Minggu, 30 Mei 2010

Kedatangan Obama Positif bagi Perkembangan Pariwisata

SEBAGAI orang muda yang ingin mengenal negara lain lebih dekat, Bruce W. Carpenter tiba di Indonesia. Tahun 1974, Bruce yang baru saja menyelesaikan kuliah di negaranya, AS, pertama kali menginjakkan kakinya di Kuta, Bali. Keindahan Bali yang ia dengar dari beberapa orang yang sudah pernah berkunjung ke pulau ini, menjadikan ia panasaran untuk melihatnya secara langsung. Berbekal uang 400 dolar AS ia melakukan perjalanan liburan panjang, mengunjungi beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia.
Ia mengungkapkan, dalam perjalanannya itu dirinya pernah hidup hanya dengan uang 2 dolar AS per hari. Uang sedikit itu ia gunakan untuk biaya makan, penginapan, dan jalan-jalan. Untuk itu ia lebih sering naik bus dan kapal laut. Setelah melakukan perjalanan keliling Indonesia, Bruce akhirnya jatuh cinta pada kebudayaan Bali. "Waktu saya tiba di Kuta, suasananya masih sepi. Lalu lintas sangat jauh dibandingkan kondisinya sekarang. Banyak pohon kelapa tumbuh di pinggir pantai. Pasir di pantainya tanpa sampah berserakan. Banyak penduduk yang beternak sapi. Saat itu Kuta terkesan sebagai wilayah yang penuh hamparan sawah," kenang lelaki asal New York ini.

Lelaki yang beristrikan wanita asal Belanda, Carola, ini menuturkan, dari Kuta jika ingin pergi ke Ubud, ia harus melewati Denpasar. Jalanan sepi. Belum ada jalan by pass yang membuat perjalanan lebih cepat. Di pasar-pasar, orang-orang tua, termasuk perempuan, sering terlihat bertelanjang dada. Tidak ada agenda tetap hiburan malam bagi masyarakat, yang ada pertunjukan kesenian saat berlangsung piodalan. Bruce berteman dengan Jero Dalang Made Sija dari Bona, dan Made Jimat seorang penari dari Batuan, Gianyar. Bruce tidak bisa menari Bali. Tetapi, ia mengaku sangat suka menonton tarian Bali dan pertunjukan wayang Bali. Banyak hal ia pelajari di Bali. Selain seni dan budaya, sejarah termasuk karakter manusia Bali juga ia cermati. Banyak buku yang telah ia tulis. Sekitar 16 bukunya tentang kebudayaan Indonesia termasuk seni dan budaya Bali, sudah beredar di banyak negara.

Ketika ia memutuskan pergi ke Bali setelah kunjungannya di Yogakarta, beberapa orang mengingatkan agar berhati-hati di Bali karena banyak black magic, leak. "Begitu saya tiba di Bali, masyarakat menyambut kedatangan saya dengan baik. Orang Bali sangat terbuka dan bersahabat," ujarnya. Sebaliknya beberapa orang Bali juga mengingatkan dirinya agar berhati-hati ketika berada di Jawa. Ia menilai, saat-saat itu mereka belum banyak mengenal satu sama lain sehingga salah paham terhadap sesama bangsa sendiri. Setelah cukup lama bertempat tinggal di Bali, Bruce pulang ke negaranya, karena modalnya habis. Ia sempat bekerja di beberapa perusahaan di Amerika dan Eropa. Ketika modal sudah cukup, ia kembali ke Bali. Senantiasa tersimpan kerinduan pada Bali dalam dirinya.

Bruce sangat tertarik pada topeng Bali. Awal mulanya, ia mengoleksi topeng untuk sekadar menyalurkan hobi. Namun, beberapa teman dan koleganya berniat membeli koleksinya. Inilah awal mula Bruce memasarkan barang kerajinan Bali ke negara kelahirannya, AS. Tahun 1988, ia berketetapan hati untuk menetap di Bali. Bruce memilih tempat tinggal di Sanur. Waktu itu, katanya, sebagai orang asing sulit bertempat tinggal secara tetap di Indonesia. Persepsi masyarakat masih negatif terhadap orang asing. Politik anti-Eropa dan Amerika sewaktu-waktu muncul, karena dianggap negara kapitalis. "Untuk mencari visa turis saja susah; harus pergi ke Kedutaan Besar AS di Jakarta. Visa hanya berlaku 28 hari dan jika habis berlakunya harus diperpajang lagi," ujarnya.

Sejak kepemimpinan Joop Ave sebagai menteri Pariwisata RI, kata Bruce, banyak perkembangan yang dialami orang asing di Indonesia. Tamu mulai berdatangan ke Bali. Ia menilai, saat itu era baru parisiwata di Indonesia. Jumlah turis asing meningkat tajam dalam waktu yang singkat. Kemudahan dalam mencari visa membuat para turis berduyun-duyun datang ke Bali. Hotel mulai banyak dibangun, termasuk di Nusa Dua.
Ia menuturkan, menulis banyak buku tentang kebudayaan Bali sebagai refleksi kecintaannya pada Bali dan agar dunia lebih mengenal Bali seutuhnya. Bruce sangat lancar menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan, ia mengerti bahasa Bali. Ia mengungkapkan kesannya, orang Bali ingin melindungi kebudayaan Bali, tetapi tidak semua tahu bagaimana cara menjaganya. Mereka secara rutin melakukan kegiatan upacara keagamaan, tetapi belum semua tahu apa makna upacara tersebut. Seolah-olah mereka takut tidak melakukannya karena tidak ingin mendapatkan masalah dalam hidupnya.

Bruce menilai, orang AS umumnya sangat terbuka terhadap orang baru. Mereka tidak terlalu mempersoalkan harus membuat suatu kegiatan khusus dalam komunitas mereka. Ia lebih suka berbaur dengan semua orang, penduduk Bali dan semua orang asing dari berbagai belahan dunia. Jumlah warga AS di Bali terbatas. Setelah terjadi tragedi bom Bali tahun 2002, mereka diundang rapat di Kosulat AS di Denpasar. "Rapat ini hanya membahas soal keamanan. Tidak ada urusan politik," ujarnya. Dan, bagi Bruce, tragedi bom di Bali tidak menyurutkan cintanya pada Bali. Pesta kemerdekaan AS tiap tanggal 4 Juli biasanya dirayakan dengan pesta oleh warga di AS. "Saat Hari Kemerdekaan AS, kebetulan musim panas. Biasanya warga di sana piknik dan membuat pesta dengan memanggang ikan sambil menikmati kembang api. Perayaan di Bali biasa saja. Saya pernah diundang seorang teman untuk ikut merayakannya. Acaranya makan-makan dan ramah tamah," ujarnya.

Ia menyatakan senang Presiden Obama akan berkunjung ke Bali. Kunjungan itu akan memberikan nilai positif bagi perkembangan pariwisata Bali. Dalam mengisi hari-harinya di Bali, Bruce berbisnis barang seni rupa dan melayani kebutuhan interior seni untuk museum, hotel, biro perjalanan, atau pribadi. Istrinya, Carola, bergerak dalam bidang seni pahat. Hobi di bidang kesenian pula yang menumbuhkan cinta mereka yang kemudian diabadikan dalam biduk rumah tangga. Bruce dan Carola dikaruniai dua anak yang sudah menginjak dewasa. Avalon bertempat tinggal di Bali dan Allegra kini sedang kuliah di Los Angeles. Avalon membantu kegiatan bisnis orangtuanya. – ast.
Susi Johnston Piawai Baca Lontar
Voluntir Kampanyekan Obama


SUSI JOHNSTON, warga asal AS, juga sangat mencintai Bali. Ia berketetapan hati menghabiskan sisa hidupnya di Pulau Dewata. Perempuan yang bersuamikan Bruno Piazza asal Italia ini, pertama kali datang ke Bali langsung bertempat tinggal di Ubud. Susi sangat dekat dengan keluarga Puri Ubud karena pertama kali datang ia bertempat tinggal di puri itu. Tujuh tahun, Susi mempelajari kebudayaan Bali di Ubud. Tiap sore, ia suka menghabiskan waktu duduk di pinggir Jalan Monkey Forest bersama beberapa anggota puri.

Kecintaanya pada Ubud, membuat Susi tertarik menulis buku tentang sejarah Puri Peliatan. Selain menulis buku, Susi juga menulis di berbagai majalah di AS tentang budaya dan adat Bali. Untuk mengenal sejarah Bali lebih jauh, Susi tertarik belajar membaca lontar. Ia berguru pada balian Ida Bagus Putu Dalem di Tampaksiring. Setelah diupacarai secara agama Hindu sebagai orang Bali dengan sudha widani dan pewintenan di Gria Gede Klungkung, Susi mengaku lebih mudah belajar membaca lontar. Ia diberi nama baru “Kadek Susilawati”. Dengan kepiawaiannya membaca lontar, Susi mampu menerjemahkan kekawin ke dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Salah satunya, Aji Palayon. Hanya dalam waktu tiga bulan, ia mampu menerjemahkannya ke dalam dua bahasa itu. Master Art di University of St. Andrews, Scotland, ini menuturkan sangat suka membaca karya sastra.

Ketika larangan berkunjung diberlakukan pemerintah AS menyusul tragedi bom tahun 2002, Susi menyikapinya dengan santai. Ia mengatakan, teroris ada di mana-mana tidak hanya di Bali. Susi sudah pernah hidup di berbagai negara di Amerika dan Eropa. Keamanan menjadi harga yang mahal. Ia berpandangan, hidup di Bali begitu tenang. Ia biasa keluar malam hari setelah bertempat tinggal di Kuta. Ia mengaku tidak ada masalah. Dia mengaku salut terhadap orang Bali. Kalau ada warga yang alami kecelakaan di jalan raya, mereka pasti antusias menolong. Kalau ada yang berteriak "maling!", mereka pasti datang beramai-ramai. "Rasa kekeluargaan orang Bali sangat kental," katanya.

Ia mengungkapkan ada kemiripan antara orang AS dan orang Bali. Mereka sama-sama terbuka dan sangat bersahabat. Saat ini, warga AS lebih banyak memanfaatkan liburan mereka ke Florida dan Hawai. Masih banyak warga AS yang belum mengenal Bali. Artinya, Bali masih memunyai kesempatan untuk dikenalkan lebih jauh di negara itu. Dibukanya penerbangan langsung Bali-Singapura-Los Angeles atau New York akan memudahkan warga AS untuk datang ke Bali. Dengan waktu tempuh 15 jam di pesawat, mereka sudah tiba di Bali. Setelah tujuh tahun di Ubud, Susi pindah ke Jalan Oberoi, Seminyak, Kuta. Saat itu kawasan di sekitar Jalan Oberoi masih berupa hamparan sawah, belum banyak rumah penduduk, toko atau restoran seperti sekarang. "Sekarang sudah banyak perubahan di sini. Juga, ada banyak hotel," ujar perempuan yang pernah bergabung sebagai voluntir kampanye presiden Barack Obama ini.

Ia mengungkapkan, dulu orang Bali suka belajar bahasa Inggris pada turis asing. Sekarang sudah banyak tempat kursus. Orang Bali banyak yang pintar berbahasa Inggris. "Ketika bertemu dengan turis asing, orang Bali umumnya cepat akrab dan langsung menyapa mereka dengan bersahabat. Begitu juga orang Amerika. Mereka sudah terbiasa mempersilakan tamu untuk mengambil minuman sendiri ke kulkas," tuturnya. Ia mengatakan, sebagian besar warga AS yang bertempat tinggal di Bali memunyai latar belakang pendidikan di bidang seni dan athropologi. Jurusan itu termasuk favorit di AS.
Susi mengatakan, pernah mengikuti pesta perayaan Hari Kemerdekaan AS yang difasilitasi Konsulat AS di Denpasar. "Kami piknik dan makan-makan dalam acara ramah tamah yang bersifat kekeluargaan. Saya baru kenal beberapa warga AS yang berada di Bali ya waktu pesta itu," katanya. Menurut Susi, pesta semacam itu tidak sering digelar. Namun, pesta meriah pernah diadakan menyambut kemenangan Obama sebagai presiden pertama kulit hitam di AS. Kemenangan Obama disambut warga AS yang ada di Bali dengan sumringah.
Sebagai kepeduliannya terhadap generasi muda Bali, banyak hal sudah dilakukan Susi. Salah satunya, sebagai orangtua asuh I Putu Eka Gunayasa, mahasiswa Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Unud, dan Ni Made Wulan Kusumasari, siswi SMP Dalung. Putu, saat duduk di SMA pernah meraih juara I lomba menulis lontar. Sedangkan Wulan bercita-cta menjadi dokter. Susi ingin membantu Wulan meraih cita-citanya. Saat ini, Susi bekerja di bidang pemasaran di CV ICON Asian Arts, suatu perusahaan yang melayani ekspor barang antik, mebel, dan kerajinan dari Bali dan Indonesia. –ast
Koran Tokoh, Edisi 594, 30 Mei s.d. 5 Juni 2010

Kamis, 27 Mei 2010

Fakultas Pertanian Unud Kembangkan Pertanian Organik Berbasis Teknologi

BERBAGAI terobosan telah dilakukan Fakultas Pertanian Unud agar diminati masyarakat. Selain memberikan beasiswa, fakultas ini gencar melakukan kerja sama dengan berbagai universitas di luar negeri, salah satunya Kangwon National University Korea Selatan untuk meningkatkan kualitas lulusan. Guru besar Fakultas Pertanian Unud Prof. Dr. Ir. I G.P. Wirawan menjelaskan, kerja sama akan dilakukan dalam bidang penelitian dan pemasaran produk ramah lingkungan atau yang lebih dikenal produk pertanian organik yang berbasis teknologi.

Saat ini, katanya, FP Unud sudah mampu mengembangkan beberapa teknologi pertanian organik seperti pupuk hormon tumbuh mempercepat pembuahan. “Pupuk ini mampu mempercepat tanaman berbuah. Namun, dari rasa masih belum mampu lebih baik sehingga teknologi ini cocok dikembangkan untuk tanaman hias. Pupuk dihasilkan dari jenis mikroba yang diaktifkan sedemikian rupa untuk memperbaiki tektur tanah menjadi lebih gembur,” jelasnya. Juga, pembuatan pestisida dengan toksin bakteri dan jamur tertentu yang sudah diaktifkan dan tidak memunyai efek samping, pestisida dari tanaman laut untuk menanggulangi penyakit tanaman vanili. Untuk sapi diberikan campuran mikroba tertentu pada makanannya untuk menghasilkan daging sapi yang lebih baik. Contoh untuk tanaman, membuat timun menjadi lurus tidak bengkok. Pemberian pupuk mikroba tertentu yang sudah aktif dapat menyuburkan dan menggemburkan tanah. “Jika teknologi ini cocok diterapkan di Bali, akan dibangun pabrik dengan produk made in Bali,” katanya.

Ia menambahkan, teknologi ini sangat ramah lingkungan dan tidak mengandung kimia sistetis. Namun, memang harus diakui, organik dengan teknologi tinggi ini akan menghasilkan produk dengan harga yang lebih mahal. “Saya rasa di Bali sudah ada pasarnya, namun, beberapa produk yang mengklaim diri organik belum seutuhnya organik. Belum ada lembaga sertifikasi yang meyakinkan produk tersebut organik,” ujarnya.
Prof. Chunkeun Lim dari Kangwon Nastional University mengatakan, beberapa produk yang sudah dihasilkan di Korea Selatan malah sudah mampu diekpor ke berbagai negara. Produk yang sudah dihasikan dari teknologi ini pupuk alam yang dibuat dari enzim tertentu. Berbagai produk makanan seperti padi, yang sudah diekspor ke AS, paprika yang diekspor ke Jepang, Cina, Taiwan, dan Belanda, tomat, salad, ginseng, peach, anggur, apel, pir, strawberry dan bunga. Prof. Wirawan menegaskan, terobosan ini makin membuat lulusan Fakultas Pertanian Unud makin bergengsi –ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 593, 23-29 Mei 2010

Selasa, 25 Mei 2010

Penjahit Berkaki Palsu

TAK terlintas sedikit pun di benak Yunus sebelumnya, berkah bakal datang pada dirinya. Suatu sore, seorang laki-laki yang bernama Gidion membeli rujak cingur di dekat kios tempatnya ia bekerja sebagai penjahit. Tanpa sengaja, Gidion melirik Yunus. Gideon kaget, karena Yunus memiliki kekurangan, kaki kanannya cacat. "Terlintas rasa kagum saya padanya karena ia mampu produktif walaupun memiliki kekurangan fisik," tutur Gidion.

Pertemuan singkat dengan obrolan sekitar 10 menit tersebut, berbuah satu harapan di benak Yunus. Gidion menawarkan kaki palsu (kaki buatan) padanya. Yunus tertarik, namun sempat pesimis karena hampir lima bulan ia menanti, belum ada kabar gembira dari Gidion.
Kini Yunus sumringah. Ia baru saja pulang dari Mojokerto, tempat pembuatan kaki palsunya. Yunus kini mampu berjalan tanpa harus memakai sarana tongkat lagi.
"Saya terlahir cacat sejak kecil. Kaki kanan saya putus sampai di paha," tutur Yunus pagi itu, saat wartawati Koran Tokoh datang menemuinya di kios tempatnya bekerja di Jalan Saelus Denpasar. Untuk berjalan, dulunya lelaki asal Lumajang, Jawa Timur, itu memakai tongkat. Yunus hanya mampu bersekolah sampai kelas V SD. Penghasilan orangtuanya yang pas-pasan sebagai petani, mengharuskannya tinggal di rumah saja. Yunus berkenalan dengan Heru yang masih kerabat dekatnya. Heru iba melihat kondisi Yunus. Saat ia pindah ke Bali, ia mengajak Yunus ikut dengannya. Ia ingin mencoba peruntungan sebagai tukang jahit. Sebelumnya Heru pernah bekerja di salah seorang tukang jahit di Kuta. Setelah memiliki modal, Heru memberanikan diri membuka usaha sendiri. Ia memiliki tiga karyawan yang masih terhitung kerabat dekatnya.

Pelan-pelan usaha Heru mulai dikenal orang. Banyak pesanan berdatangan dari berbagai perusahaan. "Kebanyakan pesanan untuk menjahit seragam karyawan. Ada hotel dan juga spa," katanya. Awal bekerja, Yunus diajari teknik menjahit selama 6 bulan. Dengan mengggunakan mesin dinamo, Yunus hanya menggunakan kaki kirinya yang masih sehat dalam menggerakkan mesin jahit. Yunus bertempat tinggal bersama Heru sekitar ½ kilometer dari kiosnya. Yunus tidak pernah pergi ke mana-mana. Sehari-hari kegiatannya hanya menjahit di kios. Ia berada di kios pukul 08.00 sampai 21.00. Yunus menuturkan, berjalan memaki tongkat tidak gampang. "Tidak bisa cepat-cepat. Lagipula tangan saya sering pegal memegang tongkat kalau berjalan jauh," tuturnya.

Suatu hari, seorang laki-laki bernama Gidion membeli rujak cingur di sebelah kios tempatnya bekerja. Gideon tertarik ingin membantunya dengan membuatkan kaki palsu. Setelah obrolan singkat itu, Yunus terus menanti Gideon. Ia berharap segera mendapatkan kaki palsu harapannya. Setelah lima bulan menanti, akhirnya, harapan Yunus terkabul. Yunus diajak ke rumah Pak Sugeng di Mojekerto untuk dibuatkan kaki palsu. Selama sebulan Yunus belajar berjalan dengan kaki palsu di sana.
Ia kemudian kembali ke Bali dan langsung melakukan kegiatan rutinnya sebagai penjahit. Walau sekarang ia mengaku kakinya masih sakit, tetapi ia merasa lebih baik dibandingkan dulu ketika memakai tongkat. Setelah Yunus melepas tongkatnya dan mampu berjalan, ia pulang ke kampung kelahirannya di Lumajang. "Semua keluarga saya senang melihat perubahan ini. Saya dan keluarga sangat bersyukur," kata Yunus dengan mata berkaca-kaca.

Kini Yunus punya cita-cita, suatu saat kalau modalnya sudah cukup, ia ingin membuka usaha sendiri. Gidion mengatakan, ia hanya sebagai perantara dalam membantu Yayasan Kick Andy yang sedang mengagas bantuan 1000 kaki palsu. Bagi yang membutuhkan kaki palsu, ia siap memfasilitasinya. –ast

Koran Tokoh, Edisi 593, 23-29 Mei 2010

Minggu, 23 Mei 2010

Jaring Mahasiswa Jalur PMDK, FK Unud Berlakukan Tes Psikologi

DEKAN FK Unud Prof. Dr. Ketut Suastika, Sp.PD., K.E.M.D. mengatakan, pada dasarnya semua materi tes Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) di Unud sama. Hanya kompetisinya yang berbeda khusus mahasiswa tidak mampu. Khusus FK Unud, memberlakukan tes potensi akademik. Tes ini seperti tes psikologi yang di dalamnya termasuk keterampilan berpikir dalam menghadapi masalah. Tes ini bertujuan untuk mengetahui softskill mahasiswa.

(Foto: Shelly Bintang)

“Saat mahasiswa mendapat tantangan dalam belajar, mereka tidak mudah stres. Ada yang otaknya encer tetapi tidak mampu mengelola stres dengan baik sehingga menimbulkan gangguan kejiwaan atau tidak lulus. Tes ini sesuai standar tes psikologi. Seharusnya tes ini diberlakukan bagi semua jurusan di unversitas. Untuk mencapai kesuksesan tidak hanya dibutuhkan orang yang pintar. Ada faktor lain yang juga menentukan. Ini bisa dilihat dari tes potensi akademiknya. Mereka pintar tetapi tidak mudah stres,” paparnya. Khusus mahasiswa berprestasi kurang mampu, syarat administrasi tidak akan dibuat ketat sehingga jatah 15 mahasiswa terisi. Ia mengungkapkan, tahun 2010, selain melakukan open house, FK Unud juga sosialisasikan programnya ke sekolah-sekolah lebih intensif. Ia mengatakan, beasiswa yang diberikan pada mahasiswa kurang mampu, gratis biaya pendidikan sampai mereka tamat. Namun, untuk biaya diktat atau fotokopi masih ditalangi mahasiswa. “FK belum mampu sepenuhnya membantu,” jelasnya.

Kuota penerima beasiswa di FK untuk juara olimpiade 5 kursi dan mahasiswa berprestasi dari keluarga kurang mampu 15 kursi. “Untuk kategori peraih NEM tertinggi belum ada programnya. Untuk peraih nilai UN tertinggi nasional seperti Shelly Bintang siswi SMAN 1 Denpasar dapat diterima langsung di FK tanpa tes. Namun, harus ada keputusan Rektor, apakah dia berhak masuk dalam kriteria penerima beasiswa atau tidak. Urusan beasiswa itu wewenang universitas. Kami hanya membuatkan sistemnya,” ujarnya.

Shelly Bintang dalam wawancara dengan TV One menyatakan, dirinya bercita-cita kuliah di fakultas kedokteran. Namun, karena orangtuanya tidak mampu membiayainya, peraih nilai tertinggi UN SMA 2010 tingkat nasional itu memilih Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Unud. Pernyataannya itu telah menggugah penonton TV One. Dalam tayangan itu ada penonton yang dengan sertamerta menyatakan sanggup membiayai kuliah Serly Bintang, di mana pun ia kuliah, sampai tamat, termasuk biaya hidupnya selama kuliah. – ast.

PR III Unud Prof. Wirawan: Shelly Berhak Beasiswa di FK Unud

PEMBANTU Rektor III Prof. Dr. Ir. I.G.P. Wirawan mengatakan, Unud memberikan beasiswa Prof. Mantra khusus mahasiswa kurang mampu. Unud mewajibkan calon mahasiswa mengisi formulir pendaftaran dan beberapa kelengkapan administrasi. “Biasanya setelah mereka dinyatakan lulus tes, tim Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) akan melakukan survei ke rumah mereka apakah mereka layak untuk mendapatkan beasiswa. Yang diminta surat keterangan tidak mampu sebagai mahasiswa, bukan surat keterangan miskin. “Misalnya dalam ketentuan disebutkan penghasilan orangtua maksimal Rp 2 juta per bulan. Mungkin ada yang penghasilannya Rp 3 juta, tetapi dilihat juga jumlah anggota keluarganya. Walaupun memunyai mobil, belum tentu termasuk kaya. Bisa saja mobil itu digunakan orangtuanya untuk bekerja misalnya dioperasikan sebagai taksi,” ujar Guru Besar FP Unud ini.

Unud sudah memutuskan peraih nilai tiga besar tertinggi UN di Bali dan 10 besar tingkat nasional akan diberikan beasiswa. Peraih UN tertinggi nasional siswa SMAN 1 Denpasar Serly Bintang saat ini sudah diterima di Porgram Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Unud. Jika ia berkeinginan pindah ke pendidikan dokter, ia dapat diterima langsung. Serly pun berhak mendapatkan beasiswa di FK Unud. Tiap program studi di Unud memberikan jatah 10 orang untuk mendapatkan beasiswa. Tahun 2010 Unud memberikan beasiswa dari Dikti bagi mahasiswa berprestasi yang kurang mampu sebanyak 350 orang. Beasiswa yang diberikan Rp 5 juta per semester. –ast

Berprestasi dan Kurang Mampu
Iin dan Eka Diterima di FK Unud

MENJADI dokter sudah menjadi cita-cita Gusti Ayu Putu Iin Primayanti sejak kecil. Iin, begitu ia disapa, giat belajar untuk meraih cita-citanya itu. Saat tercatat sebagai siswi SMAN 1 Pekutatan, Jembrana, ia meraih prestasi sebagai juara I siswa berprestasi se-Kabupaten Jembrana, juara debat kewarganegaraan tingkat Provinsi Bali yang diadakan Undiksa Singaraja dan juara III olimpiade agama Hindu. Iin satu-satunya siswi dari sekolahnya yang lolos seleksi PMDK di FK Unud. Saat ini Iin tercatat sebagai mahasiswi semester II FK Unud. Sebagai mahasiswi yang berasal dari keluarga kurang mampu, ia diwajibkan mengisi formulir pendaftaran beasiswa dan melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa setempat. Ia juga menyertakan slip gaji orangtuanya yang diketahui kepala desa setempat. Orangtua Iin bekerja sebagai pedagang di Pasar Pekutatan.

Iin menuturkan, sebelumnya ia mengikuti tes seleksi potensi akademik dan tes 6 bidang studi yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, fisika, kimia, dan biologi. Setelah dinyatakan lulus, putri pasangan Gst. Ngr. Arya Manuaba dan Gst. A. Putu Sri Wiartini ini diwajibkan melengkapi persyaratan administrasi sebagai calon mahasiswa kurang mampu. Saat pendaftaran kembali, ia diwajibkan membayar asuransi Rp 82.000 awal masuk di FK Unud. Setelah itu, ia tidak dikenai biaya lagi untuk perkuliahan. Malah, tiap bulan ia mendapatkan uang saku Rp 400.000. Uang itu digunakan Iin untuk membayar kos Rp 250.000 tiap bulan dan sisanya untuk biaya makan. “Kadang orangtua mengirimkan uang juga untuk biaya sehari-hari, untuk fotokopi dan membeli buku,” ujarnya. Iin mengatakan, agar tetap bisa menerima beasiswa sampai tamat, ia diwajibkan mempertahankan indeks prestasinya. “Minimal IP 2,5,” kata Iin. Selain itu, penerima beasiswa juga diwajibkan aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Iin menyukai dunia tulis-menulis sejak SMA. Ia memilih Kelompok Ilmiah Hiprokrates untuk kegiatan ekstrakurikulernya di FK Unud.

Sementara itu, Eka, mahasiswi semester IV FK Unud penerima beasiswa angkatan tahun 2008 mengatakan, dari 10 siswa SMAN 1 Gianyar yang diterima lewat jalur PMDK di Unud, hanya dia satu-satunya mahasiswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Remaja usia 20 tahun ini mengaku bangga mendapatkan beasiswa di FK Unud. Prestasi Eka, juara olimpiade agama Hindu tingkat Kabupaten Gianyar, finalis olimpiade kimia Kabupaten Gianyar, juara I cerdas cermat agama Hindu Kabupaten Gianyar. Ia menuturkan, dalam proses perekrutan mahasiswa berprestasi pihak Unud menyebarkan formulir pendaftaran beasiswa ke sekolahnya. Eka mengajukan diri untuk ikut mendaftar. Setelah ia lulus tes, pihak FK Unud melakukan pengecekan langsung ke rumahnya.

Selain gratis biaya pendidikan, Eka juga mendapatkan uang saku Rp 400.000 tiap bulan. Biaya itu ia gunakan untuk membayar biaya kos Rp 300.000. Sisanya untuk biaya makan. Untuk biaya buku dan fotokopi serta keperluan lainnya, orangtuanya masih tetap mengirimkan uang untuk membantunya. Pada awal masuk ia dikenai asuransi Rp 82.000. Tiap semester ia diwajibkan membayar asuransi Rp 20.000. Untuk kegiatan ekstrakurikuler Kelompok Ilmiah Hiprokrates ia dikenai biaya Rp 120.000. - ast

Kamis, 13 Mei 2010

Kaki Palsu ( bagian 2)

Saya Ingin bisa Berjalan
MIZATI, asal Madura, adalah salah seorang pasien Ketut Sudarmada. Dia mengetahui keberadaan Ketut dari familinya yang bekerja di Tabanan. Sejak lahir, perempuan usia 21 tahun ini sudah cacat. Malu terhadap kondisinya, ia jarang keluar. Sehari-hari, ia hanya tinggal di rumah. Ia membantu ibunya memasak atau mencuci pakaian. Orangtuanya bekerja sebagai petani di Madura. Sebelum bertemu Ketut, ia mengaku pesimis terhadap masa depannya. Namun, kini ia seperti melihat suatu impian baru. Ia tidak memunyai cukup biaya untuk membeli kaki palsu. Namun, Ketut memberinya harapan baru. Kaki palsunya kini sedang dikerjakan. Diharapkan, sebentar lagi, mimpinya akan menjadi kenyataan. “Saya ingin bisa berjalan,” kata Mizati dengan mata berkaca-kaca.

Bangun Pagi dan Berjemur
YOGA, bocah berusia 10 tahun asal Klungkung, terlahir cacat. Ayahnya bekerja di pertambangan batu bara di Kalimantan. Ibunya, seorang ibu rumah tangga. Yoga ingin sekali seperti anak lainnya, bisa bermain dan bersekolah. Namun, ia hanya bisa mengubur impiannya itu. Untuk berdiri saja ia tidak mampu. Kondisinya lemah. Ia hanya duduk di kursi roda. Pergi ke toilet, Yoga harus dibopong.
Namun, Yoga kini punya semangat baru. Sambil menanti kaki palsunya yang sedang dibuat, Yoga diajari untuk belajar berdiri. Siti Fatima, ibu tiri Ketut Sudarmada, selalu memberinya motivasi. Kedisiplinan dan sikap tegas yang ditunjukkan Siti, menjadikan bocah ini bangkit dari keterpurukannya.

Selain Yoga, ada seorang lagi pasien yang hanya duduk di kursi roda yakni Ketut Darma Putra (13 tahun). Ayah Darma Putra sudah meninggal, saat ini bertempat tinggal di Jalan Serma Kawi Denpasar. Darma Putra terlahir cacat. Tiap hari Siti Fatima membiasakan Yoga dan Darma Putra bangun pagi dan mengajaknya berjemur. Tubuhnya digerak-gerakkan agar tidak kaku. Mereka juga dilatih untuk berdiri. Siti mengajari mereka untuk belajar makan sendiri. Siti Fatima mengatakan, untuk melatih pasien memerlukan kesabaran yang luar biasa dan ketulusan. Ia menganggap semua pasien seperti anaknya sendiri. Tugasnya sehari-hari mengurus pasien yang menginap di rumah Ketut Sudarmada. Siti selalu memberi motivasi agar pasien belajar hidup bersih. Perempuan usia 58 tahun ini kini tampak sumringah. “Kini Yoga sudah mampu berdiri,” ujarnya dengan gembira.

Tidak Makan karena tak Punya Beras
KEHIDUPAN manusia selalu berubah, kadang di atas, kadang di bawah. Saya mempercayai itu. Demikian penuturan Ni Ketut Ratika, istri I Ketut Sudarmada. Masa-masa sulit yang pernah dijalaninya, membuat perempuan usia 48 tahun ini tetap tegar. “Karena stres, suami saya pernah tidak pulang berbulan-bulan. Saya dan anak-anak pernah tidak makan karena tak punya beras lagi,” tuturnya dengan suara parau. Tidak memunyai tempat bersandar, akhirnya Ratika memutuskan ikut orang. Ratika rela menjadi pembantu di rumah orang tersebut agar kedua anaknya tetap bisa makan. “Saya terus berdoa, agar suami saya sadar dan ingat pada anak-anak,” tuturnya sembari menyeka air matanya. Beberapa bulan kemudian, Ketut Sudarmada pulang kembali.
Putu, putra sulungnya mengakui, waktu bocah beban hidupnya sangat berat. Ia juga menyadari kondisi orangtuanya. Kadang ia mengaku sedih, melihat teman-temannya mampu mengenyam pendidikan tinggi, sedangkan ia hanya tamat SMP. Walau sedih, ia tidak menyesalinya. Kini, ia merasa sangat bangga, mampu membantu orang-orang yang tidak bisa berjalan. Saat senggang, ia memanfaatkan hobinya bermain gitar.

Jangan Biarkan Mereka Jadi Beban
KEPALA Seksi Industri Disperindag Kabupaten Tabanan I Gede Sutresna Lila Wirya mengatakan, pihaknya sedang mendata kebutuhan alat-alat untuk membuat kaki palsu yang diperlukan Ketut Sudarmada. “Usaha ini sudah berjalan 10 tahun, namun belum mendapatkan respons dari Pemkab. Tabanan. Kami mencoba mengajukan data ini ke Pusat agar Ketut mendapatkan bantuan peralatan atau dukungan lainnya,” ujarnya kepada wartawati Koran Tokoh.
Ketut Sudarmada menuturkan, ia sudah pernah mengajukan permohonan ke Pusat, namun, biasanya Pusat menanti rekomendasi dari bawah. Pemkab. Tabanan belum meresponsnya. Ia berharap, birokrasi dibenahi agar bisa lebih responsif. “Orang cacat juga bagian masyarakat. Kami berharap, semua elemen masyarakat lebih peduli pada orang cacat. Orang cacat perlu diberdayakan. Jangan sampai mereka menjadi beban keluarga dan negara. Banyak anak cacat yang memiliki potensi tetapi belum tersentuh dan terberdayakan. Mereka sudah cacat, miskin pula,” tandasnya. –ast

Koran Tokoh, Edisi 591, 9 - 15 Mei 2010

Minggu, 09 Mei 2010

Ketut Sudarmada, Dikenal berkat Kaki Palsu

Bagian 1
SITGMA di masyarakat “orang cacat tidak berguna” tidak membuat I Ketut Sudarmada putus asa. Dengan rasa jengah ia mencoba membuat kaki palsu sendiri dengan bahan seadanya. Alhasil, ia mampu menciptakan kaki palsu yang nyaman yang dapat menopangnya berjalan. Bahkan, kini kaki palsu buatannya sudah banyak digunakan orang cacat di berbagai wilayah Indonesia. “Saya bukan penjual kaki. Saya membantu orang yang tidak bisa berjalan menjadi bisa berjalan dengan bantuan kaki palsu,” tutur lelaki asal Desa Sanda, Kec. Pupuan, Kab. Tabanan ini, saat ditemui di rumahnya.

Saat tiba, wartawati Koran Tokoh melihat beberapa orang cacat di rumahnya. Selain membuatkan kaki palsu, Ketut juga menawarkan pasiennya menginap di sana. Selain untuk memudahkannya, ia juga mengajarkan pasien belajar berjalan menggunakan kaki palsu. Banyak hal yang diajarkan Ketut kepada pasiennya. Motivasi untuk terus berjuang, dan kedisiplinan untuk maju, selalu ditegaskan lelaki berperawakan gempal ini.
Ketut lebih suka menyebut pasien dibanding konsumen, karena usahanya ini tidak murni bisnis. Ketut lebih banyak mengemban misi kemanusiaan. Beberapa pasein yang berasal dari keluarga miskin diberikan keringanan biaya bahkan tidak membayar. Ketut pun memperlakukan pasien yang tinggal di rumahnya seperti layaknya keluarga sendiri.

Kaki Diamputasi
Ketut, begitu ia disapa, mengalami musibah kecelakaan di daerah Abian Tuwung, Tabanan, saat hendak pulang ke kampungnya. Waktu itu Ketut masih berstatus mahasiswa semester V Fak. Hukum Unud. Kecelakaan itu mengakibatkan tulang kakinya patah menjadi 4, dan harus diamputasi. Kejadian tragis tersebut, membuat Ketut syok. “Cukup lama saya mengalami kekalutan dalam diri akan masa depan yang suram,” tuturnya mengenang kembali peristiwa tragis itu. Sesaat, Ketut terdiam. Tampaknya, banyak kesedihan mewarnai perjalanan hidupnya yang tak mampu ia ceritakan.
Ketut langsung berkata, tahun 1995 ia mendengar dari orang, ada seorang pembuat kaki palsu di Solo. Dia memutuskan mencoba datang ke Solo. “Waktu itu harga kaki palsu Rp 475.000. Namun, setelah dipakai di rumah, rasanya kaki saya tidak nyaman. Tiap memakainya, saya merasakan sakit,” tutur suami Ni Ketut Ratika ini.

Ketut mencoba berkonsultasi dengan si pembuat kaki palsu tersebut, dan menceritakan semua keluhan yang dirasakan. Namun jawaban yang diterimanya, Ketut harus terus mencobanya. Lama-kelamaan, ia akan terbiasa dan tidak sakit. Ketut kembali mencoba memakainya. Karena tidak tahan selalu merasakan sakit, Ketut akhirnya melepas kaki palsunya. Ia mencoba membongkar kaki palsu tersebut dan merekontruksi ulang sesuai dengan bayangannya. “Setelah saya pakai kembali, rasanya enak,” tuturnya. Ketut merasa penasaran, akhirnya ia mencoba meneliti ulang, mengapa kaki palsu yang dibelinya sakit waktu dipakai.

Buat Kaki Palsu Sendiri
Dengan bahan dan alat seadanya, Ketut mencoba membuat sendiri kaki palsu. Ia menggunakan kayu yang mudah ia dapatkan di sekelilingnya. Ia menambahkan kulit dan menggunakan drum bekas sebagai penyangga kaki. Kaki palsu buatannya dirasakan lebih nyaman dipakainya. Awal mula, tongkat sebagai bantuan. Setelah terbiasa, tongkat dilepas. Ketut mampu berjalan layaknya orang normal. Kakinya pun kuat tanpa takut terjatuh lagi. Bahkan, Ketut mampu mengendarai sepeda motor dan menyetir mobil.
Ketut pun kembali memunyai motivasi untuk hidupnya. Ia melanjutkan hidupnya dengan menikahi perempuan yang masih terhitung sanak familinya. Mereka dikarunia dua anak.
Sebagai seorang kepala keluarga, berbagai pekerjaan sudah dilakoni Ketut. Usaha kecil-kecilan, menjadi guru, bahkan mencoba menghimpun orang-orang cacat di Tabanan. Namun, usahanya gagal dalam menghimpuan orang cacat karena kurang mendapat dukungan. Adanya stigma masyarakat dan belum adanya kepedulian Pemkab. Tabanan. Belum lagi sumber daya manusia orang cacat yang rendah. Sebagian besar orang cacat miskin dan tidak berpendidikan. “Secara ekonomi saya hancur. Keluarga juga hancur. Ibu meninggal, bapak sakit. Warisan habis. Akhirnya, untuk bisa bertahan hidup, saya bekerja di pabrik pembuatan lilin di Tabanan,” tutur Ketut.

Saat pulang kerja, Ketut melihat seorang anak cacat di jalan. Ia langsung menawarkan bantuan membuatkan kaki palsu di rumahnya. Selain niat untuk membantu, Ketut ingin memperdalam ilmunya dengan mencoba membuatkan kaki palsu untuk orang lain.
Tahun 2000 unit pelayanan sosial keliling (UPSK) Dinas Sosial Kab. Tabanan sedang melakukan pendataan ke Pupuan. Ketut ditawari kaki palsu. Namun, Ketut menolaknya dan mengatakan ia sudah memiliki kaki palsu. Ketut memperlihatkan kaki palsunya, dan mereka kaget. Bahan yang digunakan sangat sederhana dan tidak sesuai. Sejak itu, Ketut sering dipanggil ke Dinas Sosial Prov. Bali untuk diberikan tambahan ilmu.
“Dulu saya marah kepada Pemkab Tabanan. Saya sudah mengajukan 20 proposal tapi tidak pernah mendapat respon. Saya akhirnya jengah, dan mencoba berdiri sendiri. Kalau terus menunggu uluran tangan dari orang lain sampai kapan? Saya sadar, mereka tidak pernah tahu permasalahan kami,” katanya dengan suara lirih.

Untuk bertahan hidup, Ketut bersama istrinya memutuskan berjualan nasi. Makanan khas Bali yang dijualnya menjadi favorit di desanya. Namun, Ketut tetap membantu orang cacat yang ingin dibuatkan kaki palsunya. Walau ia sendiri miskin, ia tetap ingin berbagi dengan orang lain. Berbagai usaha dilakoninya, sampai-sampai meminjam uang ke renternir. “Jatah untuk keluarga saya kurangi. Untungnya mereka mengerti. Anak saya tidak sekolah tinggi. Anak pertama hanya tamat SMP. Sempat mengenyam pendidikan di STM. Namun, saat ulangan umum dikeluarkan karena tidak mampu mambayar SPP,” kata Ketut. Namun, Ketut tidak marah. Justru anak sulungnya, kini sangat ahli dalam pembuatan kaki palsu karena waktunya terus digunakan untuk belajar membuat kaki palsu. Anak sulung Ketut, Putu Pande Ambara Dana kini dipercaya sebagai asistennya. Anak keduanya, Pande Made Beni Ariadi menamatkan SMA-nya, dan kini kerja di sektor pariwisata.

Angkat Anak
Tahun 2006, tiba-tiba seorang perempuan membawakannya bayi mungil yang berusia 7 bulan ke rumahnya. Perempuan itu memohon Ketut dan keluarganya membantu merawat dan membesarkannya.
“Awal mulanya, istri saya keberatan karena hidup kami saja sudah pas-pasan. Jangankan untuk menambah satu anak lagi, untuk makan saja kekurangan. Namun, saya trenyuh melihat bayi laki-laki tersebut,” tuturnya. Akhirnya, Ketut menerima bayi tersebut dan diangkat sebagai anak dan diberi nama Komang Sadu Gunawan.
Enam bulan setelah kejadian itu, Ketut bermimpi diberi sesuatu. Beberapa hari kemudian, tiba-tiba seorang pengusaha dari Jakarta bernama Sugeng Hartono mengontaknya. Dia mengetahui keberadaan Ketut lewat berita di salah satu koran nasional. Dia bertemu dengan Ketut dan langsung menawarkan bantuan Rp 50 juta sebagai modal. Pelan tapi pasti, buatan kaki palsu Ketut mulai dikenal orang. Untuk bahan ia memakai kayu waru, kayu gembinis, atau kayu sengon, kulit, fibber glass, dan plat. Kaki palsu buatannya ini bertahan lama. Dua pasien pertamanya sudah memakai kaki palsu ini sekitar 10 tahun. Sampai sekarang tidak terjadi masalah.

Kini, sudah banyak pasien yang menggunakan kaki palsu buatannya. Ketut dan putra sulungnya juga bisa mengunjungi berbagai daerah di Indonesia saat membawakan kaki palsu ke rumah pasiennya.
Ketut mengatakan, pembuatan kaki palsu ini memakan waktu tiga hari. Setelah itu, pasien dilatih berjalan. Tergantung kondisi pasien. “Ada yang seminggu sudah bisa dengan baik memakai kaki palsu. Ada juga yang butuh waktu berminggu-minggu karena kondisinya yang lemah. Yang penting, kaki palsu itu nyaman dipakai,” jelas Ketut.
Pasien terkecil yang pernah ditangani usia 4,5 tahun dan yang tertua 78 tahun. Kesulitan yang dialaminya, memotivasi anak-anak untuk belajar berjalan menggunakan kaki palsu. Perlu kesabaran untuk melatih mereka. Kaki palsu ini bisa dibuka pasang. Saat mandi, tidur atau capek menggunakanya, pasien dapat melepasnya.
“Saya harus belajar 4 ilmu yakni ilmu kedokteran, psikologi, teknik, dan ekonomi, “selorohnya sembari tertawa.

Beratnya 1 ½ Kilogram
Sehari-hari selain dibantu anaknya, Ketut dibantu satu orang karyawan. Namanya Pan Erik. Selain bekerja di kebun, lelaki ini sering bertandang ke rumah Ketut. Lama-kelamaan, ia tertarik membantu Ketut.
Satu kaki palsu, kata dia, beratnya hampir mencapai 1½ kg. Setelah dibuatkan sketsa sesuai kontruksi tulang oleh Ketut, mulailah ia membuat telapak kaki dari kayu yang dilapisi karet. Kemudian disumbat dengan plat sebagai penyanggahnya. Kemudian dilapisi kulit dan fiber glass. Pengerjaan ini diulang sampai tiga kali. Kemudian dijemur, diamplas dan dicat sesuai warna kulit. Kemudian dibuatkan penyanggah di paha. Setelah kaki palsu jadi, pasien langsung mencobanya. “Asal pasien sudah nyaman, tinggal belajar berjalan saja,” kata Pan Erik. –ast

Koran Tokoh, Edisi 591, 9 s.d 15 Mei 2010