Tampilkan postingan dengan label anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label anak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 November 2010

Jangan pernah Katakan "Anak ‘Goblok"

Pendidikan usia dini menjadi hal utama dan penting dalam pendidikan anak. Orangtua merupakan pendidik utama yang memegang peranan penting mengantarkan kesuksesan anak. Ironisnya, tak banyak orangtua yang memberikan pendidikan usia dini yang baik kepada putra-putrinya. Bahkan, ketika mereka besar dan tidak mampu menjadi anak seperti yang mereka inginkan, celaan tak urung mereka lakukan. Ini kesalahan fatal. Demikian ditegaskan praktisi pendidikan Gidion Hidarto.

Ayah Dominic Brian seorang anak Indonesia pemecah rekor dunia ini mengungkapkan pengalaman masa kecilnya.Ia mengaku akses untuk melakukan perlawanan dan penolakan terhadap kemauan keras orangtua tidak didapatkan. Ia berasal dari keluarga keturunan Tionghoa, bertempat tinggal di desa, yang dididik keras dan disiplin, harus menuruti semua kemauan orangtuanya. Gidion mengaku, tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan ayahnya.

Ketika tamat SMA, ia tidak diterima di ITS. Ia diharuskan kuliah ke Amerika Serikat. Ia tidak punya kekuasaan untuk menolak perintah orangtuanya sampai ia menyelesaikan pendidikan S-2 di sana. Setelah dewasa, ia menikah dan memiliki anak yang bernama Dominic Brian. Ia mencoba mengembangkan konsep baru dalam mendidik putra tunggalnya itu. Ia tidak ingin mengulang kesalahan orangtuanya, yang memaksakan kehendaknya kepada dirinya.
Tak tanggung-tanggung, sejak Brian dalam kandungan, ia sudah diajarkan menjadi anak yang berkarakter. “Saya tidak mau mengulang kesalahan orangtua. Saya diajari tidak bisa mengambil keputusan. Saya tumbuh dan besar tanpa menjadi diri saya sendiri,” tuturnya.

Setelah Gidion terjun sebagai pengajar tahun 2002 dan membuka kursus, ia mulai menyelami dunia anak-anak dengan baik. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, pikirnya.
“Saya biarkan Brian bereksperimen. Saya biarkan ia mencoret tembok, bahkan mencoret mobil. Menggambar daun dengan warna merah, atau warna apa saja terserah dia. Saya bebaskan dia menjadi dirinya sendiri. Saat dia bermain bola, dan jatuh di rumput, saya biarkan. Dia akan banyak belajar dari pengalamannya itu,” kata Gidion tentang kiatnya mendidik Brian.

Saat usianya satu tahun, Brian diajari kata-kata dengan menunjukkan dan membacakannya. Tiap malam istrinya, Debora, membacakan buku sebelum ia tidur. Ketika usia tiga tahun, Gidion terkaget-kaget, karena Brian sudah mampu membaca dan menunjukkan kepiawaiannya membaca di depannya. Sejak itu, Gidion rajin mengajak Brian ke Gramedia untuk membeli apa pun buku yang ia suka. Usia 5 tahun Brian sudah mahir membaca koran.
Gidion menuturkan, buku Brian semuanya dalam bahasa Inggris. Saat usianya tiga tahun, Brian sangat lancar berbahasa Inggris. Semua itu dipelajari Brian, karena tiap malam ia selalu mendengar ibunya membacakan cerita dalam bahasa Inggris untuknya. Brian tumbuh dalam dua bahasa tanpa stres.
Ada orangtua yang protes. Anak diajari matematika atau bahasa Inggris sejak kecil bisa stres. Gidion berpandangan, yang membuat anak menjadi stres karena cara pengajarannya yang salah. Kurang pendekatan orangtua dengan anak. “Kalau orangtua dekat dengan anak potensinya mudah dikenali. Kalau waktu kecil anak suka memotong sayur, suka masak, besarnya nanti mungkin bisa menjadi koki terkenal. Dengan pendekatan seperti itu, orangtua mampu mengenali potensi anak dengan baik,” paparnya.

Fungsi orangtua diibaratkan pemantik korek api. Potensi anak tidak terbendung. Orangtua sebagai sumber ispirasi dengan melakukan hal kecil. Seperti yang ia lakukan. Hanya dengan membacakan buku tiap malam, Brian mahir membaca tanpa harus diajari huruf demi huruf. Anak akan bisa membaca tanpa disadari.
Ia menyayangkan sikap orangtua yang sering menghardik anak dengan kalimat yang kurang mengenakkan. Melihat anaknya suka musik, langsung berkata, ’jika besar nanti kamu mau jadi tukang ngamen’.
Kalau itu diucapkan orang lain, mungkin anak tidak peduli. Namun, ketika kalimat itu dilontarkan bapaknya akan membuat mental anak menjadi drop.

Ia menilai, anak merupakan titipan Tuhan. Tuhan yang mengetahui, apa yang menjadi panggilan jiwa anak itu. Kalau orangtua memberi kebebasan mengekspresikan dirinya, ia akan menjadi anak yang berkarakter.
Gidion mengatakan, ia selalu menekankan kepada Brian, sahabat terbaik adalah orangtuanya.
Dengan dekat kepada anak, para orangtua akan tahu seberapa besar keinginan anak, seberapa besar ketakutan anak, dan mengerti kebutuhan anak. Tiap hari, ia selalu mengucapkan kalimat “I love you” untuk Brian.

’Home Schooling’
Ketika Brian kelas VI, ia mengambil suatu keputusan besar. Ia tidak ingin masuk ke sekolah normal. Brian ikut home schooling alias belajar di rumah. Hanya Gidion dan istrinya, Debora, yang mengajar Brian. Tidak ada guru yang dipanggil. Tidak ada rapor. Kelas bisa di kamar, supermarket, atau di bioskop.
Bagaimana kita melihat kehidupan, ada panggilan jiwa yang diajarkan. Rumah adalah tempat yang terbaik. Guru yang terbaik adalah para orangtua. Menurut Gidion ia memberi anaknya kebebasan dari awal. Pilihan pasti ada konsekuensinya. “Saya ajarkan Brian untuk mengambil keputusan sendiri. Saya belum pernah mengatakan ’kamu goblok’, atau ’kamu tidak bisa diatur’. Kadang Brian juga lupa, dan teledor. Tetapi, saya menganggap dia orang yang harus dihargai. Bukan diberi kata-kata kasar seperti itu,” ujar Gidion.

Ketika ia memutuskan untuk home schooling, Brian sudah memikirkan matang-matang. Walaupun Brian home schooling bukan berarti ia tidak bersosialisasi dengan teman-temannya. Brian biasa menjadi pembicara dalam seminar, ia suka berenang, main musik, temannya banyak di facebook, ia ikut komunitas di gereja. Banyak hal dilakukan Brian sama seperti anak lainnya.
Prestasi Brian memang membuat decak kagum banyak orang. Brian mendapatkan penghargaan Muri tahun 2002 dalam usia 5 tahun karena mampu mengingat 100 angka dalam waktu 12 menit. Tahun 2009, Brian kembali mendapatkan rekor Muri. Tak berselang lama, Brian memecahkan rekor dunia (guinness world record) mengingat angka terbanyak. Tahun 2010, kembali prestasi spektakuler diraihnya. Rekor dunia mengingat angka terbanyak 216 dalam waktu satu menit mengalahkan pemegang rekor dunia yang lama, Nischal Narayanan dari India yang hanya mampu mengingat 132 angka.

Gidion menolak jika dirinya dikatakan mengekpoitasi anak. Tiap anak punya potensi yang terpendam. Einstein yang autis hanya menggunakan kemampuan otaknya sekitar 8%, apalagi anak normal tentu potensinya lebih besar. Selama anak diajari menjadi pribadi yang bertanggung jawab, ia akan mampu tumbuh secara optimal.
Ia berpandangan, para orangtua tidak bisa mengatakan, anak tidak boleh main internet. Orangtua cukup memberi bekal kedewasaan dan kebijaksanaan kepada anak. Godaan tidak bisa dicegah. Namun, dengan bekal yang cukup dalam usia dini, itu akan menancap di otaknya dengan baik.
Apalagi, kata dia, itu dilakukan sejak bayi dalam kandungan. Pendidikan Brian sudah disiapkan dengan baik mulai dalam kandungan. Saat ia berusia satu bulan saya bahas karakter kejujuran. Bulan berikutnya saya bahas karakter baik lainnya. Saya rasa itu sangat berpengaruh dan bermanfaat bagi Brian.

Kuliah karena Pacar
Gidion mengaku tergelitik, saat mengikuti seminar Andy Noya pemandu Kick Andy di Metro TV di kampus Unud. Ketika ditanya, apa alasan para mahasiswa kuliah di sana, sebagian menjawab karena ajakan teman, bahkan karena pacar, dan mengikuti keinginan orangtua.
Kalau kita telusuri, kata Gidion, kesalahan memilih sekolah berasal dari kesalahan sebelumnya. Kesalahan waktu SMA, SMP, SD, TK bahkan sebelumnya. Anak tidak mampu menentukan pilihannya sendiri, sesuai dengan panggilan jiwa mereka. Ia menilai, pendidikan usia dini yang harus dibenahi agar harapan orangtua untuk mendapatkan anak yang berkarakter dapat tercapai.

Ia mengaku, terinspirasi dengan dua orang penyandang cacat Aceng dan Stephani yang ditampilkan dalam acara Kick Andy. Aceng tidak punya tangan, bisa SMS-an, bisa main gitar, menikah pula. Stephani cacat mental. IQ tidak sampai 90. Namun, ia mampu mewakili Indonesia dalam kejuaraan renang di Yunani. Ironisnya, angka bunuh diri di Indonesia tinggi, padahal seorang Aceng dan Stephani mampu menjadi motivator bagi banyak orang. Sementara, bagi orang yang terlahir normal, mereka tidak mampu menghadapi persoalan dalam hidupnya.

Ia berencana membuat buku tahun depan yang menuturkan bagaimana perjalanan Brian dalam meraih kesuksesan. Buku dengan judul “Panggilan Jiwa” ini rencananya akan dihiasi kata pembuka dari Presiden SBY dan Gubernur Bali. –ast.

Tokoh, Edisi 620, 28 Nov s.d 4 Desember 2010

Sabtu, 02 Oktober 2010

Antisipasi Penculikan Anak

Perlu Kartu Penjemput

KASUS penculikan anak di bawah umur sempat merebak di Denpasar. Walaupun pelaku Si Codet sudah ditangkap, berbagai usaha dilakukan agar tidak ada lagi korban karena ulah Codet-codet lainnya. Belum lama ini TK Negeri Pembina Denpasar mengundang petugas dari Polsek Denpasar Barat untuk memberi pengarahan kepada orangtua siswa di sekolah setempat.

Kanit Lantas Polsek Denbar Virah Meydar Hasan memberikan beberapa kiat kepada orangtua agar anak terhindar dari penculikan. “Kalau orangtua bekerja, sering mengecek kondisi rumah. Jangan biarkan anak terlalu dekat dengan pembantu atau baby sister. Luangkan waktu bermain dengan anak,” katanya. Apabila anak bermain di halaman, tutup pintu gerbang sehingga anak tidak keluar rumah tanpa sepengetahuan orangtua. Tetap pantau anak-anak saat bermain di pekarangan rumah. Selain itu, kalau mengantar anak-anak sekolah pastikan anak sudah berada di halaman sekolah dan berbaur dengan temannya, baru meninggalkannya. Jangan baru tiba di pintu gerbang sekolah sudah ditinggalkan. Kenalkan anak dengan teman sekolah, guru, pegawai dan jika perlu kenalkan pada siapa yang biasa menjemput teman-temannya. Anak harus mengetahui nomor telepon sekolahnya dan nomor telepon gurunya.

Orangtua wajib meninggalkan nomor ponselnya sehingga bisa dihubungi gurunya jika ada masalah. Biasakan anak membawa bekal. Ia berharap, orangtua jangan membiasakan memberi uang jajan anak. Hal itu selain mengajarkan anak boros, juga membuat anak ingin berbelanja ke luar. Anak jangan memakai perhiasan. Beri tahu anak jangan mau dijemput orang lain yang tidak dikenalnya. Jangan telat menjemput anak. Secara psikologis, telat menjemput dapat memengaruhi mental anak, anak bingung dan mudah terpengaruh. Ia menyarankan, sebaiknya sekolah membuatkan siswanya kartu penjemput.


Aiptu I Ketut Sudiasa dari Babinkamtibmas Desa Dauh Puri Kaja menambahkan, kartu indetitas penjemput sangat penting untuk memastikan anak dijemput orang yang benar.
Kartu dapat dibuat sederhana berbentuk seperti KTP, ada nama anak dan foto orangtuanya. Jika yang menjemput bukan orangtuanya, si penjemput dapat menunjukkan kartu tersebut. Guru dapat mengecek ke orangtuanya bahwa anak dijemput orang lain.
Ada satu kisah dituturkan Sudiasa. Pernah terjadi penculikan anak SD dengan motif ekonomi. Korban sempat diajak kabur ke Jalan Nangka Utara. Karena anak itu terus menangis, beberapa orang yang melihatnya, menjadi menoleh ke arahnya. Pelaku merasa cemas, dan segera menurunkannya di jalan dan ditinggalkan begitu saja. Namun, perhiasannya sudah dipreteli. ”Anak memakai perhiasan dapat memancing orang lain berbuat jahat,” kata Sudiasa.

Ada satu pengalaman yang dituturkan Sudiasa ketika anaknya masih bersekolah di TK. Salah seorang ibu dilihatnya sedang menangis. Ketika ditanya, ibu tadi mengatakan anaknya hilang dan tidak ada di sekolah. Namun, dari penuturan orang yang sempat melihatnya, anak itu ternyata sudah dijemput seorang perempuan.
Sudiasa meminta ibu tadi untuk menelepon suaminya. Walau ibu tadi sempat merasa takut akan dimarahi suaminya karena telat menjemput anaknya, ia akhirnya menelepon dan meminta suaminya datang.
Orang yang sempat melihat tadi langsung berkata wajah si penjemput mirip dengan bapak itu sambil menunjuk ke suami ibu tadi. Akhirnya diputuskan untuk mengecek ke rumah. Ternyata anak itu sudah pulang dan dalam keadaan baik-baik saja.

Belajar dari kasus ini Sudiasa menegaskan, kartu penjemput sangat bermanfaat. Ketika orangtuanya tidak datang, si penjemput harus menunjukkan kartu sehingga guru tidak cemas dan menghindari saling menyalahkan.
Salah seorang orangtua siswa mengatakan, setuju dibuatkan kartu penjemput. Ada pengalaman yang dituturkannya. Waktu itu ia tidak membawa ponsel. Istrinya sedang ada rapat di kantornya. Akhirnya, istrinya meminta tolong temannya untuk menjemput karena ia tidak bisa dihubungi. Padahal, ia sudah berada di sekolah untuk menjemput juga.
Menurutnya, memang perlu kartu penjemput sehingga memudahkan untuk mengawasi siapa yang datang menjemput ke sekolah.

Kepala TK Negeri Pembina Dra Tjok. Istri Mas Mingguwathini M.Pd. mengatakan, sangat setuju dibuatkan kartu penjemput. Ada satu aturan di TK Pembina Negeri, ketika anak belum dijemput orangtuanya, anak diajak masuk ke ruangan ikut sarapan bersama para guru.
Kebetulan waktu itu, salah seorang orangtua siswa Diah mengaku sempat bolak-balik datang ke sekolah karena telat menjemput anaknya. Padahal, anaknya sedang berada di dalam kelas bersama para guru. Tjok. Mingguwatini menegaskan, ketika sudah pukul 11.00 dan masih ada anak yang belum dijemput, pihaknya mengajak anak itu ke dalam dan diajak makan bersama gurunya. “Guru-guru di sini masuknya pukul 06.30 sehingga mereka tidak sempat sarapan. Setelah anak-anak pulang mereka baru bisa sarapan dan minum kopi,” katanya.
Ia berharap, para orangtua yang terlambat menjemput anaknya langsung masuk ke dalam ruangan. Dengan 80 siswa dan 9 orang guru termasuk dirinya, menuntut tangung jawab sekolah lebih besar. Peran orangtua juga diperlukan untuk menjaga anak-anak mereka terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Ia mengatakan, sudah ada seorang guru piket yang menanti anak-anak di depan. Begitu juga waktu anak-anak pulang, semua guru berjejer di depan ikut mengantar mereka. Ketika dilihat ada orang lain yang menjemput, guru akan menegurnya.

Sedangkan TK Margajati yang berlokasi di banjar ini, tidak memiliki satpam sekolah. Namun, menurut Kepala TK Ni Wayan Sarmi, S.Pd. ketika anak terlambat dijemput orangtuanya, biasanya salah seorang guru akan mengantarnya. Kebetulan, sebagian besar tempat tinggal siswa di sekitar lingkungan sekolah sehingga memudahkan berkoordinasi. Dalam absen anak sudah dicantumkan nomor telepon orangtuanya sehingga jika ada masalah, mudah dihubungi. Orangtua juga wajib mencatat nomor telepon sekolah dan diharapkan memberi tahu ketika anak djemput orang lain atau dititipkan kepada penjemput temannya. –ast

Minggu, 01 Agustus 2010

455 Posyandu Tanggulangi Gizi Buruk di Kota Denpasar

Tahun 2010 tercatat 5 balita menderita gizi buruk di Denpasar. Dengan prosentase 0,03% dari jumlah keseluruhan yang ditimbang 14.377 balita, angka ini terbilang relative kecil. Namun, Dinas Kesehatan Kota Denpasar terus berupaya agar tidak ada lagi penambahan balita yang menderita gizi buruk. Dengan dicanangkannya Denpasar sebagai Kota Ramah Anak, Dinas Kesehatan Kota Denpasar terus melakukan upaya-upaya mengatasi gisi buruk. Kadis Kesehatan Kota Denpasar dr. Luh Sri Armini mengatakan balita yang menderita gizi buruk bukanlah karena balita tersebut terlahir tidak sehat. Tapi sebagian besar ada penyakit penyertanya seperti hydrosepalus dan pnemonia. “Tidak ada murni kekurangan gizi, tapi ada penyakit yang dideritanya,” ujarnya. Lima balita ini tersebar di kecamatan Denpasar Barat satu orang. Denpasar Utara dua orang, dan Denpasar Timur satu orang.

Ia menyebutkan, upaya penanggulangan gizi buruk sudah dilakukan kepada 5 balita tersebut dengan pemberian makanan tambahan seperti susu dan biskuit selama 4 bulan. Mereka juga mendapatkan pengobatan sesuai penyakit yang dideritanya. Petugas kesehatan terus memantau perkembangan balita tersebut dan memberikan penyuluhan gizi kepada orangtuanya. Ia menilai, sebagian besar masyarakat masih belum paham tentang gizi yang cukup. Sehingga program penyuluhan kesehatan akan pentingnya asupan makanan yang cukup tetap menjadi prioritas. Dokter Sri Armini mengatakan, program penanggulangan gizi buruk sudah dilakukan sejak ibu hamil sampai dewasa. Posyandu masing-masing banjar terus diberdayakan. “Saat ini sekitar 455 posyandu tutur aktif dalam penanggulangan gizi buruk,” tandasnya. Program penyuluhan ksehatan menjadi prioritas.

Program pertama menyasar ibu hamil. Pemberian imunisasi TT, zat besi, dan penyuluhan makanan sehat bagi ibu hamil. Setelah bayi lahir, imuniasasi wajib diberlakukan sebelum usia bayi satu tahun dengan pemberian DPT, BCG, Polio, dan Hepatitis. Program Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak (DDTKA) menyasar siswa pra sekolah (TK). Bekerja sama dengan puskesmas setempat, melakukan screening kesehatan ke TK-TK yang ada di Denpasar sekali setahun. Saat anak duduk di SD, kembali dilakukan screening kesehatan, seperti pemeriksaan gigi, telinga, mata, dan gizi. “Imunisasi ulangan DT dan TT diberikan saat anak duduk di kelas I dan 6 SD,” kata dr. Sri Armini.
Memasuki bangku SMP bekerja sama dengan UKS, siswa terus mendapatkan penyuluhan kesehatan. Program imunisasi TT ulangan diberikan kepada siswi SMA putri. Imunisasi ini tujuannya, agar remaja putri terhindar dari tetanus, dimana nantinya mereka akan menjadi calon ibu. –ast

Koran Tokoh, Edisi 603, 1 s.d 7 Agustus 2010

Rabu, 24 Maret 2010

Diajari Calistung dan Keterampilan (3)

BEBERAPA di antara 31 anak pekerja di Pasar Badung, kini mengikuti pendidikan di Yayasan Kecantikan Agung termasuk Wayan Budi dan saudaranya. A.A. Ratna Sari Dewi dari Yayasan Kecantikan Agung menuturkan, kegiatan ini sudah dilakukan Oktober 2009. “Diawali rasa simpati kami terhadap para gepeng, tukang suun dan penjual buah potong keliling yang ada di sekitar Yayasan Kecantikan Agung. Mereka diajari membaca, menulis, dan berhitung dan keterampilan khususnya di bidang kecantikan,” ujarnya.

Para gepeng datang seminggu sekali pukul 09.00 s.d 15.00. Mereka diajari menata diri mereka, mulai dari kesehatan, penampilan dan tingkah laku yang baik dan sopan.
Proses pembelajaran dibedakan karena ada yang sudah pernah mengenyam bangku sekolah namun putus sekolah di tengah jalan, atau ada yang tidak pernah sekolah tidak mengenal huruf dan yang tidak bisa membaca.

Untuk menarik perhatian mereka, di sela-sela pembelajaran, diajarkan cara membersihkan wajah dan potong rambut. “Mereka juga kami ajak mengikuti workshop tata rias di Karangasem agar mereka bisa melihat langsung bagaimana keterampilan tersebut berguna nantinya bagi mereka.
Saat ini pengemis yang terdidik di yayasan ini 20 orang, terdiri atas 3 laki-laki dan 17 perempuan. Usia mereka 9 - 23 tahun.

Kejar Paket A
Sebanyak 17 pekerja anak juga telah mengikuti pendidikan kejar paket A dan pelatihan keterampilan yang diselenggarakan Yayasan Kasih Peduli Anak.
Surya Dwipayani, sekretaris Yayasan menuturkan, awal mulanya Putu Etiartini selaku pendiri, prihatin terhadap banyaknya pekerja anak di sekitar Pantai Double Six Kuta. Usia mereka 10-14 tahun.
Mereka diajari calistung di pinggir pantai dengan beralaskan tikar. Setelah ada rumah aman di wilayah Umadui Padang Sambian Kelod, mereka dipindahkan ke sana.

Awalnya tahun 2007 ada 5 anak yang tinggal di sana. Tahun 2010 sebanyak 17 anak terdiri atas 12 laki-laki dan 5 perempuan yang mengikuti program pendidikan di Yayasan Kasih Peduli Anak.
Pagi hari setelah sarapan, anak-anak diajari belajar mencuci piring dan membersihkan dapur. Pukul 10.00 mereka belajar calistung, pukul 13.00 mengikuti kejar paket A di sekolah Ki Hajar Dewantara. Anak-anak juga diajari berbagai keterampilan seperti menari, berbahasa Inggris, menggambar, dan bermain drama. -ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 584, 22 s.d 27 Maret 2010

Hansip Takut Gepeng (2)

ALIT ARDANA dari Desa Adat Kuta mengatakan gepeng di Kuta menolak jika diberi uang Rp 1.000. Mereka malah punya uang kembalian. Sebelum ada gepeng di Kuta, kata Alit, dulu banyak pencopet estafet. Mereka mencopet tamu, dan lari berestafet saling oper dengan teman pencopet lainnya, sehingga jejaknya hilang.
Ia mengatakan, sebagian besar gepeng berasal dari Karangasem, sehingga ia mencoba berkoordinasi dengan Bupati Karangasem Wayan Geredeg. Namun, Pemkab. Karangasem beralasan tidak memiliki anggaran. Dinas Sosial Kabupaten Badung juga beralasan tidak cukup anggaran untuk menangani masalah gepeng di Kuta. Padahal, kata Alit Ardana, kantor Bupati Badung sangat megah yang menghabiskan dana miliaran rupiah.

“Petugas Satpol PP jangan hanya waktu Presiden Obama akan datang ke Bali memperketat penjagaan. Petugas sekarang ini hanya bekerja sesuai jam kerja Senin sampai Jumat. Kalau gepeng beroperasi Sabtu dan Minggu mereka kami bawa ke mana,” kata Alit.
Ia mengungkapkan, hansip Kantor Lurah Kuta pernah menangkap gepeng dan memandikan mereka di pantai. Tidak terima mendapat perlakukan tersebut, gepeng tadi melapor ke kelompoknya, dan kemudian melapor ke polisi. “Hansip kami terkena pasal penganiayaan. Mereka minta uang Rp 5 juta. Akhirnya kami negoisasi dan hanya bisa penuhi Rp 1,7 juta. Kasus ini membuktikan, kami dikalahkan kelompok mereka. Mengapa polisi malah memihak mereka. Akhirnya hansip kami takut pada gepeng,” ungkap Alit.

Ia menyarankan, segera dibentuk perda dan sosialisasikan pada wisatawan asing agar mereka memahaminya. Sebab, sebagian besar yang memberi uang, para tamu.
Kelian Adat Desa Kapal A.A. Darmayasa juga menyarankan, perlu adanya perda agar ada kekuatan hukumnya. Gepeng pun mulai menjamur di desa ini. Ada pengepulnya. Perlu diatur sanksi terhadap pengepul gepeng.
Made Sudarma anggota Komisi IV DPRD Prov. Bali mengatakan, setelah semua data lengkap, DPRD segera menggagendakan perda gepeng. Sebagai putra kelahiran Tianyar Timur, Karangasem, secara psikologis ia merasa turut bertanggung jawab.

Apa Perda bisa Menjamin?
Wakil Ketua KPAID Bali Luh Anggreni, S.H. mengungkapkan kajian perda gepeng yang dibuat tim FH Unud belum dapat disosialisasikan terbentur masalah anggaran. Ia berharap Gubernur Bali memberikan prioritas dana dalam penanganan masalah yang terkait kemiskinan ini.
Wayan Suardika dari Yayasan Manikaya Kauci menilai sudah banyak ada perda. “Apakah perda dapat menyelesaikan masalah? Korban KDRT tetap meningkat tiap tahun. Artinya, peraturan belum menjamin adanya perubahan. Perlu kerja sama dan komitmen antarkabupaten untuk mengatasi masalah ini. Apa yang bisa dilakukan Denpasar dan Badung untuk Karangasem? Jangan serahkan semua ke provinsi,” tandasnya.

Mungkin kerja sama pernah dilakukan, namun, katanya, apakah pernah dilakukan evaluasi. Di mana kelemahannya, dan apakah pernah ada pemberdayaan terhadap gepeng. Ia berharap, pemberdayaan dilakukan per kabupaten. “Studi banding saja bisa, kalau serius dan berkomitmen pasti bisa,” tegasnya. –ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 584, 22 s.d 27 Maret 2010

Perbudakan Anak tetap Terjadi di Jalanan (1)

PAGI itu Wayan Budi tidak menggepeng (meggelandang dan mengemis). Ia datang bersama dua saudara perempuannya. Dia tiba saat diskusi di Kantor BP3A sudah berlangsung. Tak mudah mengajak Wayan Budi datang ke forum diskusi. Dia mengaku kehilangan pekerjaan jika tidak bekerja (mengemis). Dia meminta Rp 20.000 sebagai ganti waktunya yang hilang.

Wayan Budi berasal dari Pedahan Kaja Karangasem. Ia memiliki empat saudara lagi. Ibunya tukang suun (menjinjing barang) di pasar dan bapaknya bekerja di proyek. Mereka tidur bertujuh dalam satu kamar. Wayan sering tidur di luar karena kamarnya sempit. Dalam forum diskusi itu pandangan Wayan Budi tampak kosong. Dua saudara perempuanya asyik mengobrol dengan dialek mereka yang khas. Mereka tidak mempedulikan diskusi yang sedang membahas nasib mereka.

Hari itu Wayan Budi diminta menuturkan pengalamannya sebagai gepeng. Namun, walaupun uang Rp 20.000 sudah diterima, ia menjawab pertanyaan moderator, Luh Anggreni, S.H. hanya sekenanya. Akhirnya, Wayan dibolehkan pergi setelah duduk bengong satu jam.

Berpenyakit Menular
Perbudakan terhadap anak-anak yang berasal dari Karangasem sudah terjadi sejak lama. Aturan hukum perlindungan anak sudah ada, namun tidak diterapkan dalam kasus ini. Sanksi tidak ada kepada bos atau germonya. Dikatakan mereka diekploitasi orangtuanya, namun ironisnya setelah ditangkap aparat mereka diekploitasi lagi. Mereka digunduli dan disuruh membersihkan WC.
Dalam Diskusi Terbatas Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Bali bekerja sama dengan BP3A Bali, Kamis (11/3) di Denpasar, Asana Viebeke L dari I am an Angel lebih jauh mengungkapkan, perbudakan anak tetap terjadi di jalanan, di pantai Kuta dan Legian. Anak-anak itu usia hingga 12 tahun berasal dari Karangasem Timur dan Kintamani bagian timur dekat Buleleng.

“Sejak bayi, mereka digendong orangtuanya mengemis. Setelah bisa berjalan mereka disuruh meminta-minta di pinggir jalan. Setelah lebih besar lagi disuruh menjual gelang. Usia 10-12 tahun dijadikan pekerja seks komersial (PSK),” tutur Asana. Ia mengatakan, bos mereka keluarga sendiri yang lebih dewasa. Sekolah tidak menjadi prioritas. Mereka diharuskan menjual gelang, mengemis, menjadi PSK. Jika pendapatan tidak memadai, mereka tidak dibolehkan tidur dan diharuskan terus bekerja di jalanan.

“Kalau mereka ditangkap, orangtuanya membayar petugas Rp 2.000 s.d. Rp 20.000 tergantung jenis pekerjaan anaknya,” katanya.
Asana menambahkan, bos/famili yang diketahui bertindak kejam mendapat keleluasaan untuk menentukan keputusan terhadap anak-anak tersebut. Eksploitasi terus berlangsung. “Hansip kantor lurah yang mengangkutnya juga menyakiti mereka dengan berbagai cara, seperti mencukur rambutnya, memukuli, menyuruh membersihkan toilet, merampas uangnya saat mereka menanti orangtua/bos yang akan menjemputnya,” ujarnya.

Tempat mereka tinggal bersama orangtua/bos/sanak familinya di Jalan Mataram dan Jalan Kubu Anyar, Kuta. Kawasan tempat mereka menjual gelang, Pantai Double Six, Jalan Benesari, dan Jalan Poppies. Mereka selalu berpindah tempat. Selain itu, ada lokasi tempat orang-orang yang lebih tua bisa dilihat mendekati mereka. “Kaum pedofil ini sudah seperti orang asli Kuta. Lokasinya di belakang hotel Jayakarta, bahkan ada kantornya. Pukul 09.00-11.00 mereka mengajak anak-anak menyantap sarapan. Alasan mereka, memberi anak-anak pekerjaan seperti menjaga anjing atau pergi ke tukang penatu. Anak-anak diiming-imingi uang dan mereka dengan senang hati menerimanya,” papar Asana.

Asana mengutip penuturan warga masyarakat Pedahan yang menyatakan, mereka menghadapi masalah tidak adanya air. Padahal, sudah banyak LSM yang membangun cubang air. Rosela, jambu mete, lontar, tumbuh bagus di sana. Ada juga LSM yang memberi pelatihan membuat topi. Namun, terganjal masalah pemasaran. “Apakah dengan terbukanya pekerjaan, menjamin mereka tidak akan mengemis lagi?” ujarnya.

Ia berpandangan, yang harus diwaspadai bongkolnya yakni bapak atau omnya yang menjadi mafia. “Hidup enak, anak-anak ini bisa menghasilkan Rp 3 juta s.d 10 juta per bulan. Walau sudah ada cubang air, sudah ada lahan pekerjaan, fakta menunjukkan anak-anak mereka tetap masih mengemis,” kata Asana.
Mereka menjadi pengemis bukan karena miskin, namun sudah ada indikasi sindikat atau mafia. Jangan samakan permasalahan gepeng di Jakarta dengan di Bali. Mengemis sudah menjadi sumber pendapatan stabil. Di desanya, ada rumah gedung milik bos dan mereka sudah mampu membeli ternak.

Tahun 2004, Asana bersama I am an Angel melakukan pemeriksaan pap smear kepada para ibu di Desa Pedahan Kaja. Kemaluan mereka berbau dan lumutan. “Februari 2010 kami melayani 60 ibu untuk pap smear, sebagian besar mengalami penyakit menular seksual. Sudah ada infeksi dan mengarah kanker 70-90%,” tandasnya.
Sebagian besar mereka mengonsumsi ketela dan jagung. Akibatnya, anak-anak kekurangan gizi dan yodium.

Ia berpandangan perlu rancangan program terpadu yakni menjauhkan mereka dari jalanan dan melibatkan mereka dalam pembangunan di desanya, Bangun balai sebagai tempat mengumpulkan anak-anak dengan berbagai kegiatan. Arahkan mereka tinggal di panti asuhan sambil mengikuti kegiatan/pelatihan sesuai usia dan potensinya.
Kebanyakan jaringan ini bersifat homogen dari satu kelompok desa atau satu keluarga besar, jadi lebih mudah diputuskan jaringannya sebelum menjadi heterogen. Perlu penyuluhan kepada pemimpin/masyarakat di wilayah aktivitas mereka dan menggugah nuraninya bahwa anak Bali adalah anak mereka juga. Ia berpendapat, perlu pararem dalam upaya mengatasi masalah gepeng ini.

Uang adalah Segalanya
Saat ini sekitar 300 anak bekerja sebagai pengemis dan tukang suun secara paksa di Pasar Badung. KPAID Bali bekerja sama dengan Bagian Psikiatri FK Unud/RS Sanglah berhasil mewawancarai 31 anak yang termasuk dalam eksplotasi ekonomi/sosial tersebut. Sekitar 25% usia mereka berkisar 10 tahun. Anak-anak di bawah 5 tahun tidak bisa dipantau, karena ibunya melarikan diri ketika didekati.
Dari 31 anak tersebut, laki-laki 6 dan perempuan 25 orang. Sebanyak 58% berasal dari Desa Pedahan Kaja, 25% dari Desa Pedahan Klod, dan 16,12% dari Desa Tianyar, Karangasem. Sebanyak 24 orang mengatakan tidak pernah mengenyam bangku sekolah, 6 orang pernah sekolah dan bisa membaca, satu orang bisa membaca karena belajar dari kakaknya.

Mereka di Denpasar hanya tinggal di tempat kos ukuran 3 x 2 meter. Sebanyak 5 orang mengatakan tinggal sekamar dengan 2-4 orang, 7 orang tinggal sekamar dengan 5-6 orang, dan 9 orang sekamar dengan 7 orang.
Lokasi tempat tinggal mereka di sekitar Jalan Kusuma Bangsa, Jalan Gunung Batukaru, Banjar Monang-maning, dan Jalan Penjahitan Banjar Kerandan Denpasar. Alasan mereka datang ke Denpasar, ingin membantu orangtua membangun rumah di kampungnya. Ada juga yang beralasan bapaknya sakit, atau mencari bekal untuk membeli keperluan upacara odalan di kampungnya.

Mereka beroperasi 3 shift, dan tidak merebut lahan saat mengemis. Jadwalnya, pukul 08.00-12.00, 14.00-18.00, dan 18.00-21.00. Sebagian anak-anak ini pindahan dari Kuta. Mereka mengaku, lebih sulit mengemis di Kuta karena banyak saingan. Rata-rata penghasilan mereka Rp 20. 000, minimal Rp 5.000, dan maksimal Rp 50.000. Jika tinggal bersama orangtua, hasil mengemis diserahkan semuanya kepada orangtuanya. Jika mereka tinggal bersama bibi/kakak, uang mereka dipotong 20% untuk biaya kos.

Dari 31 anak, 11 orang mengatakan tidak ingin sekolah, 14 orang mengatakan ingin bisa membaca, menulis, berhitung, dan 6 orang ingin melanjutkan sekolah.
Ketika ditanya cita-citanya, ada yang ingin menjadi presiden. Alasannya, presiden hidupnya enak. Ada yang ingin bercita-cita menjadi guru, dokter, pengusaha, polisi, buka usaha foto, tukang masak, sopir, buruh.
Sudah tertanam dalam benak anak-anak tersebut uang adalah segalanya. Ketika diwawancarai, mereka meminta uang untuk mau mengobrol.

Anak-anak ini rentan tindak kekerasan yang dilakukan teman mereka saat berebut penghasilan. Orangtua menjambak dan memukuli mereka kalau nakal dan tidak mau bekerja. Kekerasan juga bisa dilakukan orang dewasa yang merasa tersaingi dalam meraih rezeki dari pengunjung pasar.
Sebagian besar mereka tidak berani berobat ke klinik di Pasar Badung, walaupun gratis. Mereka hanya membeli obat di warung dan menggunakan loloh dan boreh. Tidak pernah ke puskesmas dengan alasan uangnya nanti habis.

Ketua KPAID Bali Dokter Sri Wahyuni berpandangan, mereka perlu pendampingan sebagai motivator agar mereka percaya diri bahwa hidup adalah perjuangan. Mereka juga membutuhkan bantuan pendidikan, keterampilan, kesehatan, penyediaan lahan pekerjaan dan bantuan pangan selama masa transisi.
Ketua LPA Prov. Bali Nyoman Masni, S.H. menyarankan, dalam menangani kasus gepeng jangan menindak anak-anak. “Mereka hanya korban. Menggepeng bukan cita-cita mereka. Yang harus ditindak para bos dan yang memberi tempat tinggal/menampung mereka,” ujarnya.

Perlu Perda dan Perarem
I Nengah Sukarta dari Satpol PP Badung mengungkapkan, setelah ditangkap, gepeng diangkut ke Dinas Sosial Badung, kemudian Dinas Sosial memulangkan mereka ke daerah asalnya. Besoknya, mereka datang lagi. Begitu seterusnya.
Satpol PP sudah berkoordinasi dengan semua instansi terkait di masing-masing kecamatan. Para gepeng ini setelah ditangkap dikarantina di Kantor Lurah Kuta dan diberi pembinaan. Namun, kata Sukarta, upaya tersebut masih belum maksimal. “Setelah titik strategis diawasi, mereka lari ke Denpasar,” katanya.

Ia menganggap penting adanya peraturan daerah. Dalam perda diatur sanksi kepada yang memberikan uang. “Kalau para gepeng tidak mendapatkan uang dari mengemis, mereka pasti akan tertarik mengikuti pelatihan yang diberikan beberapa LSM,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, di Jakarta ada fatwa MUI yang mengharamkan gepeng. “Apakah itu bisa juga diterapkan di Bali?” ujar Sukarta.

Ketut Suparsa dari Dinas Trantib Kota Denpasar berpandangan, penyelesaian gepeng sekarang ini masih sendiri-sendiri sehingga belum tuntas. Di Denpasar ada kelompok anak jalanan punk. Usianya muda, penampilannya kumuh, tidak pernah mandi, dan tidur di emper toko. Mereka pernah ditangkap kemudian dikembalikan ke orangtuanya. Tetapi, mereka tetap kembali ke jalanan. Ia pun berpendapat, diperlukan perda yang ada sentuhan humanisnya. “Diatur pos penertibannya, ke mana mereka akan dibawa. Harus ada penyaluran yang tepat agar mereka berhenti menjadi anak jalanan. Setelah ada perda, kemudian dibuat pararem,” katanya.

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 584, 22 s.d 27 Maret 2010