Senin, 29 Agustus 2011

Patrinial dan Kasta Dukung Terjadinya Diskriminasi Perempuan


BANYAK kasus terjadi karena budaya patrinial dan budaya kasta di Bali mendukung terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Beberapa contoh dilontarkan Ketua LBH APIK Bali Ni Nengah Budawati, S.H., dalam diskusi yang digelar LSM Bali Sruti dengan topik “Hak-hak Perempuan Bali Dalam Perspektif Hukum Dalam Rangka Pencapaian MDGs 2015”, Rabu (24/8) di RRI Denpasar.

Ia menyebutkan, jika tidak memiliki anak laki-laki, untuk meneruskan keturunan, anak perempuan dinikahkan dengan model perkawinan nyentana. Apabila sama-sama anak tunggal, perkawinan pada gelahang jadi pilihan. Namun, kata Budawati, model perkawinan ini menimbulkan masalah jika tidak disikapi dengan bijaksana. “Sistem perkawinan pada gelahang sering memicu timbulnya persengketaan di kemudian hari,” ujarnya.
Perkawinan suami istri beda kasta melahirkan upacara patiwangi (penanggalan kasta). Jika terjadi perceraian, si perempuan tidak bisa kembali ke rumah asalnya, tidak bisa bersembahyang di rumahnya. Kalau meninggal, anaknya tidak bisa melakukan penghormatan terakhir kepada ibunya.
Perempuan Bali juga jarang mendapat harta warisan Budawati berpandangan, diskriminasi ini menyebabkan perempuan Bali takut bercerai walaupun perkawinannya tidak harmonis. “Jika terjadi perceraian, perempuan Bali menderita lahir batin. Saat menikah semua pihak dilibatkan, pihak keluarga maupun pemuka agama. Jika terjadi perceraian, unsur adat dari pihak perempuan tidak dilibatkan,” ujarnya.
Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Jero Gede Suena Upadesa mengatakan, sebenarnya dalam ajaran agama Hindu, kedudukan perempuan sangat dimuliakan. Salah satu program unggulan Majelis Desa Pakraman yang harus dicapai bagaimana mempertahankan hukum adat Bali yang sebenarnya.

Desa pakraman telah ditetapkan dalam peraturan daerah. Desa pakraman di Bali, dilindungi negara dan diakui dalam Konvensi PBB. Acuannya sangat kuat. Jadi, kata Jero Gede, keputusan Pasamuhan Agung MUDP III harus diperhatikan dan dijalankan dengan baik karena merupakan asipirasi masyarakat. Dalam keputusan MUDP, kedudukan wanita Bali diatur secara khusus.
Ia berharap, putusan MUDP dipakai dasar penegak hukum dalam mengambil keputusan di pengadilan. “MUDP secara berlanjut, terus-menerus, dan berencana melakukan sosialisasi tentang putusan Pasamuhan III MUDP Bali. Bukan hanya di Bali, juga ke luar Bali,” paparnya.
Hakim Tinggi Denpasar A.A. Anom Hartanindita, S.H., M.H. mengatakan, pengadilan tidak pernah mencari perkara. Putusan selalu mengedepankan segi keadilan tetapi tetap dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Intinya, keputusan hakim harus sesuai dengan hati nurani.
Ia menilai, hukum adat Bali yang tertuang dalam awig-awig Bali merupakan kontrak sosial. Hukum adat harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai ajaran Tri Hita Karana. Hukumnya sesuai dengan desa, kala, patra. Memutuskan kasus perceraian diupayakan mendekati rasa keadilan sehingga ia setuju melibatkan desa pakraman.
Ayu Suciati dari Kongkres Advokat Indonesia menilai, dalam praktik upaya ini sangat sulit diwujudkan. Keputusan tingkat pengadilan kadang berbeda. Keputusan Pengadilan Negeri belum tentu sama dengan Pengadilan Tinggi. Yang harus dilakukan sekarang, kata Suciati, bagaimana mendorong apa yang menjadi hasil MUDP ini bisa dipakai pertimbangan hukum terutama yang menyangkut perempuan. Ia mengatakan, waktu mediasi umumnya yang dipanggil para pihak yang bersengketa tanpa sanksi. Dalam mediasi seharusnya ada hakim perdamaian desa.
Winaryati dari Tabanan mengatakan, perempuan tidak memiliki kemampuan untuk membela dirinya jika terjadi perceraian. Apakah MUDP sudah melakukan pendampingan awal sehingga para perempuan tahu hak-haknya.
Menurut Sri Joni dari KPPG Prov. Bali, perkawinan beda kasta merupakan sebuah pengorbanan karena cinta. Kedua belah pihak berkorban karena sama-sama mau mengalah dan menerima satu sama lain. Bagaimana nasib para perempuan yang dicerai, jika anaknya tetap menginginkan ibunya berada di keluarga mantan suaminya karena permintaan anak.
Menurut Jero Gede Suena, Pasamuhan Agung III MUDP Bali dihadiri semua desa pakraman se-Bali. Semua keputusan berdasarkan kesepakatan. Keputusan ini diharapkan mampu menjadi acuan hukum yang sanggup menciptakan harmonisasi dan keadilan. Sosialisasi terus dilakukan, namun, belum merata di seluruh kabupaten. Kalau keputusan MUDP ini ada benturan di lapangan akan dikaji kembali. Saat ini, kata Jero Gede, kajian akademis tetap jalan. Adat juga harus disesuikan dengan perubahan zaman.

Wayan Jondra dari Kerobokan menilai, ada empat penyebab mengapa perempuan Bali tidak berdaya menggapai haknya. Yakni, perempuan itu sendiri, laki-laki, aturan hukum yang berlaku, dan lingkungan. Sebagian besar perempuan merasa imperior, walaupun sekarang sudah banyak perempuan Bali yang berpendidikan tinggi dan memiliki kedudukan sebagai pemimpin. Laki-laki melupakan pentingnya peran perempuan. Padahal, jika perempuan berdaya, mereka bisa ikut mencari nafkah otomatis itu juga membantu para suami dalam menghidupi keluarga. Dari sisi ekonomi sudah merupakan satu keuntungan karena meringankan tugas suami. Aturan hukum belum mengakomodir kepentingan perempuan. Lingkungan juga belum bangkit kesadarannya. Biasanya, kalau ada perempuan yang berstatus purusa, keluarga jauhnya seperti misan mindon-nya yang repot. Di sinilah pentingnya sosialisasi agar semua pihak menjadi sadar.
Menurut Jero Gede, tugas desa pakraman melindungi karma-nya. Prajuru desa sudah sering menjadi saksi ahli dan menjalankan tugas pendampingan. Jero Gede sudah sering menjadi saksi ahli bahkan sampai ke Jakarta. Warisan di Bali tidak saja berupa harta tetapi juga menyangkut ayah-ayahan sehingga dalam pembagian juga dimasukkan. Liunan megae maan ategen, bedikin megae maan asuun. Harta warisan yang dibagi merupakan harta gunakaya orangtuanya bukan harta leluhur. Jangan sampai tanah pura ikut dijual.
A.A. Anom Hartanindita menambahkan, tujuan pembagian waris jangan sampai ahli warisnya tersiksa membayar ayah-ayahan desa. Kalau mencukupi, berikan separuh dari hak anak laki-laki untuk anak perempuan yang kawin ke luar. Siapa tahu terjadi perceraian, ada harta untuknya sebagai bekal.

Ia menilai, pedampingan sangat diperlukan dari MUDP. Sebaiknya, yang mau bercerai, silakan bicarakan terlebih dahulu dengan prajuru adat masing-masing. Mungkin problemnya, pasutri berasal dari desa pakraman yang berbeda sehingga awig-awig-nya juga berbeda. Hukum juga bisa berubah. Kasta merupakan politik hukum Belanda zaman dulu. Ketika soroh berkembang pesat, Belanda memanfaatkannya dengan istilah kasta. Zaman sudah berubah. Jangan sampai umat Hindu banyak ‘lari’ karena adatnya menyusahkan.
Menurut Budawati dalam pengadilan verstek, perempuan bisa tetap berada dalam rumah mantan suaminya jika si anak menginginkannya. Selama ini gugatan harta gono gini sangat sulit. Alangkah baiknya, jika sebelum sidang perceraian ada peradilan adat yang disepakati kedua belah pihak yang bercerai untuk kesepakatan pembagian harta gono gini. Sering terjadi, uang istri lebih banyak untuk membeli keperluan rumah tangga, sehingga tidak terlihat jerih payahnya.
LBH APIK Bali merupakan jaringan Kias yang mendorong lahirnya desa setara. Salah satu yang dijadikan pilot project, Desa Kekeran, Tabanan. Perkawinan pada gelahang berjalan dengan baik. Upacara perkawinan dilakukan seperti biasa di rumah laki-laki. Setelah anak nomor dua lahir, dia otomatis sebagai ahli waris di rumah ibunya. “Sistem ini mengedepankan rasa ikhlas dan ber-yadnya. Ada pengertian dari masyarakat adatnya dan perarem yang meminimalkan diskriminasi perempuan. Kami berharap, mulai dari Tabanan ditularkan solusi perkawinan model ini,” kata Budawati.
Anggota DPRD Karangasem I Luh Purnaminingsih mengatakan, banyak kasus dalam proses perceraian, tidak ada pendampingan dari adat. Maka, segera lakukan sosialisasi keputusan MUDP kepada prajuru adat.
Menurut A.A. Anom Hartanindita, penegak hukum yang memutus masalah adat seharusnya orang yang tahu adat Bali dengan baik. Penegak hukum juga harus tahu keputusan MUDP.
Nyoman dari Polda Bali menanyakan, apabila umurnya di atas 21 tahun beragama Hindu, hamil di luar nikah diterapkan pasal logika sanggraha. Bagaimana status ibu dan anaknya.
Menurut Jero Gede kumpul kebo sesama orang Bali, sanksinya ada di awig-awig. Bisa juga dibuatkan pararem. Tergantung pada keputusan desa pakraman setempat.

A.A. Anom Hartanindita pernah menemukan satu kasus. Karena tidak cocok, si perempuan kembali ke rumah asalnya di Kintamani tanpa proses perceraian. Suatu ketika perempuan tersebut hamil. Yang menghamilinya mantan suaminya. Orangtuanya mengambil inisiatif melaporkan kejadian ini. Terjadi paruman desa, si laki-laki dinyatakan bersalah. Status anak tetap turunan ayahnya. Pengurusan sampai umur tertentu diserahkan kepada ibunya dan biaya hidup si anak ditanggung ayahnya. Kasus ini tidak sampai ke pengadilan karena sudah diselesaikan dengan baik oleh adat. –ast

koran tokoh, edisi 568, 28 Agustus s.d 3 September 2011


Kamis, 25 Agustus 2011

Jadilah Pendengar yang Baik

Memperingati HUT ke-66 Kemerdekaan Republik Indonesia tidak hanya dapat diisi dengan kegiatan upacara bendera. Perayaan Hari Proklamasi dapat dimaknai dengan melakukan berbagai kegiatan yang tujuannya berbagi dengan orang lain. Salah satunya, belajar mendengarkan orang lain yang dilakukan para aktivis perempuan di kantor LSM Bali Sruti, Rabu (17/8). Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmat, mereka ngobrol bareng bersama Miranda Suryadjaja, seorang pakar break through communications.

Sebagian orang sering ingin tampil menjadi pembicara yang baik. Namun, tak banyak yang bisa dan mau mendengarkan orang lain. Saat seminar, diskusi, atau rapat, pembicara dan peserta lainnya sama-sama ramai. Padahal, dengan menjadi seorang pendengar yang baik, akan membuat kita lebih percaya diri dan mampu memahami diri sendiri dan orang lain. Miranda Suryadjaja mencoba berbagi tips.

Semua orang bisa mendengar. Namun, bagaimana cara mendengarkan yang baik? Ketika seseorang merasa dirinya didengarkan waktu bicara, ada suatu perasaan psikologis tentang sesuatu, adanya keterbukaan, dan orang tersebut merasa nyaman. Ini terlihat dari raut wajahnya yang tampak hidup dari pancaran matanya yang bersinar. Bicaranya juga menjadi lebih lancar. Ada perasaan happy terpancar dari bahasa tubuhnya.

Menurut pakar life coach dan jewelry designer yang meminati bidang motivasi dan pemberdayaan perempuan ini, banyak yang hanya tahu teori mendengarkan. Ketika orang yang bicara belum merasakan didengarkan, Anda belum sukses menjadi pendengar yang baik. Jadi, sebelum Anda ingin didengarkan, marilah belajar mendengarkan terlebih dahulu. Bisa dilatih tiap hari. Tak lama, hanya butuh waktu 3 menit. Tapi hasilnya akan membawa dampak yang luar biasa. Menurut Miranda, ada tiga elemen penting dalam mendengarkan yakni perhatian penuh, mampu mengulang kembali apa yang disampaikan bisa dengan kata-kata kita sendiri, dan memberi feedback. “Feedback tidak harus selalu baik dan membuat orang senang. Yang penting harus jujur dan sportif. Misalnya, “Saya merasa agak tersinggung dengan apa yang Anda sampaikan,” ujar Peraih gelar MBA dari National University, San Diego, AS ini. Menurutnya, sampaikan aja apa yang dirasakan sebagai pendengar sehingga komunikasi menjadi lebih lancar dan riil.

Ia menyebutkan, ada beberapa penyebab sehingga kita tidak mau mendengarkan orang lain. Suka memberi nasihat. Ketika orang baru mulai bicara, langsung sudah memberikan saran tanpa mau mendengarkan sampai tuntas. Penyebab lain, hanya mau mendengar yang menurutnya suka didengar (filter). Hal lain yang dia tidak suka, tidak diperdulikan. Faktor lain, dreaming. Wajahnya tampak serius, tapi pikirannya melayang entah kemana. Sebab lain, suka mengindentifikasi. Ketika orang lain sedang bicara, contoh “saya baru pulang dari Kalimantan,,,,,,, tiba-tiba langsung ikut ngomong oh ya, saya juga…….. bla bla bla. Mendebat juga salah satu penyebab. Begitu ada orang ngomong sesuatu, langsung didebat. “Menurut saya tidak seperti itu kok”. Ada juga karena orang tersebut sudah biasa latihan bicara sebelumnya. Atau ada juga karena keluar jalur. Artinya, tiba-tiba pembicaraan dialihkan seenaknya. Penyebab lain, jugdement, ada unsur menjelekkan atau gosip. Ini sangat bahaya karena dapat membentuk opini orang lain. Main reading, belum apa-apa sudah berkata, “jangan-jangan begini, atau………”

Menurut Konsultan Bisnis dan Pengajar Publik Speaking ini, kalau semua hal ini terjadi akan sangat sulit menjadi pendengar yang baik. “Waktu mendengarkan, pikiran kita kosong. Kita hanya membuka diri berkonsentrasi mendengarkan orang berbicara. Kita tidak perlu setuju atau tidak. Mendengarkan dengan baik terlihat dari pandangan mata yang fokus. Selain mata, mencondongkan badan, tersenyum, menggangguk, juga menunjukkan keseriusan kita mendengarkan. Mendengar seperti ini bukan percakapan. Kita tidak memberikan opini,” paparnya lebih jauh.
MenurutChairman Toastmasters Leadership Institute (TLI) ini, dengan melihat matanya, dan mendengarkan dengan telinga dan hati, mereka merasa didengarkan. Ini sangat membantu mengubah orang dengan cepat. Baik sekali diterapkan bagi para konselor dan juga dengan pasangan kita. Jangan sampai terjadi saat mengobrol dengan pasangan mata lebih tertuju ke televisi. That is hearing not listening.
Miranda mengatakan, yang sering jadi masalah, ketika kita bicara dengan orang yang status sosialnya lebih tinggi atau atasan kita. Padahal kuncinya, adalah mendengarkan. Dengan cara seperti ini, akan timbul rasa percaya diri, Lihat matanya, dan dengarkan. Dengan sering melatih diri seperti ini, kita tidak hanya bisa mendengar dengan telinga, tapi juga dengan mata, dan hati. Orang yang didengarkan juga merasakan hal yang sama. Jika kita bisa mendengarkan dengan suara hati, kita akan berhenti menilai diri kita kurang dan rasa percaya diri akan tumbuh.

Disamping itu, kata dia, dengan melatih mendengarkan, kita bisa melihat orang dengan lebih jujur. Apa yang dibicarakan bisa disesuaikan dengan bahasa tubuhnya, sehingga kita bisa lebih memahami. Kebiasaan kita, bagaimana cara kita melihat dan menilai sesuatu. Makin kita paham dengan diri kita sendiri, maka makin mudah kita melihat orang lain. Bukan kebalikannya.

Ia mengatakan, kita tidak perlu berkecil hati jika belum mampu mendengarkan dengan baik. Masa kanak-kanak menjadi hal yang sangat menentukan. Semua orang menyandang luka batin waktu kecil. Waktu masih kecil sering dilarang bicara. Kalau salah bicara takut dipukul. Akhirnya, terus merasa ketakutan berbicara. Rasa kemarahan, kesedihan, penyesalan terbawa sehingga kita mencoba mencari kesempatan untuk bicara tanpa mau mendengarkan orang lain. Terkadang, malah terjadi perang dengan hati sendiri. “Sudah pengen ngomong saja. Apalagi yang tidak sesuai dengan hati. Kebanyakan dari kita seperti ini,” kata perempuan yang pernah mengikuti pelatihan World Class Speaking Coach Certification – USA dan Toastmasters Leadership Institute ini. Kalau ada teman curhat, seringkali kita mencoba mencarikan solusi. Padahal, belum tentu saran yang mereka perlukan. Terkadang mereka hanya ingin didengarkan. Sering kita lupa, betapa berharganya merasa didengarkan. Ketika orang lain sedang curhat ke kita, jangan pernah memegang fisiknya seperti mengelus ketika dia sedang berbicara. Sikap itu sama saja artinya menyatakan, seolah-olah apa yang diceritakan itu sangat menyedihkan. Biarkan saja dia bicara selepasnya. Setelah selesai, tunggu reaksinya, apakah dia meminta saran atau tidak.

Salah seorang aktivis berkata, ketika mendengar orang curhat saya selalu ingin menasihati karena merasa lebih tua. Padahal, saya sadar, saya tidak mendapatkan apa-apa dari itu. Tapi saya merasa ada suatu kepuasan. Hal ini, kata Miranda, juga merupakan satu bentuk penyakit yang harus dihilangkan. Kita merasa lebih tua dan merasa lebih tahu sehingga ingin sekali menasihatinya. Padahal, dengan mendengarkannya, kita juga dapat memperkaya diri kita. Memahami apa yang dibicarakan menjadi satu tambahan ilmu bagi diri sendiri. Orang harus berkembang. Mulai dari kepompong hingga menjadi kupu-kupu. Dia harus berproses sendiri melalui tahapan hidupnya yang akan membuatnya berkembang menjadi pribadi yang lebih baik dan maju
Mendengarkan cerita menyenangkan atau menyedihkan efeknya sama saja. Komunikasi yang baik dimana tidak ada pengkondisian, tapi timbul dengan apa adanya. Kita tidak harus selalu membentengi diri dan menunjukkan yang terbaik dari diri kita.

Ada anggapan, kita perlu waktu lama untuk mengenal orang lain. Sebenarnya tidak. Ketika kita coba menjadi pendengar yang baik dengan tatapan mata yang menunjukkan respon bersahabat, kita bisa mengenal orang lain lebih dekat. Karena kita mencoba membuka diri dan orang itu merasa bebas dan lega untuk bicara.
Aktivis lainnya menanyakan, bagaimana jika kita bicara dengan lawan jenis? Jangan-jangan kalau saya menatap matanya, saya dikira suka ama dia. Menurut Miranda, ketika pikiran ini sudah muncul, teknik mendengarkan menjadi terhambat. Artinya, kita sudah tidak mendengar yang baik. Salah seorang bertanya biasanya malu memandang mata yang diajak bicara. Lebih suka memandang bibirnya. Solusinya, ubah kebiasaan. Mulai belajar tatap matanya. Bukan harus melotot untuk menunjukkan keseriusan mendengar. Menurutnya, belajar mendengarkan ini, merupakan salah satu bentuk bagaimana para perempuan juga mampu mengubah dunia. –ast

Koran Tokoh, Edisi 657, 21-27 Agustus 2011

Kamis, 18 Agustus 2011

Sisakan Ruang Transisi 0,5 Meter

Banyak cara dapat dilakukan untuk menyiasati lahan sempit agar penataan rumah tetap terlihat nyaman dan indah. Rumah tak hanya berfungsi sebagai hunian. Namun, semua konsentrasi serta kualitas hidup bersumber dari kesehatan rumah. Karenanya, rumah yang baik akan menciptakan hidup yang lebih baik bagi penghuninya. Menurut Pengamat Arsitektur Prof. Dr. Sulistyawati, M.S., sebelum membuat satu rumah, developer perlu satu perencanaan untuk pengembangan rumah tersebut ke depan, sehingga ketika keluarga tersebut berkembang, bangunan rumah tidak lagi bongkar pasang. Untuk menyiasati lahan yang sempit, satu-satunya cara dengan membuat bangunan tersebut bertingkat.

Ia mengakui, dalam membangun rumah berarsitektur Bali memang diperlukan lahan yang luas, minimal 3,6 are. Namun, arsitektur Bali dapat diadopsi dalam rumah modern minimalis dalam struktur penataan ruangannya.
Sebagai pemenuhan standar kenyamanan dan drainase, ia menyarankan, sebaiknya disisakan ruang transisi lebih kurang 0,5 meter dari tembok pagar. Tujuannya, kata istri Ir. Frans Bambang Siswanto ini, selain untuk sirkulasi udara, juga untuk pencahayaan sinar matahari. Namun, jika lahan yang dimiliki sangat sempit, kata dia, usahakan tetap memiliki ruang transisi walaupun jaraknya kurang dari 0, 5 meter. Ia menyebutkan, dalam konsep rumah orang Bali, saat pengerupukan (malam hari sebelum Hari Raya Nyepi) dilakukan pembersihan mengelilingi rumah. Penghuni berputar di ruang transisi sembari membawa sarana upacara yang tujuannya untuk mengusir roh jahat. Selain itu, dengan dilewatinya ruang transisi tersebut, otomatis penghuni rumah juga melakukan pembersihan lingkungan di sekeliling rumahnya. Begitu juga, ketika tetangga sebelah rumah akan membuat bangunannya lebih tinggi, sirkulasi udara dan pencahayaan rumah di sebelahnya tidak akan terganggu termasuk saluran pembuangannya. “Apalagi sekarang dengan adanya sistem jaringan limbah terpadu Denpasar Sewerage Development Project ( DSDP) akan sangat membantu sekali bagi rumah-rumah di perkotaan,” ujarnya.

Sesuai konsep rumah orang Bali, selalu memperhatikan Tri Angga yakni kepala, badan, dan kaki. Bagian kaki terlihat dari bebaturan yakni tinggi bangunan dari tanah sampai ke lantai berjarak sekitar 60-80 cm. Tujuannya, untuk mencegah air tanah masuk ke lantai saat hujan. Sesuai dengan bangunan bale Bali, jarak tersebut disesuaikan dengan ketinggian orang Bali duduk di bale sehingga kakinya dapat ngelayung. “Zaman dulu belum ada semen sehingga dibuat bebaturan dengan ukuran tersebut untuk menghindari air masuk yang bisa merusak bangunan. Bebaturan dilengkapi dengan tangga tiga tingkat sebagai simbul laki-laki yang tujuannya untuk memudahkan naik menuju lantai bale. “Sekarang bisa saja kita tidak membuat bebaturan. Tapi bangunan terlihat tidak stabil dan konsep Tri Angga tidak masuk. Padahal, bebaturan juga berfungsi sebagai penghalang air masuk ke lantai saat hujan dan menghindari banjir,” ujar Guru Besar Fak. Teknik Jurusan Arsitektur Unud ini. Hal ini, kata dia, juga berpengaruh pada saluran pembuangan di jalan raya. Selama ini, kata Prof. Sulis, begitu ia akrab disapa, kecenderungan jalan raya dibuat dengan model tambal sulam. Ketika rusak, terus ditempel tanpa dikeruk sehingga jalan makin hari makin tinggi, bahkan, sampai melebihi saluran pembuangan. Akibatnya, saluran pembuangan tertutup dan saat hujan mengakibatkan banjir.
Menurutnya, developer seharusnya sudah memikirkan bagaimana keluarga tersebut suatu saat akan berkembang. Caranya, bangunan dasar rumah sebaiknya dibuat semi basement. Biasanya, keluarga baru tak banyak membutuhkan ruangan. Namun, yang terpenting peletakan ruangan disesuaikan dengan hulu teben.

Bagian badan dari Tri Angga berupa penataan ruangan di dalam rumah. Kamar orangtua letaknya di Utara, kamar tidur anak di bagian Timur, ruang tamu atau ruang keluarga yang merupakan ruang bersama letaknya di tengah. Dapur letaknya di pojok. Biasanya, keluarga baru tidak membutuhkan dapur yang besar, dapat dibuat yang simpel. Kamar mandi dan tempat jemuran ditempatkan di bagian Selatan atau Barat. Ruang transisi di bagian belakang dapat juga dimanfaatkan sebagai tempat jemuran. Dalam rumah modern, biasanya WC/kamar mandi ditempatkan di dalam kamar tidur. Penataan dapat disiasati dengan menempatkan WC/kamar mandi di bagian Selatan atau Barat tempat tidur.
Ketika keluarga kecil berkembang, bangunan rumah dapat diperluas menjadi bertingkat. Ruangan basement dapat dijadikan garasi atau gudang. Bagian atap dapat juga disiasati menjadi tempat jemuran. Caranya, atap tidak dibuat berbentuk segitiga penuh. Tapi hanya sepertiganya saja. Bagian tengah atap tetap kosong yang fungsinya untuk masuknya sinar matahari. Letakkan tempat jemuran selalu di bagian teben Selatan atau Barat. Jemuran ini tidak akan terlihat dari bawah karena sudah ditutupi oleh atap rumah.

Dalam ilmu arsitektur modern disebutkan jika D/H > 3 (Distance per High) atau jika jarak dibagi tingginya sudah melebihi tiga, artinya tidak lagi disebut ngungkulin. Dalam konsep rumah orang Bali, penempatan ruang jemuran di atas bangunan terkesan tidak baik. Namun, pada rumah bertingkat yang tidak memiliki ruang lain untuk menempatkan jemuran konsep tersebut dapat ditoleransi dengan acuan berupa lontar Ganapati Tatwa “ kajian teks terjemahan Rai Mirsha, yang menyebutkan bahwa ruang personal manusia hanya berjarak 12 angula atau alengkat di atas kepala. Artinya, ketika sudah melebihi jarak alengkat di atas kepala, tidak lagi disebut ngungkulin. Penataan ruang jemuran juga disesuaikan dengan hulu teben dan dengan konsep atap rumah yang hanya dibuat sepertiganya saja, juga sangat membantu. Tidak akan terlihat jemuran melambai-lambai di atas.
Untuk pembuangan sampah tidak dibuatkan tempat khusus. Biasanya mobil sampah akan datang mengangkutnya. Penghuni sebaiknya sudah memilah sampahnya terlebih dahulu. Dengan kantong plastik yang sudah terikat, sampah sudah terkumpul sesuai jenisnya, yang organik dan anorganik. Pemerintah juga harus mengedukasi pemulung agar tidak mencecerkan sampah yang sudah terbungkus rapi. Pemulung juga harus diberi sanksi ketika ketahuan mengobrak-abrik sampah yang sudah terbungkus rapi.

Menurutnya, untuk menata kawasan perumahan bersih, indah, dan sehat, semua pihak harus bekerja sama, mulai dari masyarakat, developer, dan pemerintah. Salah satu Dewan Pakar Indonesia Tionghoa (INTI) Bali ini mengatakan, untuk dapat menerapkan keteraturan dalam pembangunan seperti yang dicita-citakan, perlu adanya tiga faktor utama yakni keinginan dari masyarakat, peraturan pemerintah, dan fungsi penegakan hukum. Selain itu, untuk menghindari perbedaan pada pengajuan usulan izin mendirikan bangunan ( IMB), maka perlu diadakan pengawasan maupun pengecekan setelah bangunan selesai dibangun. –ast

Koran Tokoh, Edisi 656 15-20 Agustus 2011




Rabu, 17 Agustus 2011

Minum Antibiotika sampai Habis

DEWI, terlihat lemas tubuhnya. Wajahnya pucat karena ia tak bernafsu makan. Sehari ia berbaring di tempat tidur. Badannya terasa hangat dan hidungnya terus meler. Merasa tak nyaman dengan kondisi tubuhnya, ia segera ke dokter. Ia minta obat antibiotik agar penyakitnya segera sembuh. Namun, dokter hanya membuat resep obat penurun panas dan diminum jika suhu badannya panas, selain vitamin. Mengapa dokter tidak memberinya obat antibiotika? “Tidak semua penyakit harus diobati antibiotika. Hanya penyakit yang disebabkan infeksi bakteri yang harus dilawan dengan antibiotik,” ujar Pengajar Bagian/SMF Mikrobiologi Klinik FK Unud/RS Sanglah dr. Made Agus Hendrayana, M.Ked.

Lelaki kelahiran Denpasar, 17 Juli 1978 ini menjelaskan, penyebab penyakit dapat dibagi dua golongan, penyakit infeksi dan penyakit noninfeksi. Penyakit infeksi disebabkan adanya infeksi agen penyebab dari luar tubuh. Agen penyebab infeksi ada beberapa, seperti bakteri, virus, parasit, jamur. Penyakit infeksi yang disebabkan bakteri inilah yang memerlukan pengobatan dengan antibiotika. Sedangkan penyakit noninfeksi yang disebabkan bukan karena adanya agen infeksi dari luar tubuh, seperti penyakit hipertensi, kencing manis, katarak, tidak memerlukan pengobatan antibiotika kecuali disertai infeksi sekunder (penyerta) oleh bakteri. “Penyakit yang disebabkan bukan oleh infeksi tidak memerlukan antibiotika. Demikian juga dengan penyakit infeksi yang bukan disebabkan infeksi bakteri tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotika. Kecuali, beberapa tindakan khusus seperti pembedahan tertentu memerlukan antibiotika pencegahan (profilaksis),” jelasnya.
Antibiotika merupakan suatu zat kimia yang digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Fungsi antibiotika, untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri yang menginfeksi tubuh makhluk hidup.

Menurutnya, penyakit yang memerlukan pengobatan dengan antibiotika, penyakit yang sudah pasti diketahui disebabkan adanya infeksi bakteri di tubuh pasien, seperti luka dengan timbulnya pus (nanah). Pengobatan antibiotika untuk membunuh bakteri penyebab infeksi. Tetapi, pada penyakit lain misalnya influenza akibat virus flu atau penyakit cacar air (varisella) tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotika; yang diperlukan obat antivirus. “Tidak baik selalu minum antibiotika, karena antibiotika merupakan zat kimia yang jika dikonsumsi berlebihan tidak baik bagi tubuh. Apalagi minum antibiotika sembarangan dengan tidak sesuai indikasi, tidak sesuai dosis, dan tanpa resep dokter,” ujarnya.

Minum obat antibiotika tidak seperti minum obat sakit kepala. Begitu sakit kepala hilang dan sembuh, obatnya dihentikan. Obat antibiotika memiliki dosis tertentu yang sudah diuji para ahli peneliti dan produsen obat tentang dosis yang tepat untuk membunuh antibiotika. Biasanya dokter memberikan dosis antibiotika yang sesuai dengan dosis yang dapat membunuh atau menghambat bakteri yang menginfeksi tubuh. “Apabila minum antibiotika dan obat itu tidak dihabiskan atau kurang dosisnya, kemungkinan tidak semua bakteri yang menginfeksi tubuh bisa mati, tetapi masih ada bakteri yang mampu bertahan hidup di dalam tubuh, walaupun pasien tampaknya sudah sehat. Bakteri yang mampu bertahan hidup inilah yang berpotensi kebal atau resisten terhadap antibiotika, sehingga bakteri ini akan terus mampu bertahan hidup. Bahkan, dapat menginfeksi tubuh dan tubuh tidak mempan terhadap antibiotika sebelumnya, sehingga bakteri yang kebal ini akan sulit dibunuh dan memerlukan antibiotika yang lebih canggih atau generasi terbaru yang tentu harganya sangat mahal,” paparnya.

Ia menuturkan, antibiotika seperti obat kimia lainnya juga memiliki efek samping terhadap tubuh. Efek samping yang timbul berbeda-beda tergantung jenis obat dan respons tubuh pasien. Efek samping yang timbul mulai dari ringan seperti mual, sampai berat seperti adanya alergi obat yang dapat menimbulkan shock berat. “Sering mengonsumsi antibiotika dan tidak tepat tentu tidak baik juga bagi tubuh. Zat kimia yang masuk ke tubuh manusia memperberat kerja organ tubuh seperti lambung, hati dan ginjal dalam memproses antibiotika tersebut di dalam tubuh, sehingga apabila terlalu sering mengomsumsi antibiotika dan zat kimia tentu berpengaruh terhadap kesehatan organ tubuh tadi. Jadi hati-hati mengonsumsi antibiotika. Sesuaikan dengan petunjuk dokter,” pesan Wakil Sekretaris IDI Cabang Denpasar ini. –ast

KOran Tokoh, Edisi 656, 14-20 Agustus 2011

Selasa, 09 Agustus 2011

Perempuan Bali Berhak atas Warisan

Perempuan Bali kini tidak perlu lagi merasa terpinggirkan. Pesamuhan Agung III MUDP Bali telah memutuskan perempuan Bali juga berhak atas warisan. Keputusan MUDP Bali ini dibahas dalam seminar “Perempuan Bali dalam Perspektif Hukum Adat Waris”, yang digelar Ikatan Alumni Universitas Udayana (Ikayana), Jumat (5/8) di Ruang Theater Lantai IV FK Unud.

Ketua Sabha Walaka Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat Drs. Ketut Wiana, M.Ag. menyatakan, sesungguhnya ajaran Hindu sangat ideal yakni sradha dan bakti. Sradha, bagaimana kita percaya dan yakin kepada Tuhan, dan bakti berfungsi menjadi kekuatan spiritual dalam mengendalikan aspek diri untuk memberikan kecerdasan agar kepekaan emosional terkendali. Memang kata Wiana, mengucapkan kebaikan sangat gampang namun, melaksanakannya sulit. Perlu sosialisasi berkali-kali. Menurutnya, terpinggirnya wanita Hindu di Bali dan India, bukan karena keinginan laki-laki. Zaman weda kedudukan perempuan dan laki-laki setara, banyak tokoh perempuan ahli dalam weda. Sejak zaman perang kerajaan, segala kekayaan disita termasuk para perempuan. Hal ini mengakibatkan proteksi yang berlebihan terhadap perempuan. Kondisi perempuan menjadi mundur. Untuk mengembalikan kedudukan perempuan ini memerlukan waktu. Dalam ajaran Hindu tidak dikenal istilah perempuan berasal dari tulasng rusuk laki-laki. Semua kedudukannya sama. Selalu ada kesetaraan.

Sebenarnya, dalam hukum adat Bali sudah diatur, perempuan mendapat hak waris ¼ dari saudaranya yang laki-laki. Kalau saudara laki-lakinya menolak, dia akan dikenakan hukuman dijatuhkan martabatnya sebagai laki-laki. Dalam hukum adat Bali juga telah disebutkan, perempuan mendapat harta jiwa dana.

Wanita sering disebut dewi yang artinya sinar atau alat ukur rumahtangga. Istri disebut permaisuri (prama iswari) yang artinya pemimpin utama di rumahtangga. Namun, sangat disayangkan, kata Wiana, istri sering dianggap sebagai subordinat suami. Sering terdengar olokan ,”ngelah nyama terkenal tapi ketangkep kurenan.” Paradigma ini harus diubah. Orang yang ingin hidupnya sejahtera seharusnya selau menghormati wanita. Untuk itu, adat istiadat yang tidak berdasarkan kitab suci akan dapat menghancurkan masyarakat.

Dr. Dra Ni Made Wiasti, M.Si mengatakan, dalam konsep Hindu, laki-laki dan perempuan selalu hidup berpasangan. Pertiwi (ibu) akasa (bapak), melahirkan manusia, konsep purusa pradana, ardha naraswari tuhan maha tunggal. filosofi agama Hindu sudah menyatakan, perempuan dan laki-laki sudah memunyai kedudukan setara. Ironisnya, pelaksanaan realitas tidak sama. Sesungguhnya ketidakadilan gender sudah menjadi isu international. Untuk mempercepat kesetaraan gender pemerintah membuat program pengarusutamaan gender. Selama ini, kata dia, program pembangunan sebelum pencetusan pengarusutamaan gender sangat mengabaikan kepentingan perempuan. Berbagai piranti yuridis dan analisis dilakukan untuk mencapai kesetraan gender. Nilai –nilai budaya Bali khususnya budaya patriaki yang akhirnya melahirkan ideologi gender. Bicara gender bicara laki-laki dan perempuan. Namun, banyak yang mengartikan gender hanyalah perempuan. Ketika membicarakan perempuan yang hadir hanya perempuan. Padahal ini masalah hubungan perempuan dan laki-laki.

Zaman peradaban terjadi perbedaan kekayaan laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang memiliki kekayaan karena mereka bertugas mencari makan. Pada saat itu salah satu jenis kelamin diunggulkan. Kaum feminis menaruh perhatian besar terhadap perempuan. Secara terus menerus melakukan perjuangan. Gerakan perempuan sudah dilakukan mulai sebelum zaman kemerdekaan. Di Bali, perjuangan kaum wanita sebelum kemerdekaan, dimulai Putri Bali Sadar yang memperjuangkan masalah, pendidian dan nilai kesusilaan. Perjuangan kesetaraan gender, tidak hanya dilakukan lembaga negara, organisasi bisnis dan nonbisnis, departemen dan komunitas. Tahun 1978 dibentuk Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Tahun 1983 ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan program Panca Dharma Wanita yang mendukung peran ganda wanita. Muncul organisasi PKK, Iwapi, Pusat Studi Wanita yang berdiri di bawah perguruan tinggi, LSM, organisasi berbasis agama seperti WHDI.


Menurut Prof. Dr. I Wayan Windia, SH. MSi, bicara perempuan Bali, selalu terpinggirkan dan lascarya. Terpinggirkan karena tidak mendapatkan hak waris. Namun, istilah lascarya sering terlupakan. Kawin keluar, kawin mekutang, nyerod, gelahang pisaga istilah-istilah yang sangat melemahkan posisi perempuan ini tidak pernah dipermasalahkan. Seorang istri yang setia terhadap suaminya, berani melakukan satya yakni mencebur diri ke api ketika suaminya meninggal. Tidak ada laki-laki yang berani dan mau melakukan itu.
Hukum adat Bali mengenal beberapa aturan tentang pewarisan sejak tahun 1900 sampai sekarang. Paswara 13 Oktober 1900, awig-awig tertulis Desa Pakraman, dan Keputusan Pesamuhan Agung MUDP Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010.
Hukum adat Bali tidak mengenal konsep pembagian warisan, yang ada pelestarian dan penerusan. Warisan dijadikan harta pusaka. Kenyataan tidak seperti itu. Waris dibagi dan wanita tidak mendapat waris. Hanya keturunan yang berstatus purusa yang memiliki hak waris, sementara yang berstatus pradana tidak mendapatkan hak kecuali yang bersangkutan sentana rajeg ( berstatus purusa). Tapi walaupun berstatus purusa, kalau yang bersangkutan meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kadaton) hak warisnya menjadi gugur.

Untuk menghindari kerancuan, Pesamuhan Agung III MUDP Bali menegaskan ada dua ninggal kedaton yakni ninggal kedaton terbatas, dalam batas tertentu masih memungkinkan melaksanakan kewajibannya sebagai umat Hindu seperti, perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa, laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana, telah diangkat anak oleh keluarga lain sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat Bali, menyerahkan diri kepada keluarga lain atas kemauan sendiri. Mereka ini dimungkinkan mendapatkan mendapat harta warisan didasarkan atas asas ategen asuwun (dua berbanding satu) dengan suadaranya yang berstatus purusa. Sedangkan ninggal kedaton penuh yakni sama sekali tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban sebagai umat Hindu. Mereka ini tidak berhak sama sekali atas harta warisan, tapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris.

Suami dan istri serta suadara laki-laki suami dan istrinya, memunyai kedudukan sama dalam usaha menjamin harta pusaka dapat diteruskan kepada anak cucunya. Suami dan istri memunyai kedudukan sama terhadap harta gunakaya, anak kandung dan anak angkat (laki-laki atau perempuan) yang belum kawin berhak atas harta gunakaya orangtuanya sesudah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah yang dikuasai oleh anak yang melanjutkan tanggung jawab orangtuanya. Anak yang berstatus kapurusa berhak atas satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal kadaton terbatas berhak atas setengah dari harta warisan yang diterima anak berstatus kapurusa. Anak yang ninggal kadaton penuh tidak berhak atas harta warisan, tapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orangtuanya dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris.

Jika terjadi perceraian, Pesamuhan Agung III MUDP Bali memutuskan, pihak yang berstatus pradana kembali ke rumah asalnya status mulih daha atau mulih truna, kembali melaksanakan kewajibannya. Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya dengan pirnsip bagi rata. Setelah bercerai anak dapat diasuh ibunya tanpa memutuskan hubungan hukum anak tersebut dengan keluarga purusa karena anak mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.

Menurut Hakim Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H. hukum harus mampu mengantisipasi dinamika yang begitu cepat dan tampil mengubah kontruksi sosial serta menangkap kosmologi masyarakat dan berusaha menggali nilai –nilai hukum yang hidup di masyarakat. Ia menilai, keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali sudah mencerminkan kesetaraan hak-hak yang sama tanpa membedakan status purusa dan pradana. “Jangan sampai keputusan sebagai peti kemas. Keputusan dissosialisasikan secara terencana sehingga nantinya menjadi kebiasaan yang diikuti dan dipatuhi sebagai bagian dari sistem hukum kekeluargaan,’ ujar Hakim Tinggi Makasar ini.
Ia menambahkan, lembaga adat makin menunjukkan eksistensi sejuah mana peran dan fungsinya dalam berbagai keputusannya memberi perhatian terhadap perempuan Bali dalam perpektif hukum adat waris. Menurutnya, ada adat yang harus dipertahankan, ada adat yang harus diperbaharui, dan ada adat yang harus ditinggalkan.Masih kurangnya pemahaman para hakim terhadap pentingnya hukum adapt akan sangat berpengaruh pada kualitas keputusan yang diambil. Ia mengajak untuk menghidupkan kembali lembaga perdamaian desa yang dulunya pernah ada. “Ini dapat menjadi pertimbangan di pengadilan, apa lagi hasilnya ditunjukkan pada kesepakatan,’ kata Madeg.

Wenten Ariawan Pengajar dari Politeknik Negeri Bali mengusulkan, agar di Bali ada pengadilan agama Hindu. Ia mengatakan, sudah mengusulkan hal ini dalam berbagai kesempatan simakrama dengan Gubernur Bali tapi belum terwujud. Menurutnya, hakim sebagai penegak hukum wajib menggali dan memahami hukum yang hidup di masyarakat. “Saya yakin, masih banyak hakim yang tidak memahami hukum adat Bali. Dalam memutuskan perkara, hakim tidak saja dari hakim karier, tapi perlu pertimbangan dari pihak pemerhati hukum adat Bali,” ujarnya.
Menurut Wayan Windia, membuat lembaga peradilan agama adalah masalah politik. Ukurannya tengkorak bukan otak. Itu sebabnya pada pemilu, intelektual tidak laku. Tapi tidak tertutup kemungkinan hal itu bisa terwujud. “Kita bisa berjuang lewat oganisasi seperti Majelis Desa Pakraman,” ujarnya.
Wenten juga mempertanyakan, dalam perkawinan pada gelahang, apakah ngayah-nya tidak berat karena negen dua? Menurut Windia, perkawinan Pada Gelahang sudah diteliti. Dari 28 kasus yang sudah melewatinya hanya satu yang pasang yang sampai menimbulkan masalah di masuk pengadilan. Urusan ngayah-nya memang berat. Namun, bentuk perkawinan ini sebagai solusi karena kedua belah pihak tidak memungkinkan melakukan perkawinan biasa.

Menurut Wiana, di pengadilan sering terjadi jual beli pasal. Hal itu tidak bisa dibuktikan. Sepeti kentut, baunya sudah menyengat tidak bisa dibuktikan. Dengan memahami hukum adat Bali dengan baik diharapkan hakim dapat memutuskan dengan hati nurani. Menurut Wiana, dalam perkawinan pada gelahang, mereka tidak akan kehilangan haknya. Ia berharap, desa pakraman jangan terlalu banyak mengintervensi kula cara, jika sudah terjadi kesepakatan antara keluarga. “Lanjutkanlah yang baik dan tolak yang tidak sesuai. Jangan sampai di Bali semuanya sulit, termasuk mati pun sulit,’ tandas Wiana Putu Astawa dari PHDI Kota Denpasar menyatakan, sudah ada payung tersendiri baik tertulis maupun tidak tertulis. Manusianya yang salah dalam penerapannya. Terjadi penyimpangan karena orang Bali tidak disiplin.
Sugiantari, mahasiswi IHDN Denpasar mempertanyakan, poligami dilakukan laki-laki, belum ada`poliandri. Kesetaraan belum terjadi.

Menurut Wiasti, kesetaraan dalam tatanan ideal sudah tercapai. Namun, dalam realitas masih banyak kepentingan. Banyak bukti perempuan mengalami kekerasan ketika berada di ranah gender. Ketika bertukar ranah, perempuan membayar lebih. Di Bali belum mengalami kesetaraan gender. Poligami tidak dibenarkan dalam agama. Sebisa mungkin tidak dilakukan, kecuali ada hal yang bersifat darurat. “Ketika manusia mampu berbuat adil seperti Betara Siwa, silakan saja, tapi kalau tidak bisa, sebaiknya dihindarkan,” katanya.
Luh Teri dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( BP3A) Prov. Bali mengatakan, apakah bisa jual beli waris dari orangtua ke anak. Menurut Windia, mungkin bisa saja dilakukan. Namun, terdengar tidak baik. sebaiknya dihibahkan saja.

Ketua Majelis Utama Desa Pakraman Jero Mangku Suena menilai, banyak aparat desa dan penegak hukum yang tidak paham dan sering melalaikan hukum adat. Mereka terkadang cenderung hanya menggunakan hukum nasional. Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP sudah disosialisasikan ke masing-masing desa pakraman. Sampai saat ini, kata dia, sosialisasi sudah berjalan ke enam kabupaten/kota. Yang belum hanya Kab. Karangasem, Bangli, dan Badung.

Menurutnya, selama sosialisasi tidak ada hambatan di lapangan. Hanya masalah waktu. “Mengumpulkan Bendesa Adat harus mencari waktu yang tepat. Disamping itu, tenaga Prajuru Majelis banyak yang bekerja sebagai dosen. Sedangkan pekerjaan di majelis bersifat ngayah. Kami sudah menandatangani kesepakatan dengan Ikayana untuk menyosialisasikan keputusan ini bersama-sama agar bisa lebih efektif,” paparnya.
Ketua Ikayana Pusat Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD menambahkan, hasil seminar ini akan dibukukan sehingga dapat dijadikan acuan bagi desa pakraman. Ke depannya, diharapkan dapat menjadi bagian dari hukum adat Bali. -ast

Koran Tokoh, Edisi 655, 31-6 Agustus 2011