Minggu, 26 September 2010

Godok Manusia Kampus Berkarakter Satya Dharma

DUNIA pendidikan di Bali terjerat daya tarik watak industrialisasi global. Kata lain, wajah industrialis pendidikan cenderung mencolok. Cirinya dilukiskan melalui desakan kuat komersialisasi dunia pendidikan terhadap sumber daya sosial. Upaya mencetak manusia kampus berkarakter satya dharma terancam?

Wajah perempuan remaja itu bermuram durja. Impiannya menjadi dokter kandas di tengah jalan. Ijazah SMA yang dikantonginya tidak cukup mengantarkannya menyandang predikat mahasiswa fakultas kedokteran. Anak perempuan ini harus menyiapkan dana pendidikan puluhan juta rupiah untuk bisa mewujudkan impiannya menjadi mahasiswa di fakultas bergengsi itu. Ilustrasi itu dilukiskan cendekiawan muda Bali Dr. A.A.N. Oka Suryadinatha Gorda, S.E., M.M. “Sekarang ini tidak ada fakultas kedokteran di Indonesia yang menerima anak kuliahan yang hanya bisa bayar Rp 5 juta,” ujar Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Satya Dharma Singaraja itu saat memaparkan “College of Economics with Spiritual Insight” dalam diskusi Koran Tokoh berkerja sama dengan manajemen kampus yang dipimpinnya, Rabu (22/9), di Singaraja.

Pakar ekonomi lulusan Program Doktor Universitas Airlangga Surabaya ini tidak hanya mengangkat satu contoh itu. Oka Suryadinatha mensinyalir sejumlah kenyataan lain yang dilukiskannya sebagai kecenderungan praktik komersialisasi pendidikan modern di Bali khususnya. Menurutnya, ada sejumlah kenyataan di berbagai lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, yang cenderung menerjemahkan kalkulasi suplay and demand saat merekrut calon anak didiknya. “Kenyataan ini menyisakan pertanyaan besar bagi kita. Apakah dunia pendidikan kita masih komit untuk mendekatkan diri dengan masyarakatnya,” ujarnya.Implikasi dari mencoloknya orientasi komersialisasi pendidikan itu tidak main-main. Lulusan S2 IPB Bogor ini menunjukkan beberapa contoh nyata. Satu contoh yang diutarakannya berkaitan dengan perilaku manusia terdidik dalam berinteraksi sehari-hari. Khususnya praktik berinteraksi memakai produk komunikasi canggih, seperti handphone. “Ada orang yang cenderung membaca SMS bisnis ketimbang bersembahyang saat tiba waktu trisandya atau azan magrib. Ini musyrik, menduakan Tuhan,” jelasnya.Ada contoh lain yang dilukiskannya sebagai perilaku yang cenderung mengagungkan kekuasan duniawi ketimbang kekuasaan Tuhan. “Perilaku semacam ini merupakan penyakit yang sedang diderita manusia terdidik,” ujarnya.

Saat ini, manusia modern dinilainya bukan hanya mengidap penyakit fisik, juga penyakit batin. Jika seseorang menderita sakit fisik, terapinya ke dokter. Ada orang berduit bahkan rela terbang ke Singapura sekadar general check up kesehatannya. “Sakit fisik memang gampang diobati, terutama jika ada uang,” katanya. Namun, sakit fisik berbeda dengan sakit batin. Orang yang menderita sakit batin bisa menikmatinya. “Jika menderita sakit batin, dirinya sering tidak perlu obat. Sakit batin ini dinikmati melalui berbagai cara, seperti membohongi diri sendiri, menipu, bahkan korupsi menjadi hal lumrah,” ujarnya. Renungan panjang dilakukan Oka Suryadinatha. Ada beban moril yang dipikulnya sebagai salah seorang putra mendiang tokoh pendidikan Prof. Dr. I Gusti Ngurah Gorda, M.S., M.M.

Ayahnya semasa hidup dilukiskannya kerap risau mengamati kecenderungan komersialisasi dunia pendidikan modern. Kerisauan itu memancing Prof. Gorda dulu getol menularkan model pendidikan spiritualitas. Model pendidikan ini diterjemahkan melalui konsep satya dharma.Prof. Gorda mewujudkannya melalui praktik pembelajaran di kampus STIE Satya Dharma Singaraja. Kampus yang digagas kelahirannya oleh prof Gorda sebagai salah seorang pendiri dan mantan rektor Undiknas University itu, me-launching spirit pembelajaran ini 26 Desember 2009 melalui program School of Management with Spiritual Insight. Program ini bersalin kemasan belakangan menjadi College of Economics with Spiritual Insight.

Terobosan baru dilakukan lewat pengembangan optimal department accounting.“Saya memikul tanggung jawab moril untuk melanjutkan pejuangan beliau, khususnya menularkan konsep pendidikan spiritual ini,” ujarnya.Warisan konsep pendidikan satya dharma diteruskan Oka Suryadinatha dua tahun berselang meninggalnya Prof. Gorda. Ini makin dimatangkan saat dirinya memimpin Kampus STIE Satya Dharma Singaraja yang berada di bawah bendera Yayasan Pendidikan Ratyni Gorda. Konsep college of economics with spiritual insight atau sekolah berbasis spiritual menjadi dasar penguatan proses pembelajaran wirausaha anak didiknya. “Dalam mengelola pendidikan di kampus ini, kami ingin mendekatkan dunia pendidikan dengan masyarakat,” katanya.

Sebagai lembaga pendidikan ekonomi, STIE Satya Dharma mengencangkan komitmen untuk menggodok anak didik yang memiliki bekal wirausaha berwawasan spiritual (entrepreneur with spirituality). Komitmen ini makin kencang dijalankan lagi setelah STIE Satya Dharma mendapatkan dana hibah kewirausahaan. Dua kali dana hibah ini dikucurkan pemerintah untuk menggodok keterampilan wirausaha berwawasan spiritual anak didik kampus ini. Dana hibah yang telah diterima sebesar Rp 320 juta. Dana ini yang dikembangkan untuk menciptakan pengusaha berbasis spiritual.Beberapa konsep spiritual dimasukkan dalam mata kuliah, seperti manajemen sumber daya manusia, pemasaran, etika bisnis, manajemen stres, kepemimpinan, dan pemasaran. “Kami memulai dengan diskusi spiritual di kelas. Setelah itu diharapkan berkembang ke ranah publik yang ditularkan anak didik kami,” katanya.

Konsep tersebut menonjolkan ajaran satya dharma kepada sivitas akademikanya. Ajaran kultural ini menekankan perhatian terhadap mutu, kerja keras dan idealisme, kepuasan pengguna jasa, standar etika perilaku yang tinggi, dan tanggung jawab warga negara yang baik.Konsep itu cocok dengan standar kompetensi pendidikan berkarakter. Standar kompetensi tersebut berwujud penguatan iman dan takwa kepada Tuhan YME; akhlak mulia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan; berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri; kepekaaan dan kepedulian sosial; kerja sama dan gotong royong; hidup bersatu dalam keragaman; demokratis, bertanggung jawab, dan partisipatif; berorientasi hidup sehat, hemat, dan bersahaja.Konsep pendidikan satya dharma digenjot STIE Satya Dharma untuk mengimbangi derasnya praktik pendidikan berwajah industrialis komersial. Pendidian spiritual ini menjadi alternatif yang masuk akal untuk mencetak manusia kampus yang dekat dengan masyarakatnya. —ast

Jumat, 24 September 2010

Lebaran dengan Makanan Khas Bugis

BERSILATURAHMI pada hari Idulfitri sambil menikmati hidangan lebaran khas Bugis di rumah Haji M. Sabik menorehkan kesan khusus. Menurut penuturan istrinya, Hajjah Maisarah, ada makanan tertentu yang memang disajikan hanya saat Lebaran. Ketupat dan opor memang sudah menjadi tradisi menu Lebaran. Namun, penganan spesial kue Bugis tetap menjadi prioritas untuk disuguhkan saat Lebaran. Buras dan lepek-lepek, salah satunya. Ia mengatakan, kue khas Bugis ini sering dimodifikasikan di tempat lain sesuai selera yang membuatnya. “Cara membuatnya sama dengan kue lemper. Bedanya, bahan utamanya beras. Kue ini sangat cocok dijadikan bekal jika bepergian,” ujarnya.

Pembuatan buras sangat mudah. Hanya saat merebusnya, kata perempuan usia 69 tahun ini, membutuhkan waktu agak lama agar tidak mudah basi. Berikut pemaparan ibu 8 anak dan nenek 17 cucu ini.
Beras direndam dengan air sebentar. Kemudian dimasak bersama santan dan garam. Setelah menjadi nasi setengah matang, sisihkan. “Biasanya satu kilogram beras menggunakan santan dari setengah butir kelapa. Sisa kelapa diparut dan disangrai (saur) kemudian diulek,” jelasnya.
Siapkan bumbu buras yang terdiri atas semua bumbu genep Bali, kecuali kencur. Campur rajangan jahe, lengkuas, kunyit, bawang merah, bawang putih. Tambahkan sedikit merica, pala, kemiri, ketumbar, daun salam, daun jeruk, dan sedikit terasi. Semua bumbu diulek sampai halus, kemudian ditumis. Setelah setengah matang, masukkan daging sapi cincang. Masak sampai matang. Kemudian campur dengan saur tadi. Menurut Hj. Maisarah, fungsi saur untuk memberikan rasa gurih pada adonan isi.
Ambil daun pisang, taruh tiga sendok makan adonan buras. Taruh adonan isi di dalamnya. Bungkus seperti kue nagasari atau sumping yang berbentuk kotak. Ikat dengan tali agar tidak lepas. Kemudian rebus hingga 2-3 jam sampai matang. Setelah matang, lepaskan tali, dan siap disajikan.

Kue spesial lainnya, lepek-lepek yang disajikan dengan srikaja. Cara membuatnya, ketan dikukus, kemudian di-aru. Istilah orang Bugis di-bampah dengan santan. Kemudian dibungkus memanjang dengan daun janur. Bungkusannya menyerupai kue bantal khas Bali yang memanjang. Kukus selama 3 jam. Lepek-lepek dimakan bersama pasangannya, srikaja.
Cara membuat srikaja, satu gelas gula merah dan satu gelas telur ayam dicampur atau di-mixer sampai putih. Kemudian dikukus. Srikaja bentuknya lembek dan rasanya lembut. Lepek-lepek ditaruh di piring, kemudian di atasnya ditaruh potongan srikaja.
Ia menuturkan, kue spesial Bugis ini selain disajikan saat Lebaran juga disajikan saat upacara sunatan dan upacara bayi berusia selapan. Hj. Maisarah selalu mengerjakannya sendiri penganan khas Bugis ini, dan tidak pernah membeli. “Jarang, toko kue menjualnya,” katanya.

Lauk-pauk
Lauk-pauk khas Bugis yang disajikan saat Lebaran yakni kedonting dan coko ridi panggang manuk. Bentuk kedonting mirip semur daging. Bahan utamanya daging sapi. Semua bumbu genep Bali, kecuali kencur, dihaluskan. Khusus lengkuas/laos diberikan porsi yang lebih. Bagi yang suka pedas, biasanya ditambahkan sedikit cabe. Setelah semua bumbu halus, kemudian ditumis. Kelapa disangrai kemudian dihaluskan. Masukkan ke dalam bumbu tadi. Masukkan daging sapi yang sudah dipotong sesuai selera. Masak hingga dua jam sampai daging empuk.
Sedangkan coko ridi panggang manuk menyerupai nasi kuning yang dimakan bersama ayam panggang. Hanya bedanya, bahan utamanya ketan bukan beras.
Ketan dimasak menyerupai nasi kuning yakni di-bampah dengan santan dan ditambahkan garam, daun salam, dan daun jeruk. Masak hingga ketan matang. Seekor ayam setelah dibersihkan, dikeprak kemudian dipanggang. Beri bumbu genep Bali dengan tambahan kemiri yang lebih banyak. Bumbu genep yang sama dengan bumbu kedonting ditumis. Masukkan daging ayam tadi. Masak hingga mengkilat. terakhir beri perasan air jeruk limau untuk menambah aroma sedap.
Selain disajikan saat Lebaran, coko ridi panggang manuk disajikan saat upacara tujuh bulanan wanita hamil. Seorang dukun akan diundang ke rumah si wanita hamil, dan menyuapi wanita tersebut dengan makanan khas ini. Menurut Hj. Maisarah, fungsi upacara tersebut, untuk keselamatan si ibu dan jabang bayi yang akan dilahirkan. –ast

Koran Tokoh, Edisi 610, 22 s.d 29 September 2010

Minggu, 19 September 2010

Tidak Kentut lebih Bahaya Daripada tidak BAB

JANGAN remehkan buang angin alias kentut. Jangan sampai Anda tidak kentut seharian. Berhari-hari tidak kentut dapat mengakibatkan kematian. Korban meninggal karena banyaknya gas terkumpul di dalam perutnya. Sebagian sari makanan yang kita santap setelah melalui proses metabolisme dalam tubuh diserap melalui usus. Sebagian lagi diserap produk kerja fermentasi, kerja bakteri, atau enzim yang berbentuk gas. Gerakan peristaltik usus ini selalu mendorong segala isinya ke bawah. Gas ini tertumpuk dalam lumbung usus. ”Kalau kapasitasnya sudah banyak harus dikeluarkan. Inilah yang disebut flatus atau kentut,” ujar ahli Penyakit Dalam Prof. Nyoman Dwi Sutanegera, M.D. K


andungan gas dalam kentut antara lain berisi nitrogen, oksigen, metan, karbondioksida, hidrogen. Gas yang keluar dapat berbau menyengat akibat kandungan gas bergugus indol atau hidrosulfida (S-H) yang tercampur. ”Jika kentut ditahan, akan mengakibatkan perut makin kembung dan mulas, dan bau khasnya trercium makin busuk. Itu disebabkan akumulasi gas yang terus bertambah di dalam perut,” jelasnya. Ia mengatakan, makanan yang mengandung protein seperti telur dan daging memunyai peranan besar dalam memproduksi bau busuk kentut. ”Banyak makan karbohidrat relatif menyebabkan volume angin atau gas yang ditimbulkan lebih banyak. Contoh, ubi. Selain itu, ada beberapa obat yang dimakan seperti obat diabetes akarbose memiliki efek samping mengakibatkan pasien lebih banyak kentut,” paparnya. Namun, dalam kedaan tertentu, kata dia, proses gerakan peristaltik tidak berjalan baik akibat adanya sumbatan yang membuat kotoran menjadi keras atau suka makan-makanan yang keras atau sepet yang mengandung tanin seperti jambu biji mentah. Ini mengakibatkan susah buang air besar.Namun, kata Pemilik RS Sari Darma ini, ada juga kondisi yang serius menimbulkan sumbatan itu seperti tumor dalam usus. Makin lama usus itu terplontir sehingga terjadi gejala-gejala yang disebut ilius obstruktif. Gejala yang muncul tidak bisa kentut dan tidak bisa buang air besar. Perut terasa nyeri. Ia menjelaskan, angin harus dikeluarkan agar perut tidak menjadi kembung. Biasanya lewat pengobatan dengan dibuatkan pipa usus untuk mengeluarkan gas yang menumpuk tersebut. Jika tidak, tiap kali usus bergerak dan peristaltik meningkat, perut terasa sakit. Akibat pergerakan itu, kata dia, sel di permukaan usus mengalami peradangan dan mengeluarkan banyak cairan. Tiap ada penyumbatan pasti ada peradangan dan cairan banyak keluar ke dinding usus. ”Ini yang bisa menyebabkan kematian karena dehidrasi. Selain kehilangan cairan, mineral elektrolit dalam tubuh juga ikut tergerus. Tensi sudah tidak terukur, jantung bisa terkena dan bisa shock,” kata Prof. Dwi.




Ia menambahkan, penyebab lainnya gangguan saraf dan gangguan kalium. ”Seseorang karena penyebab tertentu menderita kadar kalium darah menurun diakibatkan gangguan ginjal. Muntah hebat karena diare mengakibatkan kadar kalium rendah. Ususnya kembung, tidak bisa kentut. Cairan menumpuk di saluran cerna,” katanya. Biasanya dokter mencari penyebab tidak bisa kentut terlebih dahulu. Apakah suara usus terdengar atau tidak. Apakah perutnya terasa keras sampai terdengar suara-suara. Bagi orang yang badannya kurus dapat dilihat gerakan ususnya. Ia mengatakan, pengobatan biasanya dilakukan lewat operasi untuk membuka sumbatan. Tidak jarang di sekitar tempat tersumbat, ususnya sudah mati. Biasanya usus dipotong dan disambung kembali. Dengan mengobati penyakit dasar, biasanya pasien bisa kentut lagi.



Sehabis Operasi Bagi pasien yang menjalani operasi besar biasanya mereka disarankan kentut terlebih dahulu sebelum minum sesuatu. Prof. Dwi menegaskan, ini erat kaitannya dengan obat bius yang digunakan. ”Kalau saluran cernanya belum bagus, jika pasien minum bisa menimbulkan batuk. Akan terjadi aspirasi saluran napas. Terjadi infeksi saluran paru dan fatalnya dapat mengakibatkan kematian. Biasanya setelah menjalani operasi, dokter pasti bertanya apakah pasien sudah kentut atau belum,” katanya.Ia menambahkan, sepanjang saluran masih terbuka dan tidak ada sumbatan, walaupun tidak bisa buang air besar (BAB), angin tetap bisa keluar. ”Lebih berbahaya tidak kentut dibandingkan tidak buang air besar,” ujarnya.BAB dianjurkan tiap hari. Ada juga yang punya kebiasaan dua atau tiga hari sekali. Selama mampu mengeluarkan kentut, tidak terjadi masalah. Santaplah makanan kaya serat agar tidak sulit BAB. Namun, kata dia, jangan sampai tidak kentut seharian. ”Karena malu akhirnya kentut ditahan. Lebih baik minta izin ke kamar mandi untuk mengeluarkan kentut. Kentut memang menimbulkan bau karena sisa pembakaran gas. Baunya yang khas tergantung makanan yang disantap,” kata Prof. Dwi. –ast


Koran Tokoh, 610, 19 s.d 25 September 2010





Jumat, 17 September 2010

Ibu-ibu PKK Main Bola

Bola Ditendang ke Depan Lari ke Belakang

IBU-IBU anggota PKK pun sekarang bermain sepak bola. Inilah cara yang dilakukan ibu-ibu PKK Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan, dalam rangka memeriahkan peringatan HUT ke-65 Republik Indonesia baru-baru ini. Pertandingan sepak bola tersebut diikuti 10 banjar yang ada di Desa Beraban.
Ketua Panitia Peringatan Hari Nasional Desa Beraban Ketut Sunarwa, S.T. mengungkapkan dalam dua tahun terakhir acara peringatan HUT RI melibatkan seluruh warga masyarakat berjalan santai. Kali ini, kata karyawan Bali Nirwana Resort ini, para ibu PKK memberi ide. Mereka ingin menampilkan sesuatu yang berbeda dan unik yakni pertandingan sepak bola perempuan. “Ternyata sambutan warga masyarakat sangat luar biasa,” ujarnya. Begitu antusias ibu-ibu, selain berlatih di lapangan umum Desa Beraban, juga ada yang berlatih di pantai Tanah Lot.

Sunarwa mengatakan, peraturan pertandingan dibuat longgar. Jika biasanya pemain sepak bola 11 orang, sepak bola perempuan ini 15 pemain. Antusias penonton pun luar biasa. Apalagi Bupati Tabanan Eka Wiryastuti berkenan hadir membuka acara tersebut. Mulai dari anak kecil sampai orang tua memadati lapangan umum Desa Beraban.
Jepun Club yang diusung Banjar Beraban berhasil menjadi juara I mengalahkan tim Banjar Dukuh dalam final. Tim ini dilatih Ketut Muliarta dan Nyoman Sentra, yang keduanya pemain sepak bola Werdhi Sesana Beraban Tabanan.

Kadek Ariani, istri Kepala Dusun Banjar Beraban I Nyoman Sukajaya, turut memperkuat tim Jepun Club. Menghadapi pertandingan, mereka berlatih seminggu tiga kali, pukul 16.00 sampai 19.00. Sukajaya yang selalu mendampingi timnya saat berlatih sering dibuat tertawa terbahak-bahak melihat ulah para ibu PKK bermain sepak bola. ”Cara menendang bola salah. Bola yang ditendang ke depan, malah lari ke belakang,” tuturnya. Namun, Sukajaya memberikan salut. ”Saat bertanding, pemain sepak bola perempuan sangat sportif. Saat mereka berhadapan dengan lawan di lapangan dan berebut bola, tak tampak rasa permusuhan. Mereka malah saling tos,” ujarnya.

Tidak pernah Mimpi
Hobinya berolahraga membuat Nengah Budi Astiti langsung setuju ketika dipilih memperkuat Jepun Club. Ibu rumah tangga usia 40 tahun ini waktu di SMA, suka bermain bola voli dan lompat jauh. Tugas Budi Astiti dalam Jepun Club sebagai back.
Sebagai pemanasan dalam berlatih, pemain diharuskan berlari keliling lapangan dua kali. ”Lumayan capek. Waktu pertama berlatih kaki rasanya sakit luar biasa. Tetapi, lama kelamaan jadi terbiasa,” tuturnya.
Sementara itu, Kadek Ariani, ibu dua anak yang sehari-hari bekerja sebagai penjual nasi ini menyatakan tidak pernah mimpi menjadi pemain sepak bola. Ia mendapat tugas sebagai penyerang. ”Memang, saya suka senam aerobik. Tetapi, bermain sepak bola tidak pernah,” akunya. Setelah tiga kali berlatih, ia mengaku baru bisa mengenali teknik pertandingan. Perempuan usia 35 tahun ini mengaku baru bisa mengoper bola setelah berlatih berkali-kali. Tetapi, menurutnya, kesukaannya bersenam aerobik menjadi modal napasnya tidak ngos-ngosan saat di lapangan.
I Nyoman Sukajaya menuturkan, kalau memang bisa eksis, ia ingin terus mengembangkan kegiatan tim Jepun Club ini. –ast

Koran Tokoh, Edisi 609

Selasa, 14 September 2010

Senang Sepak Bola tetapi Minta Gratis

CABANG olahraga sepak bola belum mampu dijadikan lahan pekerjaan yang menjanjikan. Sangat berbeda dengan di luar negeri, sepak bola sudah dikembangkan secara profesional. Atlet sepak bola juga sudah dibina sejak dini, sehingga prestasinya maksimal. Demikian diungkapkan Ketua Umum KONI Bali Made Nariana.
Pembibitan atlet sejak dini khususnya di Bali belum maksimal dilakukan karena kurangnya sarana dan prasarana. Padahal, Bali memiliki banyak potensi olahraga yang bisa diunggulkan. Olahraga unggulan Bali saat ini, menembak, kempo, biliar, atletik, yudo, angkat besi, pencak silat, golf, karate, voli pantai, bermotor, tarung derajat dan panjat tebing. Ia menilai, selama ini prestasi lebih banyak didapatkan dari cabang perseorangan. Sedangkan nomor beregu seperti sepak bola atau tenis meja masih lemah.

Ia menilai, banyak orang yang senang sepak bola, tetapi ketika menonton mereka ingin gratis. “Semestinya, masyarakat ikut memikirkan kemajuan sepak bola dengan cara ikut memberikan bantuan, terutama perusahaan swasta ikut memberi dukungan dana,” kata Nariana. Ia mengakui, pengembangan sepak bola membutuhkan dana besar. Sekolah sepak bola membutuhkan lapangan untuk bewrlatih, sedangkan lapangan masih minim. Perlu perhatian lebih pemerintah untuk melakukan perbaikan sarana dan prasarana olahraga, terutama cabang unggulan.

Sejak tahun 2008, pemerintah sudah memberikan perhatian khusus kepada atlet berprestasi. Ada tiga kriteria yang dipersyaratkan yakni meraih medali emas dalam PON, meraih medali emas, perak, perunggu dalam kejuaraan dunia atau sea games.
Pemprov. Bali juga lewat KONI Bali sejak tahun 2009 juga memberikan dana tali kasih kepada atlet yang berhasil meraih emas dan pelatihnya di PON. Mereka berhak mendapatkan dana stimulus Rp 1 juta per bulan sampai PON berikutnya. Tahun 2010, Menpora berencana memberi hadiah rumah kepada atlet dan pelatih berprestasi. “Karena ini ruang lingkupnya seluruh Indonesia tentu didata dulu siapa yang berhak. Ada enam atlet sudah disurvei di Bali, tetapi keputusan yang berhak untuk menerimanya belum turun,” kata Nariana. Ia mengimbau induk organisasi agar lebih memberikan kesempatan kepada atlet asli Bali. “Hanya kebanggaan semu membeli atlet luar. Lebih baik kita bina atlet putra-putri Bali,” tandas Nariana. —ast

Koran Tokoh, Edisi 610, 12 s.d 19 September 2010

Denpasar Minim Sarana-Prasarana Olahraga

SARANA dan prasarana sepak bola di Kota Denpasar masih minim. Hadirnya Stadion Sepak Bola Kompyang Sujana belum menjamin terjadinya peningkatan prestasi sepak bola warga Kota Denpasar. Prestasi cabang olahraga ini memang belum berbuat banyak di ajang kompetisi besar. Hal ini ditegaskan Ketua Harian KONI Denpasar Drs. Nyoman Mardika, M.Si. Menurut Mardika, penyediaan sarana dan prasarana olahraga di Kota Denpasar belum maksimal. “Sepak bola masih mendingan karena punya stadion, cabang olahraga lain malah belum memiliki lapangan,” ujar pria yang juga dosen Universitas Warwadewa Denpasar itu.

GOR Kompyang Sujana tidak hanya digunakan untuk berlatih sepak bola. Cabang olahraga lainnya juga sering memanfaatkanya untuk berlatih seperti atletik, panahan, tenis, dan bola voli. Stadion tersebut tak jarang juga dimanfaatkan untuk menggelar kegiatan sosial pemerintah dan masyarakat. GOR Kompyang Sujana disewakan untuk masyarakat umum dengan tarif Rp 500 ribu - Rp 1 Juta sekali pakai. Klub sepak bola yang berlatih dikenai sewa Rp 125 ribu per jam. Untuk pertandingan Rp 150 ribu per jam. Mardika yang juga berprofesi sebagai wartawan ini mengatakan, KONI Denpasar hanya melaksanakan administrasi penyewaan, sedangkan uang sewa disetor ke Pemkot Denpasar, karena biaya perawatan lapangan ditanggung pemerintah.
Untuk biaya perawatan lapangan berkisar Rp 30 juta per tahun. Biaya ini mencakup air untuk menyiram lapangan, pemeliharaan dan pencukuran rumput, pemeliharaan mesin rumput, dan pernambahan pasir ketika lapangan berlubang. Kalau ada kerusakan parah biasanya diperbaiki Dinas PU Kota Denpasar. Uang sewa lapangan, kata Mardika, belum mampu menutupi biaya pemeliharaan lapangan sehingga subsidi pemerintah masih terus diperlukan.

Ia mengakui, Denpasar memang belum memiliki sarana dan prasarana lengkap untuk semua bidang olah raga. Renang masih berlatih di Blahkiuh. Belum lagi minimnya fasilitas untuk menggembleng atlet panahan dan gate ball. Ia menegaskan, sulitnya atlet Denpasar mencapai prestasi puncak karena tidak ada dukungan sponsor yang membantu kegiatan. “Saat ini masih mengandalkan bantuan pemerintah,” ujarnya. Olahraga unggulan Kota Denpasar ke tingkat nasional selancar dan pencak silat. Sedangkan unggulan di daerah atletik, senam, tenis meja dan renang. Untuk pembibitan atlet sejak dini, kata dia, dipantau dari Porsenijar. “Atlet yang menjadi juara masuk prioritas,” jelasnya.

Klub-klub sepak bola memang sudah memiliki sekolah sepak bola untuk pembibitan atlet sejak dini. Namun, sekarang yang masih menjadi kendala lapangan tempat berlatih. Pemerintah daerah memberikan anggraan paling besar pada cabang olahraga sepak bola Rp 800 juta lewat KONI. “Namun, biaya untuk sekali kompetisi dan kegiatan bisa menghabiskan ratusan juta rupiah. Di sinilah kelemahan mengapa kita belum mampu mencapai prestasi puncak,” tandas Mardika. —ast

Koran Tokoh, Edisi 610, 12 s.d 19 September 2010

Senin, 13 September 2010

Perbakin Gagas Program 1000 Pelajar

Diah dan Pramita Petembak Andalan Bali.

Doorrrrrrrr……………! Suara tembakan menakutkan bagi sebagian besar orang termasuk kaum perempuan. Namun, bagi kedua perempuan cantik ini senapan bukanlah barang yang menakutkan. Memegang senapan dan melakukan tembakan, membuat mereka merasa bangga dan lebih gagah. “Ada suatu keasyikan tersendiri ketika menembak,” tutur I Gusti Agung Diah Pramesti, salah seorang atlet petembak Bali.
Awal mulanya ia mengaku takut mendengar suara tembakan. Namun, lama-kelamaan, setelah makin digeluti, ia menjadi tertantang. Bagi istri Cok. Gede Putra Tri Andayana ini, menembak memberikan banyak manfaat secara emosional. Ia mengaku menjadi lebih tenang, sabar dan dapat mengontrol emosi. “Karena, kalau saya menembak memerlukan konsentrasi tinggi dan fokus untuk mengenai sasaran,” ujarnya. Selain itu, kata Diah, sangat penting melatih pernapasan dan menjaga stamina. Semua persyaratan secara fisik itu sudah dipenuhi Diah. Sebelum menekuni dunia menembak, Diah merupakan atlet renang. Olahraga renang ditekuninya sejak kelas 5 SD.
Ketika masuk SMP Negeri Semarapura, Klungkung, ia tertarik mencoba ikut kegiatan ekstrakurikuler menembak di sekolahnya. Pembinanya, alm. Hj. Yusuf dan A.A. Sayang yang merupakan pengurus Perbakin (Persatuan Menembak Indonesia) Cabang Klungkung. Program 1000 pelajar yang digagas Perbakin Bali memang dikhususkan menyasar siswa untuk mencari atlet muda berprestasi di seluruh Bali.
“Awal mula hanya iseng mencoba menembak, tetapi kok jadi ketagihan,” tutur staf Disdikpora Prov. Bali ini. Cukup lama ia melakukan penyesuaian. “Sekitar 2 tahun, saya menyesuaikan diri agar lebih memahami senapan. Caranya, dengan biasa memegangnya dan membersihkannya dengan mengelap, agar perasaan takut dan degdegan hilang,” kata perempuan usia 20 tahun ini, yang baru beberapa bulan lalu melangsungkan pernikahan. Setelah menamatkan SMP-nya, ia diterima di SMAN I Denpasar. Di SMA-nya itu tidak ada ekstrakurikuler menembak. Setelah menamatkan SMP, ia langsung bergabung dalam pembinaan atlet muda menembak. Untuk pelatihan kering, biasanya tidak menggunakan peluru. Ia melakukan pelatihan di rumah seperti di depan cermin, bagaimana posisi menembak yang benar. Pelatihan fisik ia lakukan tiap Senin, Rabu, dan Jumat, pukul 16.00 di lapangan Renon. Pelatihan fisik berupa lari untuk melatih otot. Pelatihan menembak di Lapangan Pakse Bali Klungkung tiap Jumat dan Sabtu pukul 17.00 s.d 20.00. Saat ini ia memegang senjata api kaliber 22 dan senapan angin ARM laras panjang.

Diah menikah di usia yang sangat muda. Menurutnya, keinginan menikah karena ia dan suaminya yang bekerja di kapal pesiar ini ingin menjadi lebih bertanggung jawab terhadap hubungan yang mereka jalani. “Suami sangat mendukung dan tidak melarang. Saya juga tidak menunda kehamilan. Semua saya serahkan kepada Tuhan,” tutur perempuan yang masuk dalam program atlet andalan Bali ini.

Takut Kena Peluru
Sebagaimana Diah, suara tembakan awalnya juga membuat atlet menembak loainnya, Made Ayu Pramita Suari, ketakutan. Apalagi, awalnya ia sempat berpikir, takut terkena peluru. Sampai-sampai ia menutup telinganya saat bunyi tembakan. Ia mengaku tangannya gemetar saat mengangkat senjata. “Keringat dingin sampai keluar saking takutnya,” tuturnya sembari tertawa mengingat kejadian itu. Selama tiga bulan, ia mencoba bersahabat dengan senapan angin yang digunakan untuk berlatih. Keinginan mendalami menembak sangat didukung keluarganya. Bahkan, ibunya sering mengantarnya berlatih. Lama-kelamaan, Pramita akhirnya benar-benar mencintai olahraga menembak.
Namun, saking sibuknya berlatih, pelajarannya sempat tertinggal satu semester saat SMP. Pramesti mencoba melakukan perbaikan agar kesibukannya berlatih tidak mengganggu pelajarannya di sekolah. “Untungnya, penurunan nilai saya segera terkejar. Hanya satu semester turun,” ujarnya.
Dalam program 1000 pelajar, Pramita mendapatkan juara II sehingga ia bersama Diah masuk dalam pembinaan atlet muda menembak.

Prestasi yang paling anyar yang diraihnya mendapatkan emas dalam beregu bersama Diah dalam PON XVII di Kaltim. Dalam hari ulang tahun Kota Jakarta 2010 ia mendapatkan Juara III ARM perseorangan.
Ia mengaku sudah memunyai pacar. Sang pacar pun diminta mengerti kondisinya sebagai atlet menembak. Kalau ada masalah, ia berusaha mencari jalan keluarnya segera, dan tidak mau persoalan pribadinya berlarut-larut dan menganggu konsentrasi berlatih. Biasanya menjelang pertandingan, ia melakukan relaksasi ke salon dan jalan-jalan bersama teman-temannya. “Agar lebih santai dan tidak tegang,” kata Pramita.

Putri pasangan Nengah Siam Kastawan dan Gst. Ayu Putu Sari Ningsih ini awal mulanya sempat diolok-olok kakak laki-lakinya. “Biasanya perempuan takut dengar suara tembakan. Kok ini berani. Ajari kakak menembak juga,” ujarnya mengutip olokan kakaknya itu. Pramita menawakan sang kakak untuk ikut ke lapangan. Namun, sesampainya di lapangan, kakaknya mengurungkan niatnya karena merasa takut mendengar suara tembakan. “Sejak itu, saya tidak diledek lagi. Apalagi beberapa prestasi sudah saya capai. Keluarga bangga pada saya,” ujarnya sumringah.

Minim Peminat
Menurut Humas Perbakin Bali Nyoman Sri Mudani, S.H. atlet yang berlatih di lapangan diperkenankan membawa senjata ke rumah dengan persetujuan induk organisasi. “Senjata angin dapat dibawa pulang untuk pelatihan kering di rumah tanpa peluru. Mereka biasanya berlatih bagaimana cara memegang senjata dan posisi berdiri dan membidik sasaran,” kata perempuan yang akrab disapa Manik ini. Atlet yang dalam kondisi hamil, kata dia, biasanya cuti dan hanya melakukan pelatihan kering di rumah.
Ia menilai, peminat menembak di kalangan generasi muda khususnya perempuan masih minim. Dengan program 1000 pelajar yang digelar Perbakin, ia berharap, akan ditemukan atlet muda menembak khususnya perempuan. Sebagai apreasiasi pemerintah kepada atlet berprestasi, Diah dan Pramita yang berhasil mendapatkan emas dalam PON di Kaltim diangkat menjadi PNS dan ditempatkan di Disdikpora Provinsi Bali. Mereka juga menerima uang pembinaan. Manik berharap, para pengusaha ikut memberi kontribusi dengan menjadi bapak angkat agar pembinaan atlet berkesinambungan. “Apalagi menembak merupakan olahraga unggulan Bali,” katanya. –ast

Tokoh, Edisi 609, 12 s.d 19 September 2010

Rabu, 08 September 2010

Tas Daur Ulang Limbah Seharga Rp 300 Ribu

YUNITA Amalia Resta, ibu rumah tangga di Denpasar memanfaatkan limbah menjadi barang berguna. Sampah organik dijadikan kompos. Sampah anorganik, seperti kemasan deterjen dan minuman, didaur ulang.
Yunita merupakan salah seorang ibu rumah tangga yang dibekali materi pelatihan pembuatan kompos di Banjar Buana Asri Desa Tegal Kertha, Monang-Maning, Denpasar Barat. Awalnya tahun 2003, LSM Bali Fokus memberikan pelatihan tersebut di desanya. Yunita bersama kaum ibu PKK lainnya diajari memilah sampah organik dan anorganik. Mereka juga dapat tambahan pengetahuan mendaur ulang sampah.

Sebelum itu, menurut istri Aryo Kusuma Wardana ini, kegiatan tersebut didahului arisan rutin ibu-ibu PKK di Banjar Buana Asri. Saat itu, kaum ibu ini juga berdiskusi tentang kesulitan membuat kompos dan mendaur ulang sampah. Saat arisan kelompok Dasa Wisma tiap minggu II dan III, mereka kembali berkumpul. Masalah sampah menjadi bahan diskusi lagi. Sejak itu mulailah kegiatan memilah dan mendaur ulang sampah. Namun, kegiatan ini hanya berjalan setahun. Alasannya, kata Yunita, para ibu tersebut rata-rata sibuk bekerja dan mengurus rumah tangga. Mereka mengaku kesulitan menentukan waktu memilah sampah dan melakukan daur ulang.

Mereka biasanya menaruh sampah di depan rumah. Petugas kebersihan datang mengambilnya. Namun, Yunita bersama suaminya, tetap melakukan pemilahan sampah rumah tangga. Ia juga mengajarkan kepada dua anaknya untuk belajar memilah sampah. Sampah organik, seperti daun-daunan dan sisa makanan, ia olah menjadi kompos. Sampah organik yang sudah berhasil dikumpulkan ia timbun dan olah menjadi kompos. Tiap dua minggu sekali, ia menghasilkan 8 kilogram kompos. Satu kilogram kompos dijual Rp 1.000. Yunita mempunyai pelanggan khusus pupuk komposnya Sampah anorganik, seperti botol air mineral, besi, kardus, dijual ke pemulung. “Biasanya ada pemulung yang datang mengambil pagi hari,” jelas ibu dua anak ini.
Untuk jenis sampah lain seperti pembungkus sabun cuci, pengharum pakaian, mie instan, dan kopi, didaur ulang menjadi barang yang berguna, seperti tas, pulpen, dan bunga hias.

Untuk mendapatkan satu tas, ia membutuhkan sekitar 20 lebih bekas pembungkus kopi atau minuman jus berukuran kecil. Setelah dicuci dan dikeringkan, istri Kaur Administrasi Kantor Desa Tegal Kertha ini menjahit satu per satu menjadi lembaran. Kemudian, ia sesuaikan dengan model tas yang ingin dibuat. Tas daur ulang dijual Rp 300 ribu per pcs. —ast