Kamis, 30 Desember 2010

Catatan dari Dialog LSM Perempuan

Jangan Pandang Janda Sebelah Mata.

Data Direktorat Reskrim Polda Bali menyebutkan, jumlah kejahatan terhadap anak di Bali tahun 2008 120 kasus, tahun 2009 122 kasus, dan tahun 2010 125 kasus. Bahkan, kejahatan yang dilakukan terhadap anak perempuan lebih banyak. Data kekerasan terhadap perempuan sampai bulan Desember 2010 mencapai 70 kasus yang diadukan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP) Prov. Bali. Kenyataan ini membuat Forum Komunikasi Perempuan Mitra Kasih Bali bekerja sama dengan para LSM perempuan di Bali berdialog dengan pihak eksekutif dan legislatif, Rabu (15/12) di Wantilan DPRD Provinsi Bali.
Sebagai pembuka anak-anak dari Sanggar Ari Yayasan Ketut Alon Mas, Ubud binaan KPAID Bali, melakukan pementasan barong dan kera. Hiburan ini menyampaikan pesan, masih banyak orang berperilaku seperti kera melakukan kekerasan terhadap anak-anak.

Ketua DPRD Provinsi Bali A. A. Oka Ratmadi dalam pengantarnya mengatakan, perempuan berkedudukan sama dalam undang-undang. Mengapa perempuan takut untuk berkiprah dalam berbagai lini kehidupan. Laki-laki harus sadar diri kekuatan perempuan luar biasa. Namun, dalam kehidupan sehari-hari banyak ketidakadilan yang menimpa perempuan. “Perempuan bisa kerja apa saja, asalkan dia menguasai iptek. Perempuan sudah diberi kesempatan, harus diambil,” ujarnya.
Ia mengaku miris, masih ada yang memandang sebelah mata kepada para janda. Padahal, status janda bukan karena mereka menginginkannya, tetapi banyak penyebabnya, suami meninggal atau terjadi KDRT sehingga mereka memilih bercerai. “Semoga ini bisa menjadi bahan renungan,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPRD Provinsi Bali Ni Made Sumiati, S.H. mengatakan, pekerjaan perempuan dari bangun tidur sampai mata suami terpejam. Perempuan dalam sloka agama disanjung, namun, dalam pelaksanaannya masih banyak terjadi kekerasan terhadap dirinya. Wakil; rakyat asal Karangasem ini mengatakan sudah melakukan banyak hal untuk menyuarakan suara perempuan. “Di Bali sudah ada dua perda yang dihasilkan, Perda Trafiking serta HIV/AIDS, dan Perda Inisiatif untuk Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak,” kata Sumiati.

Menurut Ketua Komisi II DPRD Provinsi Bali Tuti Kusumawardani jika perempuan memunyai kemauan dan mampu berperan aktif, pasti mampu. Ia sudah membuktikan. Ibu tiga anak ini melangkah dari awal, mulai bekerja ikut orang, lalu bergerak menjadi pengusaha, namun, tidak melupakan tugas sebagai ibu dan istri. Perjuangan perempuan di DPRD sangat berat karena di di tingkat provinsi hanya 4 orang. Namun, ia mengaku tidak akan surut memperjuangkan nasib perempuan.
Ketua Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bali Luh Putu Haryani mengatakan pihaknya sedang gencar-gencarnya menyosialisasikan konsep gender agar masyarakat tahu apa itu gender. Isu gender ada di berbagai lini kehidupan. Perempuan harus pintar. Indeks prestasi perempuan di Bali sangat rendah, padahal ibu pendidik utama bagi anak. Isu bidang ekonomi, laki-laki mendapatkan gaji lebih besar daripada perempuan, padahal beban pekerjaan sama. Saat menstruasi perempuan harus tetap bekerja. Rendahnya perempuan dalam memperoleh akses kredit sehingga menghambat kemajuan ekonomi perempuan. Isu gender bidang politik perempuan sedikit memegang jabatan. Pejabat eselon II hanya 5 orang laki-laki 29 orang, eselon III 58 orang laki-laki 192 orang, eselon IV 209 orang laki-laki 453 orang. Jumlah PNS laki-laki 4543 dan perempuan 2310. Hasil Pemilu 2009, 390 anggota DPRD terdiri atas 28 perempuan dan laki-laki 362 orang. Isu kesehatan, angka kematian ibu dan anak meningkat, walau di Bali masih berada di bawah angka nasional. Transportasi masih bias gender, tangga sangat tinggi sehingga kalau naik tangga menggunakan rok akan terlihat dari bawah. Ia mengatakan, sudah melakukan banyak hal, mewujudkan perencanaan dan pengelolaan anggaran daerah yang responsif gender, di samping mengembangkan jaringan kerja sama dengan LSM perempuan.
Menurut Wayan P Windia dari Majelis Utama Desa Pakraman Bali, perempuan Bali tak perlu merasa terpinggirkan, sudah ada aturan yang mengakomodir kepentingan perempuan dan anak. Paruman MUDP sudah mengakomodir hak perempuan. Kedudukan laki dan perempuan sejajar, anak perempuan berhak mendapatkan warisan orangtuanya, jika terjadi perceraian harta guna kaya dibagi dua, dan anak bisa diasuh ibunya sampai batas yang disepakati bersama, dan si ayah wajib memberikan nafkah. Paruman Agung MUDP juga memutuskan arti meninggal kedaton, meninggalkan rumah tapi tidak lagi memeluk agama Hindu maka mereka tidak berhak atas harta warisan. Ia mengajak pemuka adat, membuat produk hukum yang memihak perempuan.
Windia menegaskan, kalau ingin tahu tentang hukum adat Bali, ada tiga hal yang harus dikuasai yakni agama Hindu, tahu sistem sosial di Bali (desa pakraman, subak), dan kekerabatan.
Sri Wigunawati mengaku prihatin banyaknya tukang suun anak-anak, anak korban traficking/seksual, kornban bencana, anak lahir tanpa mendapat hak sipil, korban narkoba, gepeng, harus ada perda bagi mereka. Berapa anggaran yang disiapkan untuk itu, siapa yg bertanggung jawab?
Ardiaska dari Aliansi We Can mengatakan, sudah lebih dahulu menyosialisasikan kampanye antikekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Tabanan. Sasarannya, sekolah, masyarakat, dan desa pakraman.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH A{IK) Nengah Budawati mengajak semua peserta dialog untuk membubuhkan tanda tangan di kain putih yang bertuliskan change maker we can sebagai kepedulian untuk menghentikan KDRT. Stop kekerasan terhadap perempuan divisualisasikan dalam bentuk tarian dan lagu.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bali Komang Suarsana mengatakan, KPI sudah membuat acuan program penyiaran khususnya televisi, tetapi faktanya masih banyak televisi yang tayangannya merendahkan perempuan. Sajian televisi lokal sudah diingatkan agar dikembalikan roh dan spiritnya ke pakemnya. Luh Haryani mengakui anggaran belum maksimal tapi usaha akan terus dilakukan.
Menurut Sumiati, isu pendidikan sudah ada kejar paket, masalahnya data anak yang belum mendapatkan pendidikan belum jelas. Masalah perdagangan perempuan sudah ada perda tinggal diawasi saja serta penanganan dan pendampingan konselor. Korban bencana ada tupoksi perkasus di kabupaten/kota. Penanganan gepeng hanya mengimbau, harus ada kejelasan apakah ada sanksi bagi pemberi uang kepada gepeng.
Dr. dr. Dyah Paramita Duarsa, M.Si. dari Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Prov. Bali mengatakan, estimasi orang dekat dengan HIV/AIDS (ODHA) di Bali meningkat terus. Total sampai Oktober 2010, 7319. Denpasar menduduki peringkat teratas disusul Badung. Malah isu teranyar, istri mengidap HIV jumlahnya mencapai 200 orang yang kebanyakan didapat dari suami. Mungkin masih banyak lagi yang belum terdata. Berapa bayi tanpa dosa yang akan lahir dengan banyaknya ibu yang menderita HIV. Walaupun sudah ada perda, sepertinya tidak cukup, harus ada komitmen anggaran dana untuk bisa menanggulanginya.
Sofie salah seorang perwakilan Gaya Dewata mengaku, banyak stigma terutama pelanggaran HAM, diusir dari suatu tempat, yang mereka alami. Padahal, kata Sofie, dari segi pendidikan, mereka sangat mumpuni. Ia berharap, mereka diberi kesempatan berkreativitas sesuai dengan kemampuan mereka. –ast

KOran Tokoh, Edisi 623

Tidak ada komentar: