Komunikasi terlihat sepele dan gampang. Namun, kesalahan berkomunikasi dapat mengakibatkan kehancuran. Satu contoh kasus kesalahan komunikasi yang mengakibatkan pembunuhan tragis suami istri pedagang mobil di Bali. Hanya gara-gara pembantu minta gaji kepada majikan dengan cara komunikasi yang salah dan tidak berkenan, ia menghabisi nyawa majikannya. “Kesalahan komunikasi dapat mendatangkan masalah. Dalam menyampaikan pesan, komunikan harus melihat situasi. Kadang-kadang tanpa disadari kesalahan berkomunikasi memberikan dampak negatif,” ujar Dra Ida Ayu Ratna Wesnawati, M.M. dalam diskusi Kerjasama Koran Tokoh dengan WHDI, Selasa (25/8).
Contoh lain kesalahan komunikasi dilukiskan Dekan Fikom Universitas Dwijendra ini. Seorang anak kecil menonton tayangan kriminal di televisi. Karena tidak mengerti, dia bertanya kepada kakaknya. Si adik menanyakan bagaimana cara bunuh diri seperti tayangan di televisi. Si kakak menjelaskan dan langsung mempraktikkan agar si adik mengerti. “Tolong ambilkan kakak kursi. Ikatkan tali di leher kakak dan gantungkan tali itu di tiang. Kemudian tariklah kursinya. Akhirnya matilah si kakak,” tutur Dayu Ratna. Ia mengatakan komunikasi menjadi suatu kebutuhan untuk mengatasi problematik antar manusia. Sekitar 70% waktu dibangun dengan komunikasi. Ada dampak yang terjadi jika kita tidak berhati-hati dalam berkomunikasi,” ujarnya.
Ia mengatakan tujuan berkomunikasi untuk terciptanya perubahan sikap, pendapat, perilaku dan socsial. Hambatan komunikasi yang sering terjadi karena kurangnya kecakapan, sikap komunikator yang kurang tepat, kurangnya pengetahuan, kurangnya memahami sstem social, dan prasangka yang tidak mendasar. “Jangan selalu negatif thinking dengan orang lain,” tegasnya.
Ia berpandangan dalam berkomunikasi dengan anak, orangtua harus memperhatikan banyak faktor. Orangtua hendaknya menjadi pendengar yang baik. “Jangan mentang-mentang menjadi orangtua tidak mau mendengar keluhan anak. Orangtua harus memahami saat anak berusia dibawah 5 tahun, anak dianggap menjadi raja. Usia diatas 5 tahun menjadi pelayan. Anak usia 16 tahun dianggap teman,” paparnya. Ia mengatakan saat anak mengeluh, hentikan kegiatan orangtua dan dengarkan pembicaraan anak. Hindari memotong pembicaraan. Lakukan komunikasi dua arah dan tidak mendikte,” jelasnya. Orangtua hendaknya tenang dan jujur. Hindari mengucapkan kata-kata yang tidak pantas sebagai ungkapan rasa marah dan frustasi.
Satu contoh diungkapkan Dayu Ratna, begitu ia biasa disapa. Seorang ibu karena pendidikannya kurang dan kondisi keluarganya tidak harmonis sering melontarkan kata-kata kasar kepada anaknya. Bahkan ibu tadi tak segan-segan memukul anaknya. Akhirnya anaknya salah pergaulan, kecanduan narkoba, mengidap HIV/AIDS dan meninggal. “Bagaimana anak itu bisa sensitif kalau mulai bangun tidur sampai malam hari selalu mendengar kata-kata yang kasar?” ujarnya dengan nada tanya. Ia menyarankan sebaiknya orangtua memberi anak dukungan bila anak datang menceritakan masalahnya Dengarkan dengan penuh perhatian. Lepaskan atribut diri sebagai orangtua saat mendengar curhat anak dan cobalah tempatkan diri dalam posisi anak. “Jangan sampai anak curhat ke tetangga atau orang lain. Bagaimana mau curhat dengan orangtua, belum apa-apa bapak dan ibunya sudah membentak duluan?” ujar Dayu Ratna.
Ia menilai, kebanyakan para ibu sudah jarang mengatakan kepada anaknya “Ibu masak apa hari ini untuk kalian?”. Dengan kesibukan para orangtua banyak hal penting yang jarang menjadi perhatian.
“Para orangtua hendaknya menemani anaknya saat menonton tayangan televisi. Ada kode dalam setiap tayangan yang harus diperhatikan orangtua. Tayangan dengan kode BO artinya perlu bimbingan orangtua. Dampingi anak saat menonton. Kode SU artinya untuk semua umur dan dapat ditonton semua kalangan,” jelasnya. Menurut Dayu Ratna, kualitas orangtua yang ada di rumahnya 24 jam belum tentu hasilnya sama dengan orangtua yang sibuk. Yang lebih penting, kata dia, kualitas pertemuan bukan kuantitas. Jangan lupa, bila orangtua salah biasakan meminta maaf kepada anak.
Dayu Ratna menilai manusia Bali zaman dulu selektif dan fleksibel dalam bersentuhan dengan budaya luar. Bersifat religius dan toleransi tinggi terhadap sesama, lugu, sabar, ramah, jujur dan rohaninya tangguh. “Dampak modernisasi mulai merubah pola hidup sosial mereka. Kecenderungan menjadi individual, materialistik dan konsumtif. Bagi yang sudah menikah hidup mandiri dan membentuk keluarga kecil yang baru. Hubungan kekeluargaan yang dulunya erat sekarang mulai renggang. Apalagi diikuti kesibukan masing-masing. Keadaan ini juga membuat komunikasi makin berkurang,” ungkapnya.
Menurut kajian Hindu, kata dia, orangtua harus mengomunikasikan kepada anak beberapa sikap seperti tanamkan keyakinan yang kokoh tentang nilai-nilai dasar kehidupan terhadap makna kasih sayang melalui sastra agama. Berbicara yang sopan dan halus kepada siapapun tanpa memandang status sosial khususnya kepada yang lebih tua. Selain itu, orangtua harus mengajarkan ke anak untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya, dan saling menyayangi dan menghargai (paras paros salunglung sabayantaka). Peduli dan toleransi seperti ajaran tat twam asi (aku adalah engkau, engkau adalah aku). Ia menegaskan komunikasi dapat membuat bahagia sejahtera dan komunikasi yang salah dapat menyebabkan kehancuran. –ast
Naskah sudah dimuat di Koran Tokoh Edisi 555, 30 Agustus 2009
Foto : koleksi pribadi