Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 17 Oktober 2011

Kelas Memasak Diminati Turis Asing


Cooking class atau kelas memasak sangat digemari para perempuan. Bahkan, di Ubud, cooking class sangat diminati turis asing yang datang ke Bali. Salah satu pengajar cooking class Janet De Neefe, mencoba berbagi pengalamannya mengajar. Pemilik Casa Luna Restaurant ini mengatakan, sebagian besar turis asing yang tertarik mencoba cooking class berasal dari Australia. “Ada juga beberapa turis Amerika Serikat, Taiwan dan turis Jepang. Turis lokal juga ada, tapi prosentasenya sedikit,” tutur istri Drs. Ketut Suardana , M.Phil.
Kelas memasak ini pertama kali dibuka tahun 1993. Cooking class dilakukan sekali dalam seminggu. Sejak tahun 1994 dengan banyaknya permintaan, kelas memasak dilakukan enam kali, mulai Hari Senin sampai Jumat dan Minggu. “Hari Sabtu kelas memasak libur,” ujar ibu empat anak ini. Satu kelas minimal diisi 8 siswa dan paling banyak 15 orang. Awal dibuka, Janet terjun langsung mengajak memasak. Namun, sejak sepuluh tahun lalu, salah seorang karyawannya di Casa Luna Restaurant Gusti Ayu Made Madiani menggantikannya mengajar. Cooking class mengambil tempat di rumah Janet, biasa disebut guest house honeymoon. “Memasak dengan peralatan masak yang simpel. Tidak semua siswa menggunakan kompor. Kalau ada yang ingin membantu, boleh-boleh saja. Sebagian besar mereka duduk sambil melihat dengan seksama,” kata Janet.

Masakan yang diajar meliputi makanan yang familiar di Indonesia seperti nasi goreng, mie goreng, sate ayam, kare ayam, dan masakan khas Bali seperti lawar, sate lilit, tum, betutu, dan pepes. Peserta kelas memasak juga diajak turun langsung ke pasar Ubud. Mereka diberi kesempatan ikut berbelanja dan melihat cara transaksi tawar menawar antara penjual dan pembeli. Menurut Janet, kegiatan tur ke pasar sangat diminati siswa kelas memasak. Mereka langsung bisa belajar jenis bumbu dan sayuran yang akan dimasak. Waktu berbelanja bisa menghabiskan dua jam, karena keasyikan melihat-lihat bahan-bahan makanan yang dijual di pasar, dan keseharian para pedagang di Pasar Ubud.

Tiap siswa dikenai biaya Rp 350 ribu untuk belajar memasak. Siswa boleh ikut kelas lebih dari sekali. Namun, kata Janet, sebagian besar siswa hanya ikut dua kali.
Menurut Janet, beberapa siswa mengaku kesulitan dalam mencampur bumbu dan menjaga keseimbangan rasa. Ada yang keasinan, kepedasan, atau kurang garam. Untuk itu, hal pertama yang diajarkan Janet, mengenal bumbu. Menurutnya, bumbu merupakan fondasi makanan. Badan, energi, dan jiwa merupakan energi yang dapat ditemui dalam bumbu. Bumbu mampu menghasilkan makanan yang lezat, tapi bumbu juga berfungsi untuk kesehatan. Ia mencontohkan, jahe bersifat menghangatkan bisa untuk menyembuhkan sakit tenggorokan, kunyit untuk antibiotik bisa menyembuhkan memar, bawang bersifat mendinginkan tubuh. Menurutnya, bumbu memiliki kekuatan penyembuhan dan kekuatan magis untuk herbal tonik. Kemurnian rempah-rempah untuk membersihkan hati, memperlancar peredaran darah, dan menjaga kesehatan tubuh. Ia mengatakan, tidak pernah melakukan penelitian tentang khasiat rempah-rempah Indonesia, tapi berdasarkan beberapa buku yang dibacanya, selain untuk bahan masakan bumbu juga bisa dipakai bahan jamu kesehatan. “Kalau semua bumbu yang kita pakai memasak mengandung manfaat bagi tubuh, makanan juga dapat menjadi obat untuk menjaga kesehatan,” ujar Janet.

Untuk keharuman masakan, ia selalu menekankan pada siswanya, untuk menggoreng bumbu. Janet tak lupa menyelipkan informasi seputar kebudayaan Bali sambil mengajar memasak. Walau terkesan sulit, para siswa mengaku ke Janet sangat puas dan terkesan dengan cooking class. Bahkan, diantara para siswanya merupakan penggemar masakan Indonesia dan makanan Bali. Menurut Janet, tujuan mereka belajar memasak karena ingin tahu bagaimana proses pembuatan makanan yang mereka makan. Hari Senin, Rabu, dan Jumat kelas memasak mulai pukul 09.30 sampai 1 siang. Hari Selasa dan Kamis mulai pukul 8 sampai 1 siang. Hari Minggu pukul 17.30 -21.00
Jadwal tur ke pasar hanya dilakukan Hari Selasa dan Kamis untuk pembelian bahan. Menu yang dimasak, Hari Senin fokus pada masakan ikan laut seperti pepes ikan, kare, plecing kangkung dan sambal. Hari Selasa dan Kamis sebagian makanan vegetarian dan masakan rumah seperti tempe goreng dan sambal terung. Rabu makanan khas Bali seperti lawar, sate lilit, gado-gado, dan plecing buncis. Hari Jumat sate tusuk, asinan, dan acar. Hari Minggu, masak ayam betutu dan nasi kuning. Setelah acara memasak selesai, para siswa makan bersama-sama hasil masakan tadi.

Menurut Direktur Festival Ubud Writers & Reader ini, makanan yang paling gampang dibuat gado-gado dan nasi goreng. Ia menuturkan, ingin sekali belajar membuat coto makasar. Saat ke makasar, ia mencoba makanan khas tersebut. “Rasanya enak sekali, tapi saya belum mampu membuat seenak aslinya,” tuturnya sembari tertawa. Janet bukan hanya suka memasak, tapi ia juga hobi makan. Semua makanan Bali disukainya, mulai dari lawar, sate lilit, babi guling, betutu, dan sambal matah. Ia tidak mengajarkan membuat babi guling. Tapi kalau ada tamu yang tertarik ingin makan, ia sarankan datang ke warung babi guling Bu Oka yang sangat terkenal di Ubud.

Menurut Gusti Ayu Made Madriani, pengajar cooking class milik Janet, sebelum menjadi guru, ia supervisor di Casa Luna Restaurant. Sejak sepuluh tahun lalu, ia ditarik untuk menggantikan Janet mengajar kelas memasak.
Gusti Ayu menuturkan, ia belajar memasak secara otodidak. Awalnya, ia hanya belajar dari orangtuanya, dan mencoba sendiri dari resep yang ia baca. Kadang, pergaulannya dengan tamu, memberinya banyak informasi masakan Indonesia, Bali, maupun masakan Barat. Menurutnya, ada beberapa orang Bali yang mengikuti kelas memasak. Sebagian besar, mereka bekerja di rumah orang asing. Ia mengatakan, turis yang datang belajar dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat sampai orang biasa. “Sebagian besar memang perempuan,” ujar perempuan asal Ubud ini. Saat mengajar, ia dibantu tiga asisten untuk menyiapkan bumbu dan peralatan memasak. Ia mengaku senang, sejak jadi guru kelas memasak, ia lebih banyak menguasai teknik memasak karena ia dituntut terus belajar. -ast

Pertamakali Datang Langsung Jatuh Cinta

Kecintaan Janet pada masakan Bali, berawal dari kecintaannya pada kebudayaan Bali yang mampu menarik seluruh perhatiannya hingga akhirnya dia memutuskan untuk menetap di Bali dan menikahi lelaki asal Ubud Drs. Ketut Suardana , M.Phil. Janet mengarang sebuah buku dalam bahasa Inggris berjudul “fragrant rice” yang menceritakan ketertarikannya pada masakan Bali dan berisi beberapa resep masakan, dan kisah hidupnya.
Janet pertamakali datang ke Bali tahun 1974. Waktu itu usianya baru menginjak 15 tahun. Ia datang bersama keluarganya untuk berlibur ke Ubud. Ia menginap di Hotel Tjampuhan. Janet remaja begitu terpesona melihat keindahan pemandangan Ubud dan keramahtamahan masyarakat Bali yang dilihatnya. Saat berjalan-jalan ke luar hotel, sapaan ramah helo, helo, yang ia dengar begitu berkesan dan sangat memikat hatinya. Ia mengaku, keindahan Bali terasa sampai mengoncang jantung dan hatinya untuk suatu hari kembali lagi ke Bali. “Saya langsung jatuh cinta pada Bali,” katanya.
Tahun 1984 ia datang lagi ke Ubud bersama teman kuliahnya Jo. Kedatangan keduanya ini mempertemukannya dengan Ketut yang suatu hari kelak akan menjadi suaminya.
Perkenalannya dengan Ketut membuahkan rasa simpatik di hati Janet. Walau hanya tiga minggu, pertemuan itu begitu berkesan. Sampai di Australia, Janet mencari infromasi tentang buku masakan Bali. Ia mulai mempelajari bumbu-bumbu Bali untuk merasakan sensasi Bali kembali.

Tahun 1985 ia kembali ke Bali untuk serius mempelajari masakan Bali dan menulis buku tentang masakan Bali dan ingin memperkenalkan kepada dunia. Janet banyak belajar kepada Kasi, saudara perempuan Ketut. Menurut Janet, ia tukang masak yang hebat. Kasi selalu sabar mengajar Janet belajar memasak. Disamping itu, Ketut Ngetis, ayahanda Ketut juga seorang ahli pembuat makanan Bali. Tiap hari Janet selalu mencatat resep makanan yang dimakan. Kemana-mana ia selalu membawa catatan, pulpen, dan kamera. Janet bukan hanya belajar masakan Bali, ia juga belajar budaya Bali lewat keluarga Ketut.
Delapan bulan berikutnya, Janet mengajak Ketut ikut bersama ke Merlbourne untuk dikenalkan dengan keluarga besarnya. Tahun 1987 mereka berdua berangkat ke Melbourne. Janet sempat mengajar masakan Indonesia di salah satu kampus di sana. Ketika kesepakatan dua sejoli ini sudah terjalin, tahun 1989, mereka memutuskan untuk menikah di Ubud. Seiring perjalanan perkawinan mereka, bisnis pasutri ini juga berkembang. Selain memiliki galeri, dan penginapan, mereka juga memiliki dua restoran yang terkenal di Ubud yakni Indus dan Casa Luna. Dari pasutri beda negara ini lahirlah empat orang anak, Dewi, Krishna, Laksmi, dan Arjuna. -ast


Koran Tokoh, Edisi 664

Minggu, 25 September 2011

Museum d’topeng

Untuk belajar kebudayaan Indonesia kita tidak usah jauh-jauh pergi ke luar Bali. Informasi lengkap tentang kebudayaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke dapat ditemui di Museum d’topeng, Simpang Siur Kuta. Museum yang berdiri sejak setahun lalu ini menyediakan koleksi benda-benda warisan budaya Indonesia mulai dari topeng, patung, keris, batik, dan pernak pernik budaya Indonesia.

Menurut Pemilik Museum Elly Tumiwa, ia bersama suaminya Reno sudah mengoleksi benda-benda sejarah sejak 25 tahun silam. Mereka prihatin, banyak benda bersejarah dibeli turis asing. Museum d’topeng menjelaskan semua suku di Indonesia. “Ruang ke ruang menyajikan kebudayaan tiap daerah menunjukkan ada satu benang merah dari Sabang sampai Merauke yang membuktikan Indonesia merupakan satu bangsa yang kreatif dan memiliki nilai budaya khas. Pengunjung akan mengerti bahwa perbedaan budaya yang ada di masing-masing daerah merupakan kekayaan yang harus dihargai,” ujarnya.

Elly mengatakan, koleksi museum lebih dari 2000 buah topeng dari bagian Kepulauan Indonesia. Topeng-topeng tersebut memiliki nilai sejarah tinggi, karena beberapa dari koleksi dibuat pada abad 18 sampai abad ke-20. Beberapa topeng digunakan untuk upacara keagamaan, ritual ibadah dengan tarian sakral dari berbagai suku dan beberapa istana kerajaan di Indonesia. “Topeng merupakan bagian bentuk drama tari. Penari memakai topeng dan memainkan kisah-kisah kuno tentang raja-raja kuno atau mitos dan pahlawan. Tarian topeng yang paling menonjol di Bali dan Jawa,” jelas Elly.

Kebudayaan Indonesia telah dibentuk oleh interaksi yang panjang antara budaya asli dan beberapa pengaruh asing. Praktik budaya banyak dipengaruhi banyak agama, termasuk Hindu, Buddha, Konghucu dan Islam. Hasilnya, campuran budaya kompleks.Ruang-ruang galeri terbagi menjadi beberapa sekat. Di bagian tengah museum ada sebuah layar untuk menonton film kebudayaan Indonesia.
Saat menginjak pintu masuk, pengunjung akan langsung menemui berbagai koleksi kebudayaan dari Bali. Ada kisah Barong dan Rangda dan berbagai topeng khas Bali.

Galeri Jawa Barat menyajikan benda-benda peninggalan Kerajaan Pajajaran yg dipimpin Prabu Siliwangi. Genteng penolak bala, berbagai topeng khas Jawa Barat, serta keris.Galeri Jawa Tengah banyak dihiasi kendi dan tombak asli kerajaan Mataram. Galeri Jawa Timur menyajikan topeng yang menggambarkan karakter dan budaya Jawa timur seperti reog. Ada topeng reog dan keris bertuliskan Arab dari Sumenep. Ada macam-macam perhiasan dari emas, perak, dan tembaga khas Jawa Timur. Lorobonyo, figur pengantin dari berbagai daerah di Jawa Timur. Mandi kembang dengan tujuh warna dan tempat rujak yang berumur ratusan tahun.

Galeri Nusa Tenggara Timur memajang salah satu kanon atau meriam peninggalan Portugis. Ada alat musik drum zaman dulu berbahan tembaga. Kain tradisional khas NTT yang dipakai pahlawan atau pangeran dengan warna cokelat, hitam, dan merah. Ada juga pedang pangeran dan perhiasan cincin, dan gelang yang dipakai para keturunan kerajaan. Galeri Nusa Tenggara Barat menyajikan berbagai topeng khas daerah tersebut. Bentuk topeng hampir mirip dengan Bali. Begitu juga dengan keseniannya. Ada juga patung kesuburan yang berumur 1500 tahun dan kurungan yang indah. Beberapa keris khas lombok juga ada.
Galeri Sumatra memajang umbu, tempat pakaian yang mirip peti mati serba kayu tanpa paku. Ada juga tempat pengikir gigi untuk upacara potong gigi daerah Sumatra.

Galeri Papua banyak menyajikan benda yang bersifat spiritual. Salah satunya bulu dan tulang kaswari.
Galeri khusus wayang menceritakan sejarah wayang di Indonesia. Bahkan, Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam dan al quran lewat wayang. Ada juga buku sejarah al quran. Galeri Asia memajang piring-piring dinasti Cina. Galeri Sulawesi memajang patung tau tau khas Toraja. Patung yang ditaruh di perbukitan ini, seolah-olah dianggap arwah yang belum meninggal. Ada juga pedang bawah laut yang ditemukan di perairan Sulawesi. Ada juga penolak bala dan topeng kematian. Galeri Kalimantan menyajikan sejarah Mandau dan orang Dayak.

Galeri Kolonial Belanda zaman VOC menyajikan benda-benda yang digunakan waktu penjajahan. Ada koin dan uang dengan empat bahasa, Inggris, Belanda, Cina, dan Arab. Berbagai topeng para pejabat Belanda yang sempat menjabat di Indonesia. Galeri Majapahit memajang berbagai jenis keris zaman kerajaan Majapahit dan ada juga gada Gajahmada. Galeri keris memajang berbagai koleksi kepala keris di berbagai daerah di Indonesia. Galeri topeng dengan berbagai karakter mulai dari binatang, punakawan, dan raja. Galeri batik memajang batik khas di Indonesia seperti batik Bali, Solo, Pekalongan, Yogyakarta, Lombok, bahkan batik Toraja yang berumur 600 tahun. Di akhir perjalanan museum, pengunjung akan melihat patung Yene yang ditemukan di Kepulauan Leti yang kini sudah tenggelam. Patung tersebut dulunya digunakan sebagai sarana upacara dengan menggunakan darah manusia

Elly berharap, suatu saat apa yang sudah dikumpulkan dalam museum d’topeng dapat dijadikan tempat pembelajaran kebudayaan Indonesia bagi anak-anak generasi masa depan bangsa. –ast

koran tokoh, edisi 662, 26 s.d 1 okt 2011

Senin, 29 Agustus 2011

Patrinial dan Kasta Dukung Terjadinya Diskriminasi Perempuan


BANYAK kasus terjadi karena budaya patrinial dan budaya kasta di Bali mendukung terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Beberapa contoh dilontarkan Ketua LBH APIK Bali Ni Nengah Budawati, S.H., dalam diskusi yang digelar LSM Bali Sruti dengan topik “Hak-hak Perempuan Bali Dalam Perspektif Hukum Dalam Rangka Pencapaian MDGs 2015”, Rabu (24/8) di RRI Denpasar.

Ia menyebutkan, jika tidak memiliki anak laki-laki, untuk meneruskan keturunan, anak perempuan dinikahkan dengan model perkawinan nyentana. Apabila sama-sama anak tunggal, perkawinan pada gelahang jadi pilihan. Namun, kata Budawati, model perkawinan ini menimbulkan masalah jika tidak disikapi dengan bijaksana. “Sistem perkawinan pada gelahang sering memicu timbulnya persengketaan di kemudian hari,” ujarnya.
Perkawinan suami istri beda kasta melahirkan upacara patiwangi (penanggalan kasta). Jika terjadi perceraian, si perempuan tidak bisa kembali ke rumah asalnya, tidak bisa bersembahyang di rumahnya. Kalau meninggal, anaknya tidak bisa melakukan penghormatan terakhir kepada ibunya.
Perempuan Bali juga jarang mendapat harta warisan Budawati berpandangan, diskriminasi ini menyebabkan perempuan Bali takut bercerai walaupun perkawinannya tidak harmonis. “Jika terjadi perceraian, perempuan Bali menderita lahir batin. Saat menikah semua pihak dilibatkan, pihak keluarga maupun pemuka agama. Jika terjadi perceraian, unsur adat dari pihak perempuan tidak dilibatkan,” ujarnya.
Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Jero Gede Suena Upadesa mengatakan, sebenarnya dalam ajaran agama Hindu, kedudukan perempuan sangat dimuliakan. Salah satu program unggulan Majelis Desa Pakraman yang harus dicapai bagaimana mempertahankan hukum adat Bali yang sebenarnya.

Desa pakraman telah ditetapkan dalam peraturan daerah. Desa pakraman di Bali, dilindungi negara dan diakui dalam Konvensi PBB. Acuannya sangat kuat. Jadi, kata Jero Gede, keputusan Pasamuhan Agung MUDP III harus diperhatikan dan dijalankan dengan baik karena merupakan asipirasi masyarakat. Dalam keputusan MUDP, kedudukan wanita Bali diatur secara khusus.
Ia berharap, putusan MUDP dipakai dasar penegak hukum dalam mengambil keputusan di pengadilan. “MUDP secara berlanjut, terus-menerus, dan berencana melakukan sosialisasi tentang putusan Pasamuhan III MUDP Bali. Bukan hanya di Bali, juga ke luar Bali,” paparnya.
Hakim Tinggi Denpasar A.A. Anom Hartanindita, S.H., M.H. mengatakan, pengadilan tidak pernah mencari perkara. Putusan selalu mengedepankan segi keadilan tetapi tetap dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Intinya, keputusan hakim harus sesuai dengan hati nurani.
Ia menilai, hukum adat Bali yang tertuang dalam awig-awig Bali merupakan kontrak sosial. Hukum adat harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai ajaran Tri Hita Karana. Hukumnya sesuai dengan desa, kala, patra. Memutuskan kasus perceraian diupayakan mendekati rasa keadilan sehingga ia setuju melibatkan desa pakraman.
Ayu Suciati dari Kongkres Advokat Indonesia menilai, dalam praktik upaya ini sangat sulit diwujudkan. Keputusan tingkat pengadilan kadang berbeda. Keputusan Pengadilan Negeri belum tentu sama dengan Pengadilan Tinggi. Yang harus dilakukan sekarang, kata Suciati, bagaimana mendorong apa yang menjadi hasil MUDP ini bisa dipakai pertimbangan hukum terutama yang menyangkut perempuan. Ia mengatakan, waktu mediasi umumnya yang dipanggil para pihak yang bersengketa tanpa sanksi. Dalam mediasi seharusnya ada hakim perdamaian desa.
Winaryati dari Tabanan mengatakan, perempuan tidak memiliki kemampuan untuk membela dirinya jika terjadi perceraian. Apakah MUDP sudah melakukan pendampingan awal sehingga para perempuan tahu hak-haknya.
Menurut Sri Joni dari KPPG Prov. Bali, perkawinan beda kasta merupakan sebuah pengorbanan karena cinta. Kedua belah pihak berkorban karena sama-sama mau mengalah dan menerima satu sama lain. Bagaimana nasib para perempuan yang dicerai, jika anaknya tetap menginginkan ibunya berada di keluarga mantan suaminya karena permintaan anak.
Menurut Jero Gede Suena, Pasamuhan Agung III MUDP Bali dihadiri semua desa pakraman se-Bali. Semua keputusan berdasarkan kesepakatan. Keputusan ini diharapkan mampu menjadi acuan hukum yang sanggup menciptakan harmonisasi dan keadilan. Sosialisasi terus dilakukan, namun, belum merata di seluruh kabupaten. Kalau keputusan MUDP ini ada benturan di lapangan akan dikaji kembali. Saat ini, kata Jero Gede, kajian akademis tetap jalan. Adat juga harus disesuikan dengan perubahan zaman.

Wayan Jondra dari Kerobokan menilai, ada empat penyebab mengapa perempuan Bali tidak berdaya menggapai haknya. Yakni, perempuan itu sendiri, laki-laki, aturan hukum yang berlaku, dan lingkungan. Sebagian besar perempuan merasa imperior, walaupun sekarang sudah banyak perempuan Bali yang berpendidikan tinggi dan memiliki kedudukan sebagai pemimpin. Laki-laki melupakan pentingnya peran perempuan. Padahal, jika perempuan berdaya, mereka bisa ikut mencari nafkah otomatis itu juga membantu para suami dalam menghidupi keluarga. Dari sisi ekonomi sudah merupakan satu keuntungan karena meringankan tugas suami. Aturan hukum belum mengakomodir kepentingan perempuan. Lingkungan juga belum bangkit kesadarannya. Biasanya, kalau ada perempuan yang berstatus purusa, keluarga jauhnya seperti misan mindon-nya yang repot. Di sinilah pentingnya sosialisasi agar semua pihak menjadi sadar.
Menurut Jero Gede, tugas desa pakraman melindungi karma-nya. Prajuru desa sudah sering menjadi saksi ahli dan menjalankan tugas pendampingan. Jero Gede sudah sering menjadi saksi ahli bahkan sampai ke Jakarta. Warisan di Bali tidak saja berupa harta tetapi juga menyangkut ayah-ayahan sehingga dalam pembagian juga dimasukkan. Liunan megae maan ategen, bedikin megae maan asuun. Harta warisan yang dibagi merupakan harta gunakaya orangtuanya bukan harta leluhur. Jangan sampai tanah pura ikut dijual.
A.A. Anom Hartanindita menambahkan, tujuan pembagian waris jangan sampai ahli warisnya tersiksa membayar ayah-ayahan desa. Kalau mencukupi, berikan separuh dari hak anak laki-laki untuk anak perempuan yang kawin ke luar. Siapa tahu terjadi perceraian, ada harta untuknya sebagai bekal.

Ia menilai, pedampingan sangat diperlukan dari MUDP. Sebaiknya, yang mau bercerai, silakan bicarakan terlebih dahulu dengan prajuru adat masing-masing. Mungkin problemnya, pasutri berasal dari desa pakraman yang berbeda sehingga awig-awig-nya juga berbeda. Hukum juga bisa berubah. Kasta merupakan politik hukum Belanda zaman dulu. Ketika soroh berkembang pesat, Belanda memanfaatkannya dengan istilah kasta. Zaman sudah berubah. Jangan sampai umat Hindu banyak ‘lari’ karena adatnya menyusahkan.
Menurut Budawati dalam pengadilan verstek, perempuan bisa tetap berada dalam rumah mantan suaminya jika si anak menginginkannya. Selama ini gugatan harta gono gini sangat sulit. Alangkah baiknya, jika sebelum sidang perceraian ada peradilan adat yang disepakati kedua belah pihak yang bercerai untuk kesepakatan pembagian harta gono gini. Sering terjadi, uang istri lebih banyak untuk membeli keperluan rumah tangga, sehingga tidak terlihat jerih payahnya.
LBH APIK Bali merupakan jaringan Kias yang mendorong lahirnya desa setara. Salah satu yang dijadikan pilot project, Desa Kekeran, Tabanan. Perkawinan pada gelahang berjalan dengan baik. Upacara perkawinan dilakukan seperti biasa di rumah laki-laki. Setelah anak nomor dua lahir, dia otomatis sebagai ahli waris di rumah ibunya. “Sistem ini mengedepankan rasa ikhlas dan ber-yadnya. Ada pengertian dari masyarakat adatnya dan perarem yang meminimalkan diskriminasi perempuan. Kami berharap, mulai dari Tabanan ditularkan solusi perkawinan model ini,” kata Budawati.
Anggota DPRD Karangasem I Luh Purnaminingsih mengatakan, banyak kasus dalam proses perceraian, tidak ada pendampingan dari adat. Maka, segera lakukan sosialisasi keputusan MUDP kepada prajuru adat.
Menurut A.A. Anom Hartanindita, penegak hukum yang memutus masalah adat seharusnya orang yang tahu adat Bali dengan baik. Penegak hukum juga harus tahu keputusan MUDP.
Nyoman dari Polda Bali menanyakan, apabila umurnya di atas 21 tahun beragama Hindu, hamil di luar nikah diterapkan pasal logika sanggraha. Bagaimana status ibu dan anaknya.
Menurut Jero Gede kumpul kebo sesama orang Bali, sanksinya ada di awig-awig. Bisa juga dibuatkan pararem. Tergantung pada keputusan desa pakraman setempat.

A.A. Anom Hartanindita pernah menemukan satu kasus. Karena tidak cocok, si perempuan kembali ke rumah asalnya di Kintamani tanpa proses perceraian. Suatu ketika perempuan tersebut hamil. Yang menghamilinya mantan suaminya. Orangtuanya mengambil inisiatif melaporkan kejadian ini. Terjadi paruman desa, si laki-laki dinyatakan bersalah. Status anak tetap turunan ayahnya. Pengurusan sampai umur tertentu diserahkan kepada ibunya dan biaya hidup si anak ditanggung ayahnya. Kasus ini tidak sampai ke pengadilan karena sudah diselesaikan dengan baik oleh adat. –ast

koran tokoh, edisi 568, 28 Agustus s.d 3 September 2011


Kamis, 18 Agustus 2011

Sisakan Ruang Transisi 0,5 Meter

Banyak cara dapat dilakukan untuk menyiasati lahan sempit agar penataan rumah tetap terlihat nyaman dan indah. Rumah tak hanya berfungsi sebagai hunian. Namun, semua konsentrasi serta kualitas hidup bersumber dari kesehatan rumah. Karenanya, rumah yang baik akan menciptakan hidup yang lebih baik bagi penghuninya. Menurut Pengamat Arsitektur Prof. Dr. Sulistyawati, M.S., sebelum membuat satu rumah, developer perlu satu perencanaan untuk pengembangan rumah tersebut ke depan, sehingga ketika keluarga tersebut berkembang, bangunan rumah tidak lagi bongkar pasang. Untuk menyiasati lahan yang sempit, satu-satunya cara dengan membuat bangunan tersebut bertingkat.

Ia mengakui, dalam membangun rumah berarsitektur Bali memang diperlukan lahan yang luas, minimal 3,6 are. Namun, arsitektur Bali dapat diadopsi dalam rumah modern minimalis dalam struktur penataan ruangannya.
Sebagai pemenuhan standar kenyamanan dan drainase, ia menyarankan, sebaiknya disisakan ruang transisi lebih kurang 0,5 meter dari tembok pagar. Tujuannya, kata istri Ir. Frans Bambang Siswanto ini, selain untuk sirkulasi udara, juga untuk pencahayaan sinar matahari. Namun, jika lahan yang dimiliki sangat sempit, kata dia, usahakan tetap memiliki ruang transisi walaupun jaraknya kurang dari 0, 5 meter. Ia menyebutkan, dalam konsep rumah orang Bali, saat pengerupukan (malam hari sebelum Hari Raya Nyepi) dilakukan pembersihan mengelilingi rumah. Penghuni berputar di ruang transisi sembari membawa sarana upacara yang tujuannya untuk mengusir roh jahat. Selain itu, dengan dilewatinya ruang transisi tersebut, otomatis penghuni rumah juga melakukan pembersihan lingkungan di sekeliling rumahnya. Begitu juga, ketika tetangga sebelah rumah akan membuat bangunannya lebih tinggi, sirkulasi udara dan pencahayaan rumah di sebelahnya tidak akan terganggu termasuk saluran pembuangannya. “Apalagi sekarang dengan adanya sistem jaringan limbah terpadu Denpasar Sewerage Development Project ( DSDP) akan sangat membantu sekali bagi rumah-rumah di perkotaan,” ujarnya.

Sesuai konsep rumah orang Bali, selalu memperhatikan Tri Angga yakni kepala, badan, dan kaki. Bagian kaki terlihat dari bebaturan yakni tinggi bangunan dari tanah sampai ke lantai berjarak sekitar 60-80 cm. Tujuannya, untuk mencegah air tanah masuk ke lantai saat hujan. Sesuai dengan bangunan bale Bali, jarak tersebut disesuaikan dengan ketinggian orang Bali duduk di bale sehingga kakinya dapat ngelayung. “Zaman dulu belum ada semen sehingga dibuat bebaturan dengan ukuran tersebut untuk menghindari air masuk yang bisa merusak bangunan. Bebaturan dilengkapi dengan tangga tiga tingkat sebagai simbul laki-laki yang tujuannya untuk memudahkan naik menuju lantai bale. “Sekarang bisa saja kita tidak membuat bebaturan. Tapi bangunan terlihat tidak stabil dan konsep Tri Angga tidak masuk. Padahal, bebaturan juga berfungsi sebagai penghalang air masuk ke lantai saat hujan dan menghindari banjir,” ujar Guru Besar Fak. Teknik Jurusan Arsitektur Unud ini. Hal ini, kata dia, juga berpengaruh pada saluran pembuangan di jalan raya. Selama ini, kata Prof. Sulis, begitu ia akrab disapa, kecenderungan jalan raya dibuat dengan model tambal sulam. Ketika rusak, terus ditempel tanpa dikeruk sehingga jalan makin hari makin tinggi, bahkan, sampai melebihi saluran pembuangan. Akibatnya, saluran pembuangan tertutup dan saat hujan mengakibatkan banjir.
Menurutnya, developer seharusnya sudah memikirkan bagaimana keluarga tersebut suatu saat akan berkembang. Caranya, bangunan dasar rumah sebaiknya dibuat semi basement. Biasanya, keluarga baru tak banyak membutuhkan ruangan. Namun, yang terpenting peletakan ruangan disesuaikan dengan hulu teben.

Bagian badan dari Tri Angga berupa penataan ruangan di dalam rumah. Kamar orangtua letaknya di Utara, kamar tidur anak di bagian Timur, ruang tamu atau ruang keluarga yang merupakan ruang bersama letaknya di tengah. Dapur letaknya di pojok. Biasanya, keluarga baru tidak membutuhkan dapur yang besar, dapat dibuat yang simpel. Kamar mandi dan tempat jemuran ditempatkan di bagian Selatan atau Barat. Ruang transisi di bagian belakang dapat juga dimanfaatkan sebagai tempat jemuran. Dalam rumah modern, biasanya WC/kamar mandi ditempatkan di dalam kamar tidur. Penataan dapat disiasati dengan menempatkan WC/kamar mandi di bagian Selatan atau Barat tempat tidur.
Ketika keluarga kecil berkembang, bangunan rumah dapat diperluas menjadi bertingkat. Ruangan basement dapat dijadikan garasi atau gudang. Bagian atap dapat juga disiasati menjadi tempat jemuran. Caranya, atap tidak dibuat berbentuk segitiga penuh. Tapi hanya sepertiganya saja. Bagian tengah atap tetap kosong yang fungsinya untuk masuknya sinar matahari. Letakkan tempat jemuran selalu di bagian teben Selatan atau Barat. Jemuran ini tidak akan terlihat dari bawah karena sudah ditutupi oleh atap rumah.

Dalam ilmu arsitektur modern disebutkan jika D/H > 3 (Distance per High) atau jika jarak dibagi tingginya sudah melebihi tiga, artinya tidak lagi disebut ngungkulin. Dalam konsep rumah orang Bali, penempatan ruang jemuran di atas bangunan terkesan tidak baik. Namun, pada rumah bertingkat yang tidak memiliki ruang lain untuk menempatkan jemuran konsep tersebut dapat ditoleransi dengan acuan berupa lontar Ganapati Tatwa “ kajian teks terjemahan Rai Mirsha, yang menyebutkan bahwa ruang personal manusia hanya berjarak 12 angula atau alengkat di atas kepala. Artinya, ketika sudah melebihi jarak alengkat di atas kepala, tidak lagi disebut ngungkulin. Penataan ruang jemuran juga disesuaikan dengan hulu teben dan dengan konsep atap rumah yang hanya dibuat sepertiganya saja, juga sangat membantu. Tidak akan terlihat jemuran melambai-lambai di atas.
Untuk pembuangan sampah tidak dibuatkan tempat khusus. Biasanya mobil sampah akan datang mengangkutnya. Penghuni sebaiknya sudah memilah sampahnya terlebih dahulu. Dengan kantong plastik yang sudah terikat, sampah sudah terkumpul sesuai jenisnya, yang organik dan anorganik. Pemerintah juga harus mengedukasi pemulung agar tidak mencecerkan sampah yang sudah terbungkus rapi. Pemulung juga harus diberi sanksi ketika ketahuan mengobrak-abrik sampah yang sudah terbungkus rapi.

Menurutnya, untuk menata kawasan perumahan bersih, indah, dan sehat, semua pihak harus bekerja sama, mulai dari masyarakat, developer, dan pemerintah. Salah satu Dewan Pakar Indonesia Tionghoa (INTI) Bali ini mengatakan, untuk dapat menerapkan keteraturan dalam pembangunan seperti yang dicita-citakan, perlu adanya tiga faktor utama yakni keinginan dari masyarakat, peraturan pemerintah, dan fungsi penegakan hukum. Selain itu, untuk menghindari perbedaan pada pengajuan usulan izin mendirikan bangunan ( IMB), maka perlu diadakan pengawasan maupun pengecekan setelah bangunan selesai dibangun. –ast

Koran Tokoh, Edisi 656 15-20 Agustus 2011




Selasa, 09 Agustus 2011

Perempuan Bali Berhak atas Warisan

Perempuan Bali kini tidak perlu lagi merasa terpinggirkan. Pesamuhan Agung III MUDP Bali telah memutuskan perempuan Bali juga berhak atas warisan. Keputusan MUDP Bali ini dibahas dalam seminar “Perempuan Bali dalam Perspektif Hukum Adat Waris”, yang digelar Ikatan Alumni Universitas Udayana (Ikayana), Jumat (5/8) di Ruang Theater Lantai IV FK Unud.

Ketua Sabha Walaka Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat Drs. Ketut Wiana, M.Ag. menyatakan, sesungguhnya ajaran Hindu sangat ideal yakni sradha dan bakti. Sradha, bagaimana kita percaya dan yakin kepada Tuhan, dan bakti berfungsi menjadi kekuatan spiritual dalam mengendalikan aspek diri untuk memberikan kecerdasan agar kepekaan emosional terkendali. Memang kata Wiana, mengucapkan kebaikan sangat gampang namun, melaksanakannya sulit. Perlu sosialisasi berkali-kali. Menurutnya, terpinggirnya wanita Hindu di Bali dan India, bukan karena keinginan laki-laki. Zaman weda kedudukan perempuan dan laki-laki setara, banyak tokoh perempuan ahli dalam weda. Sejak zaman perang kerajaan, segala kekayaan disita termasuk para perempuan. Hal ini mengakibatkan proteksi yang berlebihan terhadap perempuan. Kondisi perempuan menjadi mundur. Untuk mengembalikan kedudukan perempuan ini memerlukan waktu. Dalam ajaran Hindu tidak dikenal istilah perempuan berasal dari tulasng rusuk laki-laki. Semua kedudukannya sama. Selalu ada kesetaraan.

Sebenarnya, dalam hukum adat Bali sudah diatur, perempuan mendapat hak waris ¼ dari saudaranya yang laki-laki. Kalau saudara laki-lakinya menolak, dia akan dikenakan hukuman dijatuhkan martabatnya sebagai laki-laki. Dalam hukum adat Bali juga telah disebutkan, perempuan mendapat harta jiwa dana.

Wanita sering disebut dewi yang artinya sinar atau alat ukur rumahtangga. Istri disebut permaisuri (prama iswari) yang artinya pemimpin utama di rumahtangga. Namun, sangat disayangkan, kata Wiana, istri sering dianggap sebagai subordinat suami. Sering terdengar olokan ,”ngelah nyama terkenal tapi ketangkep kurenan.” Paradigma ini harus diubah. Orang yang ingin hidupnya sejahtera seharusnya selau menghormati wanita. Untuk itu, adat istiadat yang tidak berdasarkan kitab suci akan dapat menghancurkan masyarakat.

Dr. Dra Ni Made Wiasti, M.Si mengatakan, dalam konsep Hindu, laki-laki dan perempuan selalu hidup berpasangan. Pertiwi (ibu) akasa (bapak), melahirkan manusia, konsep purusa pradana, ardha naraswari tuhan maha tunggal. filosofi agama Hindu sudah menyatakan, perempuan dan laki-laki sudah memunyai kedudukan setara. Ironisnya, pelaksanaan realitas tidak sama. Sesungguhnya ketidakadilan gender sudah menjadi isu international. Untuk mempercepat kesetaraan gender pemerintah membuat program pengarusutamaan gender. Selama ini, kata dia, program pembangunan sebelum pencetusan pengarusutamaan gender sangat mengabaikan kepentingan perempuan. Berbagai piranti yuridis dan analisis dilakukan untuk mencapai kesetraan gender. Nilai –nilai budaya Bali khususnya budaya patriaki yang akhirnya melahirkan ideologi gender. Bicara gender bicara laki-laki dan perempuan. Namun, banyak yang mengartikan gender hanyalah perempuan. Ketika membicarakan perempuan yang hadir hanya perempuan. Padahal ini masalah hubungan perempuan dan laki-laki.

Zaman peradaban terjadi perbedaan kekayaan laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang memiliki kekayaan karena mereka bertugas mencari makan. Pada saat itu salah satu jenis kelamin diunggulkan. Kaum feminis menaruh perhatian besar terhadap perempuan. Secara terus menerus melakukan perjuangan. Gerakan perempuan sudah dilakukan mulai sebelum zaman kemerdekaan. Di Bali, perjuangan kaum wanita sebelum kemerdekaan, dimulai Putri Bali Sadar yang memperjuangkan masalah, pendidian dan nilai kesusilaan. Perjuangan kesetaraan gender, tidak hanya dilakukan lembaga negara, organisasi bisnis dan nonbisnis, departemen dan komunitas. Tahun 1978 dibentuk Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Tahun 1983 ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan program Panca Dharma Wanita yang mendukung peran ganda wanita. Muncul organisasi PKK, Iwapi, Pusat Studi Wanita yang berdiri di bawah perguruan tinggi, LSM, organisasi berbasis agama seperti WHDI.


Menurut Prof. Dr. I Wayan Windia, SH. MSi, bicara perempuan Bali, selalu terpinggirkan dan lascarya. Terpinggirkan karena tidak mendapatkan hak waris. Namun, istilah lascarya sering terlupakan. Kawin keluar, kawin mekutang, nyerod, gelahang pisaga istilah-istilah yang sangat melemahkan posisi perempuan ini tidak pernah dipermasalahkan. Seorang istri yang setia terhadap suaminya, berani melakukan satya yakni mencebur diri ke api ketika suaminya meninggal. Tidak ada laki-laki yang berani dan mau melakukan itu.
Hukum adat Bali mengenal beberapa aturan tentang pewarisan sejak tahun 1900 sampai sekarang. Paswara 13 Oktober 1900, awig-awig tertulis Desa Pakraman, dan Keputusan Pesamuhan Agung MUDP Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010.
Hukum adat Bali tidak mengenal konsep pembagian warisan, yang ada pelestarian dan penerusan. Warisan dijadikan harta pusaka. Kenyataan tidak seperti itu. Waris dibagi dan wanita tidak mendapat waris. Hanya keturunan yang berstatus purusa yang memiliki hak waris, sementara yang berstatus pradana tidak mendapatkan hak kecuali yang bersangkutan sentana rajeg ( berstatus purusa). Tapi walaupun berstatus purusa, kalau yang bersangkutan meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kadaton) hak warisnya menjadi gugur.

Untuk menghindari kerancuan, Pesamuhan Agung III MUDP Bali menegaskan ada dua ninggal kedaton yakni ninggal kedaton terbatas, dalam batas tertentu masih memungkinkan melaksanakan kewajibannya sebagai umat Hindu seperti, perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa, laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana, telah diangkat anak oleh keluarga lain sesuai dengan agama Hindu dan hukum adat Bali, menyerahkan diri kepada keluarga lain atas kemauan sendiri. Mereka ini dimungkinkan mendapatkan mendapat harta warisan didasarkan atas asas ategen asuwun (dua berbanding satu) dengan suadaranya yang berstatus purusa. Sedangkan ninggal kedaton penuh yakni sama sekali tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban sebagai umat Hindu. Mereka ini tidak berhak sama sekali atas harta warisan, tapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris.

Suami dan istri serta suadara laki-laki suami dan istrinya, memunyai kedudukan sama dalam usaha menjamin harta pusaka dapat diteruskan kepada anak cucunya. Suami dan istri memunyai kedudukan sama terhadap harta gunakaya, anak kandung dan anak angkat (laki-laki atau perempuan) yang belum kawin berhak atas harta gunakaya orangtuanya sesudah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah yang dikuasai oleh anak yang melanjutkan tanggung jawab orangtuanya. Anak yang berstatus kapurusa berhak atas satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal kadaton terbatas berhak atas setengah dari harta warisan yang diterima anak berstatus kapurusa. Anak yang ninggal kadaton penuh tidak berhak atas harta warisan, tapi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orangtuanya dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris.

Jika terjadi perceraian, Pesamuhan Agung III MUDP Bali memutuskan, pihak yang berstatus pradana kembali ke rumah asalnya status mulih daha atau mulih truna, kembali melaksanakan kewajibannya. Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya dengan pirnsip bagi rata. Setelah bercerai anak dapat diasuh ibunya tanpa memutuskan hubungan hukum anak tersebut dengan keluarga purusa karena anak mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.

Menurut Hakim Ida Bagus Putu Madeg, S.H., M.H. hukum harus mampu mengantisipasi dinamika yang begitu cepat dan tampil mengubah kontruksi sosial serta menangkap kosmologi masyarakat dan berusaha menggali nilai –nilai hukum yang hidup di masyarakat. Ia menilai, keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali sudah mencerminkan kesetaraan hak-hak yang sama tanpa membedakan status purusa dan pradana. “Jangan sampai keputusan sebagai peti kemas. Keputusan dissosialisasikan secara terencana sehingga nantinya menjadi kebiasaan yang diikuti dan dipatuhi sebagai bagian dari sistem hukum kekeluargaan,’ ujar Hakim Tinggi Makasar ini.
Ia menambahkan, lembaga adat makin menunjukkan eksistensi sejuah mana peran dan fungsinya dalam berbagai keputusannya memberi perhatian terhadap perempuan Bali dalam perpektif hukum adat waris. Menurutnya, ada adat yang harus dipertahankan, ada adat yang harus diperbaharui, dan ada adat yang harus ditinggalkan.Masih kurangnya pemahaman para hakim terhadap pentingnya hukum adapt akan sangat berpengaruh pada kualitas keputusan yang diambil. Ia mengajak untuk menghidupkan kembali lembaga perdamaian desa yang dulunya pernah ada. “Ini dapat menjadi pertimbangan di pengadilan, apa lagi hasilnya ditunjukkan pada kesepakatan,’ kata Madeg.

Wenten Ariawan Pengajar dari Politeknik Negeri Bali mengusulkan, agar di Bali ada pengadilan agama Hindu. Ia mengatakan, sudah mengusulkan hal ini dalam berbagai kesempatan simakrama dengan Gubernur Bali tapi belum terwujud. Menurutnya, hakim sebagai penegak hukum wajib menggali dan memahami hukum yang hidup di masyarakat. “Saya yakin, masih banyak hakim yang tidak memahami hukum adat Bali. Dalam memutuskan perkara, hakim tidak saja dari hakim karier, tapi perlu pertimbangan dari pihak pemerhati hukum adat Bali,” ujarnya.
Menurut Wayan Windia, membuat lembaga peradilan agama adalah masalah politik. Ukurannya tengkorak bukan otak. Itu sebabnya pada pemilu, intelektual tidak laku. Tapi tidak tertutup kemungkinan hal itu bisa terwujud. “Kita bisa berjuang lewat oganisasi seperti Majelis Desa Pakraman,” ujarnya.
Wenten juga mempertanyakan, dalam perkawinan pada gelahang, apakah ngayah-nya tidak berat karena negen dua? Menurut Windia, perkawinan Pada Gelahang sudah diteliti. Dari 28 kasus yang sudah melewatinya hanya satu yang pasang yang sampai menimbulkan masalah di masuk pengadilan. Urusan ngayah-nya memang berat. Namun, bentuk perkawinan ini sebagai solusi karena kedua belah pihak tidak memungkinkan melakukan perkawinan biasa.

Menurut Wiana, di pengadilan sering terjadi jual beli pasal. Hal itu tidak bisa dibuktikan. Sepeti kentut, baunya sudah menyengat tidak bisa dibuktikan. Dengan memahami hukum adat Bali dengan baik diharapkan hakim dapat memutuskan dengan hati nurani. Menurut Wiana, dalam perkawinan pada gelahang, mereka tidak akan kehilangan haknya. Ia berharap, desa pakraman jangan terlalu banyak mengintervensi kula cara, jika sudah terjadi kesepakatan antara keluarga. “Lanjutkanlah yang baik dan tolak yang tidak sesuai. Jangan sampai di Bali semuanya sulit, termasuk mati pun sulit,’ tandas Wiana Putu Astawa dari PHDI Kota Denpasar menyatakan, sudah ada payung tersendiri baik tertulis maupun tidak tertulis. Manusianya yang salah dalam penerapannya. Terjadi penyimpangan karena orang Bali tidak disiplin.
Sugiantari, mahasiswi IHDN Denpasar mempertanyakan, poligami dilakukan laki-laki, belum ada`poliandri. Kesetaraan belum terjadi.

Menurut Wiasti, kesetaraan dalam tatanan ideal sudah tercapai. Namun, dalam realitas masih banyak kepentingan. Banyak bukti perempuan mengalami kekerasan ketika berada di ranah gender. Ketika bertukar ranah, perempuan membayar lebih. Di Bali belum mengalami kesetaraan gender. Poligami tidak dibenarkan dalam agama. Sebisa mungkin tidak dilakukan, kecuali ada hal yang bersifat darurat. “Ketika manusia mampu berbuat adil seperti Betara Siwa, silakan saja, tapi kalau tidak bisa, sebaiknya dihindarkan,” katanya.
Luh Teri dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( BP3A) Prov. Bali mengatakan, apakah bisa jual beli waris dari orangtua ke anak. Menurut Windia, mungkin bisa saja dilakukan. Namun, terdengar tidak baik. sebaiknya dihibahkan saja.

Ketua Majelis Utama Desa Pakraman Jero Mangku Suena menilai, banyak aparat desa dan penegak hukum yang tidak paham dan sering melalaikan hukum adat. Mereka terkadang cenderung hanya menggunakan hukum nasional. Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP sudah disosialisasikan ke masing-masing desa pakraman. Sampai saat ini, kata dia, sosialisasi sudah berjalan ke enam kabupaten/kota. Yang belum hanya Kab. Karangasem, Bangli, dan Badung.

Menurutnya, selama sosialisasi tidak ada hambatan di lapangan. Hanya masalah waktu. “Mengumpulkan Bendesa Adat harus mencari waktu yang tepat. Disamping itu, tenaga Prajuru Majelis banyak yang bekerja sebagai dosen. Sedangkan pekerjaan di majelis bersifat ngayah. Kami sudah menandatangani kesepakatan dengan Ikayana untuk menyosialisasikan keputusan ini bersama-sama agar bisa lebih efektif,” paparnya.
Ketua Ikayana Pusat Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD menambahkan, hasil seminar ini akan dibukukan sehingga dapat dijadikan acuan bagi desa pakraman. Ke depannya, diharapkan dapat menjadi bagian dari hukum adat Bali. -ast

Koran Tokoh, Edisi 655, 31-6 Agustus 2011

Minggu, 26 Juni 2011

LBH APIK Bali Simpul Gerakan KIAS di Bali


Banyak kasus di Bali yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki yang kedudukannya lebih rendah. Nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat ini pada akhirnya ikut mendukung, bahkan menjadi penyebab terjadinya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Demikian diungkapkan Ketua LBH Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (APIK) Bali Ni Nengah Budawati, S.H. dalam diskusi,deklarasi, dan sosialisasi Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara (KIAS), Selasa (21/6) di Gedung Dewarra Sanggulan, Tabanan.
Ia menyebutkan beberapa kasus yang sangat meminggirkan perempuan Bali. Anak perempuan yang sudah kawin dan keluar dari lingkungan keluarganya, maka ia tidak berhak mendapatkan waris. Perempuan berkasta yang menikah dengan laki-laki jaba harus melakukan patiwangi yakni upacara penanggalan kasta. Imbasnya akan bermasalah ketika terjadi perceraian. Perempuan tidak bisa mendapatkan kastanya kembali ke rumah asalnya. Apabila meninggal akan terjadi hal pelik perempuan tidak bisa dikebumikan di keluarga asalnya dan di rumah keluarga suaminya juga tidak diperbolehkan. Akhirnya mereka terpaksa mengungsi ke panti jompo. Apabila tidak memilki anak laki-laki meneruskan keturunan, alternatif perkawinan nyentana atau pada gelahang. Namun, seringkali perkawinan model ini tidak disikapi degan bijaksana malah menjebak keluarga pada pertikaian dan persoalan baru.
Luh Anggreni mengatakan, LBH APIK Bali yang merupakan salah satu vokal poin Kias mencoba memetakan masalah ini dengan membuat FGD mencari strategi-strategi kampanye bersama dan membangun jejaring dan changemaker yang kuat untuk melakukan kampanye anti kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan atas nama adat/agama di Bali.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak ( PPA) Polres Tabanan Ketut Santiani mengatakan, kasus kekerasan yang paling banyak dilaporkan berupa kekerasan fisik terhadap istri. Selama ini, kata dia, kasus merupakan delik aduan. Penyelesaiannya dengan mediasi kedua belah pihak karena kalau sampai ke pengadilan ujung-ujungnya pasti perceraian.
Ni Made Ari Astuti S.H mengatakan, dari pengamatannya perempuan yang telah menikah dan keluar biasanya tidak mendapatkan waris, tapi hibah. Karena kalau waris, pihak saudara laki-laki pasti akan keberatan, apalagi waris tanah leluhur. Biasanya diberikan hibah atas harta gunakaya kedua orangtuanya dan diberikan semasih mereka hidup.
Tokoh adat Ds. Kekeran, Ds. Penatahan, Penebel Tabanan, Ketut Suwandra, S.Ag mengatakan, waris dapat berupa tanah hak kekayaan. dan waris berupa pura dan adat. Yang sangat pelik waris yang berupa tanah. Warisan ada dua, yang dimiliki leluhur dan ada yang disebut gunakaya hasil jerih payah orangtuanya. Perempuan haknya sudah diakui dalam pembagian waris dengan perbandingan ½ atau 1/3. Namun, hal ini belum dipahami masyarakat. Kalau anaknya sudah kawin keluar dan cerai kemudian kembali ke induknya sering tidak mendapatkan apa, bahkan cenderung ditelantarkan. Di Bali masing masing daerah memiliki keunikan tertentu karena adat, dresta, tradisi maupun awig-awignya. Walaupun agama Hindu yang dipakai dasar sudah menyarankan agar tidak membedakan orang atau kelahiran tapi karena dibendung dresta, sering membawa masalah kehidupan.
Pengurus Harian Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali I Ketut Sudantra mengatakan, adat Bali sudah mengakomodir suara perempuan. Dalam Pasamuan Agung III MDP Bali 15 Oktober 2010 telah diputuskan perkawinan pada gelahang dapat diterima, sebagai jalan keluar bagi keluarga yang punya anak tunggal, baik laki-laki saja atau perempuan saja. Inilah contoh keadaan darurat (paksa). Perkawinan pada gelahang juga bisa dipilih sebagai alternatif perkawinan nyentana. Semuanya tergantung kesepakatan bersama antara pasutri yang akan menikah dan keluarga masing-masing berdasarkan prinsip paksa, lasia, dan satia.
Ritual patiwangi yang merendahkan harkat dan martabat perempuan juga ditinggalkan. Pasamuan Agung III MDP juga memutuskan hak dan kewajiban suami istri. Jika terjadi perceraian perempuan mendapatkan hak atas harta gunakaya, sepertiga dari harta bersama. Hukum adat juga mengizinkan ibu tetap mengasuh anaknya tanpa menutuskan hubungan dengan bapaknya selaku purusa. Asal tetap menjaga hubungan baik antara anak dengan ayah dan keluarga besar ayahnya. Perempuan yang pulang kembali ke rumah asalnya setelah bercerai, diterima kembali oleh keluarga asalnya dengan status mulih daa. Begitu juga laki-laki yang pernah kawin nyentana. Laki-laki kembali ke rumah asalnya dengan status mulih taruna. Untuk seterusnya mereka akan melaksanakan kewajiban dan memunyai hak di keluarga asal lagi.
Sudantra yang juga dosen Fak. Hukum Unud ini mengatakan, bagi masyarakat yang ingin berkonsultasi tentang adat Bali, bisa datang ke Bali Shanti di lantai dasar Gedung Pascasarjana Unud.
I Nengah Ardiaska dari gerakan we can menilai, adat dan agama sudah mengalami distorsi. Ini berhubungan dengan akhlak dan moral. Silabus pendidikan harus diubah. Ia mengusulkan, hasil Pasamuan III MDP dimasukkan ke dalam mata pelajaran PPKN dan IPS. Ini berkaitan dengan hak perempuan sebagai warga negara.
Gusti Ayu Suasti perwakilan dari para guru menambahkan, banyak tokoh adat dicampuri politik. Bahkan ada tokoh adat yang tidak faham adat itu sendiri. Ia setuju, sosialisasi masalah adat segera dimasukkan dalam pendidikan, agar siswa sedari dini mengetahui bagaimana sebenarnya hukum adat Bali. Menurutnya, pengenalan adat termasuk pendidikan karakter bangsa yang bisa diimplementasikan pada semua bidang studi.
I G.A. Diah Yuniti dari LSM Bali Sruti menilai hasil MDP belum sampai ke akar rumput di masyarakat.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu dan Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kab. Tabanan Ibu Mangku. Ia menilai, Pasamuan III MDP telah disepakati tahun 2010, namun, mengapa sosialisasinya belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Perlu dipikirkan suatu strategi agar hasil keputusan ini sampai ke akar rumput di masyarakat, terutama tokoh adat sehingga diskriminasi terhadap perempuan bisa diminimalkan. Bulan Agustus dan September 2011, ia berencana akan turun ke desa-desa. Program ini melibatkan LSM, perguruan tinggi dan desa pakraman. Masalah utama yang digaungkan adalah sampah. Namun, akan dimasukkan juga sosialisasi masalah adat.
Sudantra mengakui, keterlambatan sosialisasi ini sampai ke akar rumput salah satu disebabkan karena kekurangan dana. “Yang penting sudah ada dasar terlebih dahulu,” ujarnya. Namun, ia berharap, dengan sistem getok tular, dan dimulai dari gerakan di Tabanan, pembagian buklet buku Kias dan LBH APIK dapat membantu sosialisasi.
Menurut Budawati, banyak proposal yang diajukan LBH APIK Bali, namun, belum ada respon dari pemerintah. Tapi ia bersama teman-teman LSM tidak patah semangat. Saat sosialisasi dari 10 yang diundang, 5 orang yang hadir baginya sudah cukup. Paling tidak, perempuan sudah berani berbicara ini masalahnya.
Ketua MDP Tabanan Ketut Suartanayasa mengatakan, Tabanan memiliki 346 desa pakraman. MDP Tabanan baru menyosialisasikan hasil Pasamuan Agung III MUDP ini ke 150 desa pakraman. Sosialisasi dilakukan dengan pelatihan kader pendidikan budaya tentang gender. Sasarannya ibu-ibu PKK. Dua desa yakni Penebel dan Kediri menjadi pilot project tentang pendidikan gender. Ia berharap, pendidikan gender dimasukkan ke dalam dunia pendidikan melalui bidang studi dan ektrakurikuler agar generasi muda dan sekeha teruna-teruni faham apa perannya di masyarakat. Hal ini untuk menghilangkan ketakutan anak –anak muda tentang adat.

Desa Setara
Budawati mengatakan, LBH APIK Bali menjadikan Desa Kekeran, Ds. Penatahan, Penebel Tabanan sebagai model desa setara. Desa Kekeran telah memberi contoh berjalannya rasa keadilan dan kesetaraan. Tidak saja awig-awignya yang mendukung, tapi tokoh adat juga berperan. Perkawinan pada gelahang berjalan dengan baik. Perkawinan nyentana menjadi hal biasa. Bagi perempuan berkasta yang menikah dengan laki-laki biasa tidak pernah melakukan ritual patiwangi.
Menurut Ketua MDP Tabanan Suartanayasa, kemampuan tokoh adat Desa kekeran telah menjadi contoh dapat mempengaruhi masyarakat. Itulah yang disebut pemimpin atau penglisir. Awig-awig harus diperbaiki agar mengacu pada UUD 1945, Pancasila dan HAM. Awig-awig bisa disempurnakan lewat pararem.
Menurut Ketut Suwandra, S.Ag yang sudah 20 tahun mengurusi adat di Desa Kekeran mengatakan, kalau ada perkawinan yang bermasalah selalu dimulai dengan rembug keluarga. Tujuannya, mencari solusi demi kebaikan bersama-sama karena semua memiliki hak. Selalu ditekankan kesepakatan. Adat ini diterima secara turun temurun, dimana para leluhur sudah memberi contoh dan turunannya hidup rukun dan damai.
Sampai sekarang, kata dia, belum pernah ada masalah sampai terjadi perceraian apalagi sampai anaknya tidak diakui. Disinilah pentingnya pemahaman tiap pasangan dan keluarga. “Biasanya, kalau buntu, kami sebagai tokoh adapt memberi umpan balik. Kalau bapak atau ibu memunyai kasus seperti ini, bagaimana perasaannya. Tolong andaikan pada diri sendiri. Inilah yang biasanya kami jadikan dasar,” ujarnya. Kalau memang perlu surat keterangan, adat siap membantu. Surat ditandatangani kedua mempelai, orangtua, perbekel dan dibubuhi meterai. Sampai saat ini, perkawinan berjalan lancar sampai turun temurun.

Tidak Ada Komando Bersama
Abdul Hamim Jauzie dari Federasi LBH APIK Indonesia mengatakan, Kias Komunitas untuk Indonesia yang adil dan setara merupakan jaringan masyarakat yang bertujuan menghapus praktik diskriminasi dan kekerasan perempuan yang didasarkan atas tafsir agama, adat dan budaya. Menurutnya, selama ini gerakan penghapusan diskriminasi perempuan kelemahannya tidak ada komando bersama. Kias lahir dengan mengandeng 17 lembaga di Indonesia. LBH APIK Bali dipilih sebagai simpul gerakan di Bali. KIAS dan LBH APIK Bali sudah menerbitkan buku yang berjudul “Payung Adat untuk Perempuan Bali”. –ast

Koran Tokoh, Edisi 649, 26 Juni 2011

Sabtu, 25 Juni 2011

Pancasila

Pengingkaran terhadap jati diri bangsa yang plural sudah makin tampak. Indikasinya, munculnya prilaku sosial yang cenderung dilandasi ikatan primodial, seperti agama, suku, ras, dan kedaerahan. Menurut pengamat sosial politik Made Suantina ini akses dari diberlakukannya sistem pemerintahan daerah yang menganut faham atau asas otonomi yang seluas-luasnya.
Dosen Fisipol Univ. Warwadewa ini mengatakan, kita hampir lupa dalam praktik ketatanegaraan otonomi itu berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini harus dibedakan dengan faham liberalisme. Di negara federal, kata Suantina, beberapa negara yang merdeka kemudian mereka yang membentuk pemerintahan pusat. Sedangkan negara Indonesia berbeda. Negara besar merdeka terlebih dahulu, kemudian dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan an efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat dibentuklah pemerintah daerah. Keberadan pemerintah daerah jelas berada dalam payung naungan NKRI.

Kalau dikaitkan dnegan sejarah perjalanan bansa Indonesia, kita sudah pernah bersumpah dalam kebinekaan menjadi satu bangsa dan satu tanah air. Akumulasi semangat nilai kebangsaan tercermin dalam butir pancasila misalnya persatuan Indonesia. Semua sila yang terkandung di dalamnya menyatukan kebinekaan itu.

Kalau sekarang sudah terjadi pengingkaran isensi persatuan dan menonjolkan ikatan primodial ini merupakan dampak dari diterapkan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang sistem pemerintahan daerah yang menganut otonomi seluas-luasnya. Penyebab lain, ekses dari kesalahfahaman dari reformasi. Reformasi malah diartinya serba boleh. Apa yang dulu tidak boleh sekarang iartikan boleh itu kesannya. Sehingga rambu-rambu yang mengikat kita dalam NKRI banyak dilanggar. Kalau hal ini dibiarkan fatal akibatnya. , Apa yang dialami negara Uni Soviet bisa terjadi di Indonesia. Uni Soviet yang awalnya negara federal, sekarang pecah belah hancur lebur. Negara bagian berdiri sendiri. Kalau sampai negara satuan pecah, kita tidak utuh lagi sebagai bangsa.
Jati diri bangsa iNdonesia tercermin dalam nilai pancasila.
Kita tidak bisa mengikari ada gerakan seperti NII.

Dalam pandangannya, pemerintah tidak cukupsigap atau merespon terhadap persoalan ini. Gerakan ini sudah berhadapan dengan gerakan KNRI
Fenomen yang muncul di internal sendiri di pemerintahan baik itu eksekutif dan legislatif adanya prilaku yang bertentangan dengan prilaku kebangsaan nasionalisme, ikatan makin menyempit. Ironisnya, di zaman reformasi justru ikatan kedaaerahan yang muncul, misalnya bupati Tabanan merupakan putra kelahiran Tabanan, bupati Buleleng haruslah putra Buleleng. Di Bali karena dominan agama hindu calon bupati harus bergama hindu. Kalau saya mencalonkan diri menjadi anggota DPRD di Denpasar tidak diterima karena dianggap bukan putra Denpasar. Padahal, mungkin kalau saya mencalonkan diri di Denpasar , saya banyak teman dan network di Denpasar. Tapi Tidak laku dijual karena bukan putra daerah. Padahal kalau sesungguhnya, kita bicara KNRI, siapa saja boleh dicalonkan, yang masih dianggap bisa menyelamatkan garda NKRI.

Di era reformasi ini, kata Suantina, seharusnya kita lebih dewasa dalam menegakkan demokrasi. Syarat demokrasi adalah kesetaraan. Artinya, kemajuan demokrasi di Indonesia merupakan kemajuan yang semu.
Menurutnya, dalam mempertahankan keutuhan NKRI kita harus mereaktualiasasikan nilai pancasila itu ke seluruh komponen masyarakat.

Format orde baru seperti penataran P4 tidak hanya diberikan dalam dunia pendidikan, tapi sampai ke desa-desa lewat banjar agar masyarakat tidak lupa mempraktikkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya.
Jangan sampai menepuk dada pancasilais, tapi dalam praktiknya lebih liberal dengan warga negara liberal.
Apapun bentuk atau istilahnya, tidak mesti dalam bentuk penataran P4, misalnya doktrinasionalisme, pendidikan kebangsaan, penataran kewarganegaraan, yang jelas semua lapisan masyarakat harus didoktrinasi. Kalau hanya mengubah UU pendidikan, itu hanya menyasar dunia pendidikan. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak mengenyam bangku sekolah?

Yang saya lihat masih di tubuh TNI/POLRI saja yang menjaga kebinekaan tersebut. Gerakan emosional kebangsaan Indonesia berlawanan dengan gerakan zaman.
Gerakan zaman mengarah ke globalisasi, dimana batas –batas negara sudah rapuh. Artinya, orang sudah bicara dunia negara saya. Misalnya, capek menjadi warga negara Australia, dia bisa pindah ke Singapura.
Orang sudah berpikir seperti itu. Sedangkan di Indonesia makin mnyempit. Otonomi daerah, dan fanatisme suku. Yang perlu beradaptasi bukan Pancasilanya, tapi manusianya. Jangan Pancasila dibenturkan dengan keinginan egois kita. Amandemen UUD 45 sudah kebablasan. Sudah 4 kali diamandemenkan malah sudah tidak dijiwai roh pancasila. Dengan dihapuskan DPA, dengan dibentukkan lembaga baru DPD itu sama saja dengan semangat liberal. Lucunya, di satu sisi kita sudah sepakat negara kesatuan, tapi kita malah menpraktikkan negara federal. Tatanan terdahulu yang dibuat pendiri negara kita kembali kepada UUD 45 yang murni sebelum diamandemenkan. Bila perlu, buatkan UU khusus tentang doktrin ideologi nasional. Agar semua lapisan masyarakat mengetahui Pancasila sebagai idelologi negara. –ast

Koran Tokoh, Edisi 645, 29 Mei 2011

Rabu, 10 November 2010

Paola dan Gobind Ungkapkan Pengalaman Spritualnya

SALAH seorang praktisi yoga asal Italia yang bekerja di India Paola Clodoveo menyatakan, suatu kebanggaan dapat menimba ilmu dari pakar yoga di Bali. Perempuan usia 52 tahun ini kebetulan berada di Ubud selama sebulan.
Ia menuturkan, awal mula ia tertarik yoga ketika berusia 20 tahun. Ia berkonsentrasi pada karma yoga. Waktu itu Paola belajar selama dua minggu di Lama Tzong Khapa Institute di Pomma Pisa, Italia. Kemudian ia menjalani vipassanna (silent meditation) seminggu di Ladak India.
Ia mengatakan, banyak manfaat diperoleh dengan bermeditasi. “Saya merasa lebih tenang, mampu lebih berkonsentrasi, dan lebih bersemangat,” tuturnya.
Kini ia rutin melakukan yoga tiap hari. Ia mengaku, yoga telah memberikan banyak energi dan spirit dalam menjalani rutinitasnya sebagai pekerja kemanusiaan untuk perempuan dan anak di India.

Masalah Kita Ego
Praktisi Yoga Gobind menuturkan, ada suatu pengalaman spiritual yang mengantarkannya akhirnya menekuni meditasi. Gobind pernah merasakan dirinya meninggal. Setelah itu, ia banyak membaca buku spiritual dan mulai bergerilya mencari guru spiritual. Akhirnya ia menemukan jawabannya. Daripada susah mengubah pikiran lebih baik mengubah gerakan. Kemudian ia mulai fokus bermeditasi.
Ia menyadari, dalam kehidupan, kita sebenarnya tidak memunyai masalah dengan dunia luar. Masalah kita adalah ego kita sendiri. “Manfaat yoga adalah menimbulkan kesadaran pada diri kita bahwa saya, kamu dan kalian adalah sama yakni satu badan. Apa pun masalah itu, ada dalam diri kita,” ujarnya. –ast

Bali dan Peru Miliki Sinar Spiritual Tinggi


PENEKUN meditasi usadha Merta Ada mengatakan, orang Bali sepatutnya bersyukur bertempat tinggal di Bali. Energi magma bumi bersilangan di bawah pulau Bali. Ini merupakan pertemuan luar biasa antara energi positif dan negatif. “Kalau kita ingin menjadi tenang dan mencapai moksa, Bali tempatnya. Beberapa ahli spiritual dunia menemukan dua tempat yang diyakini memiliki sinar spiritual tinggi yakni Bali dan satu tempat di sebuah danau di Peru,” ujarnya.
Ia menyatakan, ada empat unsur alam yakni air yang bersifat mengurai dan melekat, tanah bisa dirasakan berat atau ringan, kasar atau halus, keras atau lembut, api dirasakan bagai panas atau dingin, dan angin terasa kembang kempis. Keempat unsur ini membentuk komponen tubuh kita. Ia memberi contoh, buah purna jiwa. Sifatnya panas yang mampu menguatkan pikiran. Orang yang memakan buah purna jiwa diyakini menjadi sangat berwibawa. Orang yang mencapai semadi, mampu melihat aura.

Dengan mata terpejam ia dapat melihatnya. Dengan belajar spiritual, kita bisa melihat dari yang halus. Materi terbentuk dari atma dan jiwa kita. Ilmu modern hanya melihat jiwa kasar. Padahal, untuk mencapai spiritual yang tinggi perlu keseimbangan lahir dan batin. Saat bersembahyang pikiran kita bersih. Namun, setelah itu kembali kotor karena karma dan jnana yoga belum dipraktikkan. Apalagi kita mampu menyempurnakan dengan raja yoga, maka moksa akan dapat dicapai.

Yoga Mudah Dipelajari
Pelajaran kanda pat kini tidak sulit lagi dipelajari. Dr. Gede Kamajaya yang membawakan materi tantra yoga mengupasnya dengan gamblang. Yoga ini mudah dipelajari bahkan oleh orang sibuk sekalipun. Ia mendapatkan ilmu ini dengan belajar dari para tetua di Nusa Penida tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Ia ramu menjadi pelatihan yang praktis dan mudah diikuti.
Pada prinsipnya, tantra yoga merupakan pencapaian semua yoga, untuk kesehatan dan kedamaian batin. Tantra menunjukkan usaha keras dalam mentransformasikan kehidupan dari bentuk yang kasar menuju persatuan dengan Tuhan dengan kesadaran tanpa batas yakni suatu keadaan melampaui ikatan-ikatan relativitas. Tantra pada dasarnya merupakan cara meditasi praktis dengan prinsip yang positif.

Meditasi Angka
Prabu Darmayasa mengungkapkan, tiap orang memiliki cinta kasih spiritual terhadap sesama. Tetapi, jika tidak awas maka perbedaan-perbedaan lahiriah seperti suku, warna kulit, tinggi-rendah atau kaya-miskin di masyarakat, akan menghancurkan cinta kasih spiritual tersebut.
Lewat pelatihan yoga dan meditasi akan tercapai kesehatan, ketenangan, kesadaran diri, konsentrasi lebih baik, kemantapan batiniah, pemikiran positif, dan kebangkitan spiritual.
Materi meditasi angka yang diberikan bertujuan untuk membangkitkan tenaga kundalini demi terwujudnya cinta kasih spiritual di dalam hati setiap insan Tuhan di dunia. –ast

Selasa, 09 November 2010

Konsep Yoga Saling Mencintai

SEHARI-HARI kita sudah praktikkan yoga. Saling mencintai merupakan konsep yoga. Kita bisa belajar dari konsep jari tangan. Tetapi, mengapa sebagian orang Bali takut belajar yoga karena dianggap dapat membuat gila? Ada yang mencuri pratima, ada yang saling membunuh.

Di depan peserta Bali Yoga Festival 2010 di Ubud, Jumat (5/11), Ida Pedanda Made Gunung mengungkapkan, orang Bali sebenarnya sejak dulu sudah menerapkan konsep yoga dalam kehidupan sehari-hari. Istilah yoga kurang dikenal, padahal sudah dilakoni turun-temurun, mulai dari makan, berpakaian, tidur, termasuk terefleksikan dalam arsitektur rumah.
Ia mengungkapkan beberapa contoh. Saat makan dilarang menghadap ke selatan. Saat makan tidak boleh bicara. Sebelum makan harus berdoa dulu.
Arsitektur tradisional Bali juga menggunakan konsep yoga. Saat menghaturkan banten ke merajan, umat Hindu naik turun pelinggih. Ini sudah termasuk asana. Kemudian napas tersengal-sengal angkian ngansur itu termasuk pranayama.
Kita sering mengeluh, mengapa letak pura sulit dicari. Saat menapaki pura yang letaknya di atas gunung, napas kita tersengal-sengal. Ini implementasi terjadinya hubungan manusia dan lingkungan. Kita berterima kasih kepada tumbuh-tumbuhan di sepanjang perjalanan. Paru-paru menjadi dingin dan sejuk. Sesampai di pura, kita merasa `plong dan melupakan yang lain, hanya memikirkan Tuhan. Setelah menenangkan diri, sampai di pelantaran pura terdengar suara binatang dan suara genta yang indah dari pemangku. Kemudian umat bersembahyang dan nunas tirta, dan terakhir menikmati lungsuran.
Kita mengatakan tidak tahu yoga, padahal sudah mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua lini kehidupan kita dipenuhi konsep yoga. Artinya, orang Bali semuanya bersaudara. Namun, ia menyayangkan konsep yoga sudah tidak terpakai lagi ketika terjadi degradasi moral. Sudah ada orang Bali mencuri pratima, dan saling membunuh.
Ia menuturkan, bhakti pada Tuhan, cinta sesama, dan kasih pada semua makhluk hidup merupakan konsep yoga. Namun, sebagian orang Bali sudah kehilangan rasa cinta, kasih, dan rasa sayang sehingga semuanya dianggap musuh.
”Sebagian orang Bali takut belajar yoga karena dianggap dapat membuat gila. Padahal, di dunia ini banyak kegilaan: gila perempuan, gila judi, juga gila materi. Dengan belajar yoga kita memang menjadi gila. Namun, gila untuk mencintai Tuhan dan kebenaran,” ujarnya.
Ia menegaskan, yoga bukan hanya terbatas pada gerakan. Seperti tukang sapu sudah melakukan gerakan yoga dan meditasi. Dengan kesabarannya ia membersihkan sampah yang terus-menerus jatuh dan melaksanakan kewajibannya. “Lagu de ngaden awak bisa menjadi cermin konsep yoga untuk mensyukuri segala sesuatu yang kita dapatkan. Menurunnya rasa cinta pada Tuhan, karena kita tidak paham Tuhan itu berada di mana. Tuhan itu apa yang engkau lihat dan apa yang engkau rasakan. Tuhan ada di mana-mana, memenuhi alam semesta, menciptakan semuanya dan ada dalam ciptaan-Nya,” paparnya.
Ia menegaskan, saling mencintai merupakan konsep yoga. Kita dapat belajar dari konsep jari tangan. Mulai dari ibu jari, telunjuk, jari tengah, jari manis hingga telunjuk memunyai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kalau salah satunya tidak ada, kita tidak akan mampu melakukan sesuatu secara sempurna. Yoga merupakan gabungan olah badan dan olah pikiran menyatu menjadi satu keindahan.
Menurut Ida Pedanda Gunung, ada tingkatan belajar yoga di Bali. Awalnya senang belajar yoga. Kemudian akan melewati tahap-tahap mulai dari ego, samara, dan sunia.
Awalnya, kenal yoga dan tahu sedikit, egonya mulai muncul. Kemudian merasakan samara, ada murid perempuan mulai ada perhatian. Misalnya mengucapkan, “Kamu cantik pakai baju itu”, meskipun dalam hati. Kita memang akan melewati fase ini. Terakhir melewati sunia artinya semuanya indah.
Ketika dipukul orang lain sampai kepala kita benjol, kita tidak melakukan apa-apa. Ada yang mengatakan itu tindakan bodoh. Namun, itulah seorang spiritualis. Apakah Anda bisa bersikap seperti itu? Jika bisa, tingkatan sunia sudah Anda capai. Artinya, yoga menimbulkan kesadaran, kesehatan jasmani dan rohani, dan kebahagiaan serta kedamaian bagi umat manusia. –ast

Gaungkan Kedamaian ke Seluruh Dunia

Jadikan 5 November Hari Yoga Nasional. BALI Yoga Festival 2010 berlangsung di Museum Rudana, Ubud. Ide ini muncul dari sekelompok orang yang menamakan diri seka demen Bali yang sangat mencintai Bali. Tema “Energy from Nature” diangkat atas saran Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Peserta Bali Yoga Festival 2010 dari berbagai kalangan, mulai dari praktisi yoga, masyarakat umum, mahasiswa, hingga pelajar, tanpa dipungut biaya. Ketua Panitia Made Suardewi berharap, Bali Yoga Festival 2010 dapat memberi kedamaian lahir dan batin bagi masyarakat Bali, Indonesia, dan dunia.
Bali Yoga Festival 2010 diisi kegiatan pencerahan dan edukasi yang disampaikan para yogi yang sudah dikenal dan dikagumi masyarakat Bali, di tingkat nasional, dan internasional seperti Ida Pedanda Made Gunung, Merta Ada, dr. Gede Kamajaya, Kadek Suambara, Prabu Dharmayasa, dan Ida Pandita Nabe Ratu Bagus. Festival juga diisi kegiatan mencetak telapak tangan para yogi di batu, dan penanaman pohon Budhhis bersama Gubernur Bali Mangku Pastika.
Pemilik Museum Rudana Nyoman Rudana berharap, momentum ini dapat menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan dunia, dan akan dikenang serta dilaksanakan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
Ia berharap, gagasan Presiden Direktur Museum Rudana Putu Supadma Rudana menjadikan tanggal 5 November sebagai hari yoga nasional dapat dijadikan cikal bakal para yogi mendoakan bumi agar selamat. “Melalui yoga kita mohonkan agar beban para korban bencana nasional menjadi lebih berkurang, dan tidak ada bencana menerpa bumi,” ujarnya. Ia menegaskan, peringatan hari yoga bukan untuk berfoya-foya tetapi sebagai pengingat agar kita lebih mendoakan bumi. Para yogi diyakini memiliki kekuatan yang lebih dari manusia biasa.

Gubernur Bali menyambut baik kegiatan Bali Yoga Festival 2010. Hal itu selaras dengan pernyataannya dalam simakrama (30/10) di Wantilan DPRD Bali, ketika seorang penanya Made Sudana meminta Gubernur memberi bantuan Rp 1 juta untuk tokoh yang suka yoga semadi untuk memperdalam yoga.
Gubernur Bali menanggapinya dengan mengatakan, banyak orang asing datang belajar yoga. Bahkan, 70% buku yoga ditulis orang asing. Ia ingin ada yoga yang khusus dikembangkan di Bali yang memiliki ciri khas Bali.
Gubernur mengharapkan, ke depan pariwisata Bali dikenal sebagai pariwisata budaya yang salah satu motivasinya turis datang ingin belajar yoga. Apalagi banyak pakar yoga di Bali. Dengan ditunjang lingkungan bersih, makanan sehat dan organik akan terwujud green province.
Ia mengharapkan Bali Yoga Festival 2010 dapat membangun sumber daya manusia yang sehat dan kompetitif sekaligus bersemangat, dan dapat menyelaraskan kearifan lokal. “Kita hendaknya mampu memaknai berbagai bentuk yoga dalam konsep holistik, untuk membangun integritas diri mewujudkan keharmonisan tatanan masyarakat Bali,” tandas Gubernur Bali.
Ia mengatakan, ada tiga kekuatan yang sering dilupakan, yakni mental, moral, dan nilai kebersamaan. Ketiga kekuatan ini merupakan landasan universal. Ia mengajak para pencinta yoga mampu mengembangkan nilai universal dan menyinergikan kearifan lokal dengan nilai modern. -ast

Minggu, 24 Oktober 2010

Terobosan Majelis Utama Desa Pakraman Bali

Mengakomodasikan Kepentingan Perempuan

BERBAGAI terobosan telah ditempuh Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali dalam Pasamuhan Agung III yang digelar Jumat (15/10) di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali. Beberapa keputusan yang dihasilkan telah mengakomodasikan kepentingan perempuan.
Keputusan tersebut di antaranya, diberinya hak waris bagi perempuan yang ninggal kedaton dan dimungkinkannya berlangsung perkawinan pada gelahang. Mengenai perceraian Pasamuhan memutuskan, tiap rencana perceraian wajib disampaikan kepada prajuru banjar dan desa pakraman. Perceraian harus diselesaikan dengan proses adat kemudian dilanjutkan di pengadilan negeri. Setelah perceraian, anak dapat diasuh ibunya.Kalangan aktivis perempuan di Bali menyatakan, keputusan Pasumahan tersebut perlu dijadikan acuan desa prakraram di kabupatan/kota di seluruh Bali.

Sejak tahun 2006, MDP Bali telah menempatkan 7 orang perempuan duduk dalam kepengurusannya. Tujuannya, kepentingan kaum perempuan lebih diperjuangkan. Tujuh perempuan tersebut, Nyoman Nilawati, A.A.A. Ngr. Tini Rusmini Gorda, Dra. Ida Ayu Tari Puspa, M.Ag, M.Pd., Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, Dr. Ni Made Wiratini, Luh Putu Anggreni, S.H. dan Dra. Ketut Sri Kusumawardani, M.Pd. Sistem kekeluargaan patrinial di Bali dikenal dengan kapurusan yang menyebabkan hanya keturunan yang berstatus kapurusa yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) keluarga, baik hubungan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu) maupun palemahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu).Konsekuensinya, hanya keturunan yang berstatus kapurusa (laki-laki) yang berhak mendapat harta warisan sementara keturunan yang berstatus pradana (perempuan) tidak berhak. Perempuan dianggap tidak dapat meneruskan swadharma sehingga disamakan dengan orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga atau ninggal kedaton.
Namun, kenyataannya di masyarakat, ada orang yang ninggal kadaton terbatas masih dimungkinkan melaksanakan tanggung jawab sebagai umat Hindu dalam batas tertentu. Kepala Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (BP3A) Provinsi Bali Luh Putu Haryani, S.E., M.M. meminta MDP Bali menjabarkan lebih mendetail ninggal kedaton. “Kami berharap tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Dengan adanya keputusan hitam di atas putih yang menegaskan anak perempuan juga memunyai hak, para orangtua akan merasa tenang, dan nyaman,” ujarnya. MDP Bali memutuskan, yang dikategorikan ninggal kadaton penuh apabila tidak lagi memeluk agama Hindu. Mereka, tidak berhak mendapat harta warisan. Mereka yang ninggal kadaton terbatas masih dimungkinkan mendapat harta warisan didasarkan asas ategen asuwun (dua berbanding satu). Artinya, orang yang berstatus purusa berhak atas satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal kadaton terbatas berhak atas setengahnya. Disebutkan, mereka yang tergolong ninggal kedaton terbatas, perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa, laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana/nyeburin, telah diangkat anak/peras sentana sesuai agama Hindu, dan menyerahkan diri atas kemauan sendiri.

Harta WarisanKedudukan suami istri serta anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya:1. Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya memunyai kedudukan sama dalam usaha menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan kepada anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan in materiil. 2. Suami dan istrinya memunyai kedudukan sama terhadap harta gunakaya atau harta yang diperoleh selama masa status perkawinan.3. Atas kesepakatan suami dan istrinya, harta gunakaya dapat dibagikan kepada anak-anaknya sesudah dikurangi sepertiga sebagai harta bersama dan bukan dimiliki anak pertama atau terakhir yang melanjutkan tanggung jawab orangtuanya.
Anak kandung laki-laki dan perempuan yang belum kawin serta anak angkat laki-laki dan perempuan yang belum kawin, memunyai kedudukan sama atas harta gunakaya orangtuanya. Anak yang ninggal kadaton penuh, tidak berhak atas harta warisan, tetapi dapat diberi bekal oleh orangtuanya dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris.

Kawin Pada Gelahang Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan yakni perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana (suami berstatus pradana dan menjadi bagian keluarga istri). Namun, masalah muncul ketika masing-masing keluarga memiliki anak tunggal. Mereka ngotot tidak mau memilih melakukan perkawinan biasa atau nyentana. Dekan Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Putu Dyatmikawati, S.H. M.Hum. mengatakan, perkawinan pada gelahang sudah dilakukan sejak tahun 1945. Ada yang menyebut magelar warang atau metegen dadua.Mereka yang memilih model perkawinan seperti ini ada yang menggunakan pola upacara perkawinan biasa atau nyentana. Ada juga yang menggabungkan keduanya. Kita tidak boleh menutup mata, di Bali ada upacara seperti ini. Dalam akta perkawinan tercatat sesuai dengan pola perkawinan biasa. Jika direkomendasikan, ke depan perlu ada pedoman pelaksanaan perkawinan pada gelahang.Intinya, kata Dyatmikawati, perkawinan pada gelahang merupakan solusi bagi orangtua yang memunyai anak tunggal dan juga memberi penghargaan kepada wanita.
Dosen Fakultas Hukum Unud yang juga Ketua Litbang MDP Bali Prof. Dr. Wayan P. Windia menegaskan, tidak semua orang nasibnya sama. Ada orangtua yang hanya dikaruniai satu anak. Kebetulan juga calon pasangannya anak tunggal. Perkawinan pada gelahang merupakan solusinya. Ini bukan masalah setuju atau tidak. Namun, perlu pemahaman. Dari kasus yang sudah diteliti, setelah mereka memunyai anak, istri biasanya memutuskan tetap di rumah suaminya. “Pengadilan pun mengakui di Bali ada perkawinan pada gelahang,” ujarnya. Gede Dastra salah seorang peserta diskusi dari Karangasem menanyakan, paham apa yang dianut; bukankah Bali menganut patrinial. Ketut Sudantra dari MDP Bali menegaskan, ini hanya menawarkan solusi. Hukum adat Bali tetap menganut paham patrinial. “Ini sifatnya sangat darurat dan untuk mencegah terjadinya masalah. Jangan sampai karena tidak mau nyentana batal kawin,” ujarnya.
Mas Rucitawati menambahkan, ini masalah cinta, yang berhubungan dengan hati. Tidak bisa dipaksa harus kawin satu soroh. “Kalau sudah ada kesepakatan, itu yang penting,” kata sastrawati Bali ini. Dyatmikawati menambahkan, karena ini baru, perlu dimengerti umat. Perkawinan ini sudah ada sejak dulu. Kalau sudah disetujui dimasukkan dalam keputusan ini jangan ditambah lagi dengan aturan/awig-awig di masing-masing desa pakraman. “Lebih baik selesaikan masalah dengan cara sederhana. Yang penting kesepakatan. Kalau sudah sepakat, yang lain mengikuti saja,’ ujarnya. Budawati dari LBH APIK Bali berharap, solusi perkawinan pada gelahang hendaknya disikapi dengan bijaksana, karena di lapangan sudah banyak warga yang melakukan hal ini. “Jangan sampai menghalangi proses cinta,” kata Budawati. Setelah melewati perdebatan yang alot, MDP Bali memutuskan, bagi calon pengantin yang karena keadaan tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana) dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.

Anak Diasuh IbunyaSebelum berlaku UU Perkawinan UU No 1 Tahun 1974 perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali disaksikan pajuru banjar atau desa pakraman dan agama Hindu.Sesudah berlaku UU Perkawinan, umat Hindu di Bali yang melangsungkan perkawinan dapat dikatakan sah, apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali agama Hindu dan UU Perkawinan. Sementara, perceraian baru dapat dkatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan UU Perkawinan. Hal ini, tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan. Tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu, akibatnya, ada warga yang telah bercerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan tetapi tidak diketahui sebagian besar warga desa adatnya.Kenyatan ini, membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma krama desa bersangkutan.Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan,
Pesamuhan Agung III MDP Bali tahun 2010 ini memutuskan :1. Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian wajib menyampaikan kehendak itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. 2. Prajuru banjar atau desa pakraman wajib memberi nasihat untuk mencegah terjadi perceraian.3. Apabila terjadi perceraian harus diselesaikan dengan proses adat kemudian dilanjutkan di pengadilan negeri.4. Menyampaikan salinan putusan/akta perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman.5. Pada saat bersamaan prajuru banjar menyarankan kepada warga yang telah bercerai agar melaksanakan upacara perceraian sesuai agama Hindu.6. Mengumumkan dalam paruman banjar bahwa pasutri bersangkutan telah bercerai secara sah menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri tersebut di banjar/desa pakraman setelah bercerai.

Dalam perkawinan biasa sederajat dan berbeda wangsa/kasta akibatnya berbeda jika terjadi perceraian. Untuk sederajat, istri kembali ke rumah daha. Ketut Sudantra menegaskan perkawinan nyerod sudah dihapus sehingga jika terjadi perceraian tidak ada lagi upacara pati wangi. Pada perkawinan nyeburin atau nyentana, apabila terjadi perceraian suami kembali ke rumah truna.Setelah perceraian, anak dapat diasuh ibunya, dan tidak memutuskan hubungan dengan keluarga purusa dan anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa, walaupun diasuh ibunya.
Keputusan yang dihasilkan dalam Paruman III MDP Bali ini cukup melegakan aktivis perempuan yang hadir dalam paruman tersebut. Ketua LBH APIK Bali Budawati menyatakan cukup lega terhadap keputusan MDP Bali ini. “Sekarang tinggal disosialisasikan ke masing-masing desa pakraman. Kita lihat sekarang apa kekurangan dan kelemahannya dalam penerapannya di lapangan. Kami akan terus memantau,” jelasnya. Luh Anggreni yang juga Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Bali menyatakan keputusan yang dihasilkan MDP Bali sudah sensitif gender. Dari dulu sudah diperjuangkan agar perempuan bisa duduk dalam kepengurusan MDP Bali. “Ini menjadi contoh bagi desa pakraman, perempuan perlu diajak duduk bersama untuk mendengar persoalan yang dialami perempuan,” ujarnya.
Ia berharap, keputusan MDP Bali ini dapat dijadikan acuan bagi desa pakraman kabupaten/kota di seluruh Bali. Walaupun disesuaikan dengan desa, kala, patra, tetapi tetap menempatkan kedudukan perempuan dan laki-laki sejajar.Berbagai terobosan lain juga sudah dilakukan MDP Bali dengan mengajak generasi muda Hindu yang tergabung dalam KMHDI untuk ikut duduk dalam kepengurusan MDP Bali. “Ini bagus karena jangan sampai setelah dewasa baru mereka memahami adat Bali. Sepatutnya generasi muda mereka diberi pemahaman sejak dini agar lebih mengerti adat Bali dengan benar,” kata Anggreni. Ibu Teladan se-Bali 2008 Nyoman Nilawati menyatakan, perempuan dalam ajaran agama Hindu sangat dimuliakan. Ia berharap, perempuan lebih diberi ruang dan kesempatan untuk ikut lebih banyak terlibat dalam kegiatan adat, tidak hanya ikut dalam pelaksanaan, tetapi mulai dari perencanaan, dan ikut urun saran dalam pengambilan keputusan. Secara pribadi para perempuan banyak yang sukses, namun, terkait masalah adat, terkadang suara mereka belum didengar. Untuk itu, dengan duduknya para perempuan di MDP Bali, ia berharap, berbagai persoalan perempuan lebih bisa diperjuangkan. –ast
Koran Tokoh, Edisi 516, 17 s.d 24 Oktober 2010

Sabtu, 28 Agustus 2010

Rayakan HUT ke-65 RI dengan Coret Pipi Merah Putih

Tu Niang, begitu ia biasa disapa. Perempuan usia 56 tahun ini penjual makanan tradisional Bali seperti tipat cantok, rujak, tahu petis, nasi betutu, dan es daluman di salah satu areal supermarket di Kuta. Ada yang unik dari penampilan Ida Ayu Puspa, nama lengkap perempuan asal Desa Sandakan Petang, Badung ini. Selain menggunakan pakaian adat Bali setiap hari, ia juga menyasak rambutnya sangat tinggi. Dalam rangka perayaan HUT ke-65 Republik Indonesia, Tu Niang tak tanggung-tanggung, mencoreng pipinya dengan make up dan membentuk dua garis warna merah dan putih. Dandanannya ini tentu saja menarik perhatian wisatawan asing atau orang yang datang mengunjungi pameran di depan pantai Legian, tempat Tu Niang berjualan sore itu.

Nama Tu Niang, sangat terkenal di Sanur dan Kuta. Selain dandanannya yang unik, ia sering menggunakan sepeda motor untuk mengangkat barang dagangannya dari rumahnya di Sanur menuju tempat pameran. “Dimana saja ada pameran, saya pasti ada. Di Art Centre, Gajah Mada Festival, Sanur Festival, ataupun Kuta Kanival,” ujarnya. Untuk menyasak tinggi rambutnya, Tu Niang hanya membutuhkan waktu 5 menit. Ia mengaku tidak terbeban dengan dandanannya itu. Malah, ia mengaku itu ciri khasnya.


Ada kisah unik yang dituturkan perempuan yang hanya tamat kelas III SD ini. Suatu ketika, ia sedang membawa barang dagangannya dengan sepeda motor melewati jalan Simpang Siur Dewa Ruci Kuta. Tanpa disadari, barang dagangannya jatuh. Ia tidak menyadarinya. Tu Niang melihat ke belakang, banyak orang berteriak. Tu Niang ikut berhenti dan sibuk melihat apa yang dikerumuni di tempat itu. Ia tak menyangka semua barang dagangannya jatuh. Malah ia sibuk berkumat-kamit kebingungan mencari tahu siapa yang punya barang tersebut. Ketika hendak menuju sepeda motornya, ia kaget, keranjangnya tidak ada. “Ternyata itu keranjang saya yang jatuh,” ujarnya sembari tertawa.

Begitulah Tu Niang, ia tidak pernah merasakan letih lesu dalam menjalankan usahanya. Walaupun harus berkali-kali mengangkat barang dagangannya dengan sepeda motor.
Mengenang perjuangannya yang sejak kecil hidup susah, tak terasa air mata Tu Niang menetes. Berkali-kali, ia menyeka air matanya dengan tisunya.
Ia menuturkan, saking miskinnya, ia rela dijadikan istri keempat. Ia merasakan hidupnya sangat susah. Ia tidak diterima di keluarga suaminya. Namun, Tu Niang tetap optimis, suatu saat kesuksesan akan diraihnya. Dari hasil berjualan makanan, ia menghidupi kebutuhan keempat anaknya. Selain berjualan makanan, Tu Niang juga piawai membuat penjor dan gebogan. Waktu pembukaan Hotel Hilton Nusa Dua, Tu Niang mendapat pesanan 143 penjor.

Sambil membawa contoh gebongan, Tu Niang masuk dari satu hotel ke hotel. Permintaan pun mulai membanjir, dari hotel di lingkungan Nusa Dua seperti Pertamina Cotagges, Grand Hyat Bali, dan Putri Bali.
Dari hasilnya, ini Tu Niang mampu menyekolahkan keempat anaknya hingga sudah tamat SMA dan bekerja. Yang paling bungsu, sering membantunya di warung saat ada pameran.

Disukai Turis Asing
Makanan buatan Tu Niang, sangat disukai turis asing. Salah satu pengunjung pameran Lorenso asal Argentina mengaku sangat menyukai tipat cantok. Di hotel, ia pernah mencicipi gado-gado. Menurutnya, gado-gado hampir mirip dengan tipat cantok. Selain mencoba, tipat cantok ia tertarik mencoba rujak buatan Tu Niang. Namun, ia mengaku tidak terlalu suka rujak karena pedas. Sekadar mencoba saja, tapi tidak berani banyak,” ujarnya sembari menyisakan di piringnya.
Pertama kali pengunjung pameran datang yang sebagian besar turis asing, nama Tu Niang, begitu dikenal. Makanan tradisional Bali menjadi incaran para tamu. Bukan hanya menyajikan makanan, Tu Niang juga memperkenalkan hari itu merupakan HUT ke-65 Republik Indonesia dengan bahasa Inggris yang fasih.–ast

Sudah dimuat di koran Tokoh, edisi 606, 22 s.d 28 Agustus 2010