Sabtu, 28 Agustus 2010

Rayakan HUT ke-65 RI dengan Coret Pipi Merah Putih

Tu Niang, begitu ia biasa disapa. Perempuan usia 56 tahun ini penjual makanan tradisional Bali seperti tipat cantok, rujak, tahu petis, nasi betutu, dan es daluman di salah satu areal supermarket di Kuta. Ada yang unik dari penampilan Ida Ayu Puspa, nama lengkap perempuan asal Desa Sandakan Petang, Badung ini. Selain menggunakan pakaian adat Bali setiap hari, ia juga menyasak rambutnya sangat tinggi. Dalam rangka perayaan HUT ke-65 Republik Indonesia, Tu Niang tak tanggung-tanggung, mencoreng pipinya dengan make up dan membentuk dua garis warna merah dan putih. Dandanannya ini tentu saja menarik perhatian wisatawan asing atau orang yang datang mengunjungi pameran di depan pantai Legian, tempat Tu Niang berjualan sore itu.

Nama Tu Niang, sangat terkenal di Sanur dan Kuta. Selain dandanannya yang unik, ia sering menggunakan sepeda motor untuk mengangkat barang dagangannya dari rumahnya di Sanur menuju tempat pameran. “Dimana saja ada pameran, saya pasti ada. Di Art Centre, Gajah Mada Festival, Sanur Festival, ataupun Kuta Kanival,” ujarnya. Untuk menyasak tinggi rambutnya, Tu Niang hanya membutuhkan waktu 5 menit. Ia mengaku tidak terbeban dengan dandanannya itu. Malah, ia mengaku itu ciri khasnya.


Ada kisah unik yang dituturkan perempuan yang hanya tamat kelas III SD ini. Suatu ketika, ia sedang membawa barang dagangannya dengan sepeda motor melewati jalan Simpang Siur Dewa Ruci Kuta. Tanpa disadari, barang dagangannya jatuh. Ia tidak menyadarinya. Tu Niang melihat ke belakang, banyak orang berteriak. Tu Niang ikut berhenti dan sibuk melihat apa yang dikerumuni di tempat itu. Ia tak menyangka semua barang dagangannya jatuh. Malah ia sibuk berkumat-kamit kebingungan mencari tahu siapa yang punya barang tersebut. Ketika hendak menuju sepeda motornya, ia kaget, keranjangnya tidak ada. “Ternyata itu keranjang saya yang jatuh,” ujarnya sembari tertawa.

Begitulah Tu Niang, ia tidak pernah merasakan letih lesu dalam menjalankan usahanya. Walaupun harus berkali-kali mengangkat barang dagangannya dengan sepeda motor.
Mengenang perjuangannya yang sejak kecil hidup susah, tak terasa air mata Tu Niang menetes. Berkali-kali, ia menyeka air matanya dengan tisunya.
Ia menuturkan, saking miskinnya, ia rela dijadikan istri keempat. Ia merasakan hidupnya sangat susah. Ia tidak diterima di keluarga suaminya. Namun, Tu Niang tetap optimis, suatu saat kesuksesan akan diraihnya. Dari hasil berjualan makanan, ia menghidupi kebutuhan keempat anaknya. Selain berjualan makanan, Tu Niang juga piawai membuat penjor dan gebogan. Waktu pembukaan Hotel Hilton Nusa Dua, Tu Niang mendapat pesanan 143 penjor.

Sambil membawa contoh gebongan, Tu Niang masuk dari satu hotel ke hotel. Permintaan pun mulai membanjir, dari hotel di lingkungan Nusa Dua seperti Pertamina Cotagges, Grand Hyat Bali, dan Putri Bali.
Dari hasilnya, ini Tu Niang mampu menyekolahkan keempat anaknya hingga sudah tamat SMA dan bekerja. Yang paling bungsu, sering membantunya di warung saat ada pameran.

Disukai Turis Asing
Makanan buatan Tu Niang, sangat disukai turis asing. Salah satu pengunjung pameran Lorenso asal Argentina mengaku sangat menyukai tipat cantok. Di hotel, ia pernah mencicipi gado-gado. Menurutnya, gado-gado hampir mirip dengan tipat cantok. Selain mencoba, tipat cantok ia tertarik mencoba rujak buatan Tu Niang. Namun, ia mengaku tidak terlalu suka rujak karena pedas. Sekadar mencoba saja, tapi tidak berani banyak,” ujarnya sembari menyisakan di piringnya.
Pertama kali pengunjung pameran datang yang sebagian besar turis asing, nama Tu Niang, begitu dikenal. Makanan tradisional Bali menjadi incaran para tamu. Bukan hanya menyajikan makanan, Tu Niang juga memperkenalkan hari itu merupakan HUT ke-65 Republik Indonesia dengan bahasa Inggris yang fasih.–ast

Sudah dimuat di koran Tokoh, edisi 606, 22 s.d 28 Agustus 2010

Kamis, 19 Agustus 2010

Desak DPRD Buat Perda

KEKERASAN dalam rumah tangga (KDRT) menjadi isu penting yang diangkat dalam Pelatihan Advokasi bagi perempuan LSM, Parpol, dan Jurnalis, Minggu (8/8). Peserta pelatihan sepakat membentuk tiga kelompok kerja dalam melakukan advokasi KDRT yakni Pokja Data, Pokja Humas dan Lobi, dan Pokja Strategi. Topik KDRT dipilih karena kasus ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Komnas Perempuan menyebutkan, tahun 2007 terjadi 25.522 kasus, tahun 2008 meningkat, 54.425 kasus. Data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) Provinsi Bali menyebutkan, 37 kasus tahun 2009, dan meningkat menjadi 51 kasus sampai Agustus 2010. LSM Bali Sruti mencatat 423 kasus kekerasan terhadap perempuan di Bali. Data ini diperoleh dari pihak kepolisian, rumah sakit, LSM, dan lembaga pemerintah. Masing-masing pokja menetapkan tim perumus yang terdiri atas Budhawati, Ussie, Sri Joni, Sri Mudani, Wirati, Ipung, Karthi, dan Rahma. Setelah berdiskusi, tim menghasilkan rumusan untuk advokasi kasus KDRT yang akan segera ditindaklanjuti dalam waktu dekat.

Menurut kajian hukum, sejauh ini belum ditemukan adanya peraturan daerah di Bali yang mengatur KDRT. Warga masyarakat kurang paham dan tidak mengerti jika dirinya mengalami kasus KDRT. Ke mana mereka harus mencari perlindungan. Padahal dari kajian budaya, dalam masyarakat Bali dan masyarakat Indonesia umumnya tingkat kekerabatan dalam rumah tangga masih dikuasai laki-laki yang dianggap sebagai kepala keluarga. Kebijakan dan kedudukan laki-laki menjadi faktor dominan dan perempuan menjadi subordinat. Sedangkan masyarakat masih berpersepsi, KDRT persoalan rumah tangga dan bukan masalah publik. Masyarakat masih menyakralkan laki-laki penguasa dan pemimpin rumah tangga. Segala kebijakan dan peraturan dalam rumah tangga menjadi hak veto laki-laki. Perempuan menjadi objek penderita yang harus menurut aturan laki-laki.

Strategi:
1. Hearing ke DPRD Kabupaten/Kota dan Provinsi Bali untuk usulan pembuatan perda yang mengatur efektivitas dan optimalisasi pelayanan dan penanganan kasus KDRT.
2. Melakukan lobi ke media massa cetak dan elektronik (TV dan radio). Media memiliki peran besar dalam gerakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Sikap media massa dalam pemilihan dan penekanan isu serta penggunaan bahasa dan tampilan yang sesuai harus diterapkan agar media tidak terus-menerus melanggengkan nilai-nilai ketidakadilan gender yang merugikan perempuan/laki-laki dan membuat suara perempuan makin tak terdengar. Sudah seharusnya media dijadikan sebagai salah satu saluran untuk menyebarluaskan informasi yang lebih mendalam dan mengedukasi pembaca/pemirsa/pendengar mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Pemberitaan yang tidak menonjolkan sensasi di balik permasalahan perempuan bisa menjadi langkah produktif dalam penyadaran terhadap masyarakat mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Media membangun opini demi penguatan terhadap korban. Ada dialog publik tentang KDRT dan testimoni korban.
3. Sosialisasi ke desa/banjar kabupaten/kota se-Bali. Sasaran PHDI: Majelis Desa Pakraman se-Bali, WHDI se-Bali, Forum Kerukunan Umat Beragama dengan unsur-unsur yang terkait yang beraliansi agama, pemuda, dan organisasi perempuan. Sosialisasi UU PKDRT.
4. Dialog terbuka, seminar dan Focus Group Discussion dengan masyarakat umum.
5. Dialog khusus dengan pemerintah. Tujuannya, persiapan anggaran untuk pelaksanaan perda melalui SKPD terkait.
6. Lobi kepada petinggi aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, lembaga pengacara) agar lebih sensitif gender. Peningkatan personel dan tersedianya sarana dan prasarana dalam pelayanan perempuan dan anak di ruang RPK di kepolisian.

Harapan:
1. Adanya penurunan terhadap angka-angka kasus KDRT di Bali.
2. Adanya keadilan yang lebih diberikan kepada korban KDRT.
3. Penanganan dan penegakan hukum yang direalisasikan sesuai degan aturan hukum yang berlaku. Ada proses pendampingan dan pembelaan yang efektif dan memberikan keadilan kepada korban.
4. Aparat penegak hukum lebih sensitif terhadap kasus KDRT.
5. Harmonisnya kehidupan sebuah keluarga karena berkurangnya kasus KDRT.
6. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa laki-laki dan perempuan mitra dan bukan sebagai atasan dan bawahan.
7. Masyarakat lebih bisa mengakses hotline Rumah Sakit Sanglah di: Psychiatry_denpasar@yahoo.com
8. Sosialisasi dengan memberikan pengetahuan gender dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang terkait. -ast

Tips Sukses Advokasi
ADVOKASI merupakan strategi untuk memengaruhi para pengambil keputusan yang menyangkut masyarakat. Tujuan advokasi melakukan suatu perubahan. Untuk merancang advokasi, fasilitator Lanang Aryawan memberikan tips sukses. Menurut Lanang, prinsip yang harus diperhatikan dalam advokasi, realistis. “Advokasi yang berhasil senantiasa bersandar pada isu dan agenda yang spesifik, jelas dan terukur. Pilihlah isu dan agenda yang realistis yang dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu,” ujarnya. Prinsip lainnya, sistematis. Artinya, advokasi adalah seni, namun bukanlah seni lukisan abstrak. Dalam melaksanakan advokasi hendaknya disusun dan direncanakan secara akurat. Kemaslah informasi semenarik mungkin serta libatkan media secara efektif. Ingat, kita tidak mungkin melakukan advokasi sendirian. Oleh karena itu, kata Lanang, prinsip taktis jangan diabaikan. “Bangunlah suatu koalisi dengan pihak lain yang dapat searah dengan pemikiran kita,” jelasnya. Prinsip penting lainnya, strategis. Ia menyatakan, advokasi melibatkan penggunaan kekuasaan. Menurutnya, kita harus bisa memetakan dan mengidentifikasi kekuatan sendiri dan kekuatan lawan atau pihak oposisi secara strategis.

Prinsip berani adalah hal penting. Advokasi harus menyentuh perubahan sosial secara bertahap. Ia menyarankan, jangan tergesa-gesa dalam memandang suatu isu serta tidak perlu menakui-nakuti lawan. Namun, jangan pula sampai menjadi penakut. “Jadikan isu dan strategi yang telah dilakukan sebagai motor penggerak dan tetaplah berpijak pada agenda bersama,” tandasnya.

Strategi Advokasi
Untuk suksesnya advokasi, Lanang Aryawan menyarankan, sebaiknya disusun strategi yang baik dan cermat. Poin penting pertama, memilih isu strategis. Ia berpandangan, isu yang diangkat hendaknya isu penting, hangat dan terkini serta memiliki dampak yang cukup serius terhadap masyarakat. Strategi kedua, mencari fakta dan membangun opini. Lanjutkan dengan merumuskan dan membangun opini terhadap isu yang akan diadvokasikan dengan harapan akan terbentuk suatu komonitas yang mendukung aksi dan gerakan advokasi. Strategi ketiga, memahami sistem kebijakan publik. “Hal ini penting agar jangan sampai pelaksanaan advokasi yang dilakukan berbenturan dengan sistem yang telah dikembangkan pemerintah yang sedang berkuasa,” ujarnya. Poin penting berikutnya, membentuk lingkar inti. Artinya, untuk membuat suatu gerakan advokasi yang terorganisir diperlukan beberapa orang yang berfungsi sebagai koordinator dan motivator sebagai lingkar inti. Orang-orang inilah yang bertugas menyusun strategi, mengorganisir dan mendorong masyarakat untuk terlibat dalam upaya advokasi kasus dan bagaimana cara melakukannya. Strategi berikut, mengumpulkan data dan informasi yang diperoleh langsung dari sumber tempat terjadinya isu atau dari pihak lain sebagai data sekunder. Poin penting lain, mengidentifikasikan pendukung dan penantang. “Tidak dapat dimungkiri, kegiatan advokasi akan memiliki dampak serius bagi sekelompok orang, atau pihak lain. Untuk itu, penting kita ketahui dan petakan, siapa saja orang atau organisasi yang mendukung dan menentang kasi advokasi,” ujarnya.

Strategi lain yang dianjurkan, melakukan analisis data. Tujuan strategi ini agar pelaksanaan advokasi dapat disusun dengan lebih cermat tentang apa, mengapa, siapa, bagaimana, dan di mana harus dilakukan advokasi. Ia juga mengingatkan, dalam merancang pesan harus jelas, mudah dimengerti, tujuannya jelas dan jelas manfaatnya bagi masyarakat. Ia berpandangan, salah satu penyebab advokasi tidak berjalan sesuai rencana karena lemahnya aktivitas awal dalam membangun basis dan keterlibatan masyarakat. Oleh karena itu, penting dipetakan basis masyarakat yang akan mendukung aksi advokasi tersebut. Hal yang juga penting, membangun jejaring. Ia mengatakan, kita tidak dapat sukses melaksanakan kegiatan tanpa dukungan dari pihak lain yang memiliki kompetensi dan kaitan dengan isu yang akan kita advokasi.

Aksi advokasi dapat berjalan lebih efektif jika dikuti kegiatan melakukan tekanan ke berbagi pihak. Misalnya, memengaruhi opini publik dengan tulisan di media massa. “Memengaruhi para pembuat dan pelaksana kebijakan dapat dilakukan melalui pendekatan persuasif yakni dengan mengajak berdiskusi atau secara aktif menginformasikan kepada para pembuat kebijakan arti penting kasus tersebut bagi masyarakat dan pembangunan,” tutur Lanang. Tahapan akhir, melakukan pendampingan terhadap kepentingan warga masyarakat. Contoh, mengajukan gugatan peninjauan kembali terkait kebijakan yang telah digulirkan.
Ia menyatakan, rencana aksi advokasi yang telah ditetapkan perlu dituangkan ke dalam jadwal, termasuk penetapan siapa berbuat apa. Ia menyarankan, gerakan advokasi yang akan dilaksanakan, hendaknya dipublikasikan ke masyarakat agar diketahui secara jelas tujuan dan manfaatnya. Manfaat lain, adanya peluang keterlibatan masyarakat luas yang belum mengetahui maksud dan tujuan, sekaligus memperoleh dukungan media. Tidak dapat dimungkiri, aktivitas dan gerakan advokasi membutuhkan biaya tidak sedikit. Untuk itu, penggalangan dana perlu dilakukan. Keberhasilan tiap strategi advokasi perlu dinilai secara berkala. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk evaluasi, apakah isu yang diadvokasikan masih cukup relevan dan terkait kuat dengan kehidupan amsyarakat luas. Apakah isu telah berkembang lebih lanjut? Apakah sasaran yang dituju masih relevan atau perlu direvisi? Apakah pencapaian target advokasi terwujud? Apakah pesan yang disampaikan masih cukup kuat serta bagaimana dampaknya terhadap masyarakat? Apakah media yang terlibat sebagai rekanan meningkat jumlahnya? – ast

Koran Tokoh, Edisi 605, 15 s.d 21 Agustus 2010

Minggu, 15 Agustus 2010

Prioritaskan Pendidikan Kependudukan

MENANGGULANGI masalah kependudukan tak cukup dengan program keluarga berencana (KB). Pendidikan kependudukan dengan sasaran generasi muda sebagai calon pasangan suami-istri perlu menjadi prioritas, seperti yang pernah dilakukan Gerakan Pemuda ZPG (Zero Population Growth). Dr. dr. Made Wardana, Sp.K.K. ( K). yang pernah menjabat wakil ketua Gerakan Pemuda ZPG Bali dalam masa kepemimpinan Widminarko itu lebih jauh mengungkapkan pendidikan kependudukan model ZPG tersebut sangat menunjang program penanggulangan masalah kependudukan akhir tahun 1970-an dan tahun 1980-an itu, khususnya dalam upaya menanamkan pemahaman tentang pentingnya motivasi berkeluarga kecil dalam upaya menunjang program KB. “Saat-saat itu banyak kalangan ibu yang malu dan gelisah jika terlambat menstruasi, karena anaknya sudah dua, antara lain berkat kampanye ZPG yang meluas,” ungkap Wardana.

Ia mengatakan, masalah kependudukan di Indonesia sekarang ini memiliki beberapa karakteristik. Pertumbuhan penduduk seolah tak terkendalikan, distribusi penduduk tidak merata, dan tingkat urbanisasi tinggi. Persoalan tersebut menjadi bertambah serius, karena tidak dimbangi bertambahnya lahan pekerjaan dan bahan pangan yang memadai. Di kalangan generasi muda di Bali kesadaran tentang adanya persoalan bangsa yang serius itu sudah tumbuh dengan berdirinya Gerakan Pemuda ZPG, 23 Agustus 1976, yang diprakarsai Widminarko dan Anom Murdhana dan yang di-back up BKKBN Bali.

Ada empat anjuran ZPG yang dikampanyekan saat itu, yakni tunda usia kawin, tunda kelahiran anak pertama, jarangkan jarak kelahiran anak pertama dan kedua, dan stop dua anak laki atau perempuan sama saja.
Pendekatan yang dilakukan aktivis ZPG, motivasi tentang norma berkeluarga kecil yang ditanamkan di kalangan generasi muda dilakukan juga oleh generasi muda sesamanya. Ia menyebutkan, berbagai kegiatan pernah dilakukan Gerakan Pemuda ZPG. Contohnya, teruna-teruni yang pernah mendapat pelatihan ZPG mengadakan warung amal (bazar) di banjarnya. Di daftar menu di tiap meja dicantumkan pesan-pesan ZPG seperti tunda usia kawin, dua anak cukup laki perempuan sama saja. Ada juga pementasan kesenian tradisonal yang diselingi pesan ZPG, pergelaran musik yang membawakan lagu-lagu yang liriknya penuh pesan ZPG, yang semuanya dilakukan eksponen generasi muda dan ditonton generasi muda pula. “Dalam kegiatan itu tidak terlihat peran orang tua dan sosok BKKBN atau pemerintah, walaupun di belakang layar mereka membantu kegiatan tersebut,” kenangnya.

Ia mengungkapkan, organisasi ZPG tidak punya dana. Tetapi, karena kegiatannya dianggap strategis dan penting, banyak pihak yang mendukungnya. ”Dengan meminjam mobil BKKBN dan film beserta proyektornya dari Deppen, kami melakukan kampanye ke sekolah, kampus, hingga ke perdesaan. Kami berbicara sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Yang disiplin ilmunya ekonomi bicara soal dampak negatif ekonomis jika pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan. Begitu pula teman-teman yang berdisiplin ilmu hukum, agama, dan tradisi. Karena saya kuliah di Fakultas Kedokteran, saya lebih banyak menyosialisasikan kesehatan reproduksi.” papar ahli bedah tumor kulit dan alergi Rumas Sakit Sanglah ini.
Sudah saatnya pemerintah mengintensifkan kembali program pendidikan kependudukan, baik di sekolah maupul di luar sekolah. Organisasi yang mengelola unsur generasi muda harus didorong dan merasa terpanggil untuk memeloporinya di jalur luar sekolah. ”Jika pogram penanggulangan masalah kependudukan hanya menyasar pasangan usia subur, terlambat. Generasi muda harus dimotivasi sejak dini tentang pentingnya norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera,” ujarnya. –ast

Koran Tokoh, Edisi 605, 15 s.d. 21 Agustus 2010

Suwitri Riyasse, Pemakai IUD Pertama

DI Bali kampanye keluarga berencana (KB) sudah dilakukan sejak dulu. Penggeraknya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang berdiri tahun 1959. Salah seorang aktivisnya Dewa Ayu Kade Suwitri atau yang lebih dikenal dengan nama Bu Suwitri Riyasse. Perempuan yang masih energik dalam usia 81 tahun ini mendapat penghargaan Gubernur Bali Sukarmen sebagai pelopor KB karena menjadi pengguna alat kontrasepsi IUD (spiral) I tahun 1962.
Ditemui di rumahnya yang asri di kawasan Jalan Nangka Denpasar, perempuan yang pernah menjabat pengurus PWI Persiapan Cabang dan Cabang Bali 1957 – 1983 ini, sangat antusias menceritakan pengalamannya sebagai pengguna IUD I di Bali. ”Waktu itu saya sudah memunyai 6 anak. Saya ditawari mencoba alat kontrasepsi IUD. Sebagai pengurus PKBI, bagaimana saya bisa memberikan penerangan kepada para perempuan tentang alat kontrasepsi kalau saya tidak mencobanya sendiri,” katanya.
Ada lima sampel IUD yang dikirim dari London. Bu Suwitri Riyasse pemakai I. Pemakai II Bu Putra Pastime. Selama menggunakan IUD, ia mengaku tidak pernah ada masalah. ”Saya mengikuti semua aturan pakainya. Periksa tiga bulan setelah pemakaian pertama, kemudian periksa enam bulan berikutnya, dan selanjutnya periksa tiap tahun selama tiga tahun,” tuturnya.

Menurutnya, sebagian besar masalah yang terjadi pada pemakaian alat kontrasepsi karena pemakai tidak mengikuti aturan pakai dengan baik. ”Mereka tidak rutin memeriksakan diri sehingga bisa saja timbul pendarahan atau kebobolan alias hamil lagi,” jelas istri mantan kepala Dinas Pariwisata Bali I Gde Putu Riyasse (almarhum), ini. Setelah merasa aman menggunakan IUD, ia mengajak temannya, Bu Putra Pastime, mengikuti jejaknya memakai alat kontrasepsi tersebut. Dari pengamatannya, semua pemakai sampel IUD tersebut aman-aman saja. Namun, Bu Riyasse lupa siapa nama tiga orang yang mengikuti jejaknya setelah Bu Putra Pastime. Sebagai pelopor pemakai alat kontrasepsi, Bu Riyasse sudah mendapatkan tiga kali penghargaan termasuk dari Presiden Suharto sebagai peserta KB Lestari.

Ia aktif sebagai pengurus PKBI Daerah Bali sampai tahun 1996. Tahun 1969, ia merupakan orang pertama di PKBI Bali yang dikirim mengikuti pelatihan keluarga berencana di Singapura selama sebulan.
Ada kisah menarik yang dituturkan ibu 7 anak, 19 cucu dan 11 cicit ini perihal KB di Singapura. Ada aturan di Singapura, dua anak cukup laki-laki atau perempuan sama saja. Kalau ada yang memunyai anak lebih dari dua, anak ketiga tidak boleh bersekolah di lingkungannya. Mereka harus keluar dari wilayah tersebut. ”Aturan ini membuat warga Singapura mematuhi kampanye dua anak cukup. Mereka tidak tega harus berpisah dengan anaknya yang masih kecil,” katanya. Menurut Bu Riyasse, sekarang ini aturan ber-KB semacam itu sulit diterapkan di Indonesia. ”Kedisiplinan orang Indonesia kurang. Buang sampah saja masih sembarangan,” ujarnya.

Menurutnya, sekarang ini pendidikan kependudukan untuk generasi muda sangat diperlukan. Hal ini, katanya, untuk memberikan pemahaman kepada calon pasangan usia subur agar menerapkan prinsip dua anak saja untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Selain itu, sekolah sebaiknya memberikan pendidikan kesehatan reproduksi sejak SMP. –ast

Koran Tokoh, Edisi 605, 15 s.d 21 Agustus 2010

Sabtu, 14 Agustus 2010

Keong Racun

DASAR kau keong racun. Baru kenal eh ngajak tidur. Ngomong nggak sopan santun. Kau anggap aku ayam kampung. Kau rayu diriku. Kau goda diriku. Kau colek diriku. Eh ku takut sekali, tanpa basa basi kau ngajak happy happy.

Itulah penggalan lirik lagu “Keong Racun” yang sedang booming sekarang ini. Mulai anak-anak sampai orang tua menggemarinya. Mulai dari rakyat jelata bahkan sampai pejabat menikmati musik yang videonya dipopulerkan mahasiswi asal Bandung Sinta dan Jojo yang melakukan lip-sync lewat YouTube. Fenomena keong racun sangat menarik perhatian masyarakat. Sinta dan Jojo bahkan mendadak menjadi sangat terkenal dan menjadi incaran media bak artis pendatang baru yang sedang naik daun. Berbicara masalah keong, jika dilihat dari sisi kesehatan, apakah keong mengandung racun atau malah mengandung zat gizi?

“Keong atau moluska gastropoda diberikan bagi yang memiliki cangkang bergelung pada tahap dewasa. Spesies ini mencakup siput dan siput bugil (siput tanpa cangkang). Keong atau siput dapat ditemukan dari parit hingga gurun, bahkan hingga laut yang sangat dalam. Sebagian besar spesies siput adalah hewan laut. Banyak juga yang hidup di darat, air tawar, bahkan air payau. Beberapa contoh gastropoda; bekicot, siput kebun, siput laut, dan siput air tawar,” kata Ahli Gizi dari Poltekes Denpasar Ida Ayu Eka Padmiari, S.K.M. M.Kes.

Ia menyebutkan, beberapa spieses keong dapat dimakan. Keong sawah (pila ampullacea) sejenis siput air yang mudah dijumpai di perairan tawar Asia tropis, seperti di sawah, aliran parit, serta danau. “Keong sawah memiliki warna cangkang hijau pekat sampai hitam. Di Bali disebut dengan kakul. Hewan ini dikonsumsi di berbagai wilayah Asia Tenggara dan memiliki nilai gizi yang baik karena mengandung protein yang cukup tinggi,” paparnya lebih jauh. Keong sawah paling banyak ditemukan di sawah, karena air sawah relatif bening meski berlumpur. Keong muncul pada pagi hari berada di permukaan air dan menempel pada batang padi.
Ia menambahkan, ada juga keong yang disebut hama petani tapi mengandung protein tinggi yakni keong mas. Siput sawah dengan warna cangkang keemasan. Keong ini menempelkan telurnya di batang padi. Ketika menetas, keong mengonsumsi batang padi sehingga tanaman padi akan mati. Pembiakan keong cenderung sangat cepat, sehingga kadang petani kewalahan.

Ia menyatakan, hama keong bagi petani dapat pula menjadi keuntungan ekonomi. “Bila keong mas dikelola dengan lebih baik, dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai sumber ekonomi masyarakat,” jelasnya.
Mengutip pernyataan Dr. Ir. Sulistiono, MSc, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), kandungan gizi keong mas diketahui mengandung asam omega 3, 6 dan 9. Dari hasil uji proksimat, kandungan protein pada keong mas berkisar antara 16 hingga 50 persen.

Dayu Padmiari mengatakan, nilai gizi dari 100 gram daging keong mas (siput murbai), energi makanan 83 kalori, protein 12.2 g, lemak 0.4 g, karbohidrat 6.6 g, abu 3.2 g, fosfor 61 mg, natrium 40 mg, kalium 17 mg, riboflavin 12 mg, niacin 1.8 mg, kandungan makanan yang lain: Vit. C, Zn, Cu, Mn dan Yodium.
Menurutnya, keong mas dapat menjadi komoditas menambah penghasilan petani dan meningkatkan gizi masyarakat. Keong mas dapat menjadi komoditas ekspor ke negara-negara Eropa, Jepang dan Hong Kong. Selain banyak mengandung protein, hewan dari keluarga moluska ini juga kaya akan kalsium untuk membantu pertumbuhan tulang, memperlancar peredaran darah, melenturkan otot, memelihara keseimbangan cairan, membantu mineralisasi gigi, dan mencegah pengeroposan tulang. “Bila diolah dengan cara tepat, keong dapat menjadi sumber protein hewani yang berkualitas tinggi. Daging keong jauh lebih murah dibanding daging ayam, kambing, atau daging sapi,” paparnya.

Daging keong dapat diolah menjadi bahan makanan dengan teknik pengolahan yang tepat sebagaimana pengolahan daging bekicot yang sudah lazim dikonsumsi. Misalnya, diolah menjadi keripik, kerupuk, sate, atau tepung. Bahkan, kata dia, di beberapa daerah keong mas diolah menjadi berbagai jenis masakan seperti sate, pepes, sambal keong, hingga kecap keong. Ia berpandangan, keong pun jika diolah dengan tepat dapat dijadikan makanan berkelas internasional seperti sate kakul yang juga disukai turis asing.

Keong Racun
Namun, ada juga keong yang tidak dapat dimakan yakni "Keong Racun" atau conus geographus, habitatnya berada di laut wilayah Indo-Pasifik. Sengatan keong racun menimbulkan nyeri, bengkak, mati rasa dan kesemutan serta muntah bahkan kematian. Sesuai dengan namanya “Keong Racun”, spieses keong ini lebih cocok dijadikan lagu untuk didengar dan dinikmati ketimbang dikonsumsi sebagai makanan. –ast

Koran Tokoh, Edisi 605, 15 s.d. 21 Agustus 2010



Minggu, 01 Agustus 2010

455 Posyandu Tanggulangi Gizi Buruk di Kota Denpasar

Tahun 2010 tercatat 5 balita menderita gizi buruk di Denpasar. Dengan prosentase 0,03% dari jumlah keseluruhan yang ditimbang 14.377 balita, angka ini terbilang relative kecil. Namun, Dinas Kesehatan Kota Denpasar terus berupaya agar tidak ada lagi penambahan balita yang menderita gizi buruk. Dengan dicanangkannya Denpasar sebagai Kota Ramah Anak, Dinas Kesehatan Kota Denpasar terus melakukan upaya-upaya mengatasi gisi buruk. Kadis Kesehatan Kota Denpasar dr. Luh Sri Armini mengatakan balita yang menderita gizi buruk bukanlah karena balita tersebut terlahir tidak sehat. Tapi sebagian besar ada penyakit penyertanya seperti hydrosepalus dan pnemonia. “Tidak ada murni kekurangan gizi, tapi ada penyakit yang dideritanya,” ujarnya. Lima balita ini tersebar di kecamatan Denpasar Barat satu orang. Denpasar Utara dua orang, dan Denpasar Timur satu orang.

Ia menyebutkan, upaya penanggulangan gizi buruk sudah dilakukan kepada 5 balita tersebut dengan pemberian makanan tambahan seperti susu dan biskuit selama 4 bulan. Mereka juga mendapatkan pengobatan sesuai penyakit yang dideritanya. Petugas kesehatan terus memantau perkembangan balita tersebut dan memberikan penyuluhan gizi kepada orangtuanya. Ia menilai, sebagian besar masyarakat masih belum paham tentang gizi yang cukup. Sehingga program penyuluhan kesehatan akan pentingnya asupan makanan yang cukup tetap menjadi prioritas. Dokter Sri Armini mengatakan, program penanggulangan gizi buruk sudah dilakukan sejak ibu hamil sampai dewasa. Posyandu masing-masing banjar terus diberdayakan. “Saat ini sekitar 455 posyandu tutur aktif dalam penanggulangan gizi buruk,” tandasnya. Program penyuluhan ksehatan menjadi prioritas.

Program pertama menyasar ibu hamil. Pemberian imunisasi TT, zat besi, dan penyuluhan makanan sehat bagi ibu hamil. Setelah bayi lahir, imuniasasi wajib diberlakukan sebelum usia bayi satu tahun dengan pemberian DPT, BCG, Polio, dan Hepatitis. Program Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak (DDTKA) menyasar siswa pra sekolah (TK). Bekerja sama dengan puskesmas setempat, melakukan screening kesehatan ke TK-TK yang ada di Denpasar sekali setahun. Saat anak duduk di SD, kembali dilakukan screening kesehatan, seperti pemeriksaan gigi, telinga, mata, dan gizi. “Imunisasi ulangan DT dan TT diberikan saat anak duduk di kelas I dan 6 SD,” kata dr. Sri Armini.
Memasuki bangku SMP bekerja sama dengan UKS, siswa terus mendapatkan penyuluhan kesehatan. Program imunisasi TT ulangan diberikan kepada siswi SMA putri. Imunisasi ini tujuannya, agar remaja putri terhindar dari tetanus, dimana nantinya mereka akan menjadi calon ibu. –ast

Koran Tokoh, Edisi 603, 1 s.d 7 Agustus 2010