Kamis, 24 September 2009

Pesta Kejutan di Hari Ulang Tahun

Kombes Pol. Drs. Gde Sugianyar Dwi Putra S.H., M.Si.
dengan Lina Meidevita ( 3-Habis)

Setelah 26 tahun meninggalkan kampung halaman, Gede kembali pulang ke Bali. Desember 2008, ia dipercaya menjabat Kabid Humas Polda Bali. Lelaki murah senyum ini menuturkan kedekatannya dengan para wartawan sejak bertugas di Jakarta sangat membantu tugasnya membina komunikasi yang baik antara polisi dan masyarakat. “Sosok polisi memang harus tegas tapi tidak galak. Polisi seyogyanya memiliki paduan sifat humanis dan ketegasan,” ujar Gde. Ia berpandangan ukuran keberhasilan polisi bukan seberapa besar kemampuan dan kepiawaiannya mengungkap suatu kasus kejahatan melainkan bagaimana keberadaan dan kedekatannya bisa dirasakan masyarakat

Citra polisi yang masih menjadi momok di masyarakat sangat ingin diubahnya.
Ia menilai polisi bukan hanya sebagai penegak hukum tapi juga sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi hendaknya dekat dengan masyarakat. Polisi perlu pengetahuan komunikasi efektif agar dapat mengatasi konflik di masyarakat. Untuk mewujudkan ini, Gde menerapkan sistem pemolisian masyarakat.

Saat Gde bertugas di Balikpapan, ada kasus demo besar-besaran yang dilakukan para nelayan di Desa Manggar. Mereka mengancam menduduki kilang minyak pertamina. Para nelayan ini mencegat dan melempar bom molotov kapal tanker yg merapat ke teluk Balikpapan. Hal ini dipicu karena para nelayan tidak dapat melaut dengan dibatasinya jatah minyak tanah oleh Pertamina. Demo ini sangat membahayakan objek vital nasional karena kilang minyak di Balikpapan, menyuplai 25 % kebutuhan BBM nasional untuk kawasan Indonesia Timur. Gde dengan proaktif mendatangi dan berkomunikasi dengan para nelayan. Mereka dicarikan solusi yang terbaik. Gde yang saat itu sebagai Kapolresta Balikpapan berperan sebagai mediator dengan pihak pertamina. Demo anarkis tidak jadi dilaksanakan dan polisi pun mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Kasus kedua yang terjadi, kata Gde, perkelahian antar dua kelompok beda etnis di satu kampung. Kasus dipicu akibat salah faham anak muda yang berakibat pengrusakan rumah dan tawuran menggunakan senjata tajam. Terjadi korban luka berat. “Saya datangi langsung kedua belah pihak yang bertikai di rumahnya masing-masing. Mereka didamaikan melalui proses komunikasi yang intensif. Syukurlah berhasil dan tidak meluas ke SARA,” ujar lelaki asal Pandak Gede Tabanan ini.

Ia menilai pemolisian masyarakat dapat diterapkan dalam semua segi. Ketika Gde bertugas sebagai Kasubdit Min Regident Polda Kaltim pelayanan yang paling dikeluhkan adalah rumitnya pembuatan STNK dan calo yang berkeliaran. Gde segera melakukan pembenahan. Calo ditertibkan dan pengurusan samsat tidak berbelit-belit. Masyarakat dilayani dengan baik dengan waktu yang singkat. Samsat Balikpapan meraih penghargaan Citra Pelayanan Prima tahun 2006 dan kehoromatan dikunjungi Menteri Taufik Effendi karena Kaltim menjadi pilot project di bidang pelayanan publik. Kantor samsat Balikpapan menjadi rujukan dalam pelayanan dan dikunjungi beberapa wilayah Riau, Kateng, Sulut, Jogja dan seluruh Polres yang ada di Kaltim.
Gde memperoleh pin emas dari Kapolda Balikpapan Joshua Sitompul sebagai personal berprestasi. Tak lama kemudian dia ditunjuk langsung sebagai Kapolresta Balikpapan. Gde diharapkan membenahi pelayanan publik di Mapolresta Balikpapan dalam rangka mewujudkan kedekatan dengan masyarakat dan membangun trust building.

Bukan hanya dalam tugas polisi, Gde memunyai kiat khusus. Urusan pribadi pun Gde punya resep jitu menjaga keutuhan rumahtangganya. “Selesaikan konflik secara terbuka. Simpan rahasia antar suami istri sebisa mungkin. Konflik yang terjadi jangan sampai dicium anak-anak. Suami istri harus mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing dan berupaya memberi yang terbaik untuk keluarga,” tutur Gde.
Kiat Gde yang lain, tak pernah melupakan ulangtahun istri dan anak-anaknya. Gde selalu mengingat saat-saat indah itu dan terkadang memberi pesta kejutan. Satu momen yang paling berkesan baginya, saat perayaan ulangtahun istrinya Lina Meidevita ke-38. Saat itu Gde menjabat Kapolresta Balikpapan.
Gde dan keempat putra-putrinya membuat pesta kejutan untuk Lina. Perempuan kelahiran Solo 31 Mei 1969 itu mendapat undangan menghadiri pesta kuliner bertempat di salah satu restoran dekat pantai. Lina mengajak Gde dan anak-anaknya. Namun, Gde memunyai alasan lain. Ia dan anak-anak akan menyusulnya. Akhirnya Lina datang ke pesta itu bersama beberapa temannya. Lina tidak mengetahui, Gde dan keempat buah hatinya sedang membuat pesta kejutan untuknya. Tiba-tiba saat pesta berlangsung, lampu mati. Muncul secercah sinar dari pantai dan Gde muncul dari laut dengan naik speed boat. Sambil membawa setangkai bunga mawar, Gde langsung menyanyikan satu lagu romantis milik Delon yang berjudul “Karena Cinta”.

Lina terkejut karena sedikitpun ia tidak menyangka Gde dan anak-anaknya memberi kejutan di hari ulangtahunnya. Malah, menurut Lina, ia mengira Gde lupa ulangtahunnya. Dari para tamu yang hadir tampak kedua orangtua Gde yang sengaja datang dari Bali. Begitu juga om dan tante Lina turut hadir. Mereka sebelumnya diungsikan terlebih dahulu di hotel agar tidak ketahuan Lina. Sesaat kemudian, muncul keempat putra-putrinya sambil membawa kue ulangtahun. Perayaan ulangtahun Lina ke-38 penuh dengan suasana haru. Sambil meneteskan air mata Lina menerima ucapan selamat dari keluarga dekatnya dan teman-temannya. “Itu momen yang paling berkesan dalam hidup saya,” tutur Lina.
Saat akhirnya, Gde harus dipindahtugaskan ke Bali, ia sempat khawatir. Walaupun di sisi lain ia mengaku senang dapat pulang ke kampung halaman. “Anak-anak tidak fasih bahasa Bali. Mereka perlu penyesuaian lagi,” ujar Gde.

Namun, melihat kebanggaan istri dan putra-putrinya bisa pulang ke Bali, Gde merasa mantap. Putra sulungnya Gde Wirawibawa Eka Putra saat ini tercatat sebagai mahasiswa ITB jurusan teknik Sipil. Cita-cita Gde yang kandas jadi insinyur akhirnya diteruskan putranya. Gde merasa bangga, Wirawibawa termasuk anak yang berprestasi. Usia 16 tahun ia sudah menamatkan SMAnya, dan masuk kelas percepatan. Putri kedua dan ketiga Made Ayu Gina siswi kelas II SMAN 1 Denpasar dan Nyoman Tri Yuliani SMA 1 Denpasar. Putri keempat Ketut Kanya Paramitha Devita siswi kelas 6 SD Cipta Dharma Denpasar. Untuk memantapkan ketiga putrinya, mereka dikursuskan privat bahasa Bali. Awal-awal mereka sempat merasa bingung, tapi lama-kelamaan mereka dapat bersosialisasi dengan baik. Saat upacara agama di kampung asalnya Desa Pandak Gede Tabanan, mereka selalu pulang. Kesempatan ini digunakan Gde untuk mendekatkan keluarganya dengan keluarga besarnya.

Menurut Gde, sejak kepindahan mereka di Bali, saat libur mereka lebih banyak menghabiskan waktu ke pantai. “Pantai dan wisata alam menjadi favorit kami. Sekalian mencari objek pemotretan,” ujar lelaki yang selalu menghabiskan waktu senggangnya bersama keluarga ini. Perwira berbintang melati tiga ini mengaku, sejak di Bali, ia memunyai lebih banyak waktu bersama keluarganya. Berbagai kegiatan yang diselenggarakan di Bali, tak luput dari perhatian Gde bersama keluarganya. Perlombaan layang-layang saat Sanur Festival, menjadi daya tarik bagi Gde. Berbagai koleksi foto jepretan Gde terekam manis dalam album keluarganya. –ast

Sabtu, 12 September 2009

Alunan Nada Cinta Bangkitkan Kemesraan

Kombes Pol. Drs. Gde Sugianyar Dwi Putra S.H., M.Si.
dengan Lina Meidevita ( 2)

MENGISI kemesraan dengan seni fotografi, kiat Gde menjaga keharmonisan keluarganya. Kemana pun ia pergi kamera dan handycam selalu menjadi teman setianya. Setiap momen bersama istri tercinta selalu diabadikannya. Tak kalah dengan para calon pasutri yang melakukan pemotretan prawedding, pasangan ini memiliki banyak koleksi foto yang penuh kenangan indah. Perwira berpangkat melati tiga ini menuturkan saat berselisih faham, kenangan manis dalam foto itu mampu meredakan suasana. Mantan Kapolresta Balikpapan ini lebih suka menunjukkan sikap romantisnya mengalunkan tembang cinta untuk Lina Meidevita yang kesehariannya lebih memilih mengurus anak dan aktif di organisasi Bayangkari ini.

Setelah menikah Lina memantapkan diri untuk tidak bekerja dan menikmati tugasnya sebagai seorang istri dan ibu. Awal menikah, Gde mengaku Lina sempat protes karena ia sering pulang larut malam. Gde tak menampik ada kesalahfahaman di antara mereka. “Maklum masih penyesuaian,” tutur Gde saat ditemui di kantor Humas Polda Bali. Namun, dengan berjalannya waktu, Lina mulai dapat menerima konsekuensinya sebagai istri polisi yang menjadi abdi masyarakat.
Setelah menikah Gde bertugas sebagai Kasatlantas Polres Sleman Jawa Tengah. Lahirlah anak pertama mereka Gde Wirawibawa Eka Putra. Kemudian Gde pindah tugas ke Polres Banyumas Polda Jateng. Kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan lahirnya putri kedua dan ketiga Made Ayu Gina dan Nyoman Tri Yuliani.
Tinggal di asrama menjadi suatu berkah bagi Gde. Gde justru menilai kehidupan di asrama telah membentuk pendewasaan diri anak-anaknya. Ia menilai tinggal di asrama lebih nyaman. Selain dekat dengan kantor, ia merasa lebih aman bisa melihat anak-anaknya kapan saja. “Bertengkar sesama anak asrama itu biasa. Saya anggap sebagai pembelajaran pendewasaan diri buat anak-anak,” ujar tamatan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini. Tuhan memberikah hadiah yang terindah kelulusan Gde dengan lahirnya putri bungsu mereka Ketut Kanya Paramitha Devita.

Saat menjabat sebagai Wakil Kepala Satuan Patroli Pengawalan Ditlantas Polda Metro Jaya, hari-harinya selalu di jalanan. Tiap hari Gde bertugas mengamankan jalan protokol Jalan Sudirman –Jalan Thamrin yang sering dilewati presiden, pejabat negara dan tamu kenegaraan. Gde harus berangkat subuh saat anak-anaknya masih terlelap. “Saat berangkat anak-anak masih tidur. Saat saya pulang anak-anak sudah tidur. Saat bertugas komunikasi tetap berjalan dengan mereka. Awalnya mereka sering protes. Mereka minta pengganti waktu rekreasi bersama,” kata Kepala Sekolah Polisi Negeri Balikpapan tahun 2007-2008 ini.
Seiring perkembangan mereka, putra-putrinya mulai mengenyam pendidikan mereka disibukkan dengan urusan pelajaran. Namun, Gde tetap memantau perkembangan mereka. Menurut Gde, Lina sangat berperan besar dalam mendidik anak-anaknya. Lina selalu menemani putra-putrinya belajar. Urusan PR anak-anak menjadi rutinitas ibu yang suka bergaya di depan kamera ini.

Gde menyiasati kekurangan waktunya bersama keluarga dengan mengajak mereka berekreasi. Hari Sabtu atau Minggu mereka pergi ke objek wisata alam atau pantai. Dua lokasi ini menjadi favorit Gde. Kamera dan handycam selalu terkalung di leher lelaki yang menjadi pernah dipercaya menjadi Pembina Persiba ini. Gde mendalami fotografi secara otodidak. Hasil jepretan Gde tak kalah dengan fotografer profesional. “Hanya karena hobi,” aku Gde. Selain hobi motret, Gde juga suka dipotret. Saat dijepret, Gde langsung pasang gaya. “Dulu pengennya jadi model, tidak kesampaian,” ujarnya berkelakar. Tak kalah dengan para calon pasutri yang melakukan pemotretan prawedding, pasangan ini memiliki banyak koleksi foto yang penuh kenangan indah. Koleksi foto tertata apik dalam album keluarganya. Bahkan Gde juga meletakkan album spesial di sudut ruang kerjanya. Album cantik itu memuat banyak momen berkesan dengan istri tercinta. Gde mengaku, saat mereka berselisih faham, foto itu mampu membangkitkan kemesraan di antara mereka. Gde suka memberi kejutan kepada istrinya. Dalam alunan nada penuh cinta mengalun lagu “My Heart” untuk istri tercinta. “Ributnya batal,” resepnya dalam menjaga keharmonisan keluarga sembari tertawa.

Dalam keseharian dalam keluarganya, Gde lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi Gde sering berpindah tugas. Ia menilai mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Namun, saat hari raya keagamaan Gde bersama keluarga rutin melakukan persembahyangan di pura. Bertemu dengan sesama warga Hindu menjadi kebahagiaannya menjalin silaturahmi. “Anak-anak bisa lebih mengenal budaya dan adat Hindu walau mereka tidak tinggal di Bali,” paparnya.
Ketika ia diharuskan berpatroli dalam keadaan darurat, Gde tak kekurangan akal. Saat ia menjabat Kapuskodal Ops Polres Metro Jakarta Pusat banyak terjadi demonstrasi. Otomatis waktu Gde lebih banyak tersita di luar rumah. Gde memboyong seluruh keluarganya menginap di hotel. “Anggap saja rekreasi, tapi saya tetap bertugas. Istri dan anak-anak menikmatinya. Kami tetap menjalin komunikasi dengan baik walaupun saya sibuk,” ungkap Gde.
Situasi gawat karena banyak para demonstan membuat Gde harus tetap stand by di lapangan. Menurut Gde biasanya yang dicek keamanan Istana Negara, Kedubes AS, Bunderan HI, Jembatan Semanggi, atau kompleks Cendana. “Malam-malam koordinasi kegiatan persiapan pasukan. 1 kompi sampai 100 orang. Tergantung volume massanya berapa harus menurunkan jumlah pasukan. Saya selalu stand by dari pagi sudah siap di lapangan. Pukul 19.00 selesai demo baru bisa ke kantor. Pukul 10 malam baru bisa pulang,” ujar lelaki yang pernah menjabat Pembina Persiba Balikpapan ini.
Sebagai polisi Gde berusaha membagi waktunya sebagai abdi masyarakat dan keluarga. Bahkan tak jarang, hari-harinya dilalui di bawah pohon. Kehidupan itu membuatnya lebih dekat dengan para kuli tinta. Hal itu dirasakan Gde saat mulai bertugas di Polda Metro Jaya. Saking letihnya, mobil Gde tak jarang berhenti di bawah pohon sekadar beristirahat sejenak. Sejak itu ia sudah akrab dengan para wartawan. Dari sana ia belajar bagaimana pentingnya ilmu komunikasi bagi polisi. Ia tertarik mengambil program pasacasarjana Kajian Ilmu Kepolisian. Tesisnya berkaitan dengan komunikasi. –ast

Sudah dimuat Di Koran Tokoh, Edisi 556, 6 September 2009










Jumat, 11 September 2009

Gurame di Pondok Mina Amlapura

Jika Anda pergi ke kawasan Karangasem, ada dua pantai indah di sisi timur pulau Bali ini yakni Amed dan Tulamben. Kalau mau mampir makan, datang saja ke Pondok Mina yang berlamat Jalan Untung Surapati, Padangkerta Amlapura. Rumah makan milik I Wayan Darmika ini menyajikan menu unggulan aneka olahan ikan Gurame. Ada yang digoreng, dipepes, dipanggang, atau yang dibumbu asam manis. Semuanya dihidangkan dalam satu paket berisi nasi putih, plecing kangkung dan lalapan.

Kelebihan hidangan di rumah makan ini adalah semua bumbu hidangan diolah pada saat pesanan datang. Makanan yang tersaji terasa enak dan segar. Buka pukul 07 pagi hingga pukul 09.30 malam. Meski terkenal dengan menu Guramenya, tempat makan ini juga menyediakan menu lain bagi mereka yang lagi tak ingin menyantap Gurame. Menu-menu tersebut antara lain ayam goreng, ayam goreng asam manis, cap cay, dan nasi goreng.

Kamis (10/9) aku bersama teman-teman kantor mengadakan diskusi bersama para entrepreneur di sana. Setelah diskusi, kami disuguhkan hidangan pepes gurame. Hari itu banyak sekali pengunjung sampai kami harus menunggu datangnya pesanan. Padahal perut udah berbunyi keroncongan. Karena sudah dipesan oleh tuan rumah, kami menimati pepes gurame. walaupun aku tertarik dengan gurame goreng. (wakakakkakak maunya yachhhh.....). Jika bingung mau mencari tempat makan di Karangasem, boleh dicoba rumah makan ini. rasanya lumayannnnnnnn enakkkkkkkkkk

Jumat, 04 September 2009

Jatuh Cinta Gara-gara Tilang

Kombes Pol Drs. Gde Sugianyar Dwi Putra S.H., M.Si.
dengan Lina Meidevita (Bagian 1)

Polisi identik dengan sosok yang galak. Namun, lelaki kelahiran Gianyar 14 September 1964 ini sangat jauh dari kesan itu. Murah senyum dan sikap penuh keakraban terlihat jelas dalam diri Kabid Humas Polda Bali yang menjabat sejak Desember 2008 ini. Bahkan, lantaran sikapnya yang simpatik, Lina Meidevita gadis kelahiran Solo 31 Mei 1969 ini, terpincut kepadanya. Kisah cinta mereka sangat unik karena dipertemukan gara-gara tilang. Gde begitu ia akrab disapa, berhasil memboyong gadis korban tilang ini menemani hidupnya hingga kini mereka dikarunia satu putra dan tiga putri ini. Bagaimana kisah pertemuan mereka?


Terlahir dari pasangan Wayan Wetra Kranya dengan Ni Nyoman Nurathi, Gde termasuk anak yang tidak suka berulah. Ia mengaku kehidupan masa kecilnya dilewati dengan kesederhanaan. Ibunya yang seorang guru selalu menerapkan disiplin keras kepadanya. Waktu senggangnya selalu diisi dengan belajar. Tak heran Gde selalu juara di sekolah. “Buku selalu menjadi teman saya,” ujar anak kedua dari empat bersuadara ini. Selain belajar Gde menyukai olahraga terutama sepakbola. Sejak SMA Gde dipercaya menjadi kiper Persegi Yunior.
Hingga ia menamatkan pendidikannya di SMAN 1 Gianyar, Gde selalu juara. Gde tertarik melanjutkan pendidikan ke Teknik Sipil Unud. Namun, ketika ia sudah diterima, Gde malah membatalkan niatnya menjadi insinyur. Mendengar ada penerimaan taruna AKABRI, Gde tertarik. Sedikitpun ia tidak berkeinginan menjadi polisi. Dalam benaknya terpikir, alangkah gagahnya menjadi perwira TNI AD. Waktu itu kepolisian masih bergabung dengan AKABRI. Setelah mengikuti psikotes, Gde diarahkan masuk ke Akademi Kepolisian (Akpol). Setelah empat tahun mengenyam pendidikan di Akpol Semarang, Gde ditempatkan di Solo. Dinas pertama ia menjabat Pamapta (sekarang Kepala Sentral Pelayanan Kepolisian) Polresta Surakarta Polda Jateng. Gde pun tidak pernah menduga, ia bertemu dengan tambatan hatinya di Solo.

Kisahnya sangat unik. Waktu itu, seorang gadis kelas III SMA melintas begitu saja di jalan raya tanpa menggunakan helm. Karuan saja, laju motor gadis itu dihentikan polisi yang sedang berjaga. Setelah turun dari motor, gadis yang bernama Lina Meidevita ini dintrogasi. Lina, begitu ia disapa, ditilang karena lalai menggunakan helm. Sebagai Kepala Sentral Pelayanan Kepolisian, Gde dipertemukan dengan Lina. Saat bertemu Lina, tamatan FH. Universitas Wijaya Kusuma Purwokerto ini langsung terpikat. Malah, dengan dalih Lina melakukan kesalahan, banyak pertanyaan yang diajukan kepada gadis berkulit putih itu.

Menurut Gde, Lina menjawab semua pertanyaan dengan polos. Saat itu, kata Gde, ia sudah mengagumi kecantikan gadis yang masih berseragam abu-abu itu. Lina tampaknya santai saja. Sedikitpun tidak tampak rasa takut kepada polisi yang menilangnya itu. “Dia mengaku salah dan meminta maaf,” ujar Gde sembari tersenyum simpul mengenang awal pertemuannya dengan istrinya itu. Walaupun tidak termasuk dalam introgasi, kesempatan itu dipergunakan Gde untuk mengorek banyak informasi dari Lina. Bahkan dari sana juga, ia tahu Lina belum memunyai pacar. Kesempatan itu tidak disia-siakan Gde. Setelah diintrogasi, Lina diberikan pembinaan dan diperbolehkan pulang. Namun, pertemuannya dengan Lina sangat membekas di hati Gde. “Zaman dulu belum ada HP seperti sekarang. Saya catat saja alamatnya. Besoknya saya main ke rumahnya,” tutur Gde dengan tawa lepas.


Keesokkan harinya, Gde bertandang ke rumah Lina. Lina ternyata sudah yatim piatu. Ia tinggal bersama tantenya. Berangkat dari kesamaan hidup sederhana, mereka tampaknya cocok satu sama lain. Karakter Gde yang dewasa membuat Lina memantapkan niatnya untuk memilih Gde menjadi tambatan hatinya walaupun mereka berbeda keyakinan. Gde beragama Hindu dan Lina beragama Islam. Namun, perjalanan cinta mereka tidaklah mulus seperti perkiraan semula. Keluarga besar Lina tampaknya tidak menyetujui hubungan dua sejoli berbeda keyakinan ini. Namun, Gde tak patah semangat. Hasratnya untuk segera memiliki Lina makin mengebu. Untuk menjauhkannya dari Gde, Lina sempat diboyong ke Jakarta dan tinggal di rumah sanak familinya di sana. Lina akan segera dijodohkan. Namun, Gde dan Lina tidak kekurangan akal. Lina tetap bisa menghubungi Gde di kantornya.

Ia bersikeras ingin balik ke Solo dan tidak mau dijodohkan. Setelah beberapa bulan di Jakarta, Lina tidak betah. Atas bantuan tantenya di Solo, Lina akhirnya bisa kembali pulang dan bertemu pujaan hatinya. Hari-hari dilalui kedua pasangan yang sempat terpisah beberapa bulan ini dengan penuh kemesraan. Gde pun mulai belajar mengenalkan Lina adat Hindu. Lina diajak ke Candi Ceto salah satu peninggalan Hindu di Karanganyar. Dengan meminjam mobil temannya, Gde mengisi hari liburnya menikmati suasana alam di objek wisata Jawa Tengah. “Sekali-kali, kami menghabiskan malam minggu dengan naik motor pergi ke bioskop,” tutur Magister Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia ini. Tidak ingin berlama-lama pacaran, setelah Lina menamatkan pendidikannya Gde segera memberanikan diri melamar Lina. Walaupun ada keluarga besar Lina tidak menyetujui, mereka tetap melanjutkan rencana semula. Gde mendapat dukungan dari tante dan om yang mengasuh Lina selama ini. Dukungan mereka membuat Gde dan Lina memantapkan diri untuk segera meresmikan hubungan dalam ikatan perkawinan. Tahun 1990 mereka menikah di Bali. -ast


Dimuat di Koran Tokoh, Edisi 555, 30 Agustus 2009