Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Juni 2011

Pancasila

Pengingkaran terhadap jati diri bangsa yang plural sudah makin tampak. Indikasinya, munculnya prilaku sosial yang cenderung dilandasi ikatan primodial, seperti agama, suku, ras, dan kedaerahan. Menurut pengamat sosial politik Made Suantina ini akses dari diberlakukannya sistem pemerintahan daerah yang menganut faham atau asas otonomi yang seluas-luasnya.
Dosen Fisipol Univ. Warwadewa ini mengatakan, kita hampir lupa dalam praktik ketatanegaraan otonomi itu berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini harus dibedakan dengan faham liberalisme. Di negara federal, kata Suantina, beberapa negara yang merdeka kemudian mereka yang membentuk pemerintahan pusat. Sedangkan negara Indonesia berbeda. Negara besar merdeka terlebih dahulu, kemudian dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan an efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat dibentuklah pemerintah daerah. Keberadan pemerintah daerah jelas berada dalam payung naungan NKRI.

Kalau dikaitkan dnegan sejarah perjalanan bansa Indonesia, kita sudah pernah bersumpah dalam kebinekaan menjadi satu bangsa dan satu tanah air. Akumulasi semangat nilai kebangsaan tercermin dalam butir pancasila misalnya persatuan Indonesia. Semua sila yang terkandung di dalamnya menyatukan kebinekaan itu.

Kalau sekarang sudah terjadi pengingkaran isensi persatuan dan menonjolkan ikatan primodial ini merupakan dampak dari diterapkan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang sistem pemerintahan daerah yang menganut otonomi seluas-luasnya. Penyebab lain, ekses dari kesalahfahaman dari reformasi. Reformasi malah diartinya serba boleh. Apa yang dulu tidak boleh sekarang iartikan boleh itu kesannya. Sehingga rambu-rambu yang mengikat kita dalam NKRI banyak dilanggar. Kalau hal ini dibiarkan fatal akibatnya. , Apa yang dialami negara Uni Soviet bisa terjadi di Indonesia. Uni Soviet yang awalnya negara federal, sekarang pecah belah hancur lebur. Negara bagian berdiri sendiri. Kalau sampai negara satuan pecah, kita tidak utuh lagi sebagai bangsa.
Jati diri bangsa iNdonesia tercermin dalam nilai pancasila.
Kita tidak bisa mengikari ada gerakan seperti NII.

Dalam pandangannya, pemerintah tidak cukupsigap atau merespon terhadap persoalan ini. Gerakan ini sudah berhadapan dengan gerakan KNRI
Fenomen yang muncul di internal sendiri di pemerintahan baik itu eksekutif dan legislatif adanya prilaku yang bertentangan dengan prilaku kebangsaan nasionalisme, ikatan makin menyempit. Ironisnya, di zaman reformasi justru ikatan kedaaerahan yang muncul, misalnya bupati Tabanan merupakan putra kelahiran Tabanan, bupati Buleleng haruslah putra Buleleng. Di Bali karena dominan agama hindu calon bupati harus bergama hindu. Kalau saya mencalonkan diri menjadi anggota DPRD di Denpasar tidak diterima karena dianggap bukan putra Denpasar. Padahal, mungkin kalau saya mencalonkan diri di Denpasar , saya banyak teman dan network di Denpasar. Tapi Tidak laku dijual karena bukan putra daerah. Padahal kalau sesungguhnya, kita bicara KNRI, siapa saja boleh dicalonkan, yang masih dianggap bisa menyelamatkan garda NKRI.

Di era reformasi ini, kata Suantina, seharusnya kita lebih dewasa dalam menegakkan demokrasi. Syarat demokrasi adalah kesetaraan. Artinya, kemajuan demokrasi di Indonesia merupakan kemajuan yang semu.
Menurutnya, dalam mempertahankan keutuhan NKRI kita harus mereaktualiasasikan nilai pancasila itu ke seluruh komponen masyarakat.

Format orde baru seperti penataran P4 tidak hanya diberikan dalam dunia pendidikan, tapi sampai ke desa-desa lewat banjar agar masyarakat tidak lupa mempraktikkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya.
Jangan sampai menepuk dada pancasilais, tapi dalam praktiknya lebih liberal dengan warga negara liberal.
Apapun bentuk atau istilahnya, tidak mesti dalam bentuk penataran P4, misalnya doktrinasionalisme, pendidikan kebangsaan, penataran kewarganegaraan, yang jelas semua lapisan masyarakat harus didoktrinasi. Kalau hanya mengubah UU pendidikan, itu hanya menyasar dunia pendidikan. Bagaimana dengan orang-orang yang tidak mengenyam bangku sekolah?

Yang saya lihat masih di tubuh TNI/POLRI saja yang menjaga kebinekaan tersebut. Gerakan emosional kebangsaan Indonesia berlawanan dengan gerakan zaman.
Gerakan zaman mengarah ke globalisasi, dimana batas –batas negara sudah rapuh. Artinya, orang sudah bicara dunia negara saya. Misalnya, capek menjadi warga negara Australia, dia bisa pindah ke Singapura.
Orang sudah berpikir seperti itu. Sedangkan di Indonesia makin mnyempit. Otonomi daerah, dan fanatisme suku. Yang perlu beradaptasi bukan Pancasilanya, tapi manusianya. Jangan Pancasila dibenturkan dengan keinginan egois kita. Amandemen UUD 45 sudah kebablasan. Sudah 4 kali diamandemenkan malah sudah tidak dijiwai roh pancasila. Dengan dihapuskan DPA, dengan dibentukkan lembaga baru DPD itu sama saja dengan semangat liberal. Lucunya, di satu sisi kita sudah sepakat negara kesatuan, tapi kita malah menpraktikkan negara federal. Tatanan terdahulu yang dibuat pendiri negara kita kembali kepada UUD 45 yang murni sebelum diamandemenkan. Bila perlu, buatkan UU khusus tentang doktrin ideologi nasional. Agar semua lapisan masyarakat mengetahui Pancasila sebagai idelologi negara. –ast

Koran Tokoh, Edisi 645, 29 Mei 2011

Rabu, 03 November 2010

IRI Peduli Pengembangan Pemuda dalam Demokrasi






Penampilan Kelompok perempuan Bali dalam malam budaya





JIKA kita amati kehidupan demokrasi di banyak negara, keterlibatan pemuda dan perempuan masih minim. Hal ini yang menggerakkan International Republican Institute (IRI) memberikan pelatihan Advokasi dan Leadership bagi perempuan dan pemuda di 4 provinsi di Indonesia (Bali, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Maluku).

Demikian disampaikan Resident Country Director Indonesia Program John Cavanaugh, dalam pembukaan Konferensi Nasional “Generation Next: Women and Youth Leadership Development”, yang diikuti 56 perempuan dan pemuda dari 4 provinsi.

IRI lembaga nonpartisan yang khusus membidangi pengembangan demokrasi dunia yang berpusat di Washington DC, AS. IRI berada di 70 negara, dan
bekerja dalam berbagai aspek kehidupan dan khususnya pengembangan pemuda di negara yang sedang berkembang. Dengan berbagai profesi peserta pelatihan yakni pewakilan parpol, LSM, dan media, ia berharap, dapat membantu misi IRI dalam pengembangan kaum muda dalam demokrasi. Ia menyatakan, perempuan dan pemuda perlu diberi dorongan agar mereka mampu ikut berperan lebih aktif dalam demokrasi. Setelah mengadakan pelatihan di 4 provinsi, konferensi nasional ini menjadikan satu wadah untuk saling bertukar pengalaman dan hasil advokasi di masing-masing wilayah. Ia berharap, hasil advokasi yang sudah dirumuskan dapat menjadi masukan dan pembelajaran bagi perempuan dan pemuda dalam pembangunan demokrasi ke depan.

Dalam Konferensi Nasional “Generation Next: Women and Youth Leadership Development” delegasi Bali diwakili 8 perempuan dan 9 pemuda. Kelompok perempuan menyampaikan rumusan advokasi kekerasan dalam rumah tangga dan pemuda menyampaikan advokasi persampahan di Bali. Delegasi Yogyakarta diwakili 8 perempuan dan 9 pemuda. Kelompok perempuan menyampaikan advokasi pernikahan yang tidak dicatatkan, dan kelompok pemudanya menyampaikan advokasi buruh. Delegasi Jawa Timur diwakili 7 perempuan dan 3 pemuda. Kelompok perempuannya menyampaikan advokasi kekerasan seksual terhadap anak. Delegasi Maluku diwakili 5 perempuan dan 7 pemuda. Kelompok perempuannya menyampaikan advokasi KDRT dan pemudanya advokasi hak–hak pengungsi. -ast

Koran tokoh, edisi 616, 31 okt - 6 nop 2010

Kiat Sukses Elnino Berpolitik, Punya Modal Sosial

BERPOLITIK tidak harus selalu memiliki banyak uang. Itu sudah dibuktikan Elnino M. Husein Mohi, S.T., M.Si. anggota DPD 2009-2014 dari Provinsi Gorontalo. Ia salah seorang senator yang berusia muda di lembaga tinggi tersebut. Saat ini, ia menjabat koordinator parliamentary’s group on MDGs DPD-RI.
Sebelum menjadi anggota DPD, Elnino seorang wartawan dan aktivis yang sering menyampaikan ide perubahan untuk membuat Provinsi Gorontalo menjadi lebih baik. Ia masih aktif menulis di media massa dan telah menerbitkan beberapa buku tentang keadaan sosial dan politik Gorontalo.

Elnino menilai, banyak orang partai salah persepsi, masuk politik harus banyak uang. “Menjadi politisi tidak selamanya dengan uang. Dalam pencalonan bukan urusan menang kalah, namun cara berpolitiknya yang harus bisa diteladani,” ujarnya.
Di depan peserta Konferensi Nasional “Generation Next: Women and Youth Leadership Development” ia mengungkapkan kesannya, di Gorontalo orang tidak percaya parpol. Siapa yang memberi uang, itu yang dipilih. Ada anggapan, politik bukan untuk orang miskin. Justru orang miskin hanya jadi korban politik. Orang dermawan lebih terhormat daripada orang pintar.
Opini masyarakat yang berkembang, politik itu tidak beres dan tidak bisa dipercaya. Di televisi sering ditayangkan rapat DPR kacau, ribut, ada unjuk rasa. “Inilah yang harus diubah. Yang harus ditunjukkan, mengubah opini orang di sekitar kita. Tidak semua politisi kotor,” ujarnya.
Melawan keadaan itu, Elnino punya strategi. Ia memunyai modal sosial sejak menjadi wartawan mulai tahun 1999. “Saya sering mendatangi desa-desa dan membuat profilnya. Setelah dimuat di koran, ditempel di kantor desa. Waktu saya mencalonkan diri, saya tinggal datang ke desa-desa tersebut. Menjadi calon itu pengabdian, bukan masalah menang kalah. Dengan itu, saya mampu mengubah opini 50.000 orang,” paparnya.

Waktu pencalonan, ia mengaku melakukan pengkajian peradaban. Bagaimana jatuh bangunnya peradaban Mesir, menjadi acuannya. Ia mencoba membangkitkan kesadaran masyarakat Gorontalo. Hal yang harus diperbaiki tingkat pengetahuan dan kelakuannya. Ia menggali dan bercerita tentang sejarah Gorontalo, Dengan cerita-cerita kisah nenek moyang, masyarakat akan tersentuh.
Tidak perlu banyak, kata dia, hanya 12 orang tokoh yang dilibatkan seperti kepala desa dan sekretaris desa. Ia ngobrol di rumah mereka dalam suasana santai, namun ada kajian. “Saya tidak pernah mengatakan pilih saya menjadi anggota DPD. Namun, saya katakan sudahlah lupakan Elnino calon DPD No. 9. Ini hanya masalah teknis,” ujarnya membagi kiat suksesnya.
Ia menyarankan, dalam berkampaye ke desa-desa, jangan bicara tentang politik. Tanyakan apa yang dibutuhkan keluarga itu.
Secara individu Elnino kenal 3200 orang yang saling mengenal, kemudian membentuk jaringan sosial untuk memilihnya. Ia menilai, masyarakat saat ini justru tidak terikat simbol parpol. Dari 64 pilkada yang ada, menunjukkan kekuatan individu lebih menang daripada kekuatan organisasi.
Jangan bicara politiknya, tetapi bicara orangnya. Artinya tidak ada artinya bicara tentang politik, tetapi lebih baik membicarakan kepentingan orang yang akan diperjuangkan. Triknya ini menuai sukses. Pendukungnya datang dari banyak kalangan, perempuan maupun laki-laki.

Para calon legislator umumnya lebih peduli pada bagaimana ia bisa terpilih, sedangkan yang sudah menjadi anggota DPR dan DPD memikirkan bagaimana ia terpilih lagi. Selama ini pendidikan politik seperti disembunyikan di bawah meja. Banyak caleg yang tidak siap, justru dipilih secara instan.
Masa kepemimpinannya di HMI, menjadi ajang pembelajaran Elnino dalam politik. Secara individu, ia sudah siap ketika masuk dalam politik. Ia memunyai pemetaan konsep dan ilmu berpolitik.

Jangan hanya Mengkritik
Ketua Bidang Komunikasi & Politik DPP PAN Bimo Arya Sugiarto berpandangan, pemimpin sejati seharusnya memberi inspirasi ke depan. Ada beberapa karakter yang harus dipenuhi seorang pemimpin, tidak mudah menyerah, jangan hanya bisa mengkritik tetapi mampu memberikan solusinya. Berani tampil dan memimpin, jangan hanya jadi pengikut. Memiliki kemampuan dan keahlian, serta transformatif yakni pemimpin mencari nilai untuk suatu perubahan.

Tentang fenomena yang ada di kalangan anggota parpol yang dia amati, kapasitas manajerial mereka lemah, visi lemah, dan tidak memiliki kemampuan membuat keputusan. Datangi rapat tidak tepat waktu. Tiap rapat energi habis karena konflik. Kalau begini, bagaimana bisa menarik simpati pemuda? Anak muda/kaum muda parpol cukup dominan. Saatnya kaum muda memimpin. Mereka ingin merebut, tetapi tanpa kapasitas untuk merebut, tentu tidak bisa. Sekarang ini, ia menilai, kekuasaan dan posisi itu diminta. bukan diambil. Padahal, seharusnya dengan banyaknya parpol, kekuasaan itu harus diambil bukan diminta. “Yang dibutuhkan sekarang paham membangkitkan semangat dan membangun nilai trasnformasi. Menurutnya, merebut suara anak muda perlu dengan pendekatan sosial kultural. Cari ikon anak muda dan mampu masuk ke dalam dunia anak muda. –ast

Tokoh, edisi 616, 31 okt - 6 nop 2010

70% Anggota DPR Baru dari Kekuatan Uang dan Dinasti

Lena Maryana Mukti, mantan anggota DPR RI dan anggota MPP PPP menilai, saat ini terjadi gerakan Indonesia baru. Setelah ada reformasi di bidang politik, terjadi perubahan di Indonesia. Harapannya, agar Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dan pilar demokrasi yang kuat.
Di depan peserta Konferensi Nasional “Generation Next: Women and Youth Leadership Development” ia mengungkapkan pandangannya, etika berpolitik masih menjadi masalah sekarang ini. Sebagian LSM mengibaratkan “seperti sedang berjalan di lorong gelap.” Ia menilai, baru sebagian anggota lembaga legislatif yang paham hak publik dan mekanisme kerja di parlemen. Hal ini bisa dianalisis dalam rekrutmen di partai politik. “70% anggota parlemen baru dan dari kekuatan uang dan dinasti, popularitasnya sedikit dan tidak berjuang dari bawah. Perekrutan tidak transparan dan tidak demokratis. Akibatnya, bangsa menderita. Rekrutmen tidak berdasarkan prinsip pemilu yakni UU Nomor 10 tahun 2008,” papar Lena.

Perempuan Diberdayakan
Hetifah Siswanda anggota DPR RI dari Golkar mengungkapkan sulitnya perempuan mengambil peran yang signifikan (bermakna). Pengetahuan sering diabaikan sehingga perempuan tidak bisa eksis. Agar perempuan mampu memengaruhi orang lain, perlu diberdayakan. Tingkat kelulusan perempuan lebih banyak, namun, tak banyak yang punya nyali untuk menyuarakan aspirasinya. “Oleh karena itu perlu kesiapan dan keberanian perempuan untuk tampil,” tandasnya. –ast

Koran Tokoh, Edisi 615, 31 Okt - 6 Nop 2010

Tanpa Partisipasi Perempuan dan Pemuda, Peluang Politisi Busuk Berkuasa


PERIHAL kiat merebut kekuasaan dalam kehidupan politik dan demokrasi, perempuan Indonesia dapat belajar dari pengalaman salah seorang perempuan India, Vani Tripathi, yang kini menjabat sekretaris nasional Partai Bharatiya Janata, partai oposisi utama di India. Sebelum terjun ke dunia politik, Vani, begitu ia akrab disapa, merupakan artis Bollywood yang sudah banyak membintangi film dan drama di India.

Didasari keinginan untuk membuat perubahan bagi masyarakat India, Vani akhirnya memutuskan terjun langsung dalam bidang sosial dan politik. Kegiatan sosial yang dilaksanakan banyak berhubungan dengan masalah kesehatan dan pendidikan bagi anak-anak. Ia melakukan advokasi untuk menyosialisasikan kegiatan imunisasi dan kesehatan perempuan di berbagai tempat di India.
Salah satu caranya, menyosialisasikan pesan lewat media teater dan film. Pesan-pesannya bisa dinikmati berbagai kalangan tanpa merasa bosan atau sedang mendengarkan ceramah. Selain menguasai kemampuan akademis di bidang politik, Vani juga menekuni ilmu jurnalistik dan broadcasting.
Vani membagi pengalamannya berpolitik itu di depan peserta Konferensi Nasional “Generation Next: Women and Youth Leadership Development”, 20-21 Oktober 2010 di Hotel Ambhara, Jakarta.
Menurut Vani, ada beberapa poin yang harus dikuasai seorang pemimpin yakni komunikasi, membuat perubahan, menjadi teladan, kemampuan memberi informasi, dan yang paling penting, kekuatan mengubah opini publik.
Ia menuturkan selama ini berkembang kesan, politisi identik dengan koruptor dan banyak kebijakannya yang tidak mengakomodir aspirasi perempuan dan pemuda. Namun, kata Vani, apakah karena alasan itu masyarakat patah arang. “Kita akan memberi kesempatan praktik korup itu terus berkuasa, apabila perempuan dan pemuda tidak melakukan perubahan. Kekuatan melakukan perubahan terletak di tangan pemuda dan perempuan,” tandasnya.
Ia berpandangan, pemuda dan perempuan merupakan katalis perubahan. Ia mengutip dari satu pepatah Hindu “Membela satu laki-laki sama dengan kita membela satu orang. Namun, membela perempuan sama dengan kita membela semua komponen.”
Ia mengungkapkan, tahun 2009 Partai Bharatiya Janata menjadi partai oposisi di India dan tidak berhasil memenangkan pemilu. Berdasarkan pengalamannya, kekalahan itu disebabkan, pemuda dan perempuan di India tidak banyak berpartisipasi dalam pemilu. Mereka tidak suka politik dan tidak mau mengawasi proses pemilu.
Ia menilai, dengan tidak berpartisipasinya pemuda dan perempuan dalam politik, memberikan peluang politisi busuk berkuasa. Menurutnya, jika mau terjadi perubahan, kita tidak hanya bisa mengatakan politisi orang yang busuk dan korup, dan selanjutnya tidak peduli. Harus ada perubahan, dan perubahan itu harus dimulai dari diri kita masing-masing. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Mahatma Gandhi, “perubahan harus datang dari orang yang bersangkutan.”
Menurutnya, kekuatan melakukan perubahan harus dilakukan dengan komunikasi efektif. Politik harus membuat senang. Bicara tentang pembangunan politik dan demokrasi harus membuat orang senang dan berbahagia.

Melawan Tradisi
Vani mengungkapkan, perempuan melawan tradisi merupakan konflik tradisional yang pernah terjadi di India. Perempuan sangat dipuja, namun tidak dibuatkan sekolah. Saat budaya berlawanan dengan hukum modern, perempuan harus berani melawan.
Ada budaya sati di India yang sangat merugikan kaum perempuan. Saat laki-laki meninggal dan dikremasikan, si istri harus meloncat ke api ikut membakar diri. Sepuluh tahun lalu, tradisi ini dihapuskan dan tidak boleh diteruskan. Keputusan ini menimbulkan banyak protes. Di Rajastan, salah satu negara bagian di India, budaya ini masih diterapkan. Namun, hukum segera ditegakkan demi kepentingan kaum perempuan. “Kalau istri ikut bunuh diri, bagaimana dengan anak-anak mereka?” kata Vani.
Partai Bharatiya Janata yang didirikan tahun 1998 itu telah banyak melakukan perubahan radikal. Selama 50 tahun, India memiliki satu parpol yang berkuasa.
Dalam pemilu terakhir, banyak orang yang cemerlang. Sekarang ini, kata Vani, yang dilihat bukan lagi partainya. Simbol partai memang perlu. Namun, penampilan individu yang lebih penting. –ast

Tokoh, 616, 31 okt - 6 nop 2010

Kamis, 19 Agustus 2010

Desak DPRD Buat Perda

KEKERASAN dalam rumah tangga (KDRT) menjadi isu penting yang diangkat dalam Pelatihan Advokasi bagi perempuan LSM, Parpol, dan Jurnalis, Minggu (8/8). Peserta pelatihan sepakat membentuk tiga kelompok kerja dalam melakukan advokasi KDRT yakni Pokja Data, Pokja Humas dan Lobi, dan Pokja Strategi. Topik KDRT dipilih karena kasus ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Komnas Perempuan menyebutkan, tahun 2007 terjadi 25.522 kasus, tahun 2008 meningkat, 54.425 kasus. Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) Provinsi Bali menyebutkan, 37 kasus tahun 2009, dan meningkat menjadi 51 kasus sampai Agustus 2010. LSM Bali Sruti mencatat 423 kasus kekerasan terhadap perempuan di Bali. Data ini diperoleh dari pihak kepolisian, rumah sakit, LSM, dan lembaga pemerintah. Masing-masing pokja menetapkan tim perumus yang terdiri atas Budhawati, Ussie, Sri Joni, Sri Mudani, Wirati, Ipung, Karthi, dan Rahma. Setelah berdiskusi, tim menghasilkan rumusan untuk advokasi kasus KDRT yang akan segera ditindaklanjuti dalam waktu dekat.

Menurut kajian hukum, sejauh ini belum ditemukan adanya peraturan daerah di Bali yang mengatur KDRT. Warga masyarakat kurang paham dan tidak mengerti jika dirinya mengalami kasus KDRT. Ke mana mereka harus mencari perlindungan. Padahal dari kajian budaya, dalam masyarakat Bali dan masyarakat Indonesia umumnya tingkat kekerabatan dalam rumah tangga masih dikuasai laki-laki yang dianggap sebagai kepala keluarga. Kebijakan dan kedudukan laki-laki menjadi faktor dominan dan perempuan menjadi subordinat. Sedangkan masyarakat masih berpersepsi, KDRT persoalan rumah tangga dan bukan masalah publik. Masyarakat masih menyakralkan laki-laki penguasa dan pemimpin rumah tangga. Segala kebijakan dan peraturan dalam rumah tangga menjadi hak veto laki-laki. Perempuan menjadi objek penderita yang harus menurut aturan laki-laki.

Strategi:
1. Hearing ke DPRD Kabupaten/Kota dan Provinsi Bali untuk usulan pembuatan perda yang mengatur efektivitas dan optimalisasi pelayanan dan penanganan kasus KDRT.
2. Melakukan lobi ke media massa cetak dan elektronik (TV dan radio). Media memiliki peran besar dalam gerakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Sikap media massa dalam pemilihan dan penekanan isu serta penggunaan bahasa dan tampilan yang sesuai harus diterapkan agar media tidak terus-menerus melanggengkan nilai-nilai ketidakadilan gender yang merugikan perempuan/laki-laki dan membuat suara perempuan makin tak terdengar. Sudah seharusnya media dijadikan sebagai salah satu saluran untuk menyebarluaskan informasi yang lebih mendalam dan mengedukasi pembaca/pemirsa/pendengar mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Pemberitaan yang tidak menonjolkan sensasi di balik permasalahan perempuan bisa menjadi langkah produktif dalam penyadaran terhadap masyarakat mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Media membangun opini demi penguatan terhadap korban. Ada dialog publik tentang KDRT dan testimoni korban.
3. Sosialisasi ke desa/banjar kabupaten/kota se-Bali. Sasaran PHDI: Majelis Desa Pakraman se-Bali, WHDI se-Bali, Forum Kerukunan Umat Beragama dengan unsur-unsur yang terkait yang beraliansi agama, pemuda, dan organisasi perempuan. Sosialisasi UU PKDRT.
4. Dialog terbuka, seminar dan Focus Group Discussion dengan masyarakat umum.
5. Dialog khusus dengan pemerintah. Tujuannya, persiapan anggaran untuk pelaksanaan perda melalui SKPD terkait.
6. Lobi kepada petinggi aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, lembaga pengacara) agar lebih sensitif gender. Peningkatan personel dan tersedianya sarana dan prasarana dalam pelayanan perempuan dan anak di ruang RPK di kepolisian.

Harapan:
1. Adanya penurunan terhadap angka-angka kasus KDRT di Bali.
2. Adanya keadilan yang lebih diberikan kepada korban KDRT.
3. Penanganan dan penegakan hukum yang direalisasikan sesuai degan aturan hukum yang berlaku. Ada proses pendampingan dan pembelaan yang efektif dan memberikan keadilan kepada korban.
4. Aparat penegak hukum lebih sensitif terhadap kasus KDRT.
5. Harmonisnya kehidupan sebuah keluarga karena berkurangnya kasus KDRT.
6. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa laki-laki dan perempuan mitra dan bukan sebagai atasan dan bawahan.
7. Masyarakat lebih bisa mengakses hotline Rumah Sakit Sanglah di: Psychiatry_denpasar@yahoo.com
8. Sosialisasi dengan memberikan pengetahuan gender dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang terkait. -ast

Tips Sukses Advokasi
ADVOKASI merupakan strategi untuk memengaruhi para pengambil keputusan yang menyangkut masyarakat. Tujuan advokasi melakukan suatu perubahan. Untuk merancang advokasi, fasilitator Lanang Aryawan memberikan tips sukses. Menurut Lanang, prinsip yang harus diperhatikan dalam advokasi, realistis. “Advokasi yang berhasil senantiasa bersandar pada isu dan agenda yang spesifik, jelas dan terukur. Pilihlah isu dan agenda yang realistis yang dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu,” ujarnya. Prinsip lainnya, sistematis. Artinya, advokasi adalah seni, namun bukanlah seni lukisan abstrak. Dalam melaksanakan advokasi hendaknya disusun dan direncanakan secara akurat. Kemaslah informasi semenarik mungkin serta libatkan media secara efektif. Ingat, kita tidak mungkin melakukan advokasi sendirian. Oleh karena itu, kata Lanang, prinsip taktis jangan diabaikan. “Bangunlah suatu koalisi dengan pihak lain yang dapat searah dengan pemikiran kita,” jelasnya. Prinsip penting lainnya, strategis. Ia menyatakan, advokasi melibatkan penggunaan kekuasaan. Menurutnya, kita harus bisa memetakan dan mengidentifikasi kekuatan sendiri dan kekuatan lawan atau pihak oposisi secara strategis.

Prinsip berani adalah hal penting. Advokasi harus menyentuh perubahan sosial secara bertahap. Ia menyarankan, jangan tergesa-gesa dalam memandang suatu isu serta tidak perlu menakui-nakuti lawan. Namun, jangan pula sampai menjadi penakut. “Jadikan isu dan strategi yang telah dilakukan sebagai motor penggerak dan tetaplah berpijak pada agenda bersama,” tandasnya.

Strategi Advokasi
Untuk suksesnya advokasi, Lanang Aryawan menyarankan, sebaiknya disusun strategi yang baik dan cermat. Poin penting pertama, memilih isu strategis. Ia berpandangan, isu yang diangkat hendaknya isu penting, hangat dan terkini serta memiliki dampak yang cukup serius terhadap masyarakat. Strategi kedua, mencari fakta dan membangun opini. Lanjutkan dengan merumuskan dan membangun opini terhadap isu yang akan diadvokasikan dengan harapan akan terbentuk suatu komonitas yang mendukung aksi dan gerakan advokasi. Strategi ketiga, memahami sistem kebijakan publik. “Hal ini penting agar jangan sampai pelaksanaan advokasi yang dilakukan berbenturan dengan sistem yang telah dikembangkan pemerintah yang sedang berkuasa,” ujarnya. Poin penting berikutnya, membentuk lingkar inti. Artinya, untuk membuat suatu gerakan advokasi yang terorganisir diperlukan beberapa orang yang berfungsi sebagai koordinator dan motivator sebagai lingkar inti. Orang-orang inilah yang bertugas menyusun strategi, mengorganisir dan mendorong masyarakat untuk terlibat dalam upaya advokasi kasus dan bagaimana cara melakukannya. Strategi berikut, mengumpulkan data dan informasi yang diperoleh langsung dari sumber tempat terjadinya isu atau dari pihak lain sebagai data sekunder. Poin penting lain, mengidentifikasikan pendukung dan penantang. “Tidak dapat dimungkiri, kegiatan advokasi akan memiliki dampak serius bagi sekelompok orang, atau pihak lain. Untuk itu, penting kita ketahui dan petakan, siapa saja orang atau organisasi yang mendukung dan menentang kasi advokasi,” ujarnya.

Strategi lain yang dianjurkan, melakukan analisis data. Tujuan strategi ini agar pelaksanaan advokasi dapat disusun dengan lebih cermat tentang apa, mengapa, siapa, bagaimana, dan di mana harus dilakukan advokasi. Ia juga mengingatkan, dalam merancang pesan harus jelas, mudah dimengerti, tujuannya jelas dan jelas manfaatnya bagi masyarakat. Ia berpandangan, salah satu penyebab advokasi tidak berjalan sesuai rencana karena lemahnya aktivitas awal dalam membangun basis dan keterlibatan masyarakat. Oleh karena itu, penting dipetakan basis masyarakat yang akan mendukung aksi advokasi tersebut. Hal yang juga penting, membangun jejaring. Ia mengatakan, kita tidak dapat sukses melaksanakan kegiatan tanpa dukungan dari pihak lain yang memiliki kompetensi dan kaitan dengan isu yang akan kita advokasi.

Aksi advokasi dapat berjalan lebih efektif jika dikuti kegiatan melakukan tekanan ke berbagi pihak. Misalnya, memengaruhi opini publik dengan tulisan di media massa. “Memengaruhi para pembuat dan pelaksana kebijakan dapat dilakukan melalui pendekatan persuasif yakni dengan mengajak berdiskusi atau secara aktif menginformasikan kepada para pembuat kebijakan arti penting kasus tersebut bagi masyarakat dan pembangunan,” tutur Lanang. Tahapan akhir, melakukan pendampingan terhadap kepentingan warga masyarakat. Contoh, mengajukan gugatan peninjauan kembali terkait kebijakan yang telah digulirkan.
Ia menyatakan, rencana aksi advokasi yang telah ditetapkan perlu dituangkan ke dalam jadwal, termasuk penetapan siapa berbuat apa. Ia menyarankan, gerakan advokasi yang akan dilaksanakan, hendaknya dipublikasikan ke masyarakat agar diketahui secara jelas tujuan dan manfaatnya. Manfaat lain, adanya peluang keterlibatan masyarakat luas yang belum mengetahui maksud dan tujuan, sekaligus memperoleh dukungan media. Tidak dapat dimungkiri, aktivitas dan gerakan advokasi membutuhkan biaya tidak sedikit. Untuk itu, penggalangan dana perlu dilakukan. Keberhasilan tiap strategi advokasi perlu dinilai secara berkala. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk evaluasi, apakah isu yang diadvokasikan masih cukup relevan dan terkait kuat dengan kehidupan amsyarakat luas. Apakah isu telah berkembang lebih lanjut? Apakah sasaran yang dituju masih relevan atau perlu direvisi? Apakah pencapaian target advokasi terwujud? Apakah pesan yang disampaikan masih cukup kuat serta bagaimana dampaknya terhadap masyarakat? Apakah media yang terlibat sebagai rekanan meningkat jumlahnya? – ast

Koran Tokoh, Edisi 605, 15 s.d 21 Agustus 2010

Sabtu, 31 Juli 2010

Politisi harus Terampil Menulis

ADA sementara politisi dan pengamat yang pandangannya terkesan kurang berbobot, dan jurnalis yang karya jurnalistiknya kering, akibat miskinnya data dan dokumentasi. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, pengelolaan data dan dokumentasi ini juga perlu mendapat perhatian serius pejabat humas. Hal itu diungkapkan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Tokoh Widminarko di depan 30 peserta Pelatihan Kepemimpinan dan Advokasi bagi Perempuan di Inna Bali Hotel, Denpasar, Minggu (25/7).

Ia menyatakan, politisi dan pengamat memiliki karakteristik sama dengan jurnalis, yakni keharusannya dekat dengan publik, dan walaupun memiliki spesialisasi bidang yang ditekuni, tetap tidak bisa abaikan statusnya sebagai generalis dengan mendalami ilmu-ilmu penunjangnya. Untuk mengetahui dan mengikuti opini yang bekembang dan mampu menganalisisnya, Widminarko mengungkapkan kiat suksesnya, mereka harus gemar membaca, mendengar, dan memirsa media massa, serta rajin mencatat dan mendokumentasikan opini yang berkembang dan dikembangkan media massa. Dalam pelatihan yang diselenggarakan International Republican Institute (IRI) bekerja sama dengan LSM Bali Sruti itu, dalam membawakan topik “Mengelola Isu Media” Widminarko menyatakan bagaimana mungkin bisa mengelola isu media, jika orang tidak gemar membaca, mendengar, dan memirsa media massa.

Mungkin hal itu sudah dilakukan, tetapi mereka tidak rajin mencatat dan medokumentasikan informasi yang didapat. Akhirnya pandangannya kurang berbobot, kering, bahkan terkesan mengulang-ulang wacana yang sebenarnya sudah pernah terlontar ke masyarakat, hanya karena tidak ditunjang data yang aktual dan akurat.
Selain mengelola isu, politisi juga harus mampu menciptakan isu yang akan mereka tawarkan ke masyarakat. Widminarko menyarankan, isu yang dipilih memiliki kedekatan dengan kondisi, kebutuhan, dan problem masyarakat di lingkungan atau daerahnya. Oleh karena itu, demikian kiat sukses Widminarko berikutnya, tiap politisi dan pengamat harus memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungannya. Sesudah itu laksanakan program aksi antara lain menguji isu tersebut lewat forum diskusi dengan mengundang pakar terkait. “Dalam penyelenggaraan diskusi libatkan media massa atau penulis, agar perbincangan dalam forum diskusi tidak hanya bergema di dalam ruangan, tetapi mampu tersosialisasikan dan mengundang umpan balik masyarakat seluas-luasnya,” pesannya. Persoalannya, tambahnya, apakah pemberitaan di media massa itu dibaca, didengar, dipirsa pejabat pemerintah dan pihak terkait lainnya, untuk dijadikan masukan, ditindaklanjuti, dan dijadikan dasar mengambil kebijakan? Dalam kaitan ini Widminarko memandang pentingnya peran humas.

Di depan peserta Pelatihan dari kalangan politisi, LSM, dan jurnalis itu, Widminarko menyebut nama seorang pejabat humas yang rajin mengkliping tulisan opini yang berkembang di koran, termasuk di kolom Surat Pembaca, kemudian mendistribusikan kliping itu kepada pejabat terkait untuk ditindaklanjuti atau dijadikan dasar penetapan kebijakan. Humas yang dipimpinnya itu juga selalu dengan cepat dapat melayani permintaan data atau informasi yang diperlukan wartawan. “Sekarang ini yang sering memerlukan data dan informasi bukan hanya wartawan, tetapi juga politisi dan pengamat. Teknologi pun makin canggih, mestinya pengelolaan data dan dokumentasi juga makin rapi,” ujarnya. Ia menyatakan, banyak politisi dan pengamat yang populer namanya juga berkat seringnya tampil di media massa dengan pandangannya yang segar, visioner, dan berani. Namun, katanya, hanya pandangan politisi dan pengamat yang memiliki nilai berita atau layak diberitakan, yang dapat dipublikasikan media massa. “Pandangan yang tidak bermutu tentu sulit lolos dalam publikasi media massa,” katanya.

Selain memanfaatkan opini yang berkembang dan dikembangkan media massa, politisi dan pengamat juga berkesempatan memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk menyalurkan opini pribadi atau kelompoknya. Syarat pertama, kata Widminarko, mereka harus dapat menulis. Jika tidak mampu menulis, masih ada kesempatan lain, menjadi narasumber yang selalu siap diwawancarai dan siap berbicara di depan forum diskusi. Wawancara bukan hanya atas inisitif wartawan atau media massa, juga bisa atas inisiatif narasumber. Ada kesempatan lain yakni dengan jalan mengukir prestasi, sehingga sosoknya menjadi idola masyarakat atau public figure yang menarik untuk ditampilkan di media massa. “Inilah kiat sukses berikutnya, agar mampu berprestasi, politisi dan pengamat harus selalu memiliki inisiatif, bersikap kreatif, dan kalau mungkin berbuat inovatif,” ujarnya. Kiat terakhir yang dikemukakannya adalah pentingnya politisi, pengamat, dan jurnalis membangun jaringan publik antara lain lewat kegiatan organisasi. “Komunikasi bukan hanya dilakukan menggunakan sarana media massa, tetapi juga kelompok dan antarpribadi secara sinergis,” ujarnya.

Bukan sekadar Kartu Nama
Sementara itu, pakar komunikasi dari Unud Dr. Ni Wayan Sri Suprapti menegaskan, untuk menjadi orang sukses, kita perlu memunyai jaringan. Bagi politisi memiliki jaringan yang kuat merupakan keharusan mutlak.
“Jaringan diperlukan untuk membangun persahabatan dan komunitas untuk mencapai tujuan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu. Jaringan bukan sekadar kumpulan daftar relasi. Membangun jaringan lebih merupakan seni. Ibarat membangun taman, bagaimana desainnya, gradasinya, tata letak, jenis tanaman yang akan ditata. Kemudian bagaimana merawat tanaman agar menjadi subur,” paparnya.
Kita memiliki teman sejak kecil atau sejak di SD tetapi apakah teman kita masih utuh sampai sekarang? Masihkah kita menjaga kontak dengan mereka? Apakah jaringan yang kita miliki sekarang bertambah banyak atau makin sedikit?

Ia menegaskan, membangun jaringan perlu sarana yakni komunikasi dua arah dan perlu strategi. Kenali siapa audiens sasaran kita, bergabunglah dalam berbagai kegiatan atau organisasi sosial, selalu menjalin komunikasi, tunjukkan sikap positif, buat mereka senang, tunjukkan kualitas diri, dan bersabar. “Kualitas dalam komunikasi berarti adanya keterbukaan dan saling mendukung, sikap menghargai orang lain, jujur, memahami perasaan dan dapat dimengerti orang lain, bersikap positif dan rendah hati,” jelasnya.
Bahas topik yang sesuai dengan latar belakang audiens. Tidak menanyakan hal pribadi, dan dalam berkomunikasi belajarlah menyetujui pendapat orang lain. Ketika berkomunikasi, kita perlu menahan diri untuk tidak berdebat melainkan berdiskusi. Jangan lupa, belajarlah mendengar. Tidak boleh kaku, harus luwes sehingga komunikasi berhasil.

Suprapti memberikan tips bagaimana merawat jaringan: Jalin persahabatan tanpa membedakan latar belakang, sapa dengan senyum dan ketulusan, buat identitas dan simpan identitas relasi. “Jaringan tidak hanya ditentukan seberapa banyak kartu nama relasi yang Anda simpan, tetapi seberapa besar kita saling menjaga kontak dan melakukan komunikasi,” ujarnya.
Untuk lebih memahami bagaimana merawat jaringan, peserta diajak melakukan permainan holy hop. Tiap kelompok membuat lingkaran dengan bergandengan tangan. Ikatan tidak boleh terputus, saat mereka bermain. Lingkaran makin mengecil, mereka makin mendekat, ikatan makin kuat, dan holy hop tidak boleh menyentuh tanah. Ketiga kelompok peserta Pelatihan berhasil melakukan permainan dengan baik. Artinya, peserta mampu memahami dalam merawat jaringan diperlukan suatu strategi, kebersamaan, koordinasi, kesabaran, dan mengendalikan emosi. –ast

Minggu, 25 Juli 2010

Jangan hanya Andalkan Parpol

PEREMPUAN memiliki akses besar dalam pembangunan. Namun, suara perempuan belum semuanya terwakilkan. Coba lihat jumlah perempuan dalam lembaga legislatif. Hasil pemilu 2004 sebanyak 18 orang perempuan (4,5%), laki-laki 385 orang, dan hasil pemilu 2009 sebanyak 28 orang perempuan (7,2%), laki-laki 374 orang di DPR. “Perempuan memiliki kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami secara baik oleh perempuan jua. Kebutuhan itu meliputi isu kesehatan reproduksi seperti cara berkeluarga berencana yang aman, isu kesejahteraan keluarga seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak, isu kepedulian terhadap anak, dan kelompok usia lanjut, dan isu kekerasan seksual,” papar Ketua LSM Bali Sruti Luh Riniti Rahayu, di depan 30 peserta Pelatihan Kepemimpinan dan Advokasi Perempuan sesi kedua, Minggu (11/7) di Natour Bali Hotel.

Ia berpandangan, keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminsi terhadap perempuan yang selama ini masih terjadi di masyarakat. Diskriminasi di tempat kerja dalam wujud anggapan, pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan, penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan padahal beban kerjanya sama. Diskriminasi di hadapan hukum yang merugikan posisi perempuan, misalnya dalam kasus perceraian.
Menurutnya, hanya dalam jumlah yang signifikan perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti seperti perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara antikekerasan. Perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian agenda nasional. “Mengabaikan perempuan Indonesia dalam pembuatan keputusan politik sama artinya dengan meminggirkan penduduk Indonesia dari proses politik,” tandasnya di depan peserta pelatihan yang terdiri atas anggota parpol, LSM, dan jurnalis ini.

Ia berpandangan, kehadiran perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif akan benar-benar dapat mewarnai dan memengaruhi proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan yang lebih mencerminkan kehendak rakyat, khususnya perempuan. Hanya dengan partisipasi langsung dalam struktur kekuasaan dan proses pengambilan keputusan, serta perumusan kebijakan publik, maka masalah yang dihadapi sebagian besar warga negara yakni perempuan diperjuangkan menuju terjadinya perubahan ke arah terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.

Kembangkan Jiwa Patriotik
Ketua KPU Provinsi Bali I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, S.H., M.H. berpandangan, banyak hal yang menyebabkan kegagalan caleg perempuan. Dari segi kuantitas, jumlah caleg perempuan sedikit. Dua faktor lain yang juga memengaruhi, segi internal: perempuan menghadapi banyak kendala seperti keluarga, kemampuan, termasuk belum mengerti dan paham aturan main berpolitik, dan peta politik. Segi ekternal: persaingan melawan laki-laki belum bisa maksimal karena masyarakat belum sepenuhnya mendukung calon perempuan. Pemimpin perempuan di Bali belum diterima secara terbuka. Budaya patrinialis di Bali menganggap persoalan politik hanya urusan laki-laki. Untuk itu, kata Lanang, perempuan perlu melakukan pengisian diri agar berkualitas, berpendidikan, dan tahu aturan permainan dalam politik.

Ia menilai, satu kelemahan perempuan, belum sepenuhnya berjiwa patriotik. Misalnya, meniru jiwa patriotik Jempiring. “Kalau dulu ia berperang dengan kekerasan, perempuan sekarang menggunakan kemampuan diplomasi dan argumentasi yang kuat. Perempuan berani mengambil posisi untuk perjuangan semua bukan untuk pribadi,” paparnya. Contoh dalam kasus Pilkada Jembrana. Perempuan berani menggugat ke Mahkamah Konstitusi karena bupati yang sudah menjabat dua kali ingin tampil lagi menjadi calon wakil bupati. Perempuan menggugat agar kasus itu tidak terjadi di Indonesia. Perempuan harus berani memanfaatkan momentum penting. Dalam sekian abad di Bali, baru pertama kali ada perempuan menjadi bupati di Bali.

Ia berpandangan, kelebihan perempuan menjadi politikus yang harus digaungkan. Bagaimana perempuan mampu memecahkan masalah tanpa menggunakan adu otot, tetapi dengan cara mediasi. Keras tidak harus menggunakan adu fisik. “Ungkapan sambil tersenyum tetapi berisi dan bagus substansinya, akan lebih tepat. Orang tidak lagi melihat dia laki-laki atau perempuan, namun, apa yang dikemukakan,” kata Lanang. Ia mengingatkan, perempuan hendaknya memiliki peta konsep perjuangannya dan peta politik. Ibarat bermain bola, jika ingin menjadi gelandang, dia harus bisa sebagai penyerang. Punya misi pribadi. Tahu langkah yang harus diambil. Tahu aturan mainnya, dan tahu di mana lokasi lapangan bolanya. Namun, masih banyak perempuan yang mengabaikan hal itu. Tidak cukup hanya menjadi kader partai, tetapi mengisi diri di internal partai dan mengerti aturan main berpolitik. Itu semua tidak hanya didapatkan di parpol. Bisa datang dan belajar ke KPU atau LSM, atau tokoh politik. Tidak bisa hanya mengandalkan parpol. Kalau hanya memenuhi ketentuan quota 30%, itu formalitas. Namun, bagaimana memenuhi itu karena memiliki kemampuan dan pemahaman lebih.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan perempuan untuk menjadi pemimpin. Harus memiliki jaringan yang kuat. Artinya, harus memiliki massa pendukung. Kualitas intelektual, artinya tahu berpolitik dan cerdas, dan juga uang. Ini masalah nyata yang terjadi sekarang. “Orang yang tahu dirinya sendiri, tahu aturan main, tahu berpolitik, dan tahu peta politik saja, belum tentu menang, apalagi yang tidak tahu. Tetapi, saya rasa belum terlambat untuk memulainya. Untuk pemilu 2014, masih ada waktu tiga tahun untuk belajar,” tandasnya. –ast

Koran Tokoh, Edisi 602, 25 s.d 31 Juli 2010

Minggu, 18 Juli 2010

Jalan Kepiting Latih Kebersamaan

SIANG itu matahari bersinar terik. Namun, tiga puluh perempuan yang sedang mengikuti pelatihan kepemimpinan dan advokasi yang diselenggarakan LSM Bali Sruti bekerja sama dengan International Republican Institute (IRI) di Natour Bali Hotel, Sabtu (10/7), dengan senang hati berjemur dan berdiri berjejer membagi diri menjadi tiga kelompok. Permainan berjalan seperti kepiting sedang mereka lakoni di halaman hotel itu. Intruksi fasilitator, sepuluh orang dengan kaki diikat harus berjalan menyerupai kepiting agar sampai di garis finish. Tanpa dikomando, mereka segera berdiri sesuai dengan tinggi badannya. Masing-masing kelompok terlihat sangat serius. Kelompok dua misalnya. Ipung sibuk mengikat kaki temannya dengan tali. Sementara Sri Mudani berdiri paling depan karena merasa paling tinggi. Anggota kelompok lainnya siap berjajar. Kaki kanan teman diikat dengan kaki kiri temannya yang di sebelahnya. Ikatan harus kuat agar tidak lepas saat berjalan.

Permainan ini mengajarkan banyak hal kepada peserta pelatihan yang terdiri dari LSM, parpol, dan jurnalis ini. Bagaimana mereka mampu berjalan tanpa jatuh dan barisan tetap utuh. Tiap kelompok memiliki strategi masing-masing. Walaupun semua berambisi untuk menang, tingkah mereka yang saling berebut mengeluarkan ide memancing gelak tawa. Semua ingin jadi pemimpin. Salah satu kelompok mencoba terlebih dahulu dan baru berjalan beberapa langkah, sudah terjungkal dan semua anggotanya mengerang kesakitan karena tali mengerat kaki mereka. Ketika satu kelompok sudah mencapai garis finish, seorang anggotanya yang paling pertama menyentuh garis finish langsung berteriak. “Hore berhasil,” ujarnya bersorak. Dia lupa, kakinya masih terikat tali dan emosinya yang meledak membuat keseimbangannya goyang. Seketika teman disebelahnya disusul teman yang lainnya jatuh terjungkal. Mereka akhirnya gagal karena anggota lainnya terjatuh.

Ani Pratiwi salah satu fasilitator pelatihan mengatakan, sepintas berjalan seperti kepiting tampak mudah. Namun, untuk dapat berjalan ke depan dan mencapai garis finish diperlukan kerja sama yang baik, kebersamaan, dan strategi. “Tidak bisa semua menjadi pemimpin. Harus mau mendengarkan ide teman lain. Belajar berdiskusi. Perlu pengendalian diri, harus tenang, sabar, dan tidak emosi. Sangat sulit menjalin kebersamaan ketika masing-masing dengan egonya, dan tidak mau bekerja sama,” ujarnya. Artinya, kata dia, permainan ini mengajarkan latihan kepemimpinan, problem solving, membuat strategi, kepercayaan, kekompakan, solidaritas, kemandirian, dan tanggung jawab yang sangat berguna untuk diterapkan dalam semua bidang profesi. Menjadi pemimpin bukan hal yang mudah. Apalagi pemimpin perempuan. Untuk menjadi pemimpin, tidak hanya harus memiliki kecakapan dan kelebihan, namun, mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu demi pencapaian tujuan.
Ketua LSM Bali Sruti Luh Riniti Rahayu berpandangan, kaum perempuan kurang mendapat kesempatan menjalankan kepemimpinan dalam masyarakat. Untuk itu, perempuan perlu meningkatkan kualitas diri melalui pendayagunaan peluang, kesempatan, pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mampu menjadi pemimpin yang baik.

Kriteria Pemimpin
Pemimpin dalam bahasa Inggris disebut “Leader”. Makna lead itu sendiri terdiri dari loyality; pemimpin mampu membangkitkan loyalitas rekan kerjanya dan memberikan loyalitasnya untuk kebaikan. Educate; seorang pemimpin mampu mengedukasi rekan-rekannya dan mewariskan pengetahuannya kepada mereka. Advice; pemimpin memberikan saran dan nasihat dari permasalahan yang ada. Discipline; pemimpin memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan kedisiplinan dalam tiap aktivitasnya. Ia menyebutkan, pemimpin yang baik hendaknya memenuhi beberapa kriteria, pemimpin merupakan seorang yang memiliki orang-orang yang mendukungnya yang turut membesarkan nama sang pimpinan. “Pengaruh ini menjadikan sang pemimpin diikuti dan membuat orang lain tunduk pada apa yang dikatakan sang pemimpin.

Seorang pemimpin umumnya diikuti oleh orang lain karena dia memiliki kekuasaan yang membuat orang lain menghargai keberadaannya. Tanpa kekuasaan atau kekuatan tidak ada yang mau mendukungnya. Hubungan menjadi simbiosis mutualisme dimana kedua belah pihak sama-sama saling diuntungkan. Tanpa adanya pengikut maka pemimpin tidak akan ada. Pemimpin atau pengikut merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berdiri sendiri,” ujar Dekan Fisipol Universitas Ngurah Rai ini.
Ia menyatakan, pemimpin sejati harus memiliki visi yang jelas. Pemimpin yang memunyai visi dan arah yang jelas kemungkinan sukses lebih besar daripada mereka yang hanya menjalankan sebuah kepemimpinan. Pemimpin membawa sebanyak mungkin pengikutnya untuk sukses bersamanya. Pemimpin sejati bukanlah mencari sukses atau keuntungan hanya untuk dirinya sendiri. Namun, ia tidak khawatir dan takut. Bahkan, kata dia, terbuka mendorong orang-orang yang dipimpinnya bersama-sama dirinya untuk ikut meraih kesuksesan bersama.
“Banyak hal yang harus dipelajari seorang pemimpin jika ia mau terus bertahan sebagai pemimpin yang dihargai oleh pengikutnya. Punya hati yang mau diajar baik oleh pemimpin lain ataupun bawahan dan belajar dari pengalaman diri dan orang lain. Melengkapi diri dengan buku-buku bermutu dan bacan yang positif serta bergaul akrab dengan pemimpin lain akan mendorong keterampilan kepemimpinannya meningkat,” ujarnya.
Pemimpin sejati bukanlah orang yang hanya menikmati dan melaksanakan kepemimpinannya seorang diri. Namun, dia adalah seorang yang visioner yang mempersiapkan pemimpin berikutnya untuk generasi masa depan. Stephen R. Coney menyatakan, prinsip seorang pemimpin adalah seorang yang belajar seumur hidup, berorientasi pada pelayanan, membawa energi positif, percaya pada orang lain, keseimbangan dalam kehidupan, melihat kehidupan sebagai tantangan, bersinergis dengan orang lain, dan berusaha mengembangkan diri sendiri. –ast

Koran Tokoh, Edisi 601, 18 s.d 24 Juli 2010