Satu fenomena banyak orangtua mengharapkan biarlah anaknya hamil dulu baru dinikahkan. Ini suatu fakta dan kita tidak bisa menutup mata. Siapa yang dapat melihat remaja yang sudah melakukan hubungan seksual? Seharusnya perbuatan itu tidak boleh dilakukan tapi mereka malah melakukannya. Siapa yang salah? Kita tidak bisa menyalahkan salah satunya tapi semua sektor harus bertanggungjawab. Begitu ditegaskan dr. Okanegara dari Kisara saat Diskusi Terbatas dengan tema “ HIV dan Keluarga” kerja sama KPA Prov. Bali dengan Koran Tokoh, Selasa (21/4).
Menurutnya orangtua seharusnya peduli dan mengetahui perkembangan anak zaman sekarang. Ia menilai saat ini remaja sedang berperang tapi tidak cukup amunisi. “Mereka berperang dengan banyaknya mitos, perang melawan serangan pornografi. Ibarat sedang hujan. Kalau tidak ada payung mereka gunakan sesuatu yang lain agar tidak kehujanan. Kita tidak bisa menunggu remaja tidak melakukan hubungan seksual. Semua informasi harus diberikan,” papar dokter Okanegara.
Ia mencontohkan di AS, pengidap HIV/AIDS turun drastis karena remaja sangat mengerti bagaimana mencegahnya. Mereka sudah tahu informasi yang benar. Begitu pula remaja di Eropa. Walaupun mereka tetap melakukan hubungan seksual tapi aborsi dan IMS tidak ada lagi.
Ia mengatakan remaja yang mengalami masa pubertas dorongan seksualnya akan muncul. Hal ini normal secara medis dan hormonal. “Kalau edukasinya baik remaja akan bertanggung jawab dengan aktifitas seksualnya. Kalau sudah berhubungan seksual apa yang harus dilakukan, misalnya jangan sampai hamil dan menggunakan kontrasepsi yang aman,” jelasnya. Ia menilai remaja melakukan hubungan seks yang tidak bertanggungjawab karena mereka tidak memunyai cukup informasi yang tepat. “Ketika mereka tidak mendapatkan informasi yang cukup dari orangtua maupun sekolah, apa yang terjadi? Remaja punya hak mengetahui semua tentang seksualitasnya. Kata kuncinya adalah mari bersama-sama untuk membuka erat informasi yang benar ke semua jalur,” tegas Dokter Okanegara.
Mengapa HIV sebagai sebuah masalah, harus diketahui oleh keluarga. Sayangnya, kata dokter Oka, mitos HIV yang salah masih banyak di masyarakat. Terbukti dari pertanyaan yang paling banyak diajukan seperti apa sih orang yang mengidap HIV/AIDS itu? Ketika pertanyan ini menjadi masalah dan dipertanyakan oleh banyak orang muncul sebuah pertanyan besar. “Orang yang mengidap HIV tidak ada tanda-tanda dan gejalanya. Benar anggapan kalau orang Bali dan Indonesia sangat mengampangkan segala hal. Kalau belum ada yang sakit belum ada yang peduli,” ujarnya.
Menurutnya ada tiga hal penting yang harus didapatkan remaja yakni mereka harus mendapatkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS. Kedua remaja harus mendapatkan akses pelayanan. Ketiga adalah memberdayakan si remaja. Ia menyayangkan kadang sikap orangtualah yang memberikan banyak kesempatan seperti anak SMP sudah diberikan sepeda motor. Anak minta dibelikan HP dituruti. Belum lama ini ada wacana di Bajra Sandi Renon akan dibangun jaringan hot spot agar remaja lebih mudah mengakses informasi. “Perlu diwaspadai, remaja membawa laptop bukannya mencari hot spot ternyata malah mencari G Spot,” ujar Dokter Oka. Menurutnya apapun kebijakan untuk remaja, hendaknya remaja itu sendiri dilibatkan. Penting bagi orangtua dan kita untuk mendengarkan suara remaja. Sekarang ini kita berkejar-kejaran dengan informasi di luar.
Dokter Oka menilai stigma dan diskriminasi pada orang HIV sangat kuat. Mereka berpikir orang HIV pasti meninggal dratis. Orang menjadi takut ketika berhadapan dengan orang positif karena dianggap sumber penyakit. Ia berpandangan disini malah terjadi kemunduran edukasi. Remaja malah berpikir jangan-jangan stigma itu muncul karena istilah ODHA tetap dipakai. Mereka menyarankan jangan memakai istilah ODHA. Biarkan saja sama dengan yang lain. Toh, orang HIV tidaklah seseram yang dibayangkan. Istilah ODHA itu bikin takut. Artinya, remaja sudah ingin mendapatkan informasi yang benar.
“Keluarga harus gaul dan memunyai informasi yang cukup tentang remaja termasuk para guru di sekolah. Kalau tidak tahu bisa bertanya ke LSM yang membidangi masalah itu. Kalau informasi sudah sampai dengan benar stigma dan diskirminasi bisa ditekan. Tugas dokter lebih gampang karena hanya melakukan perawatan dan pengobatan tidak lagi di level informasi,” paparnya.
Saat ini, dokter Oka menilai kita masih berkutat di level informasi. Disinilah, kata dia, perlunya sinergi dengan stakeholder atau pemangku kepentingan untuk lebih memerhatikan masalah ini. Karena sering terjadi pergantian pejabat juga dibarengi dengan pergantian kebijakan. Ia berharap perempuan yang lolos ke legislatif dapat memperjuangkan masalah ini dan memberikan porsi yang lebih besar. –ast
Menurutnya orangtua seharusnya peduli dan mengetahui perkembangan anak zaman sekarang. Ia menilai saat ini remaja sedang berperang tapi tidak cukup amunisi. “Mereka berperang dengan banyaknya mitos, perang melawan serangan pornografi. Ibarat sedang hujan. Kalau tidak ada payung mereka gunakan sesuatu yang lain agar tidak kehujanan. Kita tidak bisa menunggu remaja tidak melakukan hubungan seksual. Semua informasi harus diberikan,” papar dokter Okanegara.
Ia mencontohkan di AS, pengidap HIV/AIDS turun drastis karena remaja sangat mengerti bagaimana mencegahnya. Mereka sudah tahu informasi yang benar. Begitu pula remaja di Eropa. Walaupun mereka tetap melakukan hubungan seksual tapi aborsi dan IMS tidak ada lagi.
Ia mengatakan remaja yang mengalami masa pubertas dorongan seksualnya akan muncul. Hal ini normal secara medis dan hormonal. “Kalau edukasinya baik remaja akan bertanggung jawab dengan aktifitas seksualnya. Kalau sudah berhubungan seksual apa yang harus dilakukan, misalnya jangan sampai hamil dan menggunakan kontrasepsi yang aman,” jelasnya. Ia menilai remaja melakukan hubungan seks yang tidak bertanggungjawab karena mereka tidak memunyai cukup informasi yang tepat. “Ketika mereka tidak mendapatkan informasi yang cukup dari orangtua maupun sekolah, apa yang terjadi? Remaja punya hak mengetahui semua tentang seksualitasnya. Kata kuncinya adalah mari bersama-sama untuk membuka erat informasi yang benar ke semua jalur,” tegas Dokter Okanegara.
Mengapa HIV sebagai sebuah masalah, harus diketahui oleh keluarga. Sayangnya, kata dokter Oka, mitos HIV yang salah masih banyak di masyarakat. Terbukti dari pertanyaan yang paling banyak diajukan seperti apa sih orang yang mengidap HIV/AIDS itu? Ketika pertanyan ini menjadi masalah dan dipertanyakan oleh banyak orang muncul sebuah pertanyan besar. “Orang yang mengidap HIV tidak ada tanda-tanda dan gejalanya. Benar anggapan kalau orang Bali dan Indonesia sangat mengampangkan segala hal. Kalau belum ada yang sakit belum ada yang peduli,” ujarnya.
Menurutnya ada tiga hal penting yang harus didapatkan remaja yakni mereka harus mendapatkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS. Kedua remaja harus mendapatkan akses pelayanan. Ketiga adalah memberdayakan si remaja. Ia menyayangkan kadang sikap orangtualah yang memberikan banyak kesempatan seperti anak SMP sudah diberikan sepeda motor. Anak minta dibelikan HP dituruti. Belum lama ini ada wacana di Bajra Sandi Renon akan dibangun jaringan hot spot agar remaja lebih mudah mengakses informasi. “Perlu diwaspadai, remaja membawa laptop bukannya mencari hot spot ternyata malah mencari G Spot,” ujar Dokter Oka. Menurutnya apapun kebijakan untuk remaja, hendaknya remaja itu sendiri dilibatkan. Penting bagi orangtua dan kita untuk mendengarkan suara remaja. Sekarang ini kita berkejar-kejaran dengan informasi di luar.
Dokter Oka menilai stigma dan diskriminasi pada orang HIV sangat kuat. Mereka berpikir orang HIV pasti meninggal dratis. Orang menjadi takut ketika berhadapan dengan orang positif karena dianggap sumber penyakit. Ia berpandangan disini malah terjadi kemunduran edukasi. Remaja malah berpikir jangan-jangan stigma itu muncul karena istilah ODHA tetap dipakai. Mereka menyarankan jangan memakai istilah ODHA. Biarkan saja sama dengan yang lain. Toh, orang HIV tidaklah seseram yang dibayangkan. Istilah ODHA itu bikin takut. Artinya, remaja sudah ingin mendapatkan informasi yang benar.
“Keluarga harus gaul dan memunyai informasi yang cukup tentang remaja termasuk para guru di sekolah. Kalau tidak tahu bisa bertanya ke LSM yang membidangi masalah itu. Kalau informasi sudah sampai dengan benar stigma dan diskirminasi bisa ditekan. Tugas dokter lebih gampang karena hanya melakukan perawatan dan pengobatan tidak lagi di level informasi,” paparnya.
Saat ini, dokter Oka menilai kita masih berkutat di level informasi. Disinilah, kata dia, perlunya sinergi dengan stakeholder atau pemangku kepentingan untuk lebih memerhatikan masalah ini. Karena sering terjadi pergantian pejabat juga dibarengi dengan pergantian kebijakan. Ia berharap perempuan yang lolos ke legislatif dapat memperjuangkan masalah ini dan memberikan porsi yang lebih besar. –ast
Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 537, 26 April 2009