Senin, 29 Agustus 2011

Patrinial dan Kasta Dukung Terjadinya Diskriminasi Perempuan


BANYAK kasus terjadi karena budaya patrinial dan budaya kasta di Bali mendukung terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Beberapa contoh dilontarkan Ketua LBH APIK Bali Ni Nengah Budawati, S.H., dalam diskusi yang digelar LSM Bali Sruti dengan topik “Hak-hak Perempuan Bali Dalam Perspektif Hukum Dalam Rangka Pencapaian MDGs 2015”, Rabu (24/8) di RRI Denpasar.

Ia menyebutkan, jika tidak memiliki anak laki-laki, untuk meneruskan keturunan, anak perempuan dinikahkan dengan model perkawinan nyentana. Apabila sama-sama anak tunggal, perkawinan pada gelahang jadi pilihan. Namun, kata Budawati, model perkawinan ini menimbulkan masalah jika tidak disikapi dengan bijaksana. “Sistem perkawinan pada gelahang sering memicu timbulnya persengketaan di kemudian hari,” ujarnya.
Perkawinan suami istri beda kasta melahirkan upacara patiwangi (penanggalan kasta). Jika terjadi perceraian, si perempuan tidak bisa kembali ke rumah asalnya, tidak bisa bersembahyang di rumahnya. Kalau meninggal, anaknya tidak bisa melakukan penghormatan terakhir kepada ibunya.
Perempuan Bali juga jarang mendapat harta warisan Budawati berpandangan, diskriminasi ini menyebabkan perempuan Bali takut bercerai walaupun perkawinannya tidak harmonis. “Jika terjadi perceraian, perempuan Bali menderita lahir batin. Saat menikah semua pihak dilibatkan, pihak keluarga maupun pemuka agama. Jika terjadi perceraian, unsur adat dari pihak perempuan tidak dilibatkan,” ujarnya.
Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Jero Gede Suena Upadesa mengatakan, sebenarnya dalam ajaran agama Hindu, kedudukan perempuan sangat dimuliakan. Salah satu program unggulan Majelis Desa Pakraman yang harus dicapai bagaimana mempertahankan hukum adat Bali yang sebenarnya.

Desa pakraman telah ditetapkan dalam peraturan daerah. Desa pakraman di Bali, dilindungi negara dan diakui dalam Konvensi PBB. Acuannya sangat kuat. Jadi, kata Jero Gede, keputusan Pasamuhan Agung MUDP III harus diperhatikan dan dijalankan dengan baik karena merupakan asipirasi masyarakat. Dalam keputusan MUDP, kedudukan wanita Bali diatur secara khusus.
Ia berharap, putusan MUDP dipakai dasar penegak hukum dalam mengambil keputusan di pengadilan. “MUDP secara berlanjut, terus-menerus, dan berencana melakukan sosialisasi tentang putusan Pasamuhan III MUDP Bali. Bukan hanya di Bali, juga ke luar Bali,” paparnya.
Hakim Tinggi Denpasar A.A. Anom Hartanindita, S.H., M.H. mengatakan, pengadilan tidak pernah mencari perkara. Putusan selalu mengedepankan segi keadilan tetapi tetap dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Intinya, keputusan hakim harus sesuai dengan hati nurani.
Ia menilai, hukum adat Bali yang tertuang dalam awig-awig Bali merupakan kontrak sosial. Hukum adat harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai ajaran Tri Hita Karana. Hukumnya sesuai dengan desa, kala, patra. Memutuskan kasus perceraian diupayakan mendekati rasa keadilan sehingga ia setuju melibatkan desa pakraman.
Ayu Suciati dari Kongkres Advokat Indonesia menilai, dalam praktik upaya ini sangat sulit diwujudkan. Keputusan tingkat pengadilan kadang berbeda. Keputusan Pengadilan Negeri belum tentu sama dengan Pengadilan Tinggi. Yang harus dilakukan sekarang, kata Suciati, bagaimana mendorong apa yang menjadi hasil MUDP ini bisa dipakai pertimbangan hukum terutama yang menyangkut perempuan. Ia mengatakan, waktu mediasi umumnya yang dipanggil para pihak yang bersengketa tanpa sanksi. Dalam mediasi seharusnya ada hakim perdamaian desa.
Winaryati dari Tabanan mengatakan, perempuan tidak memiliki kemampuan untuk membela dirinya jika terjadi perceraian. Apakah MUDP sudah melakukan pendampingan awal sehingga para perempuan tahu hak-haknya.
Menurut Sri Joni dari KPPG Prov. Bali, perkawinan beda kasta merupakan sebuah pengorbanan karena cinta. Kedua belah pihak berkorban karena sama-sama mau mengalah dan menerima satu sama lain. Bagaimana nasib para perempuan yang dicerai, jika anaknya tetap menginginkan ibunya berada di keluarga mantan suaminya karena permintaan anak.
Menurut Jero Gede Suena, Pasamuhan Agung III MUDP Bali dihadiri semua desa pakraman se-Bali. Semua keputusan berdasarkan kesepakatan. Keputusan ini diharapkan mampu menjadi acuan hukum yang sanggup menciptakan harmonisasi dan keadilan. Sosialisasi terus dilakukan, namun, belum merata di seluruh kabupaten. Kalau keputusan MUDP ini ada benturan di lapangan akan dikaji kembali. Saat ini, kata Jero Gede, kajian akademis tetap jalan. Adat juga harus disesuikan dengan perubahan zaman.

Wayan Jondra dari Kerobokan menilai, ada empat penyebab mengapa perempuan Bali tidak berdaya menggapai haknya. Yakni, perempuan itu sendiri, laki-laki, aturan hukum yang berlaku, dan lingkungan. Sebagian besar perempuan merasa imperior, walaupun sekarang sudah banyak perempuan Bali yang berpendidikan tinggi dan memiliki kedudukan sebagai pemimpin. Laki-laki melupakan pentingnya peran perempuan. Padahal, jika perempuan berdaya, mereka bisa ikut mencari nafkah otomatis itu juga membantu para suami dalam menghidupi keluarga. Dari sisi ekonomi sudah merupakan satu keuntungan karena meringankan tugas suami. Aturan hukum belum mengakomodir kepentingan perempuan. Lingkungan juga belum bangkit kesadarannya. Biasanya, kalau ada perempuan yang berstatus purusa, keluarga jauhnya seperti misan mindon-nya yang repot. Di sinilah pentingnya sosialisasi agar semua pihak menjadi sadar.
Menurut Jero Gede, tugas desa pakraman melindungi karma-nya. Prajuru desa sudah sering menjadi saksi ahli dan menjalankan tugas pendampingan. Jero Gede sudah sering menjadi saksi ahli bahkan sampai ke Jakarta. Warisan di Bali tidak saja berupa harta tetapi juga menyangkut ayah-ayahan sehingga dalam pembagian juga dimasukkan. Liunan megae maan ategen, bedikin megae maan asuun. Harta warisan yang dibagi merupakan harta gunakaya orangtuanya bukan harta leluhur. Jangan sampai tanah pura ikut dijual.
A.A. Anom Hartanindita menambahkan, tujuan pembagian waris jangan sampai ahli warisnya tersiksa membayar ayah-ayahan desa. Kalau mencukupi, berikan separuh dari hak anak laki-laki untuk anak perempuan yang kawin ke luar. Siapa tahu terjadi perceraian, ada harta untuknya sebagai bekal.

Ia menilai, pedampingan sangat diperlukan dari MUDP. Sebaiknya, yang mau bercerai, silakan bicarakan terlebih dahulu dengan prajuru adat masing-masing. Mungkin problemnya, pasutri berasal dari desa pakraman yang berbeda sehingga awig-awig-nya juga berbeda. Hukum juga bisa berubah. Kasta merupakan politik hukum Belanda zaman dulu. Ketika soroh berkembang pesat, Belanda memanfaatkannya dengan istilah kasta. Zaman sudah berubah. Jangan sampai umat Hindu banyak ‘lari’ karena adatnya menyusahkan.
Menurut Budawati dalam pengadilan verstek, perempuan bisa tetap berada dalam rumah mantan suaminya jika si anak menginginkannya. Selama ini gugatan harta gono gini sangat sulit. Alangkah baiknya, jika sebelum sidang perceraian ada peradilan adat yang disepakati kedua belah pihak yang bercerai untuk kesepakatan pembagian harta gono gini. Sering terjadi, uang istri lebih banyak untuk membeli keperluan rumah tangga, sehingga tidak terlihat jerih payahnya.
LBH APIK Bali merupakan jaringan Kias yang mendorong lahirnya desa setara. Salah satu yang dijadikan pilot project, Desa Kekeran, Tabanan. Perkawinan pada gelahang berjalan dengan baik. Upacara perkawinan dilakukan seperti biasa di rumah laki-laki. Setelah anak nomor dua lahir, dia otomatis sebagai ahli waris di rumah ibunya. “Sistem ini mengedepankan rasa ikhlas dan ber-yadnya. Ada pengertian dari masyarakat adatnya dan perarem yang meminimalkan diskriminasi perempuan. Kami berharap, mulai dari Tabanan ditularkan solusi perkawinan model ini,” kata Budawati.
Anggota DPRD Karangasem I Luh Purnaminingsih mengatakan, banyak kasus dalam proses perceraian, tidak ada pendampingan dari adat. Maka, segera lakukan sosialisasi keputusan MUDP kepada prajuru adat.
Menurut A.A. Anom Hartanindita, penegak hukum yang memutus masalah adat seharusnya orang yang tahu adat Bali dengan baik. Penegak hukum juga harus tahu keputusan MUDP.
Nyoman dari Polda Bali menanyakan, apabila umurnya di atas 21 tahun beragama Hindu, hamil di luar nikah diterapkan pasal logika sanggraha. Bagaimana status ibu dan anaknya.
Menurut Jero Gede kumpul kebo sesama orang Bali, sanksinya ada di awig-awig. Bisa juga dibuatkan pararem. Tergantung pada keputusan desa pakraman setempat.

A.A. Anom Hartanindita pernah menemukan satu kasus. Karena tidak cocok, si perempuan kembali ke rumah asalnya di Kintamani tanpa proses perceraian. Suatu ketika perempuan tersebut hamil. Yang menghamilinya mantan suaminya. Orangtuanya mengambil inisiatif melaporkan kejadian ini. Terjadi paruman desa, si laki-laki dinyatakan bersalah. Status anak tetap turunan ayahnya. Pengurusan sampai umur tertentu diserahkan kepada ibunya dan biaya hidup si anak ditanggung ayahnya. Kasus ini tidak sampai ke pengadilan karena sudah diselesaikan dengan baik oleh adat. –ast

koran tokoh, edisi 568, 28 Agustus s.d 3 September 2011


Tidak ada komentar: