Tampilkan postingan dengan label profil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label profil. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Juli 2012

Penasaran dengan Jenazah

Bagi sebagian orang melihat mayat atau jenazah hal yang menakutkan. Namun, berbeda dengan lelaki kelahiran Karangasem, 14 januari 1970 ini. Ia begitu penasaran dan mempelajari jenazah sangat menarik baginya.  Berikut penuturan Kepala Bagian /SMF Ilmu Kedokteran Forensik FK Unud/RS Sanglah dr. Ida Bagus Putu Alit, Sp.F., D.F.M. kepada koran Tokoh, Kamis (28/6).

Anggota polisi khusus Disreskrim Polda Bali ini menuturkan, sejak kecil ia hobi melukis. Bahkan, ketika ditanya cita-citanya, ia ingin menjadi pelukis. Namun, seperti prinsip hidupnya yang mengalir bak air, tak disangka kini rutinitasnya berurusan dengan jenazah.
Ketua Tim Terpadu Pelaporan dan Pencatatan Korban Tindak Kekerasan Perempuan dan Anak (T2P2 KTK P-A) RS Sanglah ini mengatakan, banyak hal yang bisa ia pelajari dari ilmu kedokteran forensik. “Karena disini kami tidak hanya mengurusi jenazah, kami juga mengurusi forensik orang hidup seperti korban maupun tersangka,” kata lelaki yang kerap menjadi saksi ahli di pengadilan ini.

Ingin mendaftar di seni rupa, sang kakak malah mendaftarkannya di FK Unud. Dokter Ida Bagus Alit, begitu ia akrab disapa, akhirnya mengikuti saran sang kakak tanpa protes. Setelah berkutat dengan ilmu kedokteran, ia merasa ilmu kedokteran forensik cocok dengan dirinya. Hal ini sesuai dengan aliran surealisme hobi melukisnya, yang menurutnya, ada hubungannya. “Lukisan aliran surealisme kelihatannya tidak  objektif namun, sesungguhnya sangat  objektif. Misalnya,  ada lukisan kuda memakai sayap, secara objektif jelas tidak mungkin, tapi bisa jadi mungkin karena ada sesuatu yang ingin disampaikan. Ilmu forensik juga begitu. Sesuatu hal yang sangat menarik.  Sesuatu yang sudah meninggal dan diam, ternyata  bisa mengungkapkan sesuatu,” katanya.

Awal mengeluti jenazah, ia mengatakan tak takut. Justru ia makin penasaran ingin mencari penyebab kematiannya karena ada bukti-bukti dalam diri jenazah tersebut.Selain panggilan hatinya, ada satu alasan mengapa ia tertarik mengembangkan ilmu forensik. Banyak kasus hukum anak yang belum mendapatkan perlindungan sehingga hatinya nuraninya ikut terpanggil. Selain itu, istrinya Putu Winanti Astari, S.Si sangat mendukungnya. “Istri saya sangat mendukung. Kami sudah menikah hampir 11 tahun, tapi belum punya keturunan. Saya sepakat untuk mengeluti bidang yang memberikan perlindungan pada anak. Sebagai doa semoga Tuhan memberikan kami keturunan,” ungkapnya.  Ternyata pengabdiannya itu memberikan hasil. Dua putra kini telah melengkapi kebahagiaan Dokter Ida Bagus Alit.

Ilmu kedokteran forensik FK Unud/RS Sanglah telah berdiri sejak tahun 1971 yang digawangi dr. Maker. Menurutnya, ada proteksi untuk dikembangkan tapi sumber daya manusianya kurang. Begitu ia tamat dokter dan menyelesikan PTT-nya di Desa Tegalalang Gianyar, Dokter Ida Bagus Alit  langsung melamar di Forensik. Sejak tahun 2000 ia menjadi  staf pengajar di FK Unud.  Tahun 2002 ia mendapat kesempatan belajar forensik untuk orang hidup  (forensic medicine and bioethics) di Groningen State University, Netherland. Kemudian ia melanjutkan kembali untuk spesialis forensik ke UI dan menyelesaikannya tahun 2005. Tahun 2009 ia ditunjuk menjadi Kepala  Instalasi Kedokteran Forensik, yang tugasnya mengatur pelayanan instalasi jenazah. Tahun 2010 ia diangkat menjadi Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Forensik.

Baginya, dokter Maker selain sebagai gurunya sudah ia anggap sebagai ayahnya. Ia banyak belajar dari dosen seniornya itu.  “Menganalisa segala bukti secara ilmiah, tidak boleh memakai perasaan, itu yang saya pelajari dari dokter Maker. Yang diutamakan tidak memihak, harus memiliki pemikiran objektif dengan apa yang kita hadapi. Begitulah seni ilmu forensik,” kata ayahanda Ida Bagus Purwaka Danendra dan Ida Bagus Putra Ananda ini.
Menurutnya, selama ini banyak yang menganggap ilmu kedokteran forensik hanya mengurus jenazah. Padahal, kasus orang hidup juga  diurusi seperti korban dan tersangka. Tiap hari berhubungan dengan kasus, dan jenazah tak membuatnya jenuh. Dari awal, ia sudah berpikir konsisten, dan  kasus yang dihadapi juga tidak  menoton selalu bervariasi, mulai dari mudah, menengah dan sulit, sehingga makin menarik dan tidak membosankan. 

Ia menyebutkan, perkembangan ilmu kedokteran forensik dipengaruhi dunia internasional. Ada dua yang sudah dikembangkan yakni patologi forensik, ilmu memeriksa jenazah sudah ada sejak 1971 di FK Unud. Kedua, forensik klinik untuk orang hidup yang sudah dirintis sejak tahun 2009 bekerja sama dengan lembaga di Jakarta.  Tahun 2010, RS Sanglah sudah mandiri sudah dapat memeriksa DNA.
Ia menuturkan, sampai saat ini, SDM di forensik sudah memadai. Ada 4 dokter spesialis forensik sehingga semua sub divisi sudah  dapat dilakukan, medikolegal, kedokteran forensik klinik, histopatologi forensik, laboratorium dan biomolekuler, dan toksikologi forensik.

Menurutnya,  kasus yang dihadapi Forensik RS Sanglah mendapat banyak sorotan internasional karena Bali merupakan daerah pariwisata. Kasus banyak melibatkan orang asing baik korban maupun tersangka. Berhubungan antarnegara mendapat respon dari berbagai pihak, sehingga sering berhubungan dengan polisi  negara lain, konsulat bahkan dokter forensik di luar negeri. Karena sering terjadi tidak terindentifikasi dengan baik personal, pribadi dan massal, maka RS Sanglah  dipilih menjadi sekretariat disaster victim indetification (DVI) sejak tahun 2010.  “Sudah banyak menangani korban massal seperti imigran gelap atau korban tengelam.  Terkadang ikut berpartisipasi saat bencana seperti tsunami di Aceh dan Gempa di Jogjakarta,” jelas anggota MKEK IDI Bali ini.

Ia memaparkan, kegiatan di forensik sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni, mendidik para dokter, melakukan penelitian seperti pemetaan DNA. Yang paling penting, bagian forensik telah mampu meneliti prostat spesifik antigen (PSA) yakni mendeteksi ada cairan laki-laki. “Cairan yang keluar dari kelamin laki-laki, bukan hanya sperma, tapi cairan yang keluar dari kelamin laki-laki. Ini bisa  membuktikan lebih akurat,” jelasnya.  Pelayanan forensik selain otopsi jenazah, pemeriksaan laboratorium, juga memeriksa korban, tersangka dan sebagai saksi. Untuk pelayanan keluar, selain sebagai saksi, juga melakukan penggalian kubur bahkan bisa sampai ke NTB dan Banyuwangi.

Menurut Dokter Ida Bagus Alit, ketekunannya mengabdi di Forensik tak lepas dari konsep kerja yang dilakoninya, 3K komitmen, kontinu, dan konprehensif.  “Komitmen artinya sudah punya ketetapan hati  dan loyalitas.  Kontinu terus menerus, sehingga kami tidak praktik swasta. Konprehensif maksudnya kami menyadari bekerja tak bisa sendiri harus multidisplin, harus ada dari laboratorium, hukum, sehingga menjadi satu kesimpulan yang tepat,” ujar lelaki yang mengikuti pendidikan primer DVI di Health Science Autorithy di Singapura ini.

Di sela-sela kesibukannya, ia tetap menyalurkan hobi melukisnya. Kapan inspirasi itu ada, ia segera mengambil media dan menuangkan idenya. Mengalir seperti air dan tetap apa adanya tetap dilakoninya membawa ilmu kedokteran forensik terus berkembang mengikuti science and technology anthropology. –ast

Koran Tokoh, Edisi 700, 25 s.d 30 Juni 2012









Jumat, 13 Januari 2012

Ni Wayan Eka Ciptasari Kepincut Yoga

Cantik luar, cantik pula di dalam. Itulah moto yang dianut perempuan dengan nama lengkap dr. Ni Wayan Eka Ciptasari, Sp.K.K. Runner Up II Putri Indonesia 2001 ini, tidak hanya piawai merawat kecantikan wajah dan kulitnya, tapi ia rutin melakukan yoga untuk menjaga kebugaran tubuhnya agar memancarkan inner beauty.
Perempuan kelahiran Jakarta, 21 Februari 1979 ini mengatakan, untuk menjaga kecantikan kulit wajah dan tubuhnya, ia mempunyai kiat tersendiri. Sejak remaja sebelum tidur ia selalu mengoleskan sekujur tubuhnya dengan lotion (pelembab). Khusus untuk wajah, sebelum tidur ia selalu mengoleskan krem malam. Sebagai dokter kulit, ia mengatakan, hal itu baik dilakukan untuk melembabkan, menjaga kelenturan dan elastisitas kulit.

Sejak 10 bulan yang lalu, ia kepincut yoga. Ia menuturkan, setelah mencoba senam aerobik dan body language, gerakan yoga terasa lebih cocok untuk dirinya. ”Awalnya saya tertarik setelah membaca manfaat yoga di majalah. Saya coba membeli CD-nya dan belajar sendiri. Namun, belum afdal kalau belum dilatih sang guru. ”Bersama seorang teman di Rotary Club akhirnya saya ikut kelas yoga,” tutur istri Komang Agus Satria Pramudana, ST. M.Com. ini.

Ia mengaku banyak manfaat yang dirasakan setelah rutin beryoga. Tubuhnya terasa lebih fit dan yoga mampu membentuk badannya dengan proposional dan melatih otot serta pernapasannya dengan baik. Selain itu, ia mengatakan yoga mampu memberi ketenangan bagi dirinya. Kiat lain sebagai penunjang kecantikannya, ia selalu minum air putih, istirahat yang cukup, mengurangi begadang, menghindari gorengan, dan minum suplemen antioksidan.
Kesibukannya sebagai dokter spesialis kulit hanya dilakoni sore hari di tempat praktiknya. Itu semua dilakukan Dokter Eka, begitu ia akrab disapa, agar waktu mengurus ketiga buah hatinya tidak tersita. Ia mengaku tak terlalu ambisi. Ia ingin menjalani hidupnya dengan seimbang baik di karier maupun keluarga.

Suka Modeling
Putri sulung Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, Sp. JP. dan Ni Ketut Gadung ini sejak kecil memang hobi bergaya. Melihat bakatnya itu, orangtuanya memasukkan ke salah satu agency modeling. Berbagai prestasi diraihnya untuk urusan lomba busana adat ke pura. Selain suka model, Eka, juga hobi renang. Prestasinya di bidang renang telah ia sumbangkan kepada almamaternya di SMPN 3 Denpasar. Setelah meneruskan di SMAN 1 Denpasar, peraih Teruni Bali 1995 ini, memperkuat tim paduan suara Smansa Denpasar. Ia juga dipercaya sebagai mayoret marching band di sekolahnya itu.
Selain disibukkan dengan kegiatan ekstrakurikuler, Eka juga aktif berorganisasi di OSIS sejak SMP. Bukan hanya itu, prestasi akademiknya terbilang lumayan. Juara umum pernah diraihnya ketika di SMP dan SMA.
Ia menuturkan, orangtuanya sangat menerapkan disiplin keras kepada dia dan adik sematang wayangnya dr. Made Putra Swi Antara yang kini sedang melanjutkan pendidikan spesialis jantung di UI. ”Papa selalu menerapkan disiplin untuk waktu belajar. Saat belajar harus belajar. Boleh sibuk berorganisasi tapi pukul 21.00 harus sudah di rumah,” ujarnya.

Prestasinya yang menonjol di bidang akademik dan aktif berorgansasi membuatnya terpilih mewakili sekolah dan Bali dalam ajang remaja Indonesia tahun 1995, dan anggota Paskibraka tahun 1996.
Setelah tamat SMA, Ibunda Putu Sharita Hindi Pratiwi (9 tahun), Made Isyana Lui Pratisi (7 tahun), dan Komang Aruna Gio Pranata (5 tahun) mempunyai dua pilihan jurusan untuk meneruskan studinya; psikologi dan kedokteran. Namun, setelah diskusi dengan kedua orangtuanya, Eka memutuskan memilih kedokteran.
Setelah diterima di Fakultas Kedokteran Unud, ia mulai mengurangi kegiatan modelingnya. Ia lebih fokus belajar. Namun, acara tertentu, kadang ia diminta mewakili fakultas maupun kampusnya. Tahun 1998, ia terpilih sebagai putri kampus. Ketika memasuki awal co as, ia tertarik membaca selebaran di salah satu majalah tentang pemilihan Putri Indonesia. Ia iseng mengirimkan formulir ikut sebagai peserta. Tak lama berselang, ia dinilai tim juri langsung datang ke Bali.

Ia mengatakan tidak tahu apakah ada peserta dari Bali lainnya selain dirinya. ”Saya tidak tahu apakah ada peserta lain dari Bali. Waktu dites saya sendiri. Pemilihan waktu itu berbeda dengan sekarang. Tidak ada lomba sebelumnya seperti Putri Bali,” ujarnya. Ia mengatakan sangat beruntung mendapatkan kesempatan ikut pemilihan Putri Indonesia. ”Saya mendapat banyak teman dan banyak pelajaran. Jadwal karatina dua minggu sangat ketat. Dari bangun pagi sampai malam hari acaranya padat. Kami harus mempunyai stamina yang kuat. Semua dinilai termasuk kebersihan kamar. Tiap hari selalu ada pembekalan malah seperti kuliah saja,” tuturnya.
Menurut Dokter Eka, semua pengalamannya di pemilihan Putri Indonesia sangat berkesan. Apalagi, kata dia, peserta dapat bertemu dengan pejabat negara dan rutin mengikuti jumpa pers. Peserta juga diundang ke mal untuk berbagai pengalaman dan setiap malam pasti ada undangan makan malam. ”Pokoknya seru,” ujarnya.
Selama dua minggu, ia dan peserta lainnya tidak boleh menerima tamu dari luar. Walau hanya menerima telepon, tetap harus seizin panitia. Perjuangannya tak sia-sia. Ia mengharumkan nama Bali dengan prestasi Runner Up II Puri Indonesia 2001. Setelah mendapatkan prestasi itu, ia kerap diminta sebagai juri modeling.
Setelah dokter muda, ia memutuskan menikah dengan lelaki yang dipacarinya sejak kuliah. Ia mengaku, orangtuanya baru mengizinkan untuk pacaran setelah kuliah.

Setelah menikah, ia tak memakai jasa baby sitter. Semua dilakukan sendiri mulai dari memandikan dan memberi makan buah hatinya. Serunya lagi, saat ia harus ke rumah sakit, pagi-pagi ia titip buah hatinya di rumah ibunya. Begitu juga saat ia harus jaga malam. ”Kalau saya dapat tugas jaga, anak saya yang masih bayi dibawa mama ke rumah sakit. Mama menunggu di mobil. Setelah ditelepon, saya langsung keluar ruangan dan menyusui di mobil. Setelah selesai, anak saya lagi dibawa pulang. Begitu terus kalau pas jaga,” tuturnya sembari tertawa mengenang kisahnya itu. Ia mengatakan, kedua anaknya ia beri ASI eksklusif hingga 1,5 tahun. Sedangkan si bungsu hanya menyusu selama enam bulan karena tidak mau lagi. ”Mungkin juga karena saya sibuk ambil spesialis,” ujarnya. Menurutnya, ibunya Ni Ketut Gadung merupakan ibu terhebat. ”Sampai sekarang sudah menikah pun, mama selalu membantu menjaga anak-anak kalau saya ada acara ke luar kota,” katanya. Untuk membayar semua waktunya yang terbilang kurang untuk ketiga buah hatinya, setelah tamat spesialis, ia memutuskan hanya praktik sore. Waktunya dari pagi sampai siang difokuskan untuk ketiga buah hatinya.

Pilihan spesialis kulit memang sudah menjadi cita-citanya sejak dulu. Waktu ditanya tim juri ketika mengikuti pemilihan Putri Indonesia, ia sudah menjawab, akan melanjutkan ke spesialis kulit. Ia mengaku belajar ilmu tentang kulit membuatnya tertantang. ”Tiap orang pasti pernah mempunyai masalah dengan kulit. Mulai dari hal yang ringan seperti kulit gatal sampai masalah kecantikan. Ilmu ini menarik sekali. Seseorang yang biasa bisa menjadi sangat cantik. Saya menjadi tertantang,” ujarnya. Melengkapi ilmunya sebagai dokter kulit, ia terampil ber-make up. Semua ilmu itu ia dapatkan saat les modeling.

Kiat Jaga Keharmonisan
Untuk menjaga keharmonisan rumahtangganya, ia selalu meluangkan waktu berdua dengan suami. ”Kadang saya diantar praktik sehingga pulangnya kami ada waktu makan malam berdua,” ujarnya. Selain bersama keluarga inti, kebersamaan juga kerap dilakukannya dengan keluarga besarnya. Hari Rabu dan Sabtu, saat ayahnya Prof. Dr. Wita tidak praktik, mereka sekeluarga selalu berkumpul.
Menurut Dokter Eka, dalam hal mendidik anak, ia menerapkan disiplin dan toleransi. Ada satu resep yang disadurnya dari cara orangtuanya mendidik dulu. ”Papa memperlakukan anak-anaknya seperti teman. Papa selalu menanyakan keseharian kami dan berkomunikasi dengan baik tanpa ada ketakutan,” tuturnya. –ast

Koran Tokoh, Edisi 676, 9-15 Januari 2012




Minggu, 04 Desember 2011

Rani Paramitha Iswara Maliawan

Lulusan Terbaik FK Unud 2011

“Dimana ada kemauan di situ pasti ada jalan”. Kalimat ini selalu tergiang di kepala dr. Rani Paramitha Iswara Maliawan, S.Ked. Lulusan terbaik Fak. Kedokteran Unud yang diwisuda (26/10) ini sudah siap konsekuensinya menghabiskan waktu belajar untuk meraih cita-citanya menjadi dokter dan menjadi kebanggaan keluarganya. Bahkan, kata peraih IP 3,88 ini, nama besar ayahnya Prof. Dr. Sri Maliawan, Sp.B.S. membuatnya makin terpacu untuk meraih sukses.

Ia mengaku ada rasa malu, jika tak bisa meraih nilai yang bagus. Dukungan, semangat, dan kegigihan sang ayah banyak memberinya motivasi untuk menjadi yang terbaik.


Rani mengaku tak punya resep khusus dalam belajar. Semua ia jalani dengan santai. Ada satu hal penting yang ditekankan gadis yang suka aerobik ini. Mengenal diri sendiri. Artinya, kapan otak bisa menerima pelajaran dan kapan otak sudah jenuh, yang artinya jangan dipaksa. Rani selalu menyiapkan waktu dua jam untuk belajar. Waktunya tidak tentu, tergantung mood. Sehari sebelum kuliah, ia selalu menyempatkan diri membaca mata kuliah yang akan diajarkan besok.

Ia mengatakan, kuliah di Fak. Kedokteran lebih banyak diberikan diskusi kelompok. “Mahasiswa harus aktif belajar sendiri. Tinggal pilih, mau pintar atau ketinggalan, semua pilihan ada pada kita,” ujar kakak Made Gemma Daniswara Maliawan dan Rataya Paramitha Maliawan ini. Ada satu kebiasaan sejak kecil yang menurut Rani, telah menumbuhkan semangat belajarnya. “Kami dibiasakan sejak kecil belajar bersama di meja makan. Sampai besar, kami sudah terbiasa belajar walau pun tidak ditunggu dan tidak perlu disuruh lagi,” kata gadis manis usia 23 tahun ini. Apalagi, kata Rani, buku-buku kedokteran sebagian besar berbahasa Inggris. Menurutnya, mau tidak mau harus rajin membaca. Namun, bagi Rani, justru karena berusaha keras untuk mengerti dalam bahasa Inggris, pelajaran lebih lama mengena di otak. Ia mengatakan, satu hari harus dapat membaca sepuluh halaman.
Kepadatan kuliah kadang membuatnya jenuh. Hari Sabtu Minggu merupakan hari yang dinantinya, waktunya bersama keluarga. Biasanya, Rani sekeluarga makan bersama di luar atau nonton. Walau pun sudah dewasa dan kedua adiknya juga sudah remaja, mereka tetap tidak melewatkan kebersamaan bersama keluarga.

Bagi Rani, justru kebersamaan dengan keluarga makin mendorongnya untuk lebih bersemangat dalam meraih cita-citanya. Menurut ibunya Ketut Ayu Sanjiwani, ia selalu menerapkan komunikasi terbuka kepada ketiga anaknya. “Tiap pulang sekolah atau kuliah, atau pulang jalan-jalan bersama teman-temannya, pasti ada saja yang dceritakan termasuk urusan pacar,” kata Sanjiwani. Menurut Rani, kedua orangtuanya sangat bersikap demokratis. “Papa dan mama tidak pernah memaksakan keinginan mereka. Anak-anak sudah diberi kepercayaan dan kepercayaan itu kami jaga dengan baik,” ujar Rani. Bukan hanya kedekatan soal komunikasi, kebersamaan Rani bersama keluarga juga terjalin saat persembahyangan bersama. Menurut Rani, kedua orangtuanya selalu menekankan untuk bersyukur.
Sebelum menjadi co as, ia masih memunyai banyak waktu untuk menyalurkan hobinya senam aerobik. Malah, ia mengaku, dengan senam, semua kepenatan kuliah bisa teratasi. Setelah waktunya tersita untuk praktik di rumah sakit, waktu senggangnya makin menipis. Tiap ada kesempatan, naik sepeda menjadi pilihannya, main piano atau menyalurkan hobinya menyanyi. Waktu di SMA dulu, Rani tergabung dalam anggota paduan suara SMANSA Denpasar. Selain jago nyanyi, prestasi akademiknya saat SMA juga menonjol. Rani tercatat sebagai juara umum I saat kelas III di SMAN 1 Denpasar.

Ada satu kisah unik dikisahkan Sanjiwani ketika Rani bertugas di Puskesmas di salah satu wilayah di Kabupaten Bangli. Salah seorang anak guru di sekolah tempat ia tinggal sementara bertugas, begitu dekat dengannya. Anak tersebut sampai sakit lantaran Rani sudah mengakhiri tugasnya melakukan pengabdian di sana. Orangtua anak itu sampai kebingungan mencari Rani agar dapat bertemu. Untunglah mereka bisa dipertemukan. Anak itu berharap, suatu ketika dapat mengunjungi dokter Rani idolanya itu di Denpasar. –ast

Koran Tokoh, 672, 4-10 Desember 2011

Rabu, 25 Maret 2009

Misteri Kerauhan (bag-4) Tamat

MADE telah berhasil mengendalikan kekuatan energi itu ketika kerauhan itu muncul. Ia mampu mengolah energi itu menjadi suatu kekuatan yang bermanfaat bagi Made. Sejak ia mampu mengendalikan kekuatan itu, ada yang berubah dalam diri Made. Ia menjadi sangat percaya diri. Made selalu bisa fokus pada setiap aktivitas yang dilakoninya.

Nilai Made pun mulai terdongkrak naik. Wajah Made menjadi lebih bersinar. Pribadinya yang menarik membuatnya mudah mencari teman. Made pun mulai memperhatikan penampilannya. ”Saya memutuskan diet dengan makanan kombinasi rendah karobhidrat. Saya hanya makan sereal untuk sarapan. Pukul 10 pagi makan buah-buahan berair. Pukul 12 siang makan dengan menu lengkap seperti biasa. Pukul 2 siang makan buah lagi dan pukul 6 sore makan malam seperti biasa,” tutur Made tentang jadwal dietnya. Selain diet makan, Made juga rajin berolah raga, dan tetap rutin meditasi. Awalnya berat badan Made 75 kg. Dengan diet ketat, ia berhasil menurunkan berat badannya hingga mencapai 55 kg.

Tahun 2004 Made dipercaya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa (HMJ) Teknik Mesin Unud. Ia juga mendapatkan kesempatan mengikuti pertukaran mahasiswa ke Jepang. Tahun 2005 Made menamatkan pendidikannya di Faklutas Teknik Mesin Unud dengan IP 3,0. Made bukan saja terkenal di kampus. Ia juga terpilih sebagai salah satu wakil Kota Denpasar dalam Pemilihan Putri Bali tahun 2006. Walaupun Made hanya menduduki peringkat 6 besar dalam ajang bergengsi itu, namun, Made sangat mensyukuri prestasi yang diraihnya itu. Setelah menamatkan sarjananya, Made melanjutkan pendidikannya ke Program Pascasarjana Unud dan bergelar Magister Teknik. Setelah itu, Made membantu usaha ayahnya di bidang properti.

Kesendirian Made mulai mengusik hatinya. Dalam doanya Made memohon pada Tuhan agar dikirimkan pendamping hidup yang sesuai dengan keinginannya. Made sering menggambarkan sosok lelaki yang diimpikannya untuk menjadi suaminya kelak.
Suatu ketika, Made bertemu dengan seorang lelaki asal Klungkung yang bernama Oma Sugandi. Lelaki ini sehari-hari berprofesi sebagai waiter di kapal pesiar Celebrity Criuse Line. Ia tertarik membeli satu unit properti yang ditawarkan Made. Setelah liburannya selesai di Bali, Oma kembali ke kapal.

Enam bulan berikutnya jadwal Oma pulang ke Bali. Made kembali mengontak Oma untuk menawarkan properti yang baru. Merasa tertarik dengan tawaran Made, Oma pun mengatur janji untuk bertemu. Ternyata, pertemuan itu bukan saja melibatkan mereka dalam transaksi bisnis, namun, benih-benih cinta tumbuh di hati mereka berdua. Selama 19 hari mereka berusaha mengenal pribadi satu sama lain.

Hari ke-19 Oma seketika melamar Made menjadi istrinya. Begitu cepat lamaran itu datang, tanpa disangka Made. Namun, Made sangat bersyukur karena Oma memiliki kesamaan dengan lelaki dalam impiannya. ”Oma begitu sempurna di mata saya. Dia begitu baik, pengertian, dan sayang pada saya dan keluarga saya. Ia juga memahami masa lalu saya,” tutur Made memuji suaminya itu dengan mata berbinar. Pesat pernikahan pun segera digelar. Masa-masa indah pun dilalui Made bersama Oma.


Setelah Made mampu mengendalikan kekuatan energi itu, ia kini mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya. Ia mengandaikan bagai ada tombol on dan off dalam dirinya. Untuk hal-hal yang berbau gaib seperti melihat makhluk gaib tombol itu tidak berfungsi. Artinya, Made tidak mau lagi melihat hal gaib seperti itu. ”Kalaupun mata saya tetap melihat, saya berusaha mengendalikannya agar pandangan tidak fokus ke arah itu,” ujar Made dengan mantap.


Sedangkan tombol on, kata Made, akan berfungsi ketika ia membutuhkan suatu motivator untuk meraih cita-citanya. Saat ini Made bekerja di Indo Bali dengan posisi yang bagus. Made pun diterima rekan kerjanya dengan penuh keakraban. Dengan meditasi spirit, Made mampu memanfaatkan indra keenamnya untuk keberhasilan dalam hidupnya. Sebelum melakukan pekerjaan apapun, Made mencoba hening sejenak untuk berkonsentrasi. Indra keenamnya pun membantu Made menyelami prilaku orang lain yang sedang berkomunikasi dengannya.

Made pun yakin, semua orang mempunyai kasus sama dengan dirinya, jika mereka mau belajar untuk melawan kekuatan itu pasti akan sembuh. Bahkan, Made sangat mensyukurinya kelebihan yang diberikan Tuhan padanya. Made tetap kerauhan, tetapi ia mampu mengendalikan kekuatan itu agar berfungsi positif baginya. Memang usaha itu tak mudah karena memerlukan waktu yang lama dan disiplin serta kemauan kuat. ”Asalkan tekun dan disiplin serta yakin berhasil, saya yakin semua masalah pasti ada jalan keluarnya,” tutur Made sambil tersenyum. –ast


Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 529

Minggu, 22 Maret 2009

Misteri Kerauhan (bag-3)

PERJUANGAN Made mengatasi kerauhan yang terjadi pada dirinya ternyata tidak sia-sia. Setelah berjuang hampir 4 tahun, Made akhirnya mampu mengendalikan kekuatan yang datang padanya. Made tetap kerauhan tapi tidak lagi berteriak atau mengamuk. Ia mampu mengendalikan kekuatan itu agar berguna bagi dirinya.

Ketika itu tahun 2002, Made diajak ikutserta bersama rombongan Prof. Suryani pergi menonton pertunjukan sakral Shanghyang Dedari di Desa Kintamani, Bangli. Saat itu Prof Suryani sedang melakukan penelitian kesurupan di Bali khususnya pada penari Shanghyang Dedari.
Begitu mendengar lagu upacara, para penari Shyanghyang Dedari ini tiba-tiba saja menari dengan mata tertutup. Mereka tidak jatuh atau menabrak penonton ataupun temannya. Bahkan sampai melakukan adegan naik ke punggung temannya yang mungkin dalam kehidupan nyata sangat sulit dilakukan dengan mata tertutup.

Made diajak ikutserta dalam rombongan itu untuk belajar mengendalikan kekuatan energi yang selama ini menganggunya. Beberapa saat ketika para penari mulai beraksi, tiba-tiba Made mulai merasakan sesuatu kekuatan energi datang menghampirinya. Tubuh Made bergetar, namun ia terus diperingati Prof Suryani untuk terus melawan kekuatan itu. Made berusaha melawan dengan sekuat tenaga. Suara Made sempat terdengar lirih ”Saya tidak kuaaaaaaaatttt.” Namun, Prof Suryani terus mendampinginya dan memberikan intruksi agar Made bertahan untuk melawannya.

Made dibimbing untuk terus melakukan meditasi, agar ia mampu melawan kekuatan itu. ”Saya berusaha fokus agar tidak dipengaruhi kekuatan itu,” tutur Made. Setelah 1 jam beraksi, penari Shanghyang Dedari selesai melakukan tugasnya. Mereka diberikan tirta oleh pemangku agar kembali sadar. Dengan berakhirnya pertunjukkan Shanghyang Dedari tersebut, Made pun terlepas dari pengaruh kekuatan energi luar biasa itu. Perjuangan Made berhasil. Itulah pertamakali ia mampu mengendalikan kekuatan itu.

Setelah Made bebas dari pengaruh kekuatan itu, ia merasakan letih yang luar biasa. Sekujur tubuhnya seperti usai melakukan pekerjaan berat. Sejak itu, Made sering pergi ke pertunjukkan sakral yang mampu membangkitkan kekuatan energi tinggi seperti pertunjukan calon arang atau yang sejenisnya. Made belajar untuk mengendalikan kekuatan energi yang tiba-tiba merasukinya.

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 528

Rabu, 18 Maret 2009

Misteri Kerauhan (bag-2)

PERISTIWA kerauhan yang sering dialami Made Suryaningsih sangat mengganggu konsentrasi belajarnya. Namun, ia tetap optimis dapat menyelesaikan pendidikannya hingga tuntas. Setelah tamat SMA, Made diterima di Fakultas Teknik jurusan Mesin Unud. Dari 70 orang teman satu angkatannya, hanya ada tiga perempuan, Made salah satunya. Rasa kebersamaan dan setia kawan teman-temannya di kampus membuat Made tetap bersemangat kuliah di tengah keterbatasan kondisi tubuhnya.

Nama Made Suryaningsih menjadi terkenal di kampusnya gara-gara pada hari pertama masa perkenalan calon mahasiswa ia sempat membuat geger seluruh peserta. Suasana perkemahan di dekat kuburan Desa Batungsel di Tabanan itu seketika kacau-balau ketika Made kerauhan. Made mengaku terus dikendalikan suatu kekuatan yang tidak bisa ia lawan. ”Hari pertama sampai hari ketiga saya tidak dapat mengikuti kegiatan. Akhirnya panitia memutuskan agar saya beristirahat di rumah,” tutur finalis Putri Bali tahun 2006 ini.


Tiada hari tanpa kerauhan, begitulah ungkapan yang dilontarkan teman-teman kampusnya. Pernah, saat berlangsung kuliah, dosen sedang berbicara di depan kelas, tiba-tiba Made kerauhan dan mengamuk. Kegiatan kuliah terhenti. Teman-teman Made yang sebagian besar laki-laki segera mencari pemangku untuk menyadarkannya.

Teman-temannya cukup memaklumi keadaan Made. Beberapa dosen memperlihatkan rasa simpati kepadanya. Namun, ada yang terasa menganjal di hati Made.
Salah seorang dosen menganggap Made hanya berpura-pura. Menurut dosennya itu, Made hanya mencari sensasi. Sikap itu diawali marahnya sang dosen ketika saat kuliah berlangsung tiba-tiba Made keluar meninggalkan kelas tanpa permisi.

Tiba-tiba Made berdiri, langsung berlari ke luar kelas. Sikap Made itu dinilai sebagai sikap yang tidak sopan oleh dosen tersebut. Akibatnya fatal bagi Made. Dosen itu memberikan nilai merah pada Made untuk mata kuliah yang diajarkannya. Made berusaha menjelaskan, namun, sang dosen tak peduli.

”Saya tidak sempat permisi keluar kelas karena serangan itu tiba-tiba saja datang dan mengendalikan diri saya. Saya segera melarikan diri ke luar kelas karena tidak ingin membuat gaduh suasana kelas. Saya tidak mampu berbicara saat itu. Kekuatan itu begitu menguasai saya. Kalau tidak segera berlari, bisa-bisa saya mengamuk di dalam kelas,” tutur Made kepada wartawati Koran Tokoh.

Made tidak peduli terhadap nilai merah yang ia peroleh. Ia tetap bersemangat menempuh kembali mata kuliah yang tertinggal itu. Made pun pernah mengalami kejadian aneh di jalan raya. Ia melihat ada kecelakaan lalu lintas. Orang berkerumun di sekitar tempat kejadian. Hal itu menarik perhatian Made. Ia datang mendekat.

Ada korbannya yang meninggal. Namun, Made kaget. Ia melihat ada seseorang yang wajah dan tubuhnya mirip dengan wajah dan tubuh korban. Orang itu berdiri di samping korban kecelakaan tadi tergeletak. ”Saya heran mengapa ada dua orang yang sama. Satu berbaring dan yang satu lagi berdiri seperti patung dengan wajah diam,” ungkap Made tentang makhluk gaib itu.

Mengingat Made sering mengalami kerauhan dan melihat makhluk gaib, salah seorang teman kuliahnya yang juga temannya saat di SMAN 6 Denpasar, menganjurkan Made berkonsultasi dengan ahli kejiwaan Prof. L. K. Suryani. Made melaksanakan anjuran itu.

Itulah awal Made menemukan jalan untuk kesembuhannya. Made seolah mendapatkan semangat baru untuk keluar dari penderitaan yang dialaminya. ”Saya diminta melawan kekuatan itu dengan fokus,” ujar Made tentang saran guru besar FK Unud itu.

Ia rutin mengikuti meditasi di Wantilan DPRD Provinsi Bali tiap Sabtu mulai pukul 17.00. Ia juga diberi obat penenang selama satu bulan yang diminum dua kali sehari. Tiap pagi usai bangun tidur sekitar pukul 05.30, ia rutin melakukan meditasi.

Perjuangan Made melawan kekuatan yang selalu tiba-tiba datang menyerang, hampir membuat ia frustrasi. Namun, ia teringat saran Prof. Suryani yang mengatakan bahwa meditasi tidak seperti makan cabai, yang cepat dirasakan reaksinya. ”Meditasi harus dilakukan dengan sabar dan tekun,” saran Prof. Suryani kepada Made waktu itu. Serangkaian saran ahli kejiwaan itulah yang selalu menyadarkan Made ketika semangatnya dalam kondisi ingin menyerah. Kebulatan tekad dan semangat Made untuk sembuh dan tak ingin disebut ”orang aneh” akhirnya membuahkan hasil. –ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 527

Senin, 16 Maret 2009

Misteri Kerauhan (bag-1)

Made Suryaningsih Makan Banyak karena Stres.

“MADE kumat lagi,” ujar beberapa siswi SMP N 9 Denpasar yang sedang mengobrol di depan kelas waktu itu. “Ngeri melihat dia mengamuk. Semua benda yang ada disampingnya dilempar. Aku takut sama Made,” tutur salah satu diantara mereka. “Kita menjauh saja. Dia seperti orang aneh,” tambah yang lainnya ikut bicara. Begitulah sikap teman-teman Made Suryaningsih saat pertamakali sesuatu yang aneh terjadi pada perempuan kelahiran Denpasar, 6 Oktober 1981 ini.

Ketika itu, Made begitu ia akrab disapa, sering kerauhan. Made mengaku ada suatu energi kekuatan yang luar biasa yang mengendalikannya membuat ia tak mampu menolaknya. Bukan hanya kerauhan, Made mampu melihat dengan mata telanjang makhluk lain di dunia gaib. Nasib baik berpihak pada Made. Seorang teman mengenalkannya dengan Ahli Kejiwaan Prof. L.K. Suryani.

Dengan belajar meditasi Made mampu mengendalikan kekuatan energi itu. Made kini mampu memanfaatkan kelebihan indra keenamnya untuk kehidupannya sehari-hari. Bahkan kesuksesan ia raih dalam segala bidang mulai dari prestasi di kampus, dunia organisasi, pekerjaan, termasuk urusan jodoh. Bagaimana perjuangan Made sehingga ia mampu menjadi manusia normal kembali?

Made mungkin tidak mengira hidupnya akan berubah sejak ia duduk di kelas III SMP. Ada suatu kekuatan yang membuatnya sering kerauhan. Jika dia melewati tempat yang angker, indra penglihatannya mampu melihat kehidupan para penghuni dunia gaib. Made merasa takut dengan semua yang dilihatnya. ”Saya berusaha memejamkan mata agar tidak melihat itu semua,” tutur Made. Jika sembahyang ke pura-pura, Made sering melihat sebuah sinar datang menghampirinya. Kekuatan sinar itu tidak mampu ditolaknya. Made akan mengeluarkan suara ngeregeh suara khas orang kerauhan, kemudian pingsan.

Melihat keadaan Made yang tidak sewajarnya, ayahnya Nyoman Rindi Paramarta dan ibunya, Ni Ketut Rini, mencoba mencarikan Made obat. Hati Ketut Rini sedih melihat keadaan putri keduanya itu. Beberapa balian sudah didatanginya. Menurut mereka, apa yang Made alami sekarang akibat proses reinkarnasi. Suatu proses kelahiran kembali yang lebih sempurna dibanding orang lain sehingga Made memiliki suatu kekuatan indra keenam.

Sehari Made kadang kerauhan dua sampai tiga kali. Made mengaku keadaan ini sangat menyiksanya. Selain ia tidak dapat berkonsentrasi belajar, Made tidak memiliki teman. ”Semua takut pada saya dan mereka mengatakan saya manusia aneh,” ujar Made.
Dengan tertatih-tatih, Made mampu menyelesaikan pendidikannya dan melanjutkan ke SMAN 6 Denpasar. Semester pertama, Made nyaris tidak pernah sekolah. Kondisinya makin parah. Kadang ia pingsan mendadak, kadang kerauhan, dan mengamuk. Ia pun menjalankan rutinitas pengobatan ke beberapa balian di Bali.

Namun, hasilnya nihil. Made menjadi pendiam di sekolah. ”Tak ada yang mau jadi teman saya. Keadaan ini benar-benar membuat saya stres,” tuturnya. Menyalurkan kegundahan hatinya, Made melampiaskannya dengan makan. Dia sudah tidak peduli lagi dengan bentuk tubuhnya yang makin hari makin subur.
Biasanya Made kerauhan sekitar 1 jam. Setelah dicarikan pemangku dan dipercikkan tirta (air suci) ia langsung sadar. Setelah istirahat sekitar 15 menit, kondisi Made pulih kembali. Made mengaku tidak merasakan lelah walaupun sudah mengamuk. ”Saya merasa biasa saja, tidak capek sedikitpun,” tutur Made.

Ada satu kejadian yang paling membekas di hati teman-teman Made di SMAN 6 Denpasar. Ketika itu Made kerauhan dan mengamuk dari pukul 11 siang hingga 3 sore. Pemangku yang biasanya didatangkan ke sekolah sedang ada kegiatan di Pura di luar Denpasar. Karuan saja segenap isi sekolah geger dan proses belajar mengajar menjadi terganggu. Dengan kekuatan yang luar biasa, Made membanting meja dan kursi. Kejadian itu membuat penghuni sekolah histeris ketakutan melihat ulah Made. Para guru kebingungan mengendalikan Made.

Sambil menunggu pemangku datang, para guru berusaha memegang Made agar dia tidak menghancurkan barang-barang yang ada di dekatnya. Namun, kekuatan Made sangat luar biasa. Tak pelak para guru yang mencoba mengendalikannya merasa keletihan. Untung saja tepat pukul 3 sore pemangku datang. Serta merta pemangku memercikkan tirta ke tubuh Made.

Berselang beberapa menit Made sadar dan lemas. Setelah beristirahat sekitar 15 menit, Made bangun dan kondisinya pulih segar bugar seperti biasa. Ketika ditanya guru dan teman-temannya di sekolah, Made mengatakan tidak mampu membendung kekuatan yang datang menghampirinya itu. Made sendiri mengaku tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya. ”Saya merasa ada energi luar biasa datang dan mengendalikan saya. Tapi saya tidak mampu melawan. Saya berteriak dan mengamuk. Saya tidak tahu bagaimana caranya mengerem kekuatan itu,” kata Made dengan mimik serius. –ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 526

Jumat, 02 Januari 2009

Mengincar Wong Cilik di daerah Kritis

Mengawali tahun 2009 ini, aku mengganti theme yang lebih soft, karena tahun ini tahun keprihatinan. Alangkah indahnya jika di tahun yang baru ini kita lebih meningkatkan tali persuadaraan dan membantu sesama yang memerlukan bantuan. Seperti yang dilakukan Ibu kita satu ini. Aku mengutip tulisan temanku untuk profil Ibu Teladan Se-Bali 2008 ini.

BANYAK pilihan bagi seseorang untuk dijadikan ajang pengabdian dalam berbagi kelebihan yang dimiliki, baik waktu, fisik, idealisme, maupun finansial. Bagi Ni Nyoman Nilawati (58) pilihannya jatuh di bidang kemanusiaan, sosial, dan keagamaan. Warga tidak mampu di pedesaan menjadi incarannya.


Untuk lebih bisa mengekspresikan kepeduliannya pada wong cilik ini, ia pensiun dini sebagai PNS di Sekolah Kebidanan RSUP Sanglah Denpasar, tahun 1977. Setelah itu keseharian tamatan Sekolah Guru (Akademi) Bidan tahun 1972 ini sarat kegiatan menghadiri seminar, pelatihan, kursus, berorganisasi, mengelola yayasan, dan menyalurkan bantuan. “Forum seperti seminar adalah sumber informasi yang bisa memperluas wawasan dan menambah relasi saya,” ujar ibu tiga anak lelaki, dua sarjana dan yang satu masih kuliah ini.

Ia tak ragu-ragu merogoh rupiah dari kantong pribadinya, menyalurkannya sebagai bea siswa puluhan anak yang orangtuanya tidak mampu dan anak yatim. Bantuan pun disalurkan kepada warga lainnya, khususnya di daerah kritis dan pedesaan, mulai kelompok peternak kambing sampai pemilik bengkel yang memerlukan bantuan modal. Aktivis berbagai organisasi social ini selalu berpenampilan sederhana sangat jauh dari kesan glamour.

Ia juga piawai dalam mengarahkan kegiatan tiap organisasi yang digelutinya agar menyentuh kebutuhan masyarakat daerah minus seperti beberapa desa di Karangsem, Bangli, dan Buleleng, yang miskin sumber air. Di pelataran tempat tinggalnya di Desa Pesaban, Rendang, Karangasem, tumbuh aneka tanaman obat keluarga. “Bersama warga setempat kami sedang merintis usaha membuat minuman kesehatan herbal,” tuturnya.

Tidak mengherankan, sebagian besar tanda penghargaan yang diterima istri Made Sudiarta ini justru datang dari masyarakat pedesaan. 22 Desember 2008, adalah hari bersejarah baginya karena ia dinobatkan sebagai Ibu Teladan Se-Bali 2008.

Sabtu, 29 November 2008

Cinta Laura


Pernah menonton penampilan Cinta Laura sebagai seorang penyanyi? Luar biasa, itulah yang bisa aku katakan. Sebagai bintang muda yang baru saja menampakkan kariernya Cinta termasuk salah satu aktris yang cepat meroket. Dengan tampang bule, wajah cantik, pintar dan cerdas, Cinta mulai merebu hati masyarakat Indonesia.

Selain suaranya yang tidak fals, penampilannya di panggung bak super star. Aku bahkan berdecak kagum melihat gaya Cinta menyanyikan lagu seperti Becek Gak Ada Ojek, Umbrella feat The Rock, You Say Aku (Beibeh beibe), You Say Aq, We Can Do It.

Cinta Laura lahir di Quakenbruck, Jerman, 17 Agustus 1993 dengan nama lengkap Cinta Laura Kiehl. Gadis cantik bertinggi badan 170 cm dan berat 44 kg memulai kariernya di dunia hiburan Indonesia sebagai finalis Top Model 2006. Salah seorang juri ajang pemilihan tersebut adalah Sanjay Maulani, seorang casting director di MD Entertainment. Cinta pun langsung ditawari main sinetron. Putri dari pasangan Michael Kiehl dan Herdiana, SH ini akhirnya menerima tawaran untuk menjadi bintang utama dalam sinetron CINDERELLA produksi MD Entertainment.

Cinta tidak terlalu pintar bahasa Indonesia karena ia besar di berbagai negara, mengikuti tempat tugas ayahnya sebagai General Manager Hotel Grand Hyatt.
Sinetron CINDERELLA-lah yang mengenalkan Cinta ke masyarakat Indonesia. Sampai akhirnya Cinta mendapatkan penghargaan SCTV Awards dengan kategori Aktris Ngetop pada tahun 2007 dan mengalahkan para pesaingnya antara lain Marshanda, Shireen Sungkar,dan Nia Ramadhani.

Minggu, 09 November 2008

Perintis Hotel di Kuta

PERTAMAKALI pariwisata mulai ramai di Kuta, belum banyak warga yang mendirikan penginapan maupun hotel. Namun, peluang bisnis ini dilirik I Nengah Walon yang mempromosikan home stay dengan nama Pension Walon yang masih bergabung dengan rumah tinggalnya sekitar tahun 1972. Empat kamar dengan bentuk bangunannya semi permanen dengan setengah bata yang diatasnya masih menggunakan gedek dengan kamar mandi yang letaknya di luar

Ketika turis mulai ramai ke kuta, lelaki kelahiran Banjar Pande Mas Kuta 72 tahun silam ini membuat 6 kamar lagi kira-kira 100 meter dari tempat tinggalnya. Bentuknya seperti rumah kos-kosan.

Saat booming pariwisata tahun 1985 ia mulai mengembangkan pertokoan di daerah Legian. Ternyata hasilnya sangat lumayan, sehingga dia berkeinginan membangun sebuah hotel melati berlantai tiga. Walon merupakan perintis hotel di Kuta. Saat pembangunan hotel sekitar tahun 1990-1991, pecah perang teluk sehingga priwisata lesu dan jarang tamu yang datang ke Kuta. Namun, pembangunan hotel tetap berjalan. Awal mulanya dibangun 18 kamar. Namun, ia bersyukur saat perang teluk tidak sampai memberhentikan karyawan. Namun, disiasati dengan bergiliran bekerja. Suami Ni Wayan Karya ini bangga karyawannya yang sudah bekerja dari dulu sampai sekarang tetap loyal bekerja dengan baik.

Tahun 1996 di sebelah barat hotel dikembangkan menjadi 40 kamar ditambah beberapa cottages dengan nama La Walon Bungalow. Tahun 1999 sepulang anak sulungnya dokter Wayan Retayasa yang telah menamatkan studinya di Jepang, bersama adiknya dokter Ketut Muliawan membangun kompleks pertokoan Benesari Kuta dengan nama La Walon Centre yang diresmikan Bupati Badung Cok Ratmadi Agustus tahun 2002.

Namun, dua bulan setelah peresmian, 12 Oktober bom dasyat mengguncang Bali. Pertokoannya pun kena imbasnya. 30 toko kacanya hancur dari 52 pertokoan yang dibangun. Pariwisata lesu bahkan banyak yang gulung tikar dan memberhentikan karyawannya. Kemudian disusul kembali Bom Bali yang kedua tahun 2005. Hanya pertokoan yang di Jalan Legian saja yang bisa bertahan hidup. Ia pun tidak patah semangat.

September 2007 ia mulai melakukan renovasi pada hotelnya dengan membangun lagi lantai 3 dan 4. Sebelumnya ia melakukan survei hotel yang bagus di daerah Nusa Dua yang disukai turis dengan konsep minimalis moderen.

Ia akhirnya mendapatkan ide baru dengan memasang patung Garuda Wisnu sebagai simbul hotel dan penataan kebun labih bagus. Ia pun menciptakan fasilitas hotel berbintang dengan harga hotel melati.

Ternyata sambutan tamu lumayan bagus, bahkan pemasukan hotel melebihi booming pariwisata sebelum bom Bali I. Ini memberi kontribsi besar penduduk lokal dan pencari rezeki

Mulai tahun 2008 berubah nama menjadi La Walon Hotel yang resmi dipelaspas Rabu (29/10) lalu. La sama dengan the, seperti the sun, dalam bahasa Perancis yang artinya menunjukkan sesuatu benda. Nama inipun menjadi mudah dikenal para turis. Dengan lokasi di Jalan Poppies I Kuta, La Walon hotel diminati turis Eropa, Jepang, Rusia juga turis lokal.

Dengan moto “Your Home in Bali”, ia berharap agar para turis menganggap La Walon Hotel seperti rumahnya sendiri di Bali. La Walon Hotel menyediakan 62 kamar dengan fasilitas restoran, kolam renang, TV kabel, AC, hotspot, hot/cool water. Dua family room terletak di lantai 5, dimana para tamu dapat melihat pemandangan Kuta secara keseluruhan.

Dulunya I Nengah Walon hanyalah seorang tukang emas yang membuat cincin, kalung dan gelang. Sejak menikah tahun 1958 dengan Ni Wayan Karya, perempuan kelahiran

Br. Pemamoran Kuta 69 tahun silam itu ia pun tetap melakoni pekerjaan itu. Ia juga sempat diajarkan membuat gagang keris dari emas oleh kakaknya Nyoman Rampeg (Pan Kempu). Bahkan gagang keris emas itu sering di pesan mantan Presiden RI (alm) Suharto.

Setelah pariwisata mulai ramai, ia beranjak menjadi perajin perak. Bahkan anak sulungnya Dokter Retayasa yang masih SD sudah biasa memasarkannya sebagai pedagang acung ke pantai Kuta. Akhirnya dia beralih berbisnis home stay

ketika turis mulai banyak berdatangan ke Kuta.

Bagi Nengah Walon kiat bisnis yang utama adalah kepercayaan dan kejujuran. “Bagi saya karyawan adalah aset perusahaan. Memperlakukan karyawan dengan baik dan menerapkan sistem seandainya saya sebagai karyawan dan bagaimana kalau saya seorang bos, selalu saya terapkan. Saya merasa bangga mereka juga loyal terhadap perusahaan,” ujar lelaki yang sudah berkeliling ke Jepang, India, Nepal, Malaysia, Singapura, dan Thailand ini. Saat ini La Walon hotel memperkerjakan 45 orang karyawan.

Ia selalu mengajarkan para karyawan hotel untuk memberi pelayanan prima dengan melayaninya seperti raja. Selalu bersikap bersahabat dan membuat mereka nyaman di hotel, dan ingin berlama-lama di sana. Setelah mereka kembali ke negaranya, mereka rindu untuk kembali ke sana.

Ia menyayangkan banyak hotel di Kuta dimiliki oleh orang luar. “Mengapa orang Kuta tidak bisa menjadi tuan di rumahnya sendiri? Sebagian besar tanah dijual pada orang luar dan merekalah yang menikmati madunya Kuta,” ujar Walon dengan mimik serius.

Sesuai imbauan Gubernur Bali, Walon berharap warga Kuta tidak lagi menjual tanahnya pada orang luar, tapi dikontrakkan saja, sehingga hak milik tetap pada masyarakat Kuta.
Bagi Walon pendidikan anak-anak adalah yang terpenting,
agar mereka mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan tidak sepertinya yang hanya tamat SD. Keberhasilan bagi Walon bukan diukur dari uang saja, tapi dapat menyekolahkan anak-anak ke pendidikan tinggi dan menjadi orang merupakan kebahagiaan tersendiri baginya.

“Saya bahagia dapat menyatukan anak-anak dan rukun antara anak, menantu dan cucu. Tiap bulan diadakan arisan dan mereka semua berkumpul di rumah saya mereka dapat berinteraksi dengan semua anggota keluarga,” ujar kakek yang memiliki tiga orang cucu yang sedang menempuh pendidikan dokter di Surabaya ini.

Walon melibatkan anak-anaknya dalam mengambil keputusan hotel dengan tujuan agar mereka dapat belajar bisnis walaupun pengelolaan tetap padanya. “Anak-anak saya biarkan bisnis sendiri agar bisa mandiri atau bisnis bersama-sama dan tidak ada ikatan dengan bisnis saya,” tutur lelaki yang tetap gaul diusianya yang sudah lansia ini.
Mulai saat ini Walon ingin
pensiun dan menyerahkan pengelolaan hotel, restoran dan kompleks pertokoan pada anak-anaknya.

“Mungkin pemikiran anak-anak muda lebih maju bisa melihat peluang bisnis tidak seperti saya yang masih tradisional. Saya hanya meletakan dasarnya saja, terserah mereka dalam mengembangkan selanjutnya,” kata ayah dari dr. I Wayan Retayasa, Sp. A.(K), Nengah Reti, Nyoman Seni, dr. Ketut Muliawan, Sp. T.H.T.-KL, dan Wayan Sarmini ini. Walon mengaku sudah capek berbisnis dan ingin santai menikmati hari tua sambil mengemong 16 cucunya.

Manager hotel dipercayakan di pundak menantunya I Made Sudiarta dibantu dokter Ketut Muliawan. Dokter Retayasa sendiri mengelola kompleks pertokoan, apotik dan legian klinik. -ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 512, 2 November 2008

Kamis, 23 Oktober 2008

Selamatkan Bumi dengan Pertanian Organik


Sederhana dan apa adanya, itulah yang terlukis dari sosok Dr. Ir. Luh Kartini M.S., saat kami bertandang ke rumahnya di wilayah Ubung Kaja. Perempuan kelahiran Buleleng, 21 April 1962 tidak malu mengakui dirinya sebagai petani karena kedua orangtuanya juga petani. Bahkan saat menunjukkan pembuatan pupuk organik pada kami, tangannya kotor berlumuran tanah. Maraknya penggunaan pupuk kimia dan pestisida dalam pertanian membuat hati ibu tiga anak ini gundah. ”Kita harus selamatkan generasi muda masa depan bangsa,” ujar Ketua Yayasan Bali Organic Association (BOA) tegas.


Istri Drs. I Made Agustina ini mengaku bangga menjadi petani organik. Ia menuturkan dulu saat ia kecil bermain di sawah anak-anak tidak mampu berlarian di permukaan tanah karena kaki akan masuk ke dalam tanah sampai kurang lebih 60 cm karena tanah sangat gembur dan berhumus. Hal itu terjadi karena pemupukan dengan pupuk organik yang intensif. Ia pun dengan bebas minum air sawah. Kartini merasa alam benar-benar aman dan memberikan segalanya. “Kini setelah berkembang pupuk kimia, dan penggunaan pestisida alam menjadi benar-benar rusak. Cacing tanah banyak mati,” ujarnya dengan nada kesal.


Karena itu ia mencoba membuat satu pupuk organik dengan nama Kascing. Pupuk kascing merupakan salah satu pupuk organik yang mempunyai kelebihan dari pupuk organik lainnya karena unsur haranya dapat langsung tersedia. Pupuk Kascing mengandung mikroorganisme dan juga hormon tumbuh lengkap. sehingga dapat mempercepat pertumbuhan tanaman. Penemuannya ini mengantarkan ia meraih gelar doktor di Univ Padjajaran Bandung 1997 . Bahkan Menteri Etiopia sempat belajar membuat pupuk organik padanya tahun 2000.

Keinginannya yang menggebu-gebu ingin menyelamatkan alam, disambut baik suaminya. Bersama saling bahu membahu ia mengembangkan CV Sarana Petani Bali.


Kartini membina Kelompok Tani Muda Mandiri di Desa Pancasari Buleleng. Usia mereka rata-rata 25 -35 tahun. Mereka dilatih menjadi petani organik. Hasil mereka disalurkan ke Aero Catering Service dan toko organik. Ternyata enam bulan berjalan hasil panen lumayan bagus, kemudian Kartini membentuk sistem saham agar para petani juga merasa ikut memiliki.


Kartini juga mencoba membuat suplemen makanan dengan bahan utama cacing tanah. Berdasarkan penelitiannya, cacing tanah selain berfungsi sebagai antioksidan di dalam tubuh, juga mengandung protein dan asam amino esensial lengkap dan mikronutrisi lainnya. Dengan nama Lubrimanan, suplemen makanan ini sangat bagus untuk menjaga kesehatan dan mengobati berbagai macam penyakit.


Kartini mengaku tidak terlalu muluk-muluk menghadapi hidup. Dengan prinsip hidup ”Sederhana untuk Sukses” selalu dilakoninya. Hal itu juga ia terapkan pada ketiga anaknya. Dalam setiap kegiatan petani, mereka selalu dilibatkan. Kalau libur sekolah mereka diajak pulang kampung ke Jembrana, asal suaminya. Kartini ingin anak-anaknya mencintai kampung halamannya dan lebih dekat dengan suasana alam desa. –ast

Senin, 20 Oktober 2008

Manfaatkan Toga untuk Keluarga

Hobi tanaman, awal mula Tjok Istri Agung Adnyani, atau yang akrab disapa Ibu Tjok ini terjun ke pengolahan tanaman sebagai obat tradisional dan kecantikan. Pemanfaatan pekarangan di sekitar rumahnya menjadi pilihannya mengembangkan hobi bercocok tanam. Rumah Ibu Tjok sengaja dibuat terbuka yang mengandung makna ia bersama keluarganya sangat mencintai alam dan terbuka pada siapapun.

Itu alasan yang dilontarkan suaminya Tjok Gede Agung Adnyana, Sm.Hk, ketika ditanya tentang konsep rumah tinggalnya. Kicauan burung menyambut kedatangan kami siang itu. Ada 24 jenis tanaman obat yang tumbuh di pekarangan rumahnya diantaranya ginseng, jempiring, tebu merah, delima,ua liligundi, daun dewa, mahkota dewa, tabia bun, sirih, dan dadap.

Perempuan kelahiran Klungkung, 21 April 1949 ini mulai belajar meracik tanaman menjadi obat tradisional lewat hobinya yang suka membaca dan menonton televisi. Aktif sebagai anggota PKK di Br. Sindhu Kelod Sanur dan sebagai pengurus PKK di Kelurahan Sanur membuat wawasannya makin terasah.

Menurutnya banyak sekali manfaat yang ia dapatkan sejak aktif di PKK. “Mulai dari penataran P4, kursus kecantikan, memasak, bahasa Inggris, membatik, menjahit, manajemen, dan pelatihan tanaman obat,” tutur Pimpinan Putri Bali ini.

Setelah ilmu itu diserapnya, Ibu Tjok menularkannya kepada ibu-ibu PKK lainnya. Ia sempat membuka kursus bordir dengan cuma-cuma pada remaja dan ibu PKK se-Desa Sanur tahun 1978 sampai 1990. Keinginan itu didasari rasa ingin membantu perempuan agar mempunyai keterampilan yang dapat menghasilkan. Karena kegigihannya aktif sebagai PKK, maka tak salah ketika tahun 1984 ia mendapatkan prestasi Ibu Teladan Kabupaten Badung.

Setelah ia menguasai cara meracik obat tradisional dari tanaman obat, ia pun membagi ilmu itu pada ibu-ibu lainnya. Ia terjun ke lapangan memberi penyuluhan ke masing-masing PKK di Kelurahan Sanur. Bagi Juara I Kader PKK se-Kota Denpasar tahun 2000 ini, ia berharap dengan penguasaan obat tradisional para ibu dapat melakukan P3K untuk anggota keluarganya. “Selain mudah didapat biayanya juga murah,” katanya.

Dalam kesehariannya, Bu Tjok memanfatkan toga ini untuk keluarganya. Khususnya untuk pengobatan sederhana bila cucunya sakit. Kini ia pun memanfaatkan bahan tradisional untuk membuat lulur kecantikan dan sempat mendemokan pembuatannya di depan tim juri.

Kartini pendobrak, begitulah julukan ibu tiga anak ini. Dulu semasa kecilnya, dialah satu-satunya perempuan di Puri yang bisa melanjutkan pendidikan tinggi. Sebagai perempuan ia juga ingin maju dan pintar. Menurutnya walaupun perempuan nantinya berfungsi sebagai istri bukan berarti perempuan tidak boleh berkiprah sama dengan laki-laki. “Suami dan istri harus saling bahu membahu. Tidak ada kedudukan yang lebih tinggi,” ujarnya.

Ketika ditanya kiat menjaga rumahtangganya, Ibu Tjok menjawab diplomatis. “Selalu penuh cinta dan romantis,” ujarnya yang disambut senyum manis Pak Tjok. Bahkan kemesraan mereka kerap membuat kagum putra-putrinya.

Salah satu putrinya, Tjok Trishna mengaku kemesraan kedua orangtuanya memberinya motivasi untuk lebih kuat menjaga arti sebuah perkawinan dengan tetap saling pengertian dan terbuka satu sama lain. Tjok Gede Agung Kurniawan, putra sulungnya yang sudah menikah dan tinggal bersamanya mengaku salut dengan ibunya. Salah satu nasihat ibunya yang selalu diingatnya, jangan selalu meminta bantuan orang lain. “Kalau bisa dikerjakan sendiri tanpa pembantu lakukanlah pekerjaan dengan baik. Hasilnya memberi kepuasan tersendiri,” ujarnya.

Keinginanan Ibu Tjok memajukan kaum perempuan memberinya inspirasi membentuk Koperasi Wanita Bali Krya Pertiwi tahun 2007. Dengan misi dan visi dari perempuan Bali untuk ibu pertiwi, koperasi ini kini telah berkembang dengan jumlah anggota 60 orang. Rasa ingin membantu sesama pun terlintas dibenaknya ketika melihat anak pembantunya putus sekolah karena tidak ada biaya sekolah. Ibu Tjok turun tangan membantu biaya sekolah dan keperluan buku pelajaran siswa yang kini duduk di kelas III SD 10 Sanur itu. –ast

(salah satu calon kandidat Ibu Teladan 2008)

Rabu, 01 Oktober 2008

Dokter Andri

Entah mengapa tiba-tiba aku teringat Dokter Andri. Seorang dokter muda yang sedang bertugas di Kapuas. Saat ini tentunya dokter lagi sibuk yah…… merayakan Hari Idul Fitri di sana. Gak mudik ke Jawa, lantaran tugas mulia tidak bisa ditinggal. Disamping kantung kosong yah… dokter. Hikh..ikh..ihk..hik..hik…hik….hik………

Dok, aku banyak belajar dari mu mencari arti hidup ini.

Bahwa hidup ini lucu, karena kita selalu senang menertawakan orang lain.

Kadang kita lupa, melihat begitu banyak kekurangan kita.

Gayamu yang sedikit nyeleneh seperti katamu, saat kuliah dengan PD-nya memanjangkan rambut alias gondrong, menandakan jiwamu yg ingin tampil beda. Katamu, Dokter ga harus selalu berpenampilan sopan dan necis, karena orang harus menilai bukan dari penampilan fisiknya tapi dari dalam. Aku setuju dok……….

Bahkan setiap rutinitas yang kamu lakoni, kamu ambil sebagai catatan perjalanan dengan bahasa yang sarat pesan. Walaupun kamu kadang menyentil, tapi membuat orang tersenyum. Bahkan untuk hal sekecil apapun ( seperti catatan staf perawat gigi di tempatmu dan seputaran kisah di dalam bus). Aku pun sempat bertanya, “kenapa gak jadi wartawan saja” Kamu malah menjawab,” Cita-cita dulunya pengen jadi wartawan, tapi malah dapat yang lebih baik jadi dokter.” Uangnya lebih banyak yah dok………….. hik.hik…hik…hik……hik………….

Bahkan tes psikologimu kamu laporkan hampir sama denganku menandakan jiwa kita ada kesamaan, sama-sama berhati baik, pribadi yang hangat, terbuka, apa adanya, tidak munafik, suka menolong, dan disukai orang banyak. Ha..ha..ha..ha..ha…ha..ha…….. kepedean nih……….

Ada satu hal menggelitik yang membuat selalu aku tersenyum setiap masuk ke sitemu.
Bahwa menjadi cakep adalah hal biasa. Namun, menjadi pribadi dengan tampang pas-pasan dan disukai banyak orang itu hal yang luar biasa.
Kamu yang selalu mengkampanyekan bahwa tampil PD adalah nomer satu, membuatku sering mengulum senyum.

Bahkan aku belum pernah melihat tampangmu muram durja, selalu tersenyum, w alaupun duit di kantong tinggal secekak, yang penting ada sebatang rokok menemanimu. Ha..ha..ha..ha…ha…..
Dengan bangga mengatakan diri cakep walaupun berkulit coklat, kurus kerontang, dan tampang pas-pasan.
Kamu bahkan mengajarkan bahwa tidak ada orang yang terlahir jelek. Semua cakep dan cantik, tergantung dia berani tampil beda dan PD. Weh, kalau yang ini, aku benar-benar setuju 100%.
Zaman sekarang ini, bukan hanya orang ganteng yang sombong, tapi orang dengan tampang pas-pasan gayanya selangit. Hehe..he..he..he..he.. perpindahan zaman kale…..

Ada beberapa hal yang aku simpulkan dari postinganmu yakni:

Bahwa hidup ini indah, jadi marilah kita menertawakan diri kita sendiri, jangan selalu menertawakan kekurangan orang lain. Jika kita menilai orang lain hanya dari penampilan luarnya saja, kita termasuk orang yang bodoh

Begitu juga sebaliknya, jika kita selalu melihat kekurangan kita dan merasa tidak PD, kita adalah orang yang lebih bodoh lagi. Masih banyak kelebihan yang harus kita tonjolkan.
Apalagi sampai berpikir, orang akan langsung menjauh kalau melihat tanpang kita jelek.

Berbahagialah orang-orang yang mempunyai sifat seperti kita dok, karena dunia ini pasti aman. Tidak ada rasa iri hati, kebencian, selalu terbuka, bahkan selalu mengambil manfaat positif dari sebuah pertemuan.
Tidak akan ada perpisahan, karena jarak bukanlah sesuatu yang harus ditangisi.
Keinginan menjadi pribadi yang hangat, bahkan mampu mendekatkan jarak sejauh apapun, bahkan sampai berjuta-juta mil.

Dok, sampai kapan kemunafikan ini berakhir? Kenapa mesti ga PD kalau tampangnya pas-pasan ya dok. Coba tiru dokter Andri, ha..ha…ha…ha…..ha….

Aku hanya sedih melihat, orang-orang yang tidak penah mengerti artinya persahabatan.

Akankah ternoda oleh hal-hal sepele, yang tidak mengandung arti apapun.

Pantas aja banyak yang ingin menjadi sahabatmu dok. Bahkan kamu adalah dokter yang sangat dekat dengan masyarakat di sekitarmu He..he..he..he.. termasuk gadis Dayaknya Dok. Awas banyak gadis Dayak ngantre tuh……….puih…. paajang banget barisannya.

Ha..ha..ha..ha..ha..ha…

Dok masih mengkampanyekan wajah gantengnya yang pas-pasan ?????

Atau mencari gadis berambut panjang lurus? Jangan malam-malam dok, hati-hati ....... apalagi nyarinya di pinggiran sungai. weleh............. hik..hik..hik....

Ha..ha.ha..ha..ha…

Selamat Lebaran Dok, semoga banyak oleh-olehnya.

Gadis Dayak udah nunggu tuh……………..


Jumat, 29 Agustus 2008

Dokter Gigi Berpenampilan Preman

ISTILAH preman, selalu dikaitkan dengan tingkah brutal seperti merampok, merampas, memeras atau kelakuan apa saja yang merugikan orang lain baik fisik maupun jiwa.Orang yang bertubuh tinggi besar dan badannya dipenuhi tato, selalu dikatakan preman dengan konotasi negatif.
Penampilan bak preman selalu dilekatkan dengan aksi premanisme. Namun, di balik itu, aksi premanisme justru banyak dilakukan orang-orang yang tampil rapi, berdasi, dan orang-orang yang dianggap baik. Mereka melakukan pencurian, korupsi, narkoba, pembunuhan, dan tindakan lainnya yang merugikan masyarakat. Demikian diungkapkan drg. I Gusti Bagus Arya Putra saat ditemui di tempat praktiknya di Apotek Kimia Farma Jalan Kartika Plaza Kuta.

Penampilan dokter gigi yang satu ini sangat unik. Tubuhnya hitam, tinggi besar, badan dipenuhi tato, dan kedua telinganya menggunakan anting. Ia mengaku berpenampilan seperti itu karena merasa nyaman. “Saya ingin menjadi diri saya sendiri dan tampil apa adanya,” ujar lelaki kelahiran Denpasar, 10 Januari 1968 ini.
Kehidupannya yang keras sejak remaja, membentuk kepribadiannya hingga kini. Pendiam, itulah yang terlukis saat pertama kali bertemu dengan lelaki berzodiak Capricorn ini.

Sejak SMA, lelaki yang akrab disapa Arya ini sudah biasa nongkrong bersama teman-temannya di jalanan. Lulus SMA, ia tertarik kuliah di kedokteran gigi. Ia termasuk salah satu angkatan pertama di Fakultas Kedokteran Gigi Mahasaraswati Denpasar. Namun, saat ia menempuh pendidikan tinggi, ayahnya meninggal. Beban nafkah keluarga harus ditanggung ibunya sendiri. Sementara Arya bersama dua saudaranya memerlukan biaya besar untuk kuliah mereka. Arya bertekad membantu ibunya dengan membuat kue khas Bali untuk dijual sebagai biaya kuliahnya. Bahkan ia tidak malu untuk menumbuk tepung dan mengantarkan kue ke pasar dan toko-toko. Usahanya tidak sia-sia. Tahun 1997 ia menamatkan pendidikannya dengan baik.
Setelah setahun membantu temannya di klinik, Arya membuka praktik sendiri. Selain bertugas di Apotek Kimia Farma, ia juga menerima panggilan pasien langsung ke hotel-hotel.
Ada hal menarik yang dituturkan Dokter Arya mengenai tanggapan pasiennya terhadap penampilannya. Saat pertama kali datang, mereka kaget. Ada yang memandang aneh padanya. Ia memang tidak pernah mengenakan jas putih dokternya. Namun, setelah terjalin komunikasi yang baik, pasien begitu antusias menceritakan keluhan penyakitnya. Mereka tidak sungkan-sungkan bertanya, karena merasa nyaman dengan tidak adanya formalitas.
Pasiennya justru sebagian besar anak kecil. “Biasanya anak kecil paling takut ke dokter gigi,” tutur lelaki yang suka pergi ke tempat dugem (dunia gemerlap) ini. Dengan penampilan Dokter Arya yang unik, anak-anak tidak takut lagi memeriksakan giginya.

Ada satu manfaat positif yang didapatkannya sering pergi ke tempat hiburan malam. Dari sana, ia banyak mendapat pasien ekspatriat. Bahkan semua tempat dugem di Kuta tak asing baginya. Para karyawan di tempat tersebut mengenal Dokter Arya dengan baik. Tak jarang dari mereka juga akhirnya menjadi pasiennya. Untuk pasien ekspatriat, ia mengaku tidak ada masalah. “Mereka biasa melihat orang yang bertubuh besar dan bertato. Tato itu kan seni. Bukan berarti pakai tato adalah penjahat,” ujarnya.

Karena ingin mengembangkan wawasan, kini ia terjun ke dunia politik. Ia dipercaya menjadi Wakil Ketua Partai Hanura DPC Denpasar Selatan. Alasannya terjun ke politik hanya untuk belajar, tidak ada target apa-apa. Ia hanya melakoni seperti air mengalir apa adanya. Kebetulan niatnya itu sangat didukung sang ibu. –ast
(Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 502, 24 Agustus 2008)

Sabtu, 23 Februari 2008

Doktor Perempuan Pertama di Unhi

MENGAJAR adalah sebuah seni. Bagi Dr. Ida Ayu Gde Yadnyawati, M.Pd., guru dituntut menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan mampu memotivasi siswa. Guru hendaknya lebih banyak memberi ruang pada siswa untuk aktif dan kreatif. Hal ini ia bahas dalam disertasi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program Doktor di Universitas Negeri Jakarta.
Dalam ujian sidang terbuka 13 Februari 2008 lalu, Yadnyawati cukup berbangga mengantongi nilai 3,8. Apa sebenarnya cita-cita Doktor perempuan pertama di Universitas Hindu Denpasar ini semasa remaja?

Terlahir sebagai anak kedua dari lima bersaudara, sejak kecil Yadnyawati sudah diarahkan kedua orangtuanya menjadi guru. Namun, ia mengaku lebih tertarik menjadi apoteker. ”Dalam pikiran saya, lebih mengasyikkan menjadi apoteker. Apalagi saya menyukai IPA,” tutur perempuan kelahiran Badung, 11 Februari 1960 ini.

Rasa sungkan dan segan pada orangtuanya membuat ia harus mematuhi saran orangtuanya itu. Setelah tamat SMP, dengan perasaan berat hati ia mendaftar di SPG (Sekolah Pendidikan Guru). ”Itu saya lakukan karena tidak ingin mengecewakan kedua orangtua saya,” kata putri pasangan Ida Bagus Ardana dengan Ida Ayu Gde Asmani ini.

Semester pertama, ia lewati dengan nilai pas-pasan. Namun, ia bersyukur kakaknya Ida Bagus Gde Yudana, selalu memberinya motivasi untuk maju.
Tamat SPG, ia diminta ayahnya ikut mendaftar pengangkatan guru SD.
Lagi-lagi, Yadnyawati berulah. Ia tidak mau ikut, malah ngotot mau kuliah lagi. Ayah Yadnyawati kecewa. Berbagai usaha dilakukan membujuk putrinya itu agar mau bekerja sebagai guru.

Menurut ayahnya, saat itu tamatan SPG diprioritaskan menjadi PNS. Namun, Yadnyawati malah pergi menyusul kakak sulungnya yang sedang kuliah di Yogyakarta.
Atas saran Bagus Yudana juga, orangtua Yadnyawati melunak. Ia diizinkan meneruskan kuliahnya di FKIP Unud Singaraja. Lagi-lagi ia diharapkan menjadi guru. ”Bagi saya yang penting bisa kuliah,” tuturnya sembari tertawa.

Semakin lama menekuni ilmu pendidikan, ia mengaku semakin menikmatinya. ”Ternyata dunia pendidikan sangatlah menarik untuk dipelajari,” katanya. Yadnyawati termasuk mahasiswi yang menonjol di kampus. Nilainya pun terbilang bagus. Tahun 1984 ia menamatkan studinya
dengan baik.
Setelah tamat kuliah, Yadnyawati malah mendapatkan jodoh, dokter Ida Bagus Putra Paramartha yang kini telah memberinya tiga anak.

Setelah menikah, nasehat orangtuanya untuk menjadi guru tetap tergiang di kepalaYadnyawati.
Tahun 1985, ia mencoba ikut tes pengangkatan Dosen Kopertis Wilayah VIII. Ia lulus dan ditempatkan di IHD (Unhi) Denpasar.
Kariernya berawal sebagai staf dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Agama IHD Denpasar. Ia semakin mantap menjadi tenaga pengajar. ”Ternyata setelah dilakoni, saya merasa menikmati sebagai dosen. Toh, dosen sama saja dengan guru,” ujarnya.

Keinginannya untuk terus belajar, memacu semangatnya untuk kuliah lagi. Namun niatnya itu diurungkan, lantaran ia harus mendahulukan profesi utamanya sebagai ibu dan istri.
Ia mengaku kehidupan rumahtangganya, di mulai dari bawah. Mengikuti suami yang bertugas sebagai dokter Puskesmas di desa, banyak membawa kenangan baginya. ”Saat itu belum ada listrik masih pakai lampu strong king. Suasana di desa masih sepi, jalan setapak dan masih hutan,” katanya mengenang awal pernikahannya.

Namun, ia mengaku semua itu membuatnya belajar arti kesabaran dan kerja keras. Dalam hati, ia berjanji setelah anak-anaknya besar nanti, ia ingin kembali belajar. Apalagi sebagai seorang dosen, ia dituntut terus mengembangkan wawasannya.
Setelah anak sulungnya duduk di bangku SMA, ia melanjutkan studi program Pasca Sarjana di IKIP Singaraja.
Kembali kesabarannya diuji. Perkuliahan yang padat tiap hari mengharuskannya bertempat tinggal di Singaraja.

Ia pun harus menerima risiko berpisah dengan keluarganya. Hari Sabtu ia manfaatkan untuk pulang dan berkumpul bersama keluarga. Kadang, Yadnyawati merasa jenuh dan putus asa di tengah jalan.
Terbersit keinginan untuk berhenti. Saat ia harus kembali ke Singaraja, anak bungsunya sering menangis. ”Hati saya sedih, namun saya harus sadar semua pengorbanan akan sia-sia jika saya mundur,” tuturnya. Selain motivasi suami, ia mengaku kakak sulungnya sangat memegang peranan dalam kesuksesannya. ”Tiada henti, kakak memberikan saya nasehat dan saran, sehingga saya merasa kuat dan tabah,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

Tahun 2003, ia berhasil tamat dan meraih gelar Magister Pendidikan. Yadnyawati tidak mau menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Setahun kemudian ia melanjutkan studi doktornya di Universitas Negeri Jakarta. Penelitian pendidikan ia lakukan pada beberapa SMPN diDenpasar.
Menurutnya kualitas belajar anak sangat ditentukan pola asuh orangtuanya, karena keluarga adalah pendidikan yang pertama dan utama.
”Orangtua dan anak harus terjalin komunikasi yang baik dan harmonis.
Jika ada masalah atau kesulitan di sekolah, anak dengan mudah mengungkapkan pada orangtuanya. Begitu juga sebaliknya orangtua rajin memantau perkembangan hasil belajar anak,” ujar Ibu Ida Bagus Gde Suwibawa Putra, Ida Ayu Gde Suwiprabayanti Putra, dan Ida Bagus Gde Suwitrisna Putra ini.

Ia menilai guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa, sehingga siswa termotivasi untuk belajar. Siswa diberikan banyak kesempatan menyampaikan pendapatnya. Hal ini kata dia, melatih siswa untuk berani dan kritis. ”Jangan pernah memberi label pada siswa, seperti kamu penakut, atau kamu bodoh. Label ini malah mengakibatkan siswa minder dan motivasi belajarnya menurun,” sarannya.
13 Februari 2008, hari yang paling membahagiakan dirinya. Ia lulus dalam disertasinya dan meraih gelar doktor, dengan nilai sangat memuaskan 3,8. Keberhasilannya itu ia anggap kado ulangtahunnya yang ke 48. –ast

Dimuat di Koran Tokoh, Edisi 477, 24 – 1 Maret 2008