SEORANG bocah ingusan yang masih duduk di bangku SD terpaku di depan rumahnya. Dia sangat merindukan om angkatnya dari Belanda datang. Dia begitu menyayangi om itu. Ia mengaku belum pernah ada yang menyayanginya seperti itu. Dia dimandikan, dilap dengan sayang. Kemudian dicium, didekap saat tidur. Bocah ini merasakan om itu sangat menyayanginya. Orangtuanya sendiri belum pernah memperlakukannya seperti itu. Omnya hanya meminta bocah itu memegang kemaluannya.
“Fedofil beraksi tidak selalu melakukan kekerasan seksual atau sodomi. Mereka bisa hanya mencium dan meraba-raba tubuh korban untuk memuaskan fantasinya,” ujar Prof. Suryani dalam peluncuran buku Pedofil Penghancur Masa Depan Anak, Rabu (22/7) di Denpasar.
Ia mengatakan pedofil berawal dari variasi seksual yang kemudian menjadi pilihan. Cara kerjanya perlahan. “Kalau mereka ketemu anak-anak, mereka memperhatikan dulu baik-baik. Apakah anak tersebut rentan menjadi korban. Apakah mereka membutuhkan kasih sayang atau uang? Kaum fedofil memiliki indra keenam. Mereka sangat pandai dan pintar. Cara bergaulnya sangat menarik,” ungkap Guru Besar FK Unud ini.
Ia menegaskan tidak ada ciri-ciri khusus yang tampak dari kaum pedofil. Mereka hanya dekat dengan anak-anak. Pelaku yang dikenal di Indonesia usia berkisar 50 tahun ke atas. Mereka membawa banyak anak-anak.
Ia mengatakan fedofil tidak mencari korban satu atau dua anak tapi lebih karena fantasinya terus bejalan. Biasanya mereka melakukan kegiatan tersebut minimal selama 6 bulan. Dari kasus yang sudah diungkap mereka berpraktik sudah 5 tahun. Mereka berpindah-pindah, fedofil asing memunyai jaringan. Dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana Sp.KJ menambahkan, kaum pedofil tidak menyadari dirinya sakit. Malah sekarang ini mereka melakukan gerakan ingin diterima di masyarakat seperti kaum homo seks.
Kaum pedofil berargumen, mereka tetap dapat berfungsi secara sosial dengan normal, dan masih dapat berinteraksi baik dengan orang lain. “Ini hanya menyangkut masalah umur. Tidak ada yang menyimpang dari kami,” begitu argumen kaum fedofil yang dikutif Cok Jaya Lesmana.
Rofiqi dari Koran Tempo menyayangkan para pelaku pariwisata di Bali belum melihat pedofil sebagai isu penting. Sampai sekarang masih sebatas pengetahuan. Belum merasa perlu sebuah aksi untuk menangkal. Destinasi Pattaya Thailand ditinggalkan para turis karena terlalu mengedepankan sexual tourism. Apakah Bali ingin seperti itu dulu baru melakukan tindakan?
Menurut Prof. Suryani justru tindakannya mengenalkan pedofil lebih dekat ditentang pelaku pariwisata. Ia mengatakan sangat sulit mengajak pariwisata memahami hal ini. Padahal, kata dia, mereka tahu, orang asing tidak akan datang ke Bali kalau mereka melihat Bali surga bagi kaum pedofil. Sama dengan kasus di Thailand. Para turis protes dengan cara tidak mau datang lagi ke sana.
Menurutnya perlu kerja sama dengan pelaku pairiwisata untuk membuat pariwisata Bali bebas pedofil.
Banyak anak berjualan di Pantai Kuta sampai larut malam. Kemudian mereka dibooking untuk diberikan kepada orang dewasa. Ketika ditanya pada anak-anak itu, mereka menjawab orangtuanya menyuruh mereka mendapat uang. Uang ini sangat penting bagi mereka. Inilah fakta yang sedang terjadi di Bali.
Suatu fakta diungkap Nengah Sukardika dari LSM Manikaya Kauci. Beberapa waktu lalu ia datang ke suatu tempat di Buleleng. Banyak lukisan dan patung porno sangat mirip dengan aslinya. Ia juga sempat bertemu dengan seorang lelaki dewasa yang sudah tamat SMA tanpa rasa malu biasa mandi telanjang bulat di depan umum. Berdasarkan informasi masyarakat sekitar, lelaki itu dekat dengan salah satu orang asing di sana. Katanya, ia sering diberi hadiah dan dibelikan motor. Artinya, indikasi pedofil di Buleleng masih terbuka.
Ia menegaskan pedofil dapat disamakan teroris. LSM telah melakukan berbagai cara mengungkapkan hal ini, namun, ia berharap penegak hukum juga harus serius.Ia menilai peran pemerintah masih kurang. Belum ada rumah aman di Bali. Ia juga mengimbau para orangtua agar jangan terlalu mudah percaya ketika orang asing yang memberikan uang atau hadiah.
Menurut Prof. Suryani, tidak ada orangtua yang menjual anaknya. Mereka justru menangis dan sedih setelah tahu apa yang menimpa anak mereka. Ia mengemukakan satu contoh di Buleleng. Sejak SD dia diangkat anak oleh seorang turis asing. Setiap hari anak itu melayani keinginan orang asing tadi. Setelah anak itu berumur 15 tahun, turis ini mencari orang lain. Ketika kasus ini terungkap, orangtuanya kaget. Mereka tidak menyangka turis itu sampai hati melakukan hal tak senonoh dengan anak mereka. “Jangan menyalahkan orangtua. Dengan berdalih membiayai pendidikan anak-anak, kaum pedofil sangat pintar menraik perhatian,” ujarnya.
Menurut Prof. Suryani disinilah perlu peran orangtua, para guru TK dan SD memberikan pemhaman pada anak dan siswanya agar dapat menjaga diri mereka. “Jangan biarkan anak-anak dicium, dan dipeluk oleh orang asing. Mereka harus dilatih agar menjaga dirinya di bagian tubuh yang bisa memberikan kenikmatan. Berikan bahasa yang mudah dipahami anak contohnya bagian tubuh ini harus dijaga baik-baik agar tuhan sayang pada anak,” jelasnya.
Menurut Dr. Cok Jaya Lesmana, ketika committee against sexual abuse (CASA) sedang gencarnya mencegah fedofil asing bertindak di Bali, justru banyak kasus muncul karena pedofil lokal. Pedofil dapat dilakukan orang terdekat seperti pembantu, saudara, bapak, guru les, atau guru sekolah.
Pedofil tidak sama dengan pemerkosaan. Mereka hidup dalam dunia fantasinya. Mereka jadikan anak-anak dalam pemuasan seksualnya. Bagi masyarakat Bali mereka sulit menerima tapi mudah untuk memaafkan. Ketika kasus itu diungkap, mereka tidak menganggap kasus itu akan memberi trauma pada anak.
Menurutnya korban pedofil dengan luka fisik merasa perlu diobati.Namun, ketika itu menyentuh mental mereka sulit mengatakan diri mereka mengalami gangguan. Padahal, keadaan ini akan menimbulkan trauma.
Pengalaman sebagai korban menimbulkan trauma pada anak yang akan memengaruhi perkembangan mentalnya. Anak merasa ketakutan karena harus menghisap alat kemaluan. Anak merasa jijik bercampur aduk tidak dapat dilukiskan. Malah tak jarang orangtua setelah mengetahuinya malah memarahi anaknya. Reaksi keluarga, sekolah dan masyarkat seperti mengucilkan mereka akan menimbulkan depresi, cemas, emosi dan malu.
Selama ini, kata Prof. Suryani, CASA dalam penanganan kasus pedofil tidak saja menyentuh korban, tapi pemuka masyarakat juga dilibatkan. Sampai saat ini CASA sudah menangani 80 kasus. Korban diterapi hypnosis dan pemahaman kepada orangtua mereka. Setelah dipantau sekian lama, kata Koordinator CASA ini, korban tidak mengalami trauma dan dapat hidup normal seperti biasa. Terapi ini, kata dia, juga sudah menangani anak sekolah yang mengalami kekerasan seksual dari guru atau orangtuanya. Namun, ketika korban atau orangtua mereka merasa tidak perlu diobati, CASA menghentikan penanganan kepada mereka.
Ia menegaskan pedofil tidak dapat disembuhkan. Fantasi mereka tidak bisa dihentikan. Walaupun sudah dilakukan beebrapa cara, belum ada angka yang signifikan membuat mereka normal kembali. Setelah situasi aman mereka mulai mencari mangsa lagi.
Bila dilihat dari perjalanan hidup pelaku pedofil, ditemukan masa kecilnya mengalami kekerasan, penghinaan dan perasaan tidak berharga. Setelah dewasa menjadikan dirinya sebagai orang yang menyenangi kekerasan. Adanya stress akibat masalah interpersonal seperti penderitaan atau kegagalan di masyarakat, pekerjaan juga dapat dijadikan faktor risiko. Hal ini sering terjadi pada orang-orang yang sewaktu kanak-kanak mengalami trauma seksual yang dilakukan kaum pedofil.
Waspadalah, karena korban fedofil dapat melahirkan pedofil baru. Contohnya satu kasus dialami anak usia 8 tahun. Ia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan anak usia 16 tahun. Korban ini lantas melampiaskan fantasinya pada anak usia 3-5 tahun. Ternyata tidak perlu waktu lama menunggu mereka dewasa. Penyakit ini telah melahirkan pedofil baru.
Menurut dr. Cok Jaya Lesmana di luar negeri pelaku pedofil dihukum dengan diisolir. “Mereka akan dihabisi tahanan lainnya. Pedofil dianggap lebih sadis dari pembunuh karena mereka menyentuh anak-anak,” jelasnya. .Ironisnya, kata dia, di Indonesia belum ada pemahaman seperti itu. “Pedofil masih dianggap pelaku kriminal biasa. Terbukti dari hukuman yang dijatuhkan sangat ringan minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Terkadang, hukuman ini tidak dipakai tergantung penegak hukumnya. Sementara di AS, hukumannya minimal 30 tahun. Tertangkap dua kali hukumannya penjara seumur hidup,” paparnya.
Menurut Prof. Suryani, sampai sekarang penegak hukum di Indonesia hanya mau menggunakan bukti kalau ada luka atau bekas. “Kalau hanya dicium atau dipeluk tidak bisa dijadikan bukti,” ujarnya.
Para penegak hukum memandang kasus ini berbeda.
Mereka berasumsi anak ini suka sama suka. Ia menilai penyelesaian kasus di Buleleng jauh lebih bagus. “Hukuman disana bisa 5- 8 tahun. Sedangkan di Denpasar hanya dihukum 6 bulan. Kasus di Karangasem harus didemo dulu agar jumlah hukumannya ditingkatkan,” ujar Suryani.
CASA telah membentuk 36 relawan di Buleleng. Mereka gencar berkampanye menyadarkan para orangtua, guru dan masyarakat. Para seniman membuat film untuk menyadarkan masyarakat akan ancaman pedofil di Bali. Prof. Suryani berharap buku ini dapat dijadikan pedoman untuk lebih mengenal pedofil. Buku ini merupakan hasil kerja sama CASA, Terre des Hommes Belanda dan Yayasan Obor Indonesia dalam rangka kampanye anti pedofil berbasis masyarakat. –ast
“Fedofil beraksi tidak selalu melakukan kekerasan seksual atau sodomi. Mereka bisa hanya mencium dan meraba-raba tubuh korban untuk memuaskan fantasinya,” ujar Prof. Suryani dalam peluncuran buku Pedofil Penghancur Masa Depan Anak, Rabu (22/7) di Denpasar.
Ia mengatakan pedofil berawal dari variasi seksual yang kemudian menjadi pilihan. Cara kerjanya perlahan. “Kalau mereka ketemu anak-anak, mereka memperhatikan dulu baik-baik. Apakah anak tersebut rentan menjadi korban. Apakah mereka membutuhkan kasih sayang atau uang? Kaum fedofil memiliki indra keenam. Mereka sangat pandai dan pintar. Cara bergaulnya sangat menarik,” ungkap Guru Besar FK Unud ini.
Ia menegaskan tidak ada ciri-ciri khusus yang tampak dari kaum pedofil. Mereka hanya dekat dengan anak-anak. Pelaku yang dikenal di Indonesia usia berkisar 50 tahun ke atas. Mereka membawa banyak anak-anak.
Ia mengatakan fedofil tidak mencari korban satu atau dua anak tapi lebih karena fantasinya terus bejalan. Biasanya mereka melakukan kegiatan tersebut minimal selama 6 bulan. Dari kasus yang sudah diungkap mereka berpraktik sudah 5 tahun. Mereka berpindah-pindah, fedofil asing memunyai jaringan. Dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana Sp.KJ menambahkan, kaum pedofil tidak menyadari dirinya sakit. Malah sekarang ini mereka melakukan gerakan ingin diterima di masyarakat seperti kaum homo seks.
Kaum pedofil berargumen, mereka tetap dapat berfungsi secara sosial dengan normal, dan masih dapat berinteraksi baik dengan orang lain. “Ini hanya menyangkut masalah umur. Tidak ada yang menyimpang dari kami,” begitu argumen kaum fedofil yang dikutif Cok Jaya Lesmana.
Rofiqi dari Koran Tempo menyayangkan para pelaku pariwisata di Bali belum melihat pedofil sebagai isu penting. Sampai sekarang masih sebatas pengetahuan. Belum merasa perlu sebuah aksi untuk menangkal. Destinasi Pattaya Thailand ditinggalkan para turis karena terlalu mengedepankan sexual tourism. Apakah Bali ingin seperti itu dulu baru melakukan tindakan?
Menurut Prof. Suryani justru tindakannya mengenalkan pedofil lebih dekat ditentang pelaku pariwisata. Ia mengatakan sangat sulit mengajak pariwisata memahami hal ini. Padahal, kata dia, mereka tahu, orang asing tidak akan datang ke Bali kalau mereka melihat Bali surga bagi kaum pedofil. Sama dengan kasus di Thailand. Para turis protes dengan cara tidak mau datang lagi ke sana.
Menurutnya perlu kerja sama dengan pelaku pairiwisata untuk membuat pariwisata Bali bebas pedofil.
Banyak anak berjualan di Pantai Kuta sampai larut malam. Kemudian mereka dibooking untuk diberikan kepada orang dewasa. Ketika ditanya pada anak-anak itu, mereka menjawab orangtuanya menyuruh mereka mendapat uang. Uang ini sangat penting bagi mereka. Inilah fakta yang sedang terjadi di Bali.
Suatu fakta diungkap Nengah Sukardika dari LSM Manikaya Kauci. Beberapa waktu lalu ia datang ke suatu tempat di Buleleng. Banyak lukisan dan patung porno sangat mirip dengan aslinya. Ia juga sempat bertemu dengan seorang lelaki dewasa yang sudah tamat SMA tanpa rasa malu biasa mandi telanjang bulat di depan umum. Berdasarkan informasi masyarakat sekitar, lelaki itu dekat dengan salah satu orang asing di sana. Katanya, ia sering diberi hadiah dan dibelikan motor. Artinya, indikasi pedofil di Buleleng masih terbuka.
Ia menegaskan pedofil dapat disamakan teroris. LSM telah melakukan berbagai cara mengungkapkan hal ini, namun, ia berharap penegak hukum juga harus serius.Ia menilai peran pemerintah masih kurang. Belum ada rumah aman di Bali. Ia juga mengimbau para orangtua agar jangan terlalu mudah percaya ketika orang asing yang memberikan uang atau hadiah.
Menurut Prof. Suryani, tidak ada orangtua yang menjual anaknya. Mereka justru menangis dan sedih setelah tahu apa yang menimpa anak mereka. Ia mengemukakan satu contoh di Buleleng. Sejak SD dia diangkat anak oleh seorang turis asing. Setiap hari anak itu melayani keinginan orang asing tadi. Setelah anak itu berumur 15 tahun, turis ini mencari orang lain. Ketika kasus ini terungkap, orangtuanya kaget. Mereka tidak menyangka turis itu sampai hati melakukan hal tak senonoh dengan anak mereka. “Jangan menyalahkan orangtua. Dengan berdalih membiayai pendidikan anak-anak, kaum pedofil sangat pintar menraik perhatian,” ujarnya.
Menurut Prof. Suryani disinilah perlu peran orangtua, para guru TK dan SD memberikan pemhaman pada anak dan siswanya agar dapat menjaga diri mereka. “Jangan biarkan anak-anak dicium, dan dipeluk oleh orang asing. Mereka harus dilatih agar menjaga dirinya di bagian tubuh yang bisa memberikan kenikmatan. Berikan bahasa yang mudah dipahami anak contohnya bagian tubuh ini harus dijaga baik-baik agar tuhan sayang pada anak,” jelasnya.
Menurut Dr. Cok Jaya Lesmana, ketika committee against sexual abuse (CASA) sedang gencarnya mencegah fedofil asing bertindak di Bali, justru banyak kasus muncul karena pedofil lokal. Pedofil dapat dilakukan orang terdekat seperti pembantu, saudara, bapak, guru les, atau guru sekolah.
Pedofil tidak sama dengan pemerkosaan. Mereka hidup dalam dunia fantasinya. Mereka jadikan anak-anak dalam pemuasan seksualnya. Bagi masyarakat Bali mereka sulit menerima tapi mudah untuk memaafkan. Ketika kasus itu diungkap, mereka tidak menganggap kasus itu akan memberi trauma pada anak.
Menurutnya korban pedofil dengan luka fisik merasa perlu diobati.Namun, ketika itu menyentuh mental mereka sulit mengatakan diri mereka mengalami gangguan. Padahal, keadaan ini akan menimbulkan trauma.
Pengalaman sebagai korban menimbulkan trauma pada anak yang akan memengaruhi perkembangan mentalnya. Anak merasa ketakutan karena harus menghisap alat kemaluan. Anak merasa jijik bercampur aduk tidak dapat dilukiskan. Malah tak jarang orangtua setelah mengetahuinya malah memarahi anaknya. Reaksi keluarga, sekolah dan masyarkat seperti mengucilkan mereka akan menimbulkan depresi, cemas, emosi dan malu.
Selama ini, kata Prof. Suryani, CASA dalam penanganan kasus pedofil tidak saja menyentuh korban, tapi pemuka masyarakat juga dilibatkan. Sampai saat ini CASA sudah menangani 80 kasus. Korban diterapi hypnosis dan pemahaman kepada orangtua mereka. Setelah dipantau sekian lama, kata Koordinator CASA ini, korban tidak mengalami trauma dan dapat hidup normal seperti biasa. Terapi ini, kata dia, juga sudah menangani anak sekolah yang mengalami kekerasan seksual dari guru atau orangtuanya. Namun, ketika korban atau orangtua mereka merasa tidak perlu diobati, CASA menghentikan penanganan kepada mereka.
Ia menegaskan pedofil tidak dapat disembuhkan. Fantasi mereka tidak bisa dihentikan. Walaupun sudah dilakukan beebrapa cara, belum ada angka yang signifikan membuat mereka normal kembali. Setelah situasi aman mereka mulai mencari mangsa lagi.
Bila dilihat dari perjalanan hidup pelaku pedofil, ditemukan masa kecilnya mengalami kekerasan, penghinaan dan perasaan tidak berharga. Setelah dewasa menjadikan dirinya sebagai orang yang menyenangi kekerasan. Adanya stress akibat masalah interpersonal seperti penderitaan atau kegagalan di masyarakat, pekerjaan juga dapat dijadikan faktor risiko. Hal ini sering terjadi pada orang-orang yang sewaktu kanak-kanak mengalami trauma seksual yang dilakukan kaum pedofil.
Waspadalah, karena korban fedofil dapat melahirkan pedofil baru. Contohnya satu kasus dialami anak usia 8 tahun. Ia mengalami kekerasan seksual yang dilakukan anak usia 16 tahun. Korban ini lantas melampiaskan fantasinya pada anak usia 3-5 tahun. Ternyata tidak perlu waktu lama menunggu mereka dewasa. Penyakit ini telah melahirkan pedofil baru.
Menurut dr. Cok Jaya Lesmana di luar negeri pelaku pedofil dihukum dengan diisolir. “Mereka akan dihabisi tahanan lainnya. Pedofil dianggap lebih sadis dari pembunuh karena mereka menyentuh anak-anak,” jelasnya. .Ironisnya, kata dia, di Indonesia belum ada pemahaman seperti itu. “Pedofil masih dianggap pelaku kriminal biasa. Terbukti dari hukuman yang dijatuhkan sangat ringan minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Terkadang, hukuman ini tidak dipakai tergantung penegak hukumnya. Sementara di AS, hukumannya minimal 30 tahun. Tertangkap dua kali hukumannya penjara seumur hidup,” paparnya.
Menurut Prof. Suryani, sampai sekarang penegak hukum di Indonesia hanya mau menggunakan bukti kalau ada luka atau bekas. “Kalau hanya dicium atau dipeluk tidak bisa dijadikan bukti,” ujarnya.
Para penegak hukum memandang kasus ini berbeda.
Mereka berasumsi anak ini suka sama suka. Ia menilai penyelesaian kasus di Buleleng jauh lebih bagus. “Hukuman disana bisa 5- 8 tahun. Sedangkan di Denpasar hanya dihukum 6 bulan. Kasus di Karangasem harus didemo dulu agar jumlah hukumannya ditingkatkan,” ujar Suryani.
CASA telah membentuk 36 relawan di Buleleng. Mereka gencar berkampanye menyadarkan para orangtua, guru dan masyarakat. Para seniman membuat film untuk menyadarkan masyarakat akan ancaman pedofil di Bali. Prof. Suryani berharap buku ini dapat dijadikan pedoman untuk lebih mengenal pedofil. Buku ini merupakan hasil kerja sama CASA, Terre des Hommes Belanda dan Yayasan Obor Indonesia dalam rangka kampanye anti pedofil berbasis masyarakat. –ast
Sudah dimuat di Koran Tokoh, Edisi 549, 26 Juli 2009