Minggu, 26 Juli 2009

Penyakit Baru di Bali, Pedofil sama dengan Teroris

SEORANG bocah ingusan yang masih duduk di bangku SD terpaku di depan rumahnya. Dia sangat merindukan om angkatnya dari Belanda datang. Dia begitu menyayangi om itu. Ia mengaku belum pernah ada yang menyayanginya seperti itu. Dia dimandikan, dilap dengan sayang. Kemudian dicium, didekap saat tidur. Bocah ini merasakan om itu sangat menyayanginya. Orangtuanya sendiri belum pernah memperlakukannya seperti itu. Omnya hanya meminta bocah itu memegang kemaluannya.
“Fedofil beraksi tidak selalu melakukan kekerasan seksual atau sodomi. Mereka bisa hanya mencium dan meraba-raba tubuh korban untuk memuaskan fantasinya,” ujar Prof. Suryani dalam peluncuran buku Pedofil Penghancur Masa Depan Anak, Rabu (22/7) di Denpasar.

Ia mengatakan pedofil berawal dari variasi seksual yang kemudian menjadi pilihan. Cara kerjanya perlahan. “Kalau mereka ketemu anak-anak, mereka memperhatikan dulu baik-baik. Apakah anak tersebut rentan menjadi korban. Apakah mereka membutuhkan kasih sayang atau uang? Kaum fedofil memiliki indra keenam. Mereka sangat pandai dan pintar. Cara bergaulnya sangat menarik,” ungkap Guru Besar FK Unud ini.
Ia menegaskan tidak ada ciri-ciri khusus yang tampak dari kaum pedofil. Mereka hanya dekat dengan anak-anak. Pelaku yang dikenal di Indonesia usia berkisar 50 tahun ke atas. Mereka membawa banyak anak-anak.

Ia mengatakan fedofil tidak mencari korban satu atau dua anak tapi lebih karena fantasinya terus bejalan. Biasanya mereka melakukan kegiatan tersebut minimal selama 6 bulan. Dari kasus yang sudah diungkap mereka berpraktik sudah 5 tahun. Mereka berpindah-pindah, fedofil asing memunyai jaringan. Dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana Sp.KJ menambahkan, kaum pedofil tidak menyadari dirinya sakit. Malah sekarang ini mereka melakukan gerakan ingin diterima di masyarakat seperti kaum homo seks.
Kaum pedofil berargumen, mereka tetap dapat berfungsi secara sosial dengan normal, dan masih dapat berinteraksi baik dengan orang lain. “Ini hanya menyangkut masalah umur. Tidak ada yang menyimpang dari kami,” begitu argumen kaum fedofil yang dikutif Cok Jaya Lesmana.

Rofiqi dari Koran Tempo menyayangkan para pelaku pariwisata di Bali belum melihat pedofil sebagai isu penting. Sampai sekarang masih sebatas pengetahuan. Belum merasa perlu sebuah aksi untuk menangkal. Destinasi Pattaya Thailand ditinggalkan para turis karena terlalu mengedepankan sexual tourism. Apakah Bali ingin seperti itu dulu baru melakukan tindakan?
Menurut Prof. Suryani justru tindakannya mengenalkan pedofil lebih dekat ditentang pelaku pariwisata. Ia mengatakan sangat sulit mengajak pariwisata memahami hal ini. Padahal, kata dia, mereka tahu, orang asing tidak akan datang ke Bali kalau mereka melihat Bali surga bagi kaum pedofil. Sama dengan kasus di Thailand. Para turis protes dengan cara tidak mau datang lagi ke sana.

Menurutnya perlu kerja sama dengan pelaku pairiwisata untuk membuat pariwisata Bali bebas pedofil.
Banyak anak berjualan di Pantai Kuta sampai larut malam. Kemudian mereka dibooking untuk diberikan kepada orang dewasa. Ketika ditanya pada anak-anak itu, mereka menjawab orangtuanya menyuruh mereka mendapat uang. Uang ini sangat penting bagi mereka. Inilah fakta yang sedang terjadi di Bali.
Suatu fakta diungkap Nengah Sukardika dari LSM Manikaya Kauci. Beberapa waktu lalu ia datang ke suatu tempat di Buleleng. Banyak lukisan dan patung porno sangat mirip dengan aslinya. Ia juga sempat bertemu dengan seorang lelaki dewasa yang sudah tamat SMA tanpa rasa malu biasa mandi telanjang bulat di depan umum. Berdasarkan informasi masyarakat sekitar, lelaki itu dekat dengan salah satu orang asing di sana. Katanya, ia sering diberi hadiah dan dibelikan motor. Artinya, indikasi pedofil di Buleleng masih terbuka.
Ia menegaskan pedofil dapat disamakan teroris. LSM telah melakukan berbagai cara mengungkapkan hal ini, namun, ia berharap penegak hukum juga harus serius.Ia menilai peran pemerintah masih kurang. Belum ada rumah aman di Bali. Ia juga mengimbau para orangtua agar jangan terlalu mudah percaya ketika orang asing yang memberikan uang atau hadiah.

Menurut Prof. Suryani, tidak ada orangtua yang menjual anaknya. Mereka justru menangis dan sedih setelah tahu apa yang menimpa anak mereka. Ia mengemukakan satu contoh di Buleleng. Sejak SD dia diangkat anak oleh seorang turis asing. Setiap hari anak itu melayani keinginan orang asing tadi. Setelah anak itu berumur 15 tahun, turis ini mencari orang lain. Ketika kasus ini terungkap, orangtuanya kaget. Mereka tidak menyangka turis itu sampai hati melakukan hal tak senonoh dengan anak mereka. “Jangan menyalahkan orangtua. Dengan berdalih membiayai pendidikan anak-anak, kaum pedofil sangat pintar menraik perhatian,” ujarnya.

Menurut Prof. Suryani disinilah perlu peran orangtua, para guru TK dan SD memberikan pemhaman pada anak dan siswanya agar dapat menjaga diri mereka. “Jangan biarkan anak-anak dicium, dan dipeluk oleh orang asing. Mereka harus dilatih agar menjaga dirinya di bagian tubuh yang bisa memberikan kenikmatan. Berikan bahasa yang mudah dipahami anak contohnya bagian tubuh ini harus dijaga baik-baik agar tuhan sayang pada anak,” jelasnya.
Menurut Dr. Cok Jaya Lesmana, ketika committee against sexual abuse (CASA) sedang gencarnya mencegah fedofil asing bertindak di Bali, justru banyak kasus muncul karena pedofil lokal. Pedofil dapat dilakukan orang terdekat seperti pembantu, saudara, bapak, guru les, atau guru sekolah.
Pedofil tidak sama dengan pemerkosaan. Mereka hidup dalam dunia fantasinya. Mereka jadikan anak-anak dalam pemuasan seksualnya. Bagi masyarakat Bali mereka sulit menerima tapi mudah untuk memaafkan. Ketika kasus itu diungkap, mereka tidak menganggap kasus itu akan memberi trauma pada anak.

Menurutnya korban pedofil dengan luka fisik merasa perlu diobati.Namun, ketika itu menyentuh mental mereka sulit mengatakan diri mereka mengalami gangguan. Padahal, keadaan ini akan menimbulkan trauma.
Pengalaman sebagai korban menimbulkan trauma pada anak yang akan memengaruhi perkembangan mentalnya. Anak merasa ketakutan karena harus menghisap alat kemaluan. Anak merasa jijik bercampur aduk tidak dapat dilukiskan. Malah tak jarang orangtua setelah mengetahuinya malah memarahi anaknya. Reaksi keluarga, sekolah dan masyarkat seperti mengucilkan mereka akan menimbulkan depresi, cemas, emosi dan malu.

Selama ini, kata Prof. Suryani, CASA dalam penanganan kasus pedofil tidak saja menyentuh korban, tapi pemuka masyarakat juga dilibatkan. Sampai saat ini CASA sudah menangani 80 kasus. Korban diterapi hypnosis dan pemahaman kepada orangtua mereka. Setelah dipantau sekian lama, kata Koordinator CASA ini, korban tidak mengalami trauma dan dapat hidup normal seperti biasa. Terapi ini, kata dia, juga sudah menangani anak sekolah yang mengalami kekerasan seksual dari guru atau orangtuanya. Namun, ketika korban atau orangtua mereka merasa tidak perlu diobati, CASA menghentikan penanganan kepada mereka.
Ia menegaskan pedofil tidak dapat disembuhkan. Fantasi mereka tidak bisa dihentikan. Walaupun sudah dilakukan beebrapa cara, belum ada angka yang signifikan membuat mereka normal kembali. Setelah situasi aman mereka mulai mencari mangsa lagi.

Bila dilihat dari perjalanan hidup pelaku pedofil, ditemukan masa kecilnya mengalami kekerasan, penghinaan dan perasaan tidak berharga. Setelah dewasa menjadikan dirinya sebagai orang yang menyenangi kekerasan. Adanya stress akibat masalah interpersonal seperti penderitaan atau kegagalan di masyarakat, pekerjaan juga dapat dijadikan faktor risiko. Hal ini sering terjadi pada orang-orang yang sewaktu kanak-kanak mengalami trauma seksual yang dilakukan kaum pedofil.
Waspadalah, karena korban fedofil dapat melahirkan pedofil baru. Contohnya satu kasus dialami anak usia 8 tahun. Ia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan anak usia 16 tahun. Korban ini lantas melampiaskan fantasinya pada anak usia 3-5 tahun. Ternyata tidak perlu waktu lama menunggu mereka dewasa. Penyakit ini telah melahirkan pedofil baru.

Menurut dr. Cok Jaya Lesmana di luar negeri pelaku pedofil dihukum dengan diisolir. “Mereka akan dihabisi tahanan lainnya. Pedofil dianggap lebih sadis dari pembunuh karena mereka menyentuh anak-anak,” jelasnya. .Ironisnya, kata dia, di Indonesia belum ada pemahaman seperti itu. “Pedofil masih dianggap pelaku kriminal biasa. Terbukti dari hukuman yang dijatuhkan sangat ringan minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Terkadang, hukuman ini tidak dipakai tergantung penegak hukumnya. Sementara di AS, hukumannya minimal 30 tahun. Tertangkap dua kali hukumannya penjara seumur hidup,” paparnya.

Menurut Prof. Suryani, sampai sekarang penegak hukum di Indonesia hanya mau menggunakan bukti kalau ada luka atau bekas. “Kalau hanya dicium atau dipeluk tidak bisa dijadikan bukti,” ujarnya.
Para penegak hukum memandang kasus ini berbeda.
Mereka berasumsi anak ini suka sama suka. Ia menilai penyelesaian kasus di Buleleng jauh lebih bagus. “Hukuman disana bisa 5- 8 tahun. Sedangkan di Denpasar hanya dihukum 6 bulan. Kasus di Karangasem harus didemo dulu agar jumlah hukumannya ditingkatkan,” ujar Suryani.
CASA telah membentuk 36 relawan di Buleleng. Mereka gencar berkampanye menyadarkan para orangtua, guru dan masyarakat. Para seniman membuat film untuk menyadarkan masyarakat akan ancaman pedofil di Bali. Prof. Suryani berharap buku ini dapat dijadikan pedoman untuk lebih mengenal pedofil. Buku ini merupakan hasil kerja sama CASA, Terre des Hommes Belanda dan Yayasan Obor Indonesia dalam rangka kampanye anti pedofil berbasis masyarakat. –ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 549, 26 Juli 2009

Selasa, 14 Juli 2009

Disnaker Buka Magang ke Jepang

Dalam upaya mengurangi jumlah penganggur telah dibuka magang ke Jepang. Pendaftaran dibuka 24 Agustus. Jepang mengharapkan tenaga dari Bali sebanyak-banyaknya. Demikian diungkapkan Drs. I Made Juana, M.M., Kepala Bidang Lattas Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan (Disnaker Transduk) Prov. Bali.
Ia mengatakan Indonesia sedang menghadapi masalah pengangguran. Melimpahnya jumlah pencari kerja tidak sesuai dengan kesempatan kerja yang tersedia. Akibatnya, masih banyak pengangguran. Data statistik penduduk Bali tahun 2008 menunjukkan, dari 3.950.920 orang yang tergolong usia kerja sebanyak 2.703.767. Angkatan kerja yang ada sebesar 2.094.697 dan jumlah pengangguran 95.512 atau 4,56% dari jumlah angkatan kerja. “Jumlah angkatan kerja di Bali setiap tahunnya cenderung meningkat. Hal ini karena semakin banyaknya lulusan yang dihasilkan perguruan tinggi Sementara, tidak semua lulusannya terserap dalam dunia kerja karena terbatasnya lapangan pekerjaan,” ungkapnya.

Ia memaparkan, secara umum permasalahan ketenagakerjaan di Bali antara lain karena kesempatan kerja belum mampu menyerap angkatan kerja, jumlah pengangguran tinggi, kualitas angkatan kerja relatif rendah.
Data United Nation Development Program badan PBB untuk program pembangunan, menempatkan Indonesia di peringkat 108 dalam indeks pembangunan manusia. Peringkat ini jauh dibawah Singapura (peringkat 25), Brunei (peringkat 34), Malaysia (peringkat 61), Thailand (peringkat 74), dan Filipina (peringkat 84). Indonesia hanya setingkat lebih baik dari Vietnam. Indonesia mampu melampaui dua negara yakni Timur Leste (142) dan Papua Nugini (139).

Hal ini, kata Juana, diperparah dengan kurangnya penguasaan bahasa asing bagi calon tenaga kerja, kurangnya minat pada pekerjaan informal, dan rendahnya jiwa wirausaha.
Untuk mengatasi meningkatnya jumlah pengangguran, Disnaker Transduk telah menyiapkan balai latihan kerja (BLK) bagi angkatan kerja di Bali. BLK memberikan pelatihan keterampilan bagi golongan menengah ke bawah tanpa dipungut biaya. Berbagai jurusan telah dibuka seperti bangunan, elektronika, listrik, otomotif, sekretaris, komputer, dan pariwisata. Setiap kelas diisi 16 siswa dengan instruktur professional. Selama ini jurusan bangunan sepi peminat. “Pelatihan di BLK tidak mendapatkan uang saku dan makan. Mungkin mereka lebih suka langsung bekerja pada pemborong,” ujar Juana.

Menurut Juana, setelah mengikuti pelatihan, para tenaga kerja ini diberikan kesempatan magang di perusahaan. Sebagian besar, kata Juana, mereka langsung diterima bekerja.
Sejak tahun 1995 Disnaker Transduk bekerja sama dengan Asosiasi Usaha Menengah di Jepang membuka kesempatan magang ke Jepang selama 3 tahun. Sampai tahun 2009 sebanyak 425 orang dari Bali telah diberangkatkan magang ke Jepang. Setiap tahunnya Pemerintah Jepang meminta kebutuhan tenaga magang dari Bali sebanyak-banyaknya.

Menurut Juana, orang Bali dikenal sangat disiplin dan bertanggungjawab sehingga permintaan rutin tiap tahun. Sampai saat ini, kaat Juana, belum ada komplain dari Pemerintah Jepang. Namun, ketatnya persyaratan banyak tenaga kerja yang gagal. “Banyak peminat gagal dalam tes fisik dan matematika. Lari 30 kilometer dengan waktu 15 menit mereka tidak mampu. Mereka terlalu priyayi, tidak mau dipaksakan,” ujarnya. Ia menyebutkan kabupaten yang paling banyak mengirim tenaga kerja dari Jembrana, Badung dan Denpasar. Seleksi meliputi administrasi, pemeriksaan kesehatan tubuh, tes matematika, bahasa Jepang, wawancara, psikotes, dan medical check up.

Mulai tahun 2009 kemampuan bahasa Jepang dimasukkan dalam persyaratan calon tenaga kerja. Untuk itu, Disnaker Transduk menyiapkan jatah 60 orang untuk mendapatkan kursus gratis bahasa Jepang. “Mereka yang mendapatkan kesempatan ini, harus lulus seleksi administrasi,” jelas Juana. Karena hanya dijatah 60 orang, terpaksa diseleksi untuk kursus bahasa
Untuk seleksi menggunakan sistem gugur. Biaya tes bisa dicicil tidak sekaligus. “Untuk tes pemeriksaan kesehatan tubuh ada biaya makannya Rp 20.000. Kalau tidak lulus, hanya rugi Rp 20.000 saja. Kalau dihitung selama menjalani tes keseluruhan biaya sekitar 5 juta,” jelasnya.
Walaupun magang, tenaga kerja tetap mendapatkan upah. Untuk tahun pertama 6 juta setiap bulannya, tahun kedua 7 juta setiap bulannya, dan tahun ketiga 8 juta tiap bulannya. Setelah kembali ke Indonesia tiap orang dibekali modal 50 juta untuk berwirausaha. “Mereka diharapkan bisa mandiri dan membuka usaha. Mereka ini yang nantinya melatih bahasa dan budaya Jepang bagi calon tenaga magang yang akan berangkat.

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 548, 12 Juli 2009

Selasa, 07 Juli 2009

Upah berdasarkan Produktivitas, Pacu Semangat Tenaga Kerja

UPAH minimum dinilai yang membuat tenaga kerja menjadi kurang produktif. Walaupun pengusaha mampu membayar upah lebih tinggi, kecenderungan mereka hanya membayar sesuai upah minimum. Akibatnya, tenaga kerja menjadi malas, karena mereka berpikir rajin atau malas upahnya tetap sama. Demikian diungkapkan Kepala Bidang Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Badung Drs. I Gst. Ketut Narmada dalam Diskusi Terbatas Koran Tokoh kerja sama STIMI Handayani, Selasa (30/6).

Menurutnya sistem pengupahan harus diubah berdasarkan produktivitas. “Sistem ini akan memacu tenaga kerja menjadi bersemangat, disiplin, loyal, berprestasi, dan tidak tercela,” tegas Narmada. Untuk sukses di dunia kerja, menurutnya ada tiga faktor yang penting yakni ada keinginan kuat, membina hubungan baik dengan siapapun, dan kemampuan kerja atau keterampilan yang profesional dibidangnya. Untuk itu, kata Narmada, diperlukan perencanaan tenaga kerja baik makro maupun mikro. Tujuannya, untuk mengetahui kebutuhan tenaga kerja. “Dengan perencanaan ini, maka perguruan tinggi dapat membuat kurikulum yang mengacu pada kebutuhan dunia kerja.


Ia mengusulkan sebaiknya dibuat perda agar semua pencari kerja memiliki sertifikasi termasuk tenaga asing. Hal ini, kata dia, agar tenaga kerja siap bersaing dan membatasi tenga kerja asing masuk ke Bali. –ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 547, 5 Juli 2009

Sabtu, 04 Juli 2009

Pers Kampanyekan Bahaya Narkoba

Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, narkoba tiap tahun membunuh 15.000 nyawa anak bangsa. Ironisnya, jumlah pengguna narkoba justru kian bertambah. Saat ini saja terdapat 3,2 juta penyalahgunaan narkoba. Jika tiap hari seseorang menghabiskan Rp 300.000, total uang untuk belanja narkoba mencapai 960 miliar per-hari. “Nilai ini sangat besar. Jumlah ini jelas menguntungkan produsen atau bandar,” ujar Sabam Leo Batubara dalam Workshop Komunikasi Akomodasi dan Konsultatif Media Massa untuk Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) dan Penanggulangan HIV/AIDS, Kamis (25/6) di Kantor Gubernur Bali Renon Denpasar.

Wakil Ketua Dewan Pers ini mengemukakan, dalam diskusi kreatif tanpa narkoba yang diselenggarakan wartawan sosial di Jakarta (19/6) disebutkan jumlah kasus penyalahgunaan narkoba yang bisa dideteksi sebanyak 3,2 juta atau 1,5 persen dari jumlah penduduk. 80% korban generasi muda usia 15-39 tahun. Lebih parah lagi, hampir separuhnya dari korban narkoba juga menderita penyakit HIV/AIDS. Masalah ini, kata Leo Batubara, diperparah dengan Indonesia mendapat predikat negara terkorup ke-6 di dunia temuan International Transparency Indonesia. Belum lagi penyalahgunaan kewenangan seperti kasus Jaka Esther dan Dara Vernita yang ditahan di Polda Metro Jaya sejak 30 Maret 2009. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka kepemilikan 343 pil ekstasi. Ratusan ekstasi itu bukti kasus kepemilikan 5000 pil ektasi dengan tersangka Muhammed Yusuf yang ditangkap Polda Metro Jaya Oktober 2008.

Ia menilai peran media sangat besar dalam upaya membebaskan masyarakat dari bahaya dan ancaman penyalahgunaan narkoba. Dari 1008 media cetak, 2000 media radio, dan 200 media televisi yang ada, sebagian hanya fokus pada misi bisnis. “Media seperti ini tidak mentaati 5 fungsi pers, Kode Etik Jurnalistik. Berita untuk memenuhi selera rendah menjadi pilihan asal meningkatkan rating. Media seperti ini sulit diajak memerangi penyalahgunan narkoba,” ujarnya dengan nada masgul.

Ironisnya, media berkualitas dan profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik memerangi penyalahgunaan narkoba berpotensi terancam. Pers yang melaksanakan fungsi kontrol, peran sebagai watchdog, dan menyelenggarakan investigasi tentang kegiatan pengadaan, peredaran, penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan dalam hal narkoba, dapat dituduh sebagia penghinaan dan pencemaran nama baik. Bahkan dapat diKUHP-kan. Ini tantangan berat. Tidak mengherankan pers profesional sangat berhati-hati, malah menghindar melakukan jurnalisme investigasi tentang penyalahgunaan narkoba. “Kalau mau investigasi bilang dulu sama istri dan mertua siapa tahu tidak pulang-pulang dan dinyatakan hilang,” ujarnya berseloroh yang disambut tepuk tangan peserta workshop.

Pers profesional terpanggil melakukan investigasi. Namun, usaha itu tidak mudah. “Dibutuhkan media dan wartawan sekaliber skh. Indonesia Raya dan wartawan Mochtar Lubis yang berjati diri die hard,” ujarnya. Pers berjuang agar temuan tentang penyalahgunaan narkoba dijadikan masukan dalam pemberantasan narkoba. “Jangan malah pers yang diadili sebagai penjahat,” tegasnya dengan suara lantang.
Ia berharap penyelenggara negara lewat BNN dan BNP melindungi pers profesional dalam upaya memberantas penyalahgunaan narkoba dan melaksanakan perannya sebagai watchdog serta pilar kekuatan demokrasi. Tanpa perlindungan tersebut kata, Leo Batubara, jangan harap pers berani melakukan investigasi penyalahgunaan narkoba.

Untuk lebih mengoftimalkan peran media massa, ia mengusulkan, pemerintah khususnya Depkominfo dan BNN, Gubernur dan BNP setiap tahun mengumumkan media dan wartawan mana yang paling peduli terhadap upaya membebaskan masyarakat dari bahaya ancaman penyalahgunaan narkoba. Menurut Kalakhar BNP Bali I Gusti Ketut Budiartha, S.H.M.H. penyuluhan dan ceramah bahaya narkoba sudah menyasar institusi pendidikan, desa pakraman menyentuh sekeha teruna dan anggota masyarakat termasuk intansi pemerintah dan swasta. Penyebaran media komunikasi, informasi dan edukasi melalu pentas seni remaja, brosur, stiker, poster, fun bike telah dilakukan.

Sekretaris KPAN Dr. Nafsiah menambahkan, sangat efektif para mantan pecandu menemukan teman-temannya yang masih menjadi pecandu memberikan mereka konseling atau terapi tingkah laku. Penyuluhan saja tidak cukup. Kini jaringan yang dipakai mendeteksi makin besar. Klinik ada di setiap kabupaten/kota. Ada sarana yang melayani tes positif dan konseling agar tidak menularkan ke orang lain. Data melalui jarum suntik sudah menurun. “Kami juga melakukan pencegahan lewat E-learning di internet,” ujarnya. Dengan berkembangkan teknologi, Leo Batubara menyarankan wartawan atau remaja yang peduli dapat terus mengkampanyekan narkoba itu berbahaya lewat situs pertemanan facebook. “Narkoba itu musuh masa depan,” tegasnya.

Anhar Nasution, SE, Anggota Pansus RUU Narkotika DPR RI menyayangkan belum ada siaran televisi yang bicara tentang narkoba. Namun, jika pencandu yang jadi presenter, ratingnya tinggi. Menurutnya perlu dibentuk satgas anti narkoba untuk menjaga suatu wilayah tertentu. Mereka dilatih misalnya menjadi loper koran yang didalamnya terdapat bacaan tentang bahaya narkoba. Kalau masyarakat sudah diberdayakan pasti upaya ini akan terus mengelinding sendiri. Ia menilai ketidakpedulian sebagian masyarakat juga disebabkan oleh masih lemahnya hukum yang berkaitan dengan penanganan narkotika seperti UU Nomor 5 dan 22 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Narkotika. UU ini masih menggunakan kata-kata “paling lama” dan “paling banyak” sehingga memungkinkan kompromi diantara yang terlibat kasus narkotika.

Untuk mengatasi lemahnya UU, saat ini di DPR pansus RUU Narkotika sedang mengatasi kelemahan UU sebelumnya. Istilah yang semula “paling lama” diganti “paling singkat” dan “paling lama”. Sedangkan pada ketentuan denda yang awalnya “paling banyak” diubah menjadi “paling sedikit” dan paling banyak.” Bagi para pengguna tetap menggunakan kata “paling lama” dan “paling banyak” dan negara wajib merehabilitasinya. BNN menjadi lembaga independen dan bertanggung jawab langsung ke presiden melalui koodinasi dengan kapolri. “Lembaga ini nantinya dapat melakukan penyelidikan, penyadapan, inteligen, lintas departemen dan luar negeri serta akuntabel. Penanganan penyalahgunaan narkotika ada di satu atap yang diharapkan dapat lebih efektif dan efisien,” tegas Ketua Presidium Nasional Satgas Anti Narkoba ini. –ast

dimuat di koran Tokoh, edisi 546, 30 juni 2009