Minggu, 11 Desember 2011

Tuna Grahita Belajar Kepandaian Hidup agar Mandiri

Pasien dengan kasus gangguan keterbelakangan mental seringkali datang berobat ke RS Sanglah dalam kondisi yang sudah parah, baik itu ke poliklinik maupun IRD. Kunjungan berkisar 10 kasus per hari. Kasus terbanyak, gangguan keterbelakangan mental atau retardasi mental. Kasus depresi dan cemas jumlahnya lebih sedikit, termasuk kasus pada anak. Demikian diungkapkan ahli jiwa dr. Lely Setyawati, Sp.K.J (K). Retardasi mental atau biasa disebut kekurangan kepandaian memakai standar IQ. Biasanya, kata Dokter Lely, IQ mereka kurang dari 70. “Kategori kasus ringan mereka masih bisa diajarkan belajar kepandaian hidup yang tujuannya setelah dewasa mereka bisa mandiri dan tidak tergantung lagi,” jelas dokter Lely.

Ia menyayangkan, semua kasus gangguan keterbelakangan mental sering disamaratakan dengan idiot. Padahal, idiot merupakan gangguan keterbelakangan mental yang paling berat dengan IQ di bawah 20. “Nilai IQ 50-70 termasuk gangguan keterbelakangan mental ringan yang masih bisa dilatih. Mereka dilatih di SLB C, dengan model pengajaran satu per satu untuk mengetahui sejauh mana kemampuannya termasuk hobinya. Tujuannya, agar penderita tunagrahita mampu berjuang bertahan hidup,” ujarnya. Ia menyebutkan, dilihat dari pertumbuhan grafik secara umum, sekitar 70% -80% anak-anak memiliki IQ normal. Hanya 10% anak yang memiliki IQ superior di atas normal, dan 10% anak yang ber-IQ rendah. IQ normal berkisar di atas 90-110, batas 70-90 disebut IQ borderline.

Ia menyebutkan dua penyebab retardasi mental. Penyebab primer dibawa sejak lahir dan penyebab sekunder karena menderita penyakit radang otak saat berusia di bawah dua tahun. “Penyakit radang otak dapat menurunkan kecerdasan bayi yang berakibat terjadi gangguan keterbelakangan mental yang bersifat permanen,” paparnya lebih jauh.
Gangguan kecacatan mental secara bawaan dari lahir memang bisa dideteksi mulai dari dalam kandungan. Namun, dilemanya, kata dia, kapan bisa mendeteksinya. Ketika ditemukan kasus usia kehamilan 2-5 bulan dan sudah terbentuk janin, apakah tega untuk dibunuh. Hukum juga melarang aborsi. Ia menegaskan, ada satu kalimat bijaksana yang perlu ditekankan untuk membangun motivasi bagi orangtua yang memiliki anak tuna grahita. “Memunyai anak cacat mental bukanlah kiamat. Mereka dapat dilatih untuk diberdayakan.” Anak yang pandai bermain musik hidupnya tetap berguna. Anak yang jago melukis bisa membuat pameran. Anak yang memunyai fisik yang kuat dapat dilatih olahraga. Itu juga merupakan prestasi. -ast

Koran Tokoh, Edisi 673, 11 s.d 17 Desember 2011

Minggu, 04 Desember 2011

Rani Paramitha Iswara Maliawan

Lulusan Terbaik FK Unud 2011

“Dimana ada kemauan di situ pasti ada jalan”. Kalimat ini selalu tergiang di kepala dr. Rani Paramitha Iswara Maliawan, S.Ked. Lulusan terbaik Fak. Kedokteran Unud yang diwisuda (26/10) ini sudah siap konsekuensinya menghabiskan waktu belajar untuk meraih cita-citanya menjadi dokter dan menjadi kebanggaan keluarganya. Bahkan, kata peraih IP 3,88 ini, nama besar ayahnya Prof. Dr. Sri Maliawan, Sp.B.S. membuatnya makin terpacu untuk meraih sukses.

Ia mengaku ada rasa malu, jika tak bisa meraih nilai yang bagus. Dukungan, semangat, dan kegigihan sang ayah banyak memberinya motivasi untuk menjadi yang terbaik.


Rani mengaku tak punya resep khusus dalam belajar. Semua ia jalani dengan santai. Ada satu hal penting yang ditekankan gadis yang suka aerobik ini. Mengenal diri sendiri. Artinya, kapan otak bisa menerima pelajaran dan kapan otak sudah jenuh, yang artinya jangan dipaksa. Rani selalu menyiapkan waktu dua jam untuk belajar. Waktunya tidak tentu, tergantung mood. Sehari sebelum kuliah, ia selalu menyempatkan diri membaca mata kuliah yang akan diajarkan besok.

Ia mengatakan, kuliah di Fak. Kedokteran lebih banyak diberikan diskusi kelompok. “Mahasiswa harus aktif belajar sendiri. Tinggal pilih, mau pintar atau ketinggalan, semua pilihan ada pada kita,” ujar kakak Made Gemma Daniswara Maliawan dan Rataya Paramitha Maliawan ini. Ada satu kebiasaan sejak kecil yang menurut Rani, telah menumbuhkan semangat belajarnya. “Kami dibiasakan sejak kecil belajar bersama di meja makan. Sampai besar, kami sudah terbiasa belajar walau pun tidak ditunggu dan tidak perlu disuruh lagi,” kata gadis manis usia 23 tahun ini. Apalagi, kata Rani, buku-buku kedokteran sebagian besar berbahasa Inggris. Menurutnya, mau tidak mau harus rajin membaca. Namun, bagi Rani, justru karena berusaha keras untuk mengerti dalam bahasa Inggris, pelajaran lebih lama mengena di otak. Ia mengatakan, satu hari harus dapat membaca sepuluh halaman.
Kepadatan kuliah kadang membuatnya jenuh. Hari Sabtu Minggu merupakan hari yang dinantinya, waktunya bersama keluarga. Biasanya, Rani sekeluarga makan bersama di luar atau nonton. Walau pun sudah dewasa dan kedua adiknya juga sudah remaja, mereka tetap tidak melewatkan kebersamaan bersama keluarga.

Bagi Rani, justru kebersamaan dengan keluarga makin mendorongnya untuk lebih bersemangat dalam meraih cita-citanya. Menurut ibunya Ketut Ayu Sanjiwani, ia selalu menerapkan komunikasi terbuka kepada ketiga anaknya. “Tiap pulang sekolah atau kuliah, atau pulang jalan-jalan bersama teman-temannya, pasti ada saja yang dceritakan termasuk urusan pacar,” kata Sanjiwani. Menurut Rani, kedua orangtuanya sangat bersikap demokratis. “Papa dan mama tidak pernah memaksakan keinginan mereka. Anak-anak sudah diberi kepercayaan dan kepercayaan itu kami jaga dengan baik,” ujar Rani. Bukan hanya kedekatan soal komunikasi, kebersamaan Rani bersama keluarga juga terjalin saat persembahyangan bersama. Menurut Rani, kedua orangtuanya selalu menekankan untuk bersyukur.
Sebelum menjadi co as, ia masih memunyai banyak waktu untuk menyalurkan hobinya senam aerobik. Malah, ia mengaku, dengan senam, semua kepenatan kuliah bisa teratasi. Setelah waktunya tersita untuk praktik di rumah sakit, waktu senggangnya makin menipis. Tiap ada kesempatan, naik sepeda menjadi pilihannya, main piano atau menyalurkan hobinya menyanyi. Waktu di SMA dulu, Rani tergabung dalam anggota paduan suara SMANSA Denpasar. Selain jago nyanyi, prestasi akademiknya saat SMA juga menonjol. Rani tercatat sebagai juara umum I saat kelas III di SMAN 1 Denpasar.

Ada satu kisah unik dikisahkan Sanjiwani ketika Rani bertugas di Puskesmas di salah satu wilayah di Kabupaten Bangli. Salah seorang anak guru di sekolah tempat ia tinggal sementara bertugas, begitu dekat dengannya. Anak tersebut sampai sakit lantaran Rani sudah mengakhiri tugasnya melakukan pengabdian di sana. Orangtua anak itu sampai kebingungan mencari Rani agar dapat bertemu. Untunglah mereka bisa dipertemukan. Anak itu berharap, suatu ketika dapat mengunjungi dokter Rani idolanya itu di Denpasar. –ast

Koran Tokoh, 672, 4-10 Desember 2011