Minggu, 24 Oktober 2010

Terobosan Majelis Utama Desa Pakraman Bali

Mengakomodasikan Kepentingan Perempuan

BERBAGAI terobosan telah ditempuh Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali dalam Pasamuhan Agung III yang digelar Jumat (15/10) di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali. Beberapa keputusan yang dihasilkan telah mengakomodasikan kepentingan perempuan.
Keputusan tersebut di antaranya, diberinya hak waris bagi perempuan yang ninggal kedaton dan dimungkinkannya berlangsung perkawinan pada gelahang. Mengenai perceraian Pasamuhan memutuskan, tiap rencana perceraian wajib disampaikan kepada prajuru banjar dan desa pakraman. Perceraian harus diselesaikan dengan proses adat kemudian dilanjutkan di pengadilan negeri. Setelah perceraian, anak dapat diasuh ibunya.Kalangan aktivis perempuan di Bali menyatakan, keputusan Pasumahan tersebut perlu dijadikan acuan desa prakraram di kabupatan/kota di seluruh Bali.

Sejak tahun 2006, MDP Bali telah menempatkan 7 orang perempuan duduk dalam kepengurusannya. Tujuannya, kepentingan kaum perempuan lebih diperjuangkan. Tujuh perempuan tersebut, Nyoman Nilawati, A.A.A. Ngr. Tini Rusmini Gorda, Dra. Ida Ayu Tari Puspa, M.Ag, M.Pd., Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, Dr. Ni Made Wiratini, Luh Putu Anggreni, S.H. dan Dra. Ketut Sri Kusumawardani, M.Pd. Sistem kekeluargaan patrinial di Bali dikenal dengan kapurusan yang menyebabkan hanya keturunan yang berstatus kapurusa yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) keluarga, baik hubungan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu) maupun palemahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu).Konsekuensinya, hanya keturunan yang berstatus kapurusa (laki-laki) yang berhak mendapat harta warisan sementara keturunan yang berstatus pradana (perempuan) tidak berhak. Perempuan dianggap tidak dapat meneruskan swadharma sehingga disamakan dengan orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga atau ninggal kedaton.
Namun, kenyataannya di masyarakat, ada orang yang ninggal kadaton terbatas masih dimungkinkan melaksanakan tanggung jawab sebagai umat Hindu dalam batas tertentu. Kepala Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (BP3A) Provinsi Bali Luh Putu Haryani, S.E., M.M. meminta MDP Bali menjabarkan lebih mendetail ninggal kedaton. “Kami berharap tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan. Dengan adanya keputusan hitam di atas putih yang menegaskan anak perempuan juga memunyai hak, para orangtua akan merasa tenang, dan nyaman,” ujarnya. MDP Bali memutuskan, yang dikategorikan ninggal kadaton penuh apabila tidak lagi memeluk agama Hindu. Mereka, tidak berhak mendapat harta warisan. Mereka yang ninggal kadaton terbatas masih dimungkinkan mendapat harta warisan didasarkan asas ategen asuwun (dua berbanding satu). Artinya, orang yang berstatus purusa berhak atas satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal kadaton terbatas berhak atas setengahnya. Disebutkan, mereka yang tergolong ninggal kedaton terbatas, perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa, laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana/nyeburin, telah diangkat anak/peras sentana sesuai agama Hindu, dan menyerahkan diri atas kemauan sendiri.

Harta WarisanKedudukan suami istri serta anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya:1. Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya memunyai kedudukan sama dalam usaha menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan kepada anak dan cucunya untuk memelihara atau melestarikan warisan in materiil. 2. Suami dan istrinya memunyai kedudukan sama terhadap harta gunakaya atau harta yang diperoleh selama masa status perkawinan.3. Atas kesepakatan suami dan istrinya, harta gunakaya dapat dibagikan kepada anak-anaknya sesudah dikurangi sepertiga sebagai harta bersama dan bukan dimiliki anak pertama atau terakhir yang melanjutkan tanggung jawab orangtuanya.
Anak kandung laki-laki dan perempuan yang belum kawin serta anak angkat laki-laki dan perempuan yang belum kawin, memunyai kedudukan sama atas harta gunakaya orangtuanya. Anak yang ninggal kadaton penuh, tidak berhak atas harta warisan, tetapi dapat diberi bekal oleh orangtuanya dari harta gunakaya tanpa merugikan ahli waris.

Kawin Pada Gelahang Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan yakni perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana (suami berstatus pradana dan menjadi bagian keluarga istri). Namun, masalah muncul ketika masing-masing keluarga memiliki anak tunggal. Mereka ngotot tidak mau memilih melakukan perkawinan biasa atau nyentana. Dekan Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Putu Dyatmikawati, S.H. M.Hum. mengatakan, perkawinan pada gelahang sudah dilakukan sejak tahun 1945. Ada yang menyebut magelar warang atau metegen dadua.Mereka yang memilih model perkawinan seperti ini ada yang menggunakan pola upacara perkawinan biasa atau nyentana. Ada juga yang menggabungkan keduanya. Kita tidak boleh menutup mata, di Bali ada upacara seperti ini. Dalam akta perkawinan tercatat sesuai dengan pola perkawinan biasa. Jika direkomendasikan, ke depan perlu ada pedoman pelaksanaan perkawinan pada gelahang.Intinya, kata Dyatmikawati, perkawinan pada gelahang merupakan solusi bagi orangtua yang memunyai anak tunggal dan juga memberi penghargaan kepada wanita.
Dosen Fakultas Hukum Unud yang juga Ketua Litbang MDP Bali Prof. Dr. Wayan P. Windia menegaskan, tidak semua orang nasibnya sama. Ada orangtua yang hanya dikaruniai satu anak. Kebetulan juga calon pasangannya anak tunggal. Perkawinan pada gelahang merupakan solusinya. Ini bukan masalah setuju atau tidak. Namun, perlu pemahaman. Dari kasus yang sudah diteliti, setelah mereka memunyai anak, istri biasanya memutuskan tetap di rumah suaminya. “Pengadilan pun mengakui di Bali ada perkawinan pada gelahang,” ujarnya. Gede Dastra salah seorang peserta diskusi dari Karangasem menanyakan, paham apa yang dianut; bukankah Bali menganut patrinial. Ketut Sudantra dari MDP Bali menegaskan, ini hanya menawarkan solusi. Hukum adat Bali tetap menganut paham patrinial. “Ini sifatnya sangat darurat dan untuk mencegah terjadinya masalah. Jangan sampai karena tidak mau nyentana batal kawin,” ujarnya.
Mas Rucitawati menambahkan, ini masalah cinta, yang berhubungan dengan hati. Tidak bisa dipaksa harus kawin satu soroh. “Kalau sudah ada kesepakatan, itu yang penting,” kata sastrawati Bali ini. Dyatmikawati menambahkan, karena ini baru, perlu dimengerti umat. Perkawinan ini sudah ada sejak dulu. Kalau sudah disetujui dimasukkan dalam keputusan ini jangan ditambah lagi dengan aturan/awig-awig di masing-masing desa pakraman. “Lebih baik selesaikan masalah dengan cara sederhana. Yang penting kesepakatan. Kalau sudah sepakat, yang lain mengikuti saja,’ ujarnya. Budawati dari LBH APIK Bali berharap, solusi perkawinan pada gelahang hendaknya disikapi dengan bijaksana, karena di lapangan sudah banyak warga yang melakukan hal ini. “Jangan sampai menghalangi proses cinta,” kata Budawati. Setelah melewati perdebatan yang alot, MDP Bali memutuskan, bagi calon pengantin yang karena keadaan tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana) dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.

Anak Diasuh IbunyaSebelum berlaku UU Perkawinan UU No 1 Tahun 1974 perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali disaksikan pajuru banjar atau desa pakraman dan agama Hindu.Sesudah berlaku UU Perkawinan, umat Hindu di Bali yang melangsungkan perkawinan dapat dikatakan sah, apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali agama Hindu dan UU Perkawinan. Sementara, perceraian baru dapat dkatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan UU Perkawinan. Hal ini, tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan. Tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu, akibatnya, ada warga yang telah bercerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan tetapi tidak diketahui sebagian besar warga desa adatnya.Kenyatan ini, membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma krama desa bersangkutan.Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan,
Pesamuhan Agung III MDP Bali tahun 2010 ini memutuskan :1. Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian wajib menyampaikan kehendak itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. 2. Prajuru banjar atau desa pakraman wajib memberi nasihat untuk mencegah terjadi perceraian.3. Apabila terjadi perceraian harus diselesaikan dengan proses adat kemudian dilanjutkan di pengadilan negeri.4. Menyampaikan salinan putusan/akta perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman.5. Pada saat bersamaan prajuru banjar menyarankan kepada warga yang telah bercerai agar melaksanakan upacara perceraian sesuai agama Hindu.6. Mengumumkan dalam paruman banjar bahwa pasutri bersangkutan telah bercerai secara sah menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri tersebut di banjar/desa pakraman setelah bercerai.

Dalam perkawinan biasa sederajat dan berbeda wangsa/kasta akibatnya berbeda jika terjadi perceraian. Untuk sederajat, istri kembali ke rumah daha. Ketut Sudantra menegaskan perkawinan nyerod sudah dihapus sehingga jika terjadi perceraian tidak ada lagi upacara pati wangi. Pada perkawinan nyeburin atau nyentana, apabila terjadi perceraian suami kembali ke rumah truna.Setelah perceraian, anak dapat diasuh ibunya, dan tidak memutuskan hubungan dengan keluarga purusa dan anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa, walaupun diasuh ibunya.
Keputusan yang dihasilkan dalam Paruman III MDP Bali ini cukup melegakan aktivis perempuan yang hadir dalam paruman tersebut. Ketua LBH APIK Bali Budawati menyatakan cukup lega terhadap keputusan MDP Bali ini. “Sekarang tinggal disosialisasikan ke masing-masing desa pakraman. Kita lihat sekarang apa kekurangan dan kelemahannya dalam penerapannya di lapangan. Kami akan terus memantau,” jelasnya. Luh Anggreni yang juga Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Bali menyatakan keputusan yang dihasilkan MDP Bali sudah sensitif gender. Dari dulu sudah diperjuangkan agar perempuan bisa duduk dalam kepengurusan MDP Bali. “Ini menjadi contoh bagi desa pakraman, perempuan perlu diajak duduk bersama untuk mendengar persoalan yang dialami perempuan,” ujarnya.
Ia berharap, keputusan MDP Bali ini dapat dijadikan acuan bagi desa pakraman kabupaten/kota di seluruh Bali. Walaupun disesuaikan dengan desa, kala, patra, tetapi tetap menempatkan kedudukan perempuan dan laki-laki sejajar.Berbagai terobosan lain juga sudah dilakukan MDP Bali dengan mengajak generasi muda Hindu yang tergabung dalam KMHDI untuk ikut duduk dalam kepengurusan MDP Bali. “Ini bagus karena jangan sampai setelah dewasa baru mereka memahami adat Bali. Sepatutnya generasi muda mereka diberi pemahaman sejak dini agar lebih mengerti adat Bali dengan benar,” kata Anggreni. Ibu Teladan se-Bali 2008 Nyoman Nilawati menyatakan, perempuan dalam ajaran agama Hindu sangat dimuliakan. Ia berharap, perempuan lebih diberi ruang dan kesempatan untuk ikut lebih banyak terlibat dalam kegiatan adat, tidak hanya ikut dalam pelaksanaan, tetapi mulai dari perencanaan, dan ikut urun saran dalam pengambilan keputusan. Secara pribadi para perempuan banyak yang sukses, namun, terkait masalah adat, terkadang suara mereka belum didengar. Untuk itu, dengan duduknya para perempuan di MDP Bali, ia berharap, berbagai persoalan perempuan lebih bisa diperjuangkan. –ast
Koran Tokoh, Edisi 516, 17 s.d 24 Oktober 2010

1 komentar:

ehm kommunika mengatakan...

salam kenal...blog yg bagus....khususnya untuk kaum perempuan berani bicara...semanga terus.....