Kamis, 30 Desember 2010

Catatan dari Dialog LSM Perempuan

Jangan Pandang Janda Sebelah Mata.

Data Direktorat Reskrim Polda Bali menyebutkan, jumlah kejahatan terhadap anak di Bali tahun 2008 120 kasus, tahun 2009 122 kasus, dan tahun 2010 125 kasus. Bahkan, kejahatan yang dilakukan terhadap anak perempuan lebih banyak. Data kekerasan terhadap perempuan sampai bulan Desember 2010 mencapai 70 kasus yang diadukan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP) Prov. Bali. Kenyataan ini membuat Forum Komunikasi Perempuan Mitra Kasih Bali bekerja sama dengan para LSM perempuan di Bali berdialog dengan pihak eksekutif dan legislatif, Rabu (15/12) di Wantilan DPRD Provinsi Bali.
Sebagai pembuka anak-anak dari Sanggar Ari Yayasan Ketut Alon Mas, Ubud binaan KPAID Bali, melakukan pementasan barong dan kera. Hiburan ini menyampaikan pesan, masih banyak orang berperilaku seperti kera melakukan kekerasan terhadap anak-anak.

Ketua DPRD Provinsi Bali A. A. Oka Ratmadi dalam pengantarnya mengatakan, perempuan berkedudukan sama dalam undang-undang. Mengapa perempuan takut untuk berkiprah dalam berbagai lini kehidupan. Laki-laki harus sadar diri kekuatan perempuan luar biasa. Namun, dalam kehidupan sehari-hari banyak ketidakadilan yang menimpa perempuan. “Perempuan bisa kerja apa saja, asalkan dia menguasai iptek. Perempuan sudah diberi kesempatan, harus diambil,” ujarnya.
Ia mengaku miris, masih ada yang memandang sebelah mata kepada para janda. Padahal, status janda bukan karena mereka menginginkannya, tetapi banyak penyebabnya, suami meninggal atau terjadi KDRT sehingga mereka memilih bercerai. “Semoga ini bisa menjadi bahan renungan,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPRD Provinsi Bali Ni Made Sumiati, S.H. mengatakan, pekerjaan perempuan dari bangun tidur sampai mata suami terpejam. Perempuan dalam sloka agama disanjung, namun, dalam pelaksanaannya masih banyak terjadi kekerasan terhadap dirinya. Wakil; rakyat asal Karangasem ini mengatakan sudah melakukan banyak hal untuk menyuarakan suara perempuan. “Di Bali sudah ada dua perda yang dihasilkan, Perda Trafiking serta HIV/AIDS, dan Perda Inisiatif untuk Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak,” kata Sumiati.

Menurut Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali Tuti Kusumawardani jika perempuan memunyai kemauan dan mampu berperan aktif, pasti mampu. Ia sudah membuktikan. Ibu tiga anak ini melangkah dari awal, mulai bekerja ikut orang, lalu bergerak menjadi pengusaha, namun, tidak melupakan tugas sebagai ibu dan istri. Perjuangan perempuan di DPRD sangat berat karena di di tingkat provinsi hanya 4 orang. Namun, ia mengaku tidak akan surut memperjuangkan nasib perempuan.
Ketua Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bali Luh Putu Haryani mengatakan pihaknya sedang gencar-gencarnya menyosialisasikan konsep gender agar masyarakat tahu apa itu gender. Isu gender ada di berbagai lini kehidupan. Perempuan harus pintar. Indeks prestasi perempuan di Bali sangat rendah, padahal ibu pendidik utama bagi anak. Isu bidang ekonomi, laki-laki mendapatkan gaji lebih besar daripada perempuan, padahal beban pekerjaan sama. Saat menstruasi perempuan harus tetap bekerja. Rendahnya perempuan dalam memperoleh akses kredit sehingga menghambat kemajuan ekonomi perempuan. Isu gender bidang politik perempuan sedikit memegang jabatan. Pejabat eselon II hanya 5 orang laki-laki 29 orang, eselon III 58 orang laki-laki 192 orang, eselon IV 209 orang laki-laki 453 orang. Jumlah PNS laki-laki 4543 dan perempuan 2310. Hasil Pemilu 2009, 390 anggota DPRD terdiri atas 28 perempuan dan laki-laki 362 orang. Isu kesehatan, angka kematian ibu dan anak meningkat, walau di Bali masih berada di bawah angka nasional. Transportasi masih bias gender, tangga sangat tinggi sehingga kalau naik tangga menggunakan rok akan terlihat dari bawah. Ia mengatakan, sudah melakukan banyak hal, mewujudkan perencanaan dan pengelolaan anggaran daerah yang responsif gender, di samping mengembangkan jaringan kerja sama dengan LSM perempuan.
Menurut Wayan P Windia dari Majelis Utama Desa Pakraman Bali, perempuan Bali tak perlu merasa terpinggirkan, sudah ada aturan yang mengakomodir kepentingan perempuan dan anak. Paruman MUDP sudah mengakomodir hak perempuan. Kedudukan laki dan perempuan sejajar, anak perempuan berhak mendapatkan warisan orangtuanya, jika terjadi perceraian harta guna kaya dibagi dua, dan anak bisa diasuh ibunya sampai batas yang disepakati bersama, dan si ayah wajib memberikan nafkah. Paruman Agung MUDP juga memutuskan arti meninggal kedaton, meninggalkan rumah tapi tidak lagi memeluk agama Hindu maka mereka tidak berhak atas harta warisan. Ia mengajak pemuka adat, membuat produk hukum yang memihak perempuan.
Windia menegaskan, kalau ingin tahu tentang hukum adat Bali, ada tiga hal yang harus dikuasai yakni agama Hindu, tahu sistem sosial di Bali (desa pakraman, subak), dan kekerabatan.
Sri Wigunawati mengaku prihatin banyaknya tukang suun anak-anak, anak korban traficking/seksual, kornban bencana, anak lahir tanpa mendapat hak sipil, korban narkoba, gepeng, harus ada perda bagi mereka. Berapa anggaran yang disiapkan untuk itu, siapa yg bertanggung jawab?
Ardiaska dari Aliansi We Can mengatakan, sudah lebih dahulu menyosialisasikan kampanye antikekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Tabanan. Sasarannya, sekolah, masyarakat, dan desa pakraman.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH A{IK) Nengah Budawati mengajak semua peserta dialog untuk membubuhkan tanda tangan di kain putih yang bertuliskan change maker we can sebagai kepedulian untuk menghentikan KDRT. Stop kekerasan terhadap perempuan divisualisasikan dalam bentuk tarian dan lagu.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bali Komang Suarsana mengatakan, KPI sudah membuat acuan program penyiaran khususnya televisi, tetapi faktanya masih banyak televisi yang tayangannya merendahkan perempuan. Sajian televisi lokal sudah diingatkan agar dikembalikan roh dan spiritnya ke pakemnya. Luh Haryani mengakui anggaran belum maksimal tapi usaha akan terus dilakukan.
Menurut Sumiati, isu pendidikan sudah ada kejar paket, masalahnya data anak yang belum mendapatkan pendidikan belum jelas. Masalah perdagangan perempuan sudah ada perda tinggal diawasi saja serta penanganan dan pendampingan konselor. Korban bencana ada tupoksi perkasus di kabupaten/kota. Penanganan gepeng hanya mengimbau, harus ada kejelasan apakah ada sanksi bagi pemberi uang kepada gepeng.
Dr. dr. Dyah Paramita Duarsa, M.Si. dari Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Prov. Bali mengatakan, estimasi orang dekat dengan HIV/AIDS (ODHA) di Bali meningkat terus. Total sampai Oktober 2010, 7319. Denpasar menduduki peringkat teratas disusul Badung. Malah isu teranyar, istri mengidap HIV jumlahnya mencapai 200 orang yang kebanyakan didapat dari suami. Mungkin masih banyak lagi yang belum terdata. Berapa bayi tanpa dosa yang akan lahir dengan banyaknya ibu yang menderita HIV. Walaupun sudah ada perda, sepertinya tidak cukup, harus ada komitmen anggaran dana untuk bisa menanggulanginya.
Sofie salah seorang perwakilan Gaya Dewata mengaku, banyak stigma terutama pelanggaran HAM, diusir dari suatu tempat, yang mereka alami. Padahal, kata Sofie, dari segi pendidikan, mereka sangat mumpuni. Ia berharap, mereka diberi kesempatan berkreativitas sesuai dengan kemampuan mereka. –ast

KOran Tokoh, Edisi 623

Curhat Penghuni LP, Perceraian 70%

Hari itu naas bagiku. Aku mau saja disuruh mengganti kartu ATM nasabah, walau aku tahu kartu itu bukan miliknya. Aku merasa seperti terkena hipnotis, aku mau melakukannya. Aku baru bekerja setahun. Namun, aku tidak menyangka ini akan terjadi padaku. Pemilik kartu ATM akhirnya melapor, uangnya raib. Aku akhirnya mengaku karena kelalaianku nasabah dirugikan. Karena salahku, aku harus bayar ganti rugi Rp 12 juta. Kini aku sedang proses persidangan. Aku sudah menghuni Lapas selama tiga bulan. Aku tidak tahu sampai kapan harus di sini. Aku hanya khawatir, bagaimana hidupku nanti setelah keluar. Apakah masih ada orang yang menerimaku bekerja. Terkadang aku menangis sendiri merenungi nasibku. Walau keluargaku selalu menjengukku dan memberiku semangat untuk tetap sabar, pikiran negatif terus berkecamuk di kepalaku. Begitulah penuturan Cantik, seorang penghuni Lapas Denpasar, kepada wartawati Koran Tokoh, saat kunjungan ke Lapas Denpasar bersama Forum perempuan, Selasa ( 14/12).

Usia cantik masih muda, 20 tahun. Ia salah satu penghuni dari 99 orang di blok perempuan.
Pelaksana harian Lapas Denpasar I Wayan Landriana S.H. mengatakan, saat ini penghuni Lapas Denpasar berjumlah 954 orang. Padahal daya tampung hanya 350 orang. Warga binaan perempuan berjumlah 99 orang, dan anak berjumlah 12 orang. Sisanya laki-laki. Sebanyak 36% kasus narkoba, lainnya kasus penipuan dan pembunuhan.
F. Romana salah seorang sipir perempuan mengatakan, kasus narkoba terbanyak di blok perempuan. Selebihnya penipuan, pencurian, dan penggelapan. Belum ada kasus pembunuhan.
Prof. dr. Luh Ketut Suryani mengaku terkejut ada anak yang dihukum dan ditempatkan di Lapas Denpasar. Padahal, LP anak sudah ada di Karangasem. Ia mengaku khawatir, bisa jadi anak tersebut dulunya tidak memakai narkoba malah belajar menjadi pemakai narkoba di Lapas.
Landriana mengatakan, untuk 6 anak hanya dititipkan karena masih proses peradilan. Beberapa anak menjadi penghuni lapas karena putusannya pendek tiga atau empat bulan sehingga tidak dipindahkan ke LP anak.
Prof Suryani hanya mengingatkan kepada staf lapas, sebulan waktu yang sangat lama, apalagi lebih dari sebulan. Anak bisa belajar apa saja di Lapas, termasuk belajar menjadi pemakai narkoba.
Namun, Landriana berkilah, blok anak terpisah. Namun, kata Suryani, tetap saja itu tidak menjamin. “Apakah tidak bisa dipindahkan ke Lapas khusus anak,” saran Suryani. Landriana berjanji akan mempertimbangkannya.

Nasi Keras
Bela, penghuni lainnya, mencoba berbagi kisah. “Nasi yang diberikan keras tidak seperti nasi yang biasa di makan di luar Lapas. Untungnya masih ada sayur, telur, dan daging,” ujarnya. Lain lagi penuturan Beverly warga Filipina ini. Dengan mengunakan bahasa Inggris ia mengaku kulitnya gatal karena air yang digunakan mandi kotor. Mendengar keluhan warga binaannya, Landriana, menjawab, begitulah beras yang dikirim ke Lapas. “Nasi keras bukan karena salah dalam proses memasak, tapi memang kualitas berasnya seperti itu.
Ia mengatakan, jatah bagi satu warga binaan Rp 8500 sudah termasuk nasi, lauk-pauk, sayur untuk tiga kali makan dalam sehari,” paparnya.

Tahun 1997 ia mengakui Lapas Denpasar memang kekurangan air, sampai mendatangkan mobil tangki. Tapi sejak sudah ada sumur bor dan di blok perempuan ada tower, kekurangan air sudah ditangani. Sampai sekarang, kata dia, belum ada laporan dari warga binaan, masalah air kotor. “Mungkin saja pengaturan air kurang merata. Keadaan di lapas sudah over load. Satu kamar dihuni sampai 10 orang. Pengaduan itu akan kami sikapi,” ujarnya.
Suryani meminta, karena nasi keras alangkah baiknya jika tetap panas, sehingga masih layak untuk dimakan. Ia berpesan kepada penghuni lapas, tujuan dihukum agar sadar dan tidak mengulangi kesalahan. Yang terjadi biarkan lewat, setelah keluar dari lapas hendaknya menjadi manusia baru. Ret, korban kasus narkoba mengaku banyak mengalami perubahan sejak di Lapas. Ia lebih sabar dan tabah. Ia sudah berhenti tiga tahun lalu sebagai pemakai. Namun, saat main ke café dijebak oleh teman sendiri. Ia menyesal. Ia harus merelakan dirinya di penjara sampai masa hukumannya berakhir tahun 2012.

Prof. Suryani mengajak semua korban narkoba mencari tahu, apa latar belakangnya sampai menjadi pemakai. “Kalau Anda bisa menemukan apa penyebabnya, batin Anda bisa bebas. Keluar dari Lapas tidak menjamin Anda bebas, kecuali Anda berani menolak dan berhenti bergaul dengan teman-teman pemakai, baru Anda bisa bebas. Korban narkoba lainnya An mengatakan hukuman yang diterima tidak setimpal dengan kesalahan yang mereka perbuat. Ia merasakan hukuman terlalu berat karena mereka korban.
Mendengar curhat para penghuni Lapas, Prof. Suryani mengaku prihatin. Seharusnya mereka diobati bukan dihukum. Kasihan bagi si pemakai, mereka harus bergaul dengan pelaku kejahatan lain. Padahal, mereka perlu direhabilitasi.
He korban lainnya, menginginkan ada sosialisasi tentang hukum. Apa hak mereka. Mungkin perlakukan para pembina sudah sangat maksimal, tapi ketika ada perubahan dalam hukum, mereka juga perlu tahu karena sering terjadi pelaksanaan di lapangan berbeda. He mengaku prihatin, karena sebagian besar penghuni Lapas Denpasar perempuan produktif. Kami butuh dukungan LSM. Tingkat perceraian di Lapas mencapai 70 persen. Ketika perempuan menjadi penghuni lapas, para suami meninggalkan mereka begitu saja. Setelah keluar mereka juga diisolasi oleh masyarakat.
Anggota DPRD Kota Denpasar Wayan Sari Galung yang turut hadir saat kunjungan ke Lapas mengaku setuju jika pemakai narkoba sebaiknya dibina.

Suami Pergi
Kisah lain dituturkan Wi, ibu satu anak. Dulu, ia pernah bekerja sebagai TKW di Taiwan. Karena suaminya ia pindah ke Bali dan direkrut pembantu oleh salah satu yayasan. Kemudian ia dipekerjakan di salah satu keluarga. Namun, baru tiga hari ia bekerja, ia mengaku tidak betah. Kerjanya banyak dan ia dijanjikan gaji Rp 500.000. Ia nekad mencuri laptop dan menjualnya untuk ongkos pulang ke Jawa. Naas baginya, ia tertangkap langsung. Lima bulan sudah ia jalani hidup di penjara. Suaminya pergi meninggalkannya. Ia pasrah. Anaknya yang baru berusia tiga tahun dititipkan di rumah orangtuanya di Jawa. Ia menyesal, tapi apa dikata. Sisa hukumannya lagi 5 bulan. Setelah keluar Lapas ia berencana kembali bekerja menjadi TKW.

20 Sipir Perempuan
Dewa Ketut Jaya salah satu staf Lapas Denpasar mengatakan, penghuni baru biasanya dimasukkan terlebih dahulu ke ruang isolasi. Ruangan ini fungsinya untuk pengenalan diri dan bersosialisasi dengan lingkungan. Setelah seminggu atau paling lama sebulan penghuni dipindahkan ke blok. “Kalau mereka melakukan pelanggaran, kami masukkan mereka ke sel agar mereka jera,” ujar lelaki yang pernah bertugas di Papua ini. Penghuni biasanya suka ribut malam hari, bahkan sampai melakukan kontak fisik. Penghuni lain akan berteriak. Ada saja masalahnya, kehilangan barang atau ketersinggungan. “Kalau sudah begini, kami masukkan ke sel, agar mereka jera,” kata Dewa.
Namun, ia mengakui, penghuni Lapas sudah di luar kapasitas. Dengan jumlah petugas termasuk staf 125 orang, mereka kewalahan. Saat piket mereka bergantian sekitar 10 orang. Tentu tak semuanya bisa diawasi dengan baik. Piket petugas bergantian, mulai pukul 7 pagi sampai 1 siang, diganti lagi petugas piket lainnya sampai pukul 19.00. Ganti lagi petugas lain sampai pukul 1 pagi. Terus begitu seterusnya.
Hal itu dibenarkan Sipir perempuan F. Romana. Ia juga tidak membantah sering terjadi gesekan antara penghuni. Masalah sepele bisa jadi ribut. Air mandi kurang, ada yang duluan nyerobot. “Saya tidak menyalahkan mereka, mungkin pikirannya ruwet. Memikirkan anak atau suami. Kami hanya berprinsip, melayani mereka dengan baik,” lanjutnya.
Selama bekerja 25 tahun di lapas ada cerita lucu, manis, kadang juga membuat Romana terharu. “Kadang saya tertawa mereka bisa lepas bercanda. Saya senang mereka mau curhat dengan jujur. Tapi kadang, aturan dan kebijakan sering berbenturan. Kami menghadapi manusia bukan kertas. Mereka punya perasaan. Ini menguatkan kami, membuka pikiran kami untuk bersyukur, masih bisa bebas menghirup udara segar, dan tetap memberi pelayanan,” tutur ibu dua anak remaja ini. Saat ia memutuskan bekerja menjadi sipir penjara, ia mengaku sudah siap risikonya. Ia mengaku bekerja di Lapas sebagai pekerjaan mulia, bisa melayani orang. Suami dan dua anaknya sangat mendukungnya.
Sabtu Minggu, harusnya libur. Namun, ia mengaku lebih suka bekerja karena waktu besuk biasanya ramai. Jumlah sipir perempuan terbatas hanya 20 orang sehingga libur harus gantian. Untuk kasus narkoba, penghuni juga mendapatkan penanganan dokter. Ada dua dokter umum yang siap melayani mereka. Pembinaan umat Kristiani tiap hari Minggu, Senin, dan Rabu. Untuk Muslim hari Senin, Kemis, dan Jumat. Untuk Hindu hari Senin, Rabu, dan Purnama Tilem. Selain itu, ada juga penyuluhan dari Kementerian Agama tentang kerohanian.

Curi HP
Salah satu penghuni Lapas Denpasar tampak seorang anak perempuan yang lagaknya seperti laki-laki. Usianya masih muda 14 tahun. Baru kelas I SMP. Tak tanggung-tanggung, kejahatan yang ia lakukan membobol toko HP bersama temannya. Ia belum tahu berapa lama hukuman yang akan ia terima karena masih proses persidangan.
Saat ketahuan mencuri, sang ibu sempat melontarkan pertanyaan kepadanya, mengapa kamu mencuri, apakah kebutuhan kamu kurang di rumah.
Gadis itu hanya tersenyum mengingat pertanyaan ibunya itu. “Saya hanya ikut teman,” akunya polos.
Made, teman gadis tadi. Dialah yang mengajaknya membobol toko HP. Sebanyak 38 HP dan 200 voucher isi ulang dicurinya.
Made, baru kelas 6 SD. Ibunya bekerja sebagai pedagang dan bapaknya tidak bekerja. Ia sudah mengenal rokok. Uang jajannya Rp 5000. Tapi ia mengaku tidak cukup untuknya. Ia memang suka mencuri, tapi belum pernah tertangkap.

Ketua Forum Mitra Kasih Bali Luh Anggreni, S.H. mengatakan, kegiatan kunjungan ke Lapas Denpasar dalam rangka memperingati Hari Internasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (25/11), Hari Hak Asasi Manusia ( 10/12) dan Hari Ibu ( 22/12). “Kami bekerja sama dengan segenap LSM perempuan di Bali. Selain berbagi keceriaan, penghuni kami ajak bermeditasi bersama Prof. Suryani. Forum Perempuan juga meninjau blok perempuan,” kata Anggreni. –ast

Koran Tokoh, Edisi 623

Kamis, 09 Desember 2010

PESONA SERANGAN

Murid 15 Sekolah Jadi Nasabah Bank Sampah
Bakar Sate Gunakan Briket Sampah

SELAMA ini bank dikenal sebagai tempat menabung uang. Namun, bank satu ini sangat berbeda. Namanya Bank Sampah. Murid dari 15 sekolah di Denpasar menjadi nasabahnya. Siswa datang bukan untuk menabung uang, tetapi mereka menjual sampah dan dibayar dengan buku tabungan. Siswa bisa menarik uang tabungannya kapan saja mereka mau. Ide kreatif beberapa orang pemerhati lingkungan ini ikut memeriahkan Pesona Serangan yang berkangsung di depan areal Pura Sakenan, Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan, 26 – 28 November.
Ketut Suarnaya, salah seorang staf Bank Sampah mengungkapkan, idenya terbentuk sebagai rasa keprihatinan beberapa orang yang sangat peduli terhadap lingkungan. ”Kami ingin sedari dini anak-anak diajari mencintai lingkungan dan menjaga kebersihan, selain bisa menghargai uang,” ujarnya. Atas dasar kepedulian untuk menjadikan Denpasar bersih dari sampah, mereka sepakat 26 September 2010 membentuk Bank Sampah Cahaya Partha Jaya. Ia menuturkan, nasabahnya sudah berjumlah ratusan, dari anak TK sampai remaja. Sampah-sampah yang dibeli, kemudian diolah menjadi produk kerajinan yang sangat kreatif dan inovatif. Tak tampak sedikit pun barang kerajinan itu berasal dari sampah yang kotor. Dengan cat warna warni, berbagai vas bunga bisa dihasilkan dari botol mineral dan soft drink. Ia berharap, makin banyak anak-anak yang peduli terhadap sampah dan menjadikan sampah barang berharga.
Beberapa sekolah yang berbasis lingkungan seperti SMAN 5 Denpasar, SMAN 6 Denpasar, SMKN 2 Denpasar, dan SMPN 4 Denpasar, ikut berpartisipasi dalam Pesona Serangan. Mereka memajang hasil olahan sampah menjadi barang yang berharga dan menghasilkan uang, mulai dari kompos, aksesori, tas, buku, alat tulis, vas bunga. Beberapa siswa memadati stan Bank Sampah. Mereka ingin berbagi pengalaman untuk dapat lebih menghasilkan karya terbaik dari olahan sampah.


Briket dari Sampah

Ide kreatif juga datang dari salah seorang warga asli Serangan. Giri Parwata, pengelola Depo Restu Bumi di Serangan, yang berprofesi sebagai pengusaha dan pemerhati lngkungan sedang menggagas pembuatan briket dari sampah organik.
Alit Darmayuda kini meneruskan usaha itu karena kakaknya, Giri, sedang sakit. Menurut Alit, sangat sulit mengajak warga Serangan untuk tertarik mengelola sampah menjadi barang berharga, apalagi menghasilkan uang. ”Untuk mengajak mereka rapat saja sulit. Bahkan, dengan uang pancingan Rp 25.000 untuk datang rapat, mereka tidak tertarik. Tujuan kami hanya satu, ingin membebaskan Serangan dari sampah,” ujar lelaki yang berprofesi sebagai pengusaha ini.
Ia menuturkan, dari modal sendiri, Giri mengajak tiga pemulung untuk ikut membantunya membuat briket. Dengan berbagai pengujian bahkan sampai lima kali, akhirnya usahanya tidak sia-sia. Setelah mampu mengolah sampah organik menjadi briket ia berikan kepada masyarakat secara cuma-cuma. Hal ini dilakukannya untuk mengetuk hati warga Serangan agar mereka tertarik untuk bergabung.
Namun, usaha Giri dan adiknya memerlukan perjuangan berat. Sampai sekarang, setelah usaha ini berjalan setahun, belum ada perhatian apa pun dari masyarakat Serangan. Namun, Alit mengaku tidak patah semangat.
Alit mengatakan, pembuatan briket sangat mudah. Namun, hambatan selama ini karena ia menggunakan alat manual. Semua dilakukan dengan tangan bukan mesin. ”Kami kekurangan modal untuk membeli mesin. Tetapi, kami tetap berjalan pelan-pelan sesuai kemampuan,” kata Alit.

Selain pembuatan briket, sampah organik juga dibuat pupuk cair. Daun-daunan dan sampah canang dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam drum. Lubangi drum bagian bawah untuk tempat kran. Isi serutan kayu paling atas. Tambahkan air dan biarkan seminggu. Setelah tercium bau fermentasi, lewat lubang kecil di bawah drum, pupuk sudah bisa dihasilkan. Pupuk cair ini dapat diolah menjadi briket. Caranya, ampas pupuk cair dijemur sampai kering. Kemudian dibakar setengah matang. Kemudian dengan mesin penggilingan, ampas diayak. Hasil ayakan dicampur lem, kemudian dicetak. Proses terakhir penjemuran. Briket siap digunakan. Menurut Alit, nyala briket ini sangat bagus untuk pembakaran. Memang ia mengakui api berwarna merah tidak seperti nyala briket batubara yang berwarna biru. Namun, kata dia, briket ini asapnya sedikit. ”Kami sudah mencoba briket ini untuk membakar ikan atau sate dengan panggangan karena kompor khusus briket kami tidak punya. Tetapi, rencana ke depan, kami juga akan mengusahakan pembuatan kompornya,” ujar Alit. –ast


Koran Tokoh, Edisi 621, 5-11 Desember 2010