sampah dikelola dengan system control landfill, yakni sampah yang baru dibawa truk pengangkut, dipadatkan sampai berlapis-lapis dengan batas ketinggian 10 meter, kemudian ditutup tanah dengan ketebalan 20 cm.
“Dengan sistem ini paling tidak memperpanjang usia pakai TPA,” ujarnya.

Ia mengatakan dengan luas 22 hektar, idealnya TPA Suwung sudah tidak layak menampung sampah lagi.
Untuk itu, kata dia, dikembangkan sistem pengomposan dengan teknologi fermentasi.
“Tiap harinya 18 m3 sampah organik diolah menjadi kompos. Daun-daunan berserat kecil menghasilkan kompos yang baik. Sampah seperti janur (bahan canang) lidi, ambengan, dan bangkai binatang sangat sulit diolah biasanya masuk dalam tumpukan sampah di landfill,” ujarnya.

Ia memaparkan setelah sampah dipilah dan didapat sampah organik yang sesuai, kemudian dicacah dengan mesin pencacah. Dengan bantuan mikroorganisme melalui proses fermentasi sekitar 4-5 minggu akan menghasilkan kompos yang baik.
Tiap harinya TPA Suwung menghasilkan 1 ton kompos.
Pemanfaatan kompos ini kata dia, digunakan untuk kebutuhan Dinas Kebersihan dan Pertanaman Kota Denpasar sebagai pupuk taman kota. Bagi warga desa/ banjar yang memerlukan kompos diberikan secara gratis.

Saat ini kata dia, banyak siswa dan mahasiswa melakukan pembelajaran pembuatan kompos di TPA Suwung. “Untuk sampah nonorganik yang dapat didaur ulang seperti botol plastik, dan kertas dipungut 300 orang pemulung, dan sampah pakan ternak dipungut 25 pemulung yang biasa beroperasi di kawasan TPA Suwung,” kata lelaki yang menjabat sejak tahun 2001 ini.

Beberapa usaha yang sudah dilakukan baik itu mengelola sampah dengan control landfill, pemgomposan, dan sampah didaur ulang belum mampu menuntaskan masalah yang ada.
Namun kini masalah terbatasnya lahan TPA Suwung segera dapat diatasi dengan baik berkat Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Sarbagita yang merupakan merupakan kerjasama PPP (Public Private Partnership) antara Pemerintah Prov. Bali, Pemkot. Denpasar, Pemkab. Badung, Gianyar dan Tabanan dengan pihak swasta PT. Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) anak perusahaan dari Argo Manunggal.

Menurut Ketua Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita I Made Sudarma IPST ini adalah instalasi pengolahan sampah menjadi listrik yang pertamakali di Indonesia dan juga merupakan proyek yang telah teregistrasi sebagai CDM (Clean Development Mechanism) Project di PBB tanggal 20 Mei 2007.

Dengan luas lahan 10 hektar IPST dibangun di areal TPA Suwung sejak tahun 2005.
Proyek ini dirancang untuk pengelolaan sampah 20 tahun ke depan, dengan perkiraan volume sampah sebanyak 800 ton perhari.
Pemilihan lokasi di TPA Suwung berdasarkan pengkajian bahwa 75% sampah dihasilkan oleh Denpasar dan Badung dan TPA daerah lain tidak ada yang representatif
Ia mengatakan pembiayaan untuk investasi, operasional dan maintenance sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak swasta, sedangkan pihak Pemda menyediakan lahan dan pasokan sampah.
“Untuk menjalankan kerjasama ini Pemda Bali dan Sarbagita membentuk BPKS (Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita) yang merupakan lembaga nonteknis mewakili kepentingan pemda terhadap pihak swasta,” katanya.

Teknologi yang digunakan dalam instalasi ini terbilang canggih, yakni Gasification (Pyrolisis), Landfill dan Anaerobic Digestion (GALFAD), pengolahan sampah menjadi energi listrik.
Sesuai dengan kemampuannya, kata dia, setiap 500 ton sampah yang diolah, akan mengeluarkan daya listrik antara lima sampai enam megawatt.
Diperkirakan, setiap harinya sampah-sampah dari kawasan Sarbagita mencapai 700 hingga 800 ton.

Ia menerangkan gasifikasi adalah teknologi yang merubah sampah organik kering seperti kertas, dahan-dahan kering, kayu-kayu buangan dan sejenisnya melalui proses pyrolisis menjadi syngas (gas sintetis) dan selanjutnya oleh power generator diubah menjadi listrik.
Untuk sampah organik basah yang paling banyak dihasilkan baik rumah tangga maupun pasar diolah dengan sistem anaerobic digestion yang menghasilkan biogas yang selanjutnya gas engine ini diubah menjadi listrik.

Ia mengatakan tumpukan sampah lama yang ada sekarang di landfill TPA Suwung secara bertahap telah dilakukan penutupan dengan tanah untuk mencegah terjadinya pelepasan gas ke lingkungan bebas. “Gas yang dihasilkan dari proses pengomposan sampah di landfill TPA ini telah diambil dengan membuat 8 titik sumur dan mampu menghasilkan energi listrik, khususnya dari gas methan dengan komposisi 45 %.
Saat uji coba 13 Desember 2007 lalu disaksikan Gubernur Bali Dewa Beratha proyek ini sudah mampu menghasilkan energi listrik.

Sambil menunggu penyelesaian tempat pemilahan sampah dan structured landfill cell untuk menerima dan mengolah sampah baru awal Februari 2008, maka pembuatan titik sumur dari sampah lama ditambah hingga Agustus 2008. “Diharapkan nanti menghasilkan listrik sebesar 2 megawatt,” ujarnya.
Secara keseluruhan proyek dengan 3 sistem teknologi ini akan selesai pada tahun 2010 dengan kapasitas listrik yang dihasilkan mencapai 9,6 megawatt masing-masing 5,6 megawatt dari pyrolisis dan 4 megawatt dari anaerobic digestion.

Ia mengatakan potensi listrik ini masih bisa ditingkatkan lagi hingga 12 megawatt.
Pasokan listrik ini pun nantinya sudah disetujui dibeli PLN dengan penandatanganan MoU.
Sudarma menilai proyek ini dapat menjawab banyak hal sekaligus. Selain mampu menyelesaikan masalah TPA yang lahannya kian terbatas dan dianggap mencemari lingkungan, tidak perlu lagi mencari lahan baru.
Disamping itu, masalah pencemaran dapat dikendalikan, sampah menghasilkan energi listrik untuk memenuhi suplai daya listrik di Bali yang kian pas-pasan dan pemanfaatan hutan manggrove dengan penghijauan kembali pada lahan bekas manggrove.-ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh edisi 471, 13 – 19 Januari 2008