Sabtu, 04 Juli 2009

Pers Kampanyekan Bahaya Narkoba

Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan, narkoba tiap tahun membunuh 15.000 nyawa anak bangsa. Ironisnya, jumlah pengguna narkoba justru kian bertambah. Saat ini saja terdapat 3,2 juta penyalahgunaan narkoba. Jika tiap hari seseorang menghabiskan Rp 300.000, total uang untuk belanja narkoba mencapai 960 miliar per-hari. “Nilai ini sangat besar. Jumlah ini jelas menguntungkan produsen atau bandar,” ujar Sabam Leo Batubara dalam Workshop Komunikasi Akomodasi dan Konsultatif Media Massa untuk Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) dan Penanggulangan HIV/AIDS, Kamis (25/6) di Kantor Gubernur Bali Renon Denpasar.

Wakil Ketua Dewan Pers ini mengemukakan, dalam diskusi kreatif tanpa narkoba yang diselenggarakan wartawan sosial di Jakarta (19/6) disebutkan jumlah kasus penyalahgunaan narkoba yang bisa dideteksi sebanyak 3,2 juta atau 1,5 persen dari jumlah penduduk. 80% korban generasi muda usia 15-39 tahun. Lebih parah lagi, hampir separuhnya dari korban narkoba juga menderita penyakit HIV/AIDS. Masalah ini, kata Leo Batubara, diperparah dengan Indonesia mendapat predikat negara terkorup ke-6 di dunia temuan International Transparency Indonesia. Belum lagi penyalahgunaan kewenangan seperti kasus Jaka Esther dan Dara Vernita yang ditahan di Polda Metro Jaya sejak 30 Maret 2009. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka kepemilikan 343 pil ekstasi. Ratusan ekstasi itu bukti kasus kepemilikan 5000 pil ektasi dengan tersangka Muhammed Yusuf yang ditangkap Polda Metro Jaya Oktober 2008.

Ia menilai peran media sangat besar dalam upaya membebaskan masyarakat dari bahaya dan ancaman penyalahgunaan narkoba. Dari 1008 media cetak, 2000 media radio, dan 200 media televisi yang ada, sebagian hanya fokus pada misi bisnis. “Media seperti ini tidak mentaati 5 fungsi pers, Kode Etik Jurnalistik. Berita untuk memenuhi selera rendah menjadi pilihan asal meningkatkan rating. Media seperti ini sulit diajak memerangi penyalahgunan narkoba,” ujarnya dengan nada masgul.

Ironisnya, media berkualitas dan profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik memerangi penyalahgunaan narkoba berpotensi terancam. Pers yang melaksanakan fungsi kontrol, peran sebagai watchdog, dan menyelenggarakan investigasi tentang kegiatan pengadaan, peredaran, penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan dalam hal narkoba, dapat dituduh sebagia penghinaan dan pencemaran nama baik. Bahkan dapat diKUHP-kan. Ini tantangan berat. Tidak mengherankan pers profesional sangat berhati-hati, malah menghindar melakukan jurnalisme investigasi tentang penyalahgunaan narkoba. “Kalau mau investigasi bilang dulu sama istri dan mertua siapa tahu tidak pulang-pulang dan dinyatakan hilang,” ujarnya berseloroh yang disambut tepuk tangan peserta workshop.

Pers profesional terpanggil melakukan investigasi. Namun, usaha itu tidak mudah. “Dibutuhkan media dan wartawan sekaliber skh. Indonesia Raya dan wartawan Mochtar Lubis yang berjati diri die hard,” ujarnya. Pers berjuang agar temuan tentang penyalahgunaan narkoba dijadikan masukan dalam pemberantasan narkoba. “Jangan malah pers yang diadili sebagai penjahat,” tegasnya dengan suara lantang.
Ia berharap penyelenggara negara lewat BNN dan BNP melindungi pers profesional dalam upaya memberantas penyalahgunaan narkoba dan melaksanakan perannya sebagai watchdog serta pilar kekuatan demokrasi. Tanpa perlindungan tersebut kata, Leo Batubara, jangan harap pers berani melakukan investigasi penyalahgunaan narkoba.

Untuk lebih mengoftimalkan peran media massa, ia mengusulkan, pemerintah khususnya Depkominfo dan BNN, Gubernur dan BNP setiap tahun mengumumkan media dan wartawan mana yang paling peduli terhadap upaya membebaskan masyarakat dari bahaya ancaman penyalahgunaan narkoba. Menurut Kalakhar BNP Bali I Gusti Ketut Budiartha, S.H.M.H. penyuluhan dan ceramah bahaya narkoba sudah menyasar institusi pendidikan, desa pakraman menyentuh sekeha teruna dan anggota masyarakat termasuk intansi pemerintah dan swasta. Penyebaran media komunikasi, informasi dan edukasi melalu pentas seni remaja, brosur, stiker, poster, fun bike telah dilakukan.

Sekretaris KPAN Dr. Nafsiah menambahkan, sangat efektif para mantan pecandu menemukan teman-temannya yang masih menjadi pecandu memberikan mereka konseling atau terapi tingkah laku. Penyuluhan saja tidak cukup. Kini jaringan yang dipakai mendeteksi makin besar. Klinik ada di setiap kabupaten/kota. Ada sarana yang melayani tes positif dan konseling agar tidak menularkan ke orang lain. Data melalui jarum suntik sudah menurun. “Kami juga melakukan pencegahan lewat E-learning di internet,” ujarnya. Dengan berkembangkan teknologi, Leo Batubara menyarankan wartawan atau remaja yang peduli dapat terus mengkampanyekan narkoba itu berbahaya lewat situs pertemanan facebook. “Narkoba itu musuh masa depan,” tegasnya.

Anhar Nasution, SE, Anggota Pansus RUU Narkotika DPR RI menyayangkan belum ada siaran televisi yang bicara tentang narkoba. Namun, jika pencandu yang jadi presenter, ratingnya tinggi. Menurutnya perlu dibentuk satgas anti narkoba untuk menjaga suatu wilayah tertentu. Mereka dilatih misalnya menjadi loper koran yang didalamnya terdapat bacaan tentang bahaya narkoba. Kalau masyarakat sudah diberdayakan pasti upaya ini akan terus mengelinding sendiri. Ia menilai ketidakpedulian sebagian masyarakat juga disebabkan oleh masih lemahnya hukum yang berkaitan dengan penanganan narkotika seperti UU Nomor 5 dan 22 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Narkotika. UU ini masih menggunakan kata-kata “paling lama” dan “paling banyak” sehingga memungkinkan kompromi diantara yang terlibat kasus narkotika.

Untuk mengatasi lemahnya UU, saat ini di DPR pansus RUU Narkotika sedang mengatasi kelemahan UU sebelumnya. Istilah yang semula “paling lama” diganti “paling singkat” dan “paling lama”. Sedangkan pada ketentuan denda yang awalnya “paling banyak” diubah menjadi “paling sedikit” dan paling banyak.” Bagi para pengguna tetap menggunakan kata “paling lama” dan “paling banyak” dan negara wajib merehabilitasinya. BNN menjadi lembaga independen dan bertanggung jawab langsung ke presiden melalui koodinasi dengan kapolri. “Lembaga ini nantinya dapat melakukan penyelidikan, penyadapan, inteligen, lintas departemen dan luar negeri serta akuntabel. Penanganan penyalahgunaan narkotika ada di satu atap yang diharapkan dapat lebih efektif dan efisien,” tegas Ketua Presidium Nasional Satgas Anti Narkoba ini. –ast

dimuat di koran Tokoh, edisi 546, 30 juni 2009

Tidak ada komentar: