Kamis, 18 Agustus 2011

Sisakan Ruang Transisi 0,5 Meter

Banyak cara dapat dilakukan untuk menyiasati lahan sempit agar penataan rumah tetap terlihat nyaman dan indah. Rumah tak hanya berfungsi sebagai hunian. Namun, semua konsentrasi serta kualitas hidup bersumber dari kesehatan rumah. Karenanya, rumah yang baik akan menciptakan hidup yang lebih baik bagi penghuninya. Menurut Pengamat Arsitektur Prof. Dr. Sulistyawati, M.S., sebelum membuat satu rumah, developer perlu satu perencanaan untuk pengembangan rumah tersebut ke depan, sehingga ketika keluarga tersebut berkembang, bangunan rumah tidak lagi bongkar pasang. Untuk menyiasati lahan yang sempit, satu-satunya cara dengan membuat bangunan tersebut bertingkat.

Ia mengakui, dalam membangun rumah berarsitektur Bali memang diperlukan lahan yang luas, minimal 3,6 are. Namun, arsitektur Bali dapat diadopsi dalam rumah modern minimalis dalam struktur penataan ruangannya.
Sebagai pemenuhan standar kenyamanan dan drainase, ia menyarankan, sebaiknya disisakan ruang transisi lebih kurang 0,5 meter dari tembok pagar. Tujuannya, kata istri Ir. Frans Bambang Siswanto ini, selain untuk sirkulasi udara, juga untuk pencahayaan sinar matahari. Namun, jika lahan yang dimiliki sangat sempit, kata dia, usahakan tetap memiliki ruang transisi walaupun jaraknya kurang dari 0, 5 meter. Ia menyebutkan, dalam konsep rumah orang Bali, saat pengerupukan (malam hari sebelum Hari Raya Nyepi) dilakukan pembersihan mengelilingi rumah. Penghuni berputar di ruang transisi sembari membawa sarana upacara yang tujuannya untuk mengusir roh jahat. Selain itu, dengan dilewatinya ruang transisi tersebut, otomatis penghuni rumah juga melakukan pembersihan lingkungan di sekeliling rumahnya. Begitu juga, ketika tetangga sebelah rumah akan membuat bangunannya lebih tinggi, sirkulasi udara dan pencahayaan rumah di sebelahnya tidak akan terganggu termasuk saluran pembuangannya. “Apalagi sekarang dengan adanya sistem jaringan limbah terpadu Denpasar Sewerage Development Project ( DSDP) akan sangat membantu sekali bagi rumah-rumah di perkotaan,” ujarnya.

Sesuai konsep rumah orang Bali, selalu memperhatikan Tri Angga yakni kepala, badan, dan kaki. Bagian kaki terlihat dari bebaturan yakni tinggi bangunan dari tanah sampai ke lantai berjarak sekitar 60-80 cm. Tujuannya, untuk mencegah air tanah masuk ke lantai saat hujan. Sesuai dengan bangunan bale Bali, jarak tersebut disesuaikan dengan ketinggian orang Bali duduk di bale sehingga kakinya dapat ngelayung. “Zaman dulu belum ada semen sehingga dibuat bebaturan dengan ukuran tersebut untuk menghindari air masuk yang bisa merusak bangunan. Bebaturan dilengkapi dengan tangga tiga tingkat sebagai simbul laki-laki yang tujuannya untuk memudahkan naik menuju lantai bale. “Sekarang bisa saja kita tidak membuat bebaturan. Tapi bangunan terlihat tidak stabil dan konsep Tri Angga tidak masuk. Padahal, bebaturan juga berfungsi sebagai penghalang air masuk ke lantai saat hujan dan menghindari banjir,” ujar Guru Besar Fak. Teknik Jurusan Arsitektur Unud ini. Hal ini, kata dia, juga berpengaruh pada saluran pembuangan di jalan raya. Selama ini, kata Prof. Sulis, begitu ia akrab disapa, kecenderungan jalan raya dibuat dengan model tambal sulam. Ketika rusak, terus ditempel tanpa dikeruk sehingga jalan makin hari makin tinggi, bahkan, sampai melebihi saluran pembuangan. Akibatnya, saluran pembuangan tertutup dan saat hujan mengakibatkan banjir.
Menurutnya, developer seharusnya sudah memikirkan bagaimana keluarga tersebut suatu saat akan berkembang. Caranya, bangunan dasar rumah sebaiknya dibuat semi basement. Biasanya, keluarga baru tak banyak membutuhkan ruangan. Namun, yang terpenting peletakan ruangan disesuaikan dengan hulu teben.

Bagian badan dari Tri Angga berupa penataan ruangan di dalam rumah. Kamar orangtua letaknya di Utara, kamar tidur anak di bagian Timur, ruang tamu atau ruang keluarga yang merupakan ruang bersama letaknya di tengah. Dapur letaknya di pojok. Biasanya, keluarga baru tidak membutuhkan dapur yang besar, dapat dibuat yang simpel. Kamar mandi dan tempat jemuran ditempatkan di bagian Selatan atau Barat. Ruang transisi di bagian belakang dapat juga dimanfaatkan sebagai tempat jemuran. Dalam rumah modern, biasanya WC/kamar mandi ditempatkan di dalam kamar tidur. Penataan dapat disiasati dengan menempatkan WC/kamar mandi di bagian Selatan atau Barat tempat tidur.
Ketika keluarga kecil berkembang, bangunan rumah dapat diperluas menjadi bertingkat. Ruangan basement dapat dijadikan garasi atau gudang. Bagian atap dapat juga disiasati menjadi tempat jemuran. Caranya, atap tidak dibuat berbentuk segitiga penuh. Tapi hanya sepertiganya saja. Bagian tengah atap tetap kosong yang fungsinya untuk masuknya sinar matahari. Letakkan tempat jemuran selalu di bagian teben Selatan atau Barat. Jemuran ini tidak akan terlihat dari bawah karena sudah ditutupi oleh atap rumah.

Dalam ilmu arsitektur modern disebutkan jika D/H > 3 (Distance per High) atau jika jarak dibagi tingginya sudah melebihi tiga, artinya tidak lagi disebut ngungkulin. Dalam konsep rumah orang Bali, penempatan ruang jemuran di atas bangunan terkesan tidak baik. Namun, pada rumah bertingkat yang tidak memiliki ruang lain untuk menempatkan jemuran konsep tersebut dapat ditoleransi dengan acuan berupa lontar Ganapati Tatwa “ kajian teks terjemahan Rai Mirsha, yang menyebutkan bahwa ruang personal manusia hanya berjarak 12 angula atau alengkat di atas kepala. Artinya, ketika sudah melebihi jarak alengkat di atas kepala, tidak lagi disebut ngungkulin. Penataan ruang jemuran juga disesuaikan dengan hulu teben dan dengan konsep atap rumah yang hanya dibuat sepertiganya saja, juga sangat membantu. Tidak akan terlihat jemuran melambai-lambai di atas.
Untuk pembuangan sampah tidak dibuatkan tempat khusus. Biasanya mobil sampah akan datang mengangkutnya. Penghuni sebaiknya sudah memilah sampahnya terlebih dahulu. Dengan kantong plastik yang sudah terikat, sampah sudah terkumpul sesuai jenisnya, yang organik dan anorganik. Pemerintah juga harus mengedukasi pemulung agar tidak mencecerkan sampah yang sudah terbungkus rapi. Pemulung juga harus diberi sanksi ketika ketahuan mengobrak-abrik sampah yang sudah terbungkus rapi.

Menurutnya, untuk menata kawasan perumahan bersih, indah, dan sehat, semua pihak harus bekerja sama, mulai dari masyarakat, developer, dan pemerintah. Salah satu Dewan Pakar Indonesia Tionghoa (INTI) Bali ini mengatakan, untuk dapat menerapkan keteraturan dalam pembangunan seperti yang dicita-citakan, perlu adanya tiga faktor utama yakni keinginan dari masyarakat, peraturan pemerintah, dan fungsi penegakan hukum. Selain itu, untuk menghindari perbedaan pada pengajuan usulan izin mendirikan bangunan ( IMB), maka perlu diadakan pengawasan maupun pengecekan setelah bangunan selesai dibangun. –ast

Koran Tokoh, Edisi 656 15-20 Agustus 2011




Tidak ada komentar: