Kamis, 18 Oktober 2012

Masukkan Pendidikan Kespro dalam Kurikulum

Program jampersal menuai protes bagi penggerak KB. Jampersal menanggung biaya persalinan tanpa ada kejelasan sampai anak keberapa yang ditanggung. Atas kesepakatan  Menkes dengan BKKBN, keluarlah rekomendasi, pasca bersalin peserta jampersal harus ber-KB.  Namun, praktik di lapangan tidaklah mudah. Salah seorang bidan di RS Wangaya mengatakan,  sebagian besar pasien bersalin di RS  Wangaya menggunakan jampersal. Namun, tak semua pasien setelah melahirkan  mau dipasang IUD. Menurutnya, alat kontrasepsi tersebut ditawarkan karena dianggap efektif.  Akhirnya, terpaksa disampaikan ke pasien,  kalau tidak mau pakai IUD, jampersal tidak berlaku.  Demikian diskusi yang terekam dalam seminar “Revolusi KB” yang digelar PKBI, Kamis (11/10).

Kepala Perwakilan BKBBN Bali  I Wayan Sundra mengatakan, awalnya jampersal diluncurkan memang tidak ada embel-embel KB. “Namanya gratis pasti masyarakat datang berbondong-bondong. Akhirnya  keluarlah statement untuk membatasi jumlah anak, harus wajib ber-KB pasca bersalin,” ujarnya.
 Ia mengatakan, pemasangan    IUD pasca bersalin bagi pasien jampersal di RS Sanglah sudah diterapkan. Hasilnya memang belum optimal karena masih diujicobakan. Selain itu, petugas yang memasang alat kontrasepsi ini juga harus sudah terlatih,”jelas Sundra.
Menurut Sundra, dalam kesepakatan Menkes dengan BKKBN itu, dianjurkan menggunakan alat kontrasepsi yang efektif dalam jangka panjang seperti vasektomi, tubektomi dan implant. Namun, tidak menutup kemungkinan, pasien memilih alat kontrasepsi yang sesuai dengan dirinya seperti kondom atau suntik.  Jika pilihan alat kontrasepsi itu diambil, klaim jampersal tetap masih bisa diberlakukan.
Bidan Made dari RS Wangaya menilai, pemberian kondom bukanlah hal yang efektif. Karena, menurutnya, urusan kondom lebih mengarah ke masalah prilaku. “Bisa saja di RS pasien menyanggupi memakai kondom,  tapi sampai di rumah kondom tidak dipakai,” kata Made.
Sundra menegaskan, kondom juga termasuk alat kontrasepsi. “Paling tidak, usaha  ini mengingatkan pasutri menggunakan  kontrasepsi untuk menjarangkan  anaknya disamping pemberian ASI ekslusif. 42 hari kemudian, mereka pasti datang kembali dan di sanalah dianjurkan menggunakan IUD,” paparnya.
Menurut dr. Laksmiwati dari Diskes Prov. Bali, dengan keterbatasan dana, tahun 2013 layanan jampersal akan dibatasi sampai anak kedua. Upaya ini dilakukan mendukung program KB.
Ketua PKBI Pusat dr. Sarsanto W. Sarwono, Sp.OG. menegaskan, berbicara KB pada usia produktif merupakan langkah  terlambat. Sebaiknya, upaya ini atau yang lebih dikampanyekan sebagai revolusi KB diberikan kepada pasangan yang belum menikah atau remaja. “Jangan sampai para remaja mendapatkan informasi yang tidak jelas dan tidak bertanggungjawab yang justru akan merugikannya di kemudian hari,” ujar  dokter Sarsanto.  Caranya adalah, remaja diberikan suatu kegiatan yang mereka sukai, entah itu dialog, melukis, menulis, atau permainan dengan memasukkan materi kespro. Hal ini dilakukan rutin, misalnya tiap minggu dengan tema yang berbeda. Perempuan belajar mengenal apa itu menstruasi, kandungan, begitu juga laki-laki belajar tentang apa itu penis, mimpi basah, ejakulasi dan sebagainya.  Intinya, dari remaja untuk remaja.
Menurutnya,  relawan remaja harus direkrut tiap tahun agar program ini terus berkelanjutan. 
Ia berpendapat, pendidikan kespro sudah seharusnya dimasukkan dalam kurikulum. Namun, sampai sekarang, usulannya tentang kespro  tidak mendapat tanggapan.  “Kespro dikatakan  sudah menjadi bagian ilmu Biologi. Padahal, kespro dan biologi berbeda. Pengetahuan kespro dimulai dari pengenalan tubuh perempuan dan laki-laki. Pendidikan ini sudah harus diberikan sejak kecil, bisa melalui permainan boneka-bonekaan,” paparnya lebih jauh.
Ia mengakui, pendidikan kespro dianggap sebagai pisau bermata dua. Pengetahuan yang sama bisa dipakai untuk kebaikan dan keburukan. Artinya, bagaimana caranya ilmu yang diberikan tidak sampai berdampak negative. Misalnya, dalam informasi yang diberikan, dijelaskan, kalau Anda melakukan hubungan seksual saat remaja, bukan hanya bisa hamil, tapi, bisa juga mengakibatkan infeksi menular seksual.  Lingkungan kadang memaksa, misalnya sebagai prasyarat untuk bisa masuk satu grup, harus pernah melakukan hubungan seks dengan PSK. Kadang, malah dibayari untuk datang ke lokalisasi. “Pengetahuan inilah yang harus diketahui para remaja agar mereka bisa mengatakan  tidak tanpa harus mengorbankan dirinya. Jangan jadikan kespro hanya sebagai pencitraan,” ujarnya lebih jauh.
Menurut Sundra, BKKBN  telah mengembangkan program penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja (PKBR) yang kini diarahkan menjadi generasi berencana (GenRe). Upaya ini  dilakukan sebagai modal untuk menjadikan para remaja tegar mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera serta menyiapkan satu wadah yang disebut pusat informasi konseling (PIK) remaja. Dengan terbentuknya PIK di masing-masing sekolah lanjutan tingkat atas dan perguruan tinggi diharapkan mampu membantu para remaja di dalam dan di luar sekolah atau kampus dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.

Manfaat Sosial Media
Dokter Sari  menyarankan, untuk metode yang digunakan untuk edukasi kespro harus disesuaikan dengan apa yang disukai remaja. “Kita tidak usah memaksakan metode kita tapi berusaha menggali metode apa yang disukai remaja, yang penting pesannya sampai,” sarannya. Saat ini, jejaring sosial media begitu booming. “Kita bisa manfaatkan media ini untuk memberikan edukasi kepada remaja. Saya rasa KISARA Bali sudah melakukannya,” kata Dokter Sari.
Ketua PKBI Bali Prof. I Nyoman Mangku Karmaya mengatakan, sejak tahun 1957 PKBI sebagai pelopor KB di Indonesia. PKBI konsisten membantu memberi perlindungan kepada kaum perempuan terhadap kehamilan tak diinginkan dan bahaya kehamilan serta persalinan. Namun, angka kematian ibu dan balita tetap tinggi 307/100.000. Padahal, angka kematian ibu dan anak merupakan indikator kesejahteraan suatu bangsa.
Ia menyebutkan, kasus aborsi 70% disebabkan karena kemiskinan. Sekitar 27% pelaku aborsi belum menikah dan 73% telah menikah.  Sebab kematian ibu, 25% karena pendarahan, 14% infeksi, 13% kelainan hipertensi dalam kehamilan, 13% komplikasi aborsi yang tidak aman, dan 7% akibat persalinan yang lama.
Ia mengatakan, penyebab tidak langsung angka kematian ibu, terlalu muda, tua, sering, dan terlalu banyak dalam melahirkan. Penyebab lain, terlambat mengambil keputusan dan terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan.  Kemiskinan dan kebodohan  juga menjadi penyebab tidak langsung.
Fakta yang dihadapi PKBI, banyaknya kasus kehamilan tak diinginkan, banyaknya permintaan aborsi, dan terpaksa menikah usia muda.
Menurutnya, program PKBI sudah menyasar remaja dan perempuan dengan pemberian informasi, pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS,  aborsi yang benar dalam rangka KB paripurna, dan advokasi memperjuangkan hak kespro dan seksual kaum perempuan.
Menurutnya, tantangan ke depan, masalah kespro dan seksual belum menjadi prioritas. Masalah bias gender masih menjadi masalah utama, ditambah lagi belum adanya  payung hukum dan dukungan semua lapisan masyarakat dan sikap hipokrit.

Remaja Kena Sidak
Satu kisah menarik dituturkan Mustika dari PKBI Buleleng. Remaja di Buleleng lebih bersikap permisif. Mereka dengan mudah menyalurkan hasrat seksualnya apalagi didukung dengan menjamurnya hotel-hotel short time.  Ironisnya, tiap sidak ke hotel yang dilakukan aparat keamanan, selalu saja ada siswa yang tertangkap. Kasus ini sering diserahkan langsung ke pihak sekolah. Hanya sayang, menurut Mustika, sidak ke hotel tidak rutin dilakukan.

Ketika terjadi kehamilan tak diinginkan, sebagian kasus diakhiri dengan  menikah usia dini. “Karena belum siapnya dalam membina rumahtangga, tak jarang sering terjadi perceraian,” ujar Mustika.
Menurutnya, hambatan program di lapangan, karena remaja lebih suka mencari informasi di internet. “Bagaimana mengubah mental remaja ini agar mereka tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah yang masih harus dicarikan solusinya,” tandas Mustika.

Menurut dr Sarsanto, pelajaran budi pekerti menjadi hal utama yang harus digaungkan. Banyaknya tawuran antara remaja diakibatkan karena mereka tidak bisa belajar menghargai orang lain. Begitu juga urusan seksual bukan hanya masalah penetrasi, tapi berpegangan tangan, berciuman sudah termasuk ke dalam seksual. “Mari kita kembalikan model pacaran seperti dulu,” ujarnya. –ast. (Koran Tokoh, Edisi 715).

Minggu, 07 Oktober 2012

Dokter Ayu Witriasih, Kadang Dianggap Malaikat

Pernahkah Anda mendengar istilah dokter keluarga. Di Indonesia istilah dokter keluarga masih terasa asing, berbeda dengan di luar negeri konsep dokter keluarga sudah berjalan sejak dulu. Padahal, memiliki dokter keluarga menurut dr. Ayu Witriasih, sangatlah penting dikarenakan kesehatan setiap anggota keluarga dapat tercatat dengan baik. “Masyarakat dapat memilih  dokter umum yang tempat prakteknya dekat rumah  menjadi pilihan pertama. Dokter keluarga ini merupakan andalan pasien saat pertama kali mendapat masalah kesehatan.  Namun, jika memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, maka dokter keluarga akan merujuk ke dokter spesialis, laboratorium, ataupun rumah sakit,” katanya.

Dokter Ayu menuturkan, awal tertarik menjadi dokter keluarga  karena tetangga di lingkungan tempat tinggalnya dan sebagian besar temannya merupakan orang asing. "Mereka sudah terbiasa di negaranya mempunyai satu dokter konsultan yakni family doctor, yang setiap saat bisa dihubungi lewat telepon atau tatap muka," ujar Kepala Puskesmas IV Denpasar Selatan  ini tentang ketertarikannya sebagai dokter keluarga.
Dari pengalaman ini akhirnya ia tertarik dengan konsep dokter keluarga yakni memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif dengan pendekatan holistik baik itu promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. "Kami memandang pasien sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit, pelayanan kesehatan yang kontinu, menjalin kerjasama dengan profesional dengan institusi pelayanan kesehatan lainnya untuk kepentingan pasien agar proses konsultasi dan rujukan berjalan lancar," ungkapnya.
  
Menurut istri Iwan Duzanta ini, 80 % masalah kesehatan masyarakat dapat diselesaikan dokter keluarga. Dokter keluarga juga akan  memantau kesehatan seluruh anggota keluarga, melakukan pencatatan medis setiap pasiennya, dan catatan ini akan bertambah setiap kali pasien berobat, serta memberikan konsultasi agar kesehatan seluruh keluarga kian membaik. “Jadi, dokter keluarga tak hanya sebatas pengobatan, melainkan juga mengupayakan mencegah hadirnya penyakit yang lain. Pelayanan dokter keluarga, merupakan pelayanan  kesehatan yang mengutamakan pencegahan sehingga dapat menurunkan biaya perawatan dan pengobatan, mendiagnosis dan mengobati penyakit sedini mungkin dan  penanganan individual bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari keluarganya,” paparnya.
Penerapan untuk mengetahui penyakit pasien, dokter keluarga harus melihat kebiasaan hidup keluarga pasiennya, kebersihan rumah, hingga kondisi sosial ekonomi yang kemudian membuat rekam medis yang akurat.  Kesehatan kerja juga  merupakan bagian dari ilmu yang dipelajari dalam dokter keluarga karena dasar dari dokter keluarga adalah mengetahui segala permasalahan tentang kesehatan kerja.
Tahun 1997 Dokter Ayu   mengikuti Asian Pasific Regional Conference  WONCA (Organisasi Dokter Keluarga Sedunia) di Seoul, Korea Selatan. Sejak itu ia  menjadi member dari WONCA dan Persatuan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) yang tiap tahun mengadakan pertemuan rutin berupa seminar dan pelatihan.

Dokter  yang mendapat gelar Pakar Kedokteran Keluarga  tahun 2000 dan Dokter keluarga  pada tahun 2010 dari PB IDI ini  menyatakan, dokter di pelayanan primer sudah melaksanakan sebagian dari konsep dokter keluarga hanya saja belum mendapat pengakuan sebagai dokter keluarga dan hanya melakukan kontak dengan pasien ketika sakit. Konsep dokter keluarga sudah mulai diterapkan PT. Askes pada pelayanan primer. Namun, dokter keluarga yang ditunjuk Askes  adalah dokter umum yang belum mengikuti pendidikan berkelanjutan sebagai dokter keluarga sehingga hanya bisa melayani pasien di saat sakit.
Saat ini yang sudah mendapat gelar Pakar Kedokteran Keluarga (PKK) lima orang  Prof. Agus Bagiada, dr. Darmadi,  Prof. Dr. dr Mangku Karmaya, dr Widana dan dr Ayu.  Sedangkan yang mendapat gelar dokter keluarga di Bali ada 4 orang yakni dr Darmadi, dr Arcana,  dr. Kanis dan dr Ayu.
Sebagai pengurus Persatuan Dokter Keluarga Indonesia, ia  berharap Pendidikan Kedokteran Bersinambung (PKB) untuk mendapatkan gelar dokter keluarga dapat dilaksanakan lembaga yang berwenang Tri Partit terdiri dari Fakultas Kedokteran, Dinas Kesehatan dan PDKI melalui organisasi induknya IDI.

Ia menyarankan, dokter di pelayanan primer dimanapun bertugas harus melaksanakan promotif dan preventif  selain kuratif. ”Setelah konsep dokter keluarga ini dikenal baik oleh masyarakat kami harap, nantinya pasien adalah orang sehat yang hendak berkonsultasi yang memerlukan perubahan gaya hidup dan tidak semata-mata memerlukan obat,” tuturnya.
Ada kisah menarik dilontarkan dokter Ayu. Sebagai dokter keluarga kadang- kadang ia dianggap sebagai malaikat ketika pasien mendapat masalah yang serius dan darurat.  Dokter keluarga membantu menyelesaikan masalahnya termasuk merujuk ke dokter spesialis dan mencarikan rumah sakit yang tepat. Artinya, rumah sakit yang dituju sesuai dengan keadaan ekonomi pasien. ”Ada pasien mau operasi usus buntu, dia tidak memberikan dokter anestesinya  membius sebelum saya ada mendampinginya di dalam kamar operasi. Begitu juga ketika tidak puas dengan layanan spesialis dan rumah sakit maka yang pertama di komplain adalah dokter keluarga,” ujar wakil ketua Persatuan Dokter Keluarga Indonesia Bali ini sembari tertawa.  Hal positif, kata dokter Ayu, dia  banyak belajar dari pasien dengan berbagai macam permasalahannya sehingga selalu meng up date ilmunya.-ast