Energi Listrik dari Sampah
SAMPAH identik dengan bau, kotor, dan jorok.
Tapi pernahkah terbayangkan, sampah bisa menyalakan lampu dan menghidupkan barang elektronika seperti televisi dan kulkas?
Proyek (Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu) Sarbagita di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Suwung telah berhasil menyulap sampah menjadi penghasil energi listrik.
Saat uji coba 13 Desember 2007 lalu disaksikan Gubernur Bali Dewa Beratha proyek ini sudah mampu menghasilkan energi listrik dari tumpukan sampah di TPA Suwung.
Menurut Kasubdin TPA Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar Drs. Dewa Made Suarjana tiap hari sampah yang dihasilkan Badung dan Denpasar sekitar 2000-2500 m3.
Dengan kian terbatasnya lahan TPA suwung, sejak tahun 2001 sampah dikelola dengan system control landfill, yakni sampah yang baru dibawa truk pengangkut, dipadatkan sampai berlapis-lapis dengan batas ketinggian 10 meter, kemudian ditutup tanah dengan ketebalan 20 cm.
“Dengan sistem ini paling tidak memperpanjang usia pakai TPA,” ujarnya.
Ia mengatakan dengan luas 22 hektar, idealnya TPA Suwung sudah tidak layak menampung sampah lagi.
Untuk itu, kata dia, dikembangkan sistem pengomposan dengan teknologi fermentasi.
“Tiap harinya 18 m3 sampah organik diolah menjadi kompos. Daun-daunan berserat kecil menghasilkan kompos yang baik. Sampah seperti janur (bahan canang) lidi, ambengan, dan bangkai binatang sangat sulit diolah biasanya masuk dalam tumpukan sampah di landfill,” ujarnya.
Ia memaparkan setelah sampah dipilah dan didapat sampah organik yang sesuai, kemudian dicacah dengan mesin pencacah. Dengan bantuan mikroorganisme melalui proses fermentasi sekitar 4-5 minggu akan menghasilkan kompos yang baik.
Tiap harinya TPA Suwung menghasilkan 1 ton kompos.
Pemanfaatan kompos ini kata dia, digunakan untuk kebutuhan Dinas Kebersihan dan Pertanaman Kota Denpasar sebagai pupuk taman kota. Bagi warga desa/ banjar yang memerlukan kompos diberikan secara gratis.
Saat ini kata dia, banyak siswa dan mahasiswa melakukan pembelajaran pembuatan kompos di TPA Suwung. “Untuk sampah nonorganik yang dapat didaur ulang seperti botol plastik, dan kertas dipungut 300 orang pemulung, dan sampah pakan ternak dipungut 25 pemulung yang biasa beroperasi di kawasan TPA Suwung,” kata lelaki yang menjabat sejak tahun 2001 ini.
Beberapa usaha yang sudah dilakukan baik itu mengelola sampah dengan control landfill, pemgomposan, dan sampah didaur ulang belum mampu menuntaskan masalah yang ada.
Namun kini masalah terbatasnya lahan TPA Suwung segera dapat diatasi dengan baik berkat Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Sarbagita yang merupakan merupakan kerjasama PPP (Public Private Partnership) antara Pemerintah Prov. Bali, Pemkot. Denpasar, Pemkab. Badung, Gianyar dan Tabanan dengan pihak swasta PT. Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) anak perusahaan dari Argo Manunggal.
Menurut Ketua Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita I Made Sudarma IPST ini adalah instalasi pengolahan sampah menjadi listrik yang pertamakali di Indonesia dan juga merupakan proyek yang telah teregistrasi sebagai CDM (Clean Development Mechanism) Project di PBB tanggal 20 Mei 2007.
Dengan luas lahan 10 hektar IPST dibangun di areal TPA Suwung sejak tahun 2005.
Proyek ini dirancang untuk pengelolaan sampah 20 tahun ke depan, dengan perkiraan volume sampah sebanyak 800 ton perhari.
Pemilihan lokasi di TPA Suwung berdasarkan pengkajian bahwa 75% sampah dihasilkan oleh Denpasar dan Badung dan TPA daerah lain tidak ada yang representatif
Ia mengatakan pembiayaan untuk investasi, operasional dan maintenance sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak swasta, sedangkan pihak Pemda menyediakan lahan dan pasokan sampah.
“Untuk menjalankan kerjasama ini Pemda Bali dan Sarbagita membentuk BPKS (Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita) yang merupakan lembaga nonteknis mewakili kepentingan pemda terhadap pihak swasta,” katanya.
Teknologi yang digunakan dalam instalasi ini terbilang canggih, yakni Gasification (Pyrolisis), Landfill dan Anaerobic Digestion (GALFAD), pengolahan sampah menjadi energi listrik.
Sesuai dengan kemampuannya, kata dia, setiap 500 ton sampah yang diolah, akan mengeluarkan daya listrik antara lima sampai enam megawatt.
Diperkirakan, setiap harinya sampah-sampah dari kawasan Sarbagita mencapai 700 hingga 800 ton.
Ia menerangkan gasifikasi adalah teknologi yang merubah sampah organik kering seperti kertas, dahan-dahan kering, kayu-kayu buangan dan sejenisnya melalui proses pyrolisis menjadi syngas (gas sintetis) dan selanjutnya oleh power generator diubah menjadi listrik.
Untuk sampah organik basah yang paling banyak dihasilkan baik rumah tangga maupun pasar diolah dengan sistem anaerobic digestion yang menghasilkan biogas yang selanjutnya gas engine ini diubah menjadi listrik.
Ia mengatakan tumpukan sampah lama yang ada sekarang di landfill TPA Suwung secara bertahap telah dilakukan penutupan dengan tanah untuk mencegah terjadinya pelepasan gas ke lingkungan bebas. “Gas yang dihasilkan dari proses pengomposan sampah di landfill TPA ini telah diambil dengan membuat 8 titik sumur dan mampu menghasilkan energi listrik, khususnya dari gas methan dengan komposisi 45 %.
Saat uji coba 13 Desember 2007 lalu disaksikan Gubernur Bali Dewa Beratha proyek ini sudah mampu menghasilkan energi listrik.
Sambil menunggu penyelesaian tempat pemilahan sampah dan structured landfill cell untuk menerima dan mengolah sampah baru awal Februari 2008, maka pembuatan titik sumur dari sampah lama ditambah hingga Agustus 2008. “Diharapkan nanti menghasilkan listrik sebesar 2 megawatt,” ujarnya.
Secara keseluruhan proyek dengan 3 sistem teknologi ini akan selesai pada tahun 2010 dengan kapasitas listrik yang dihasilkan mencapai 9,6 megawatt masing-masing 5,6 megawatt dari pyrolisis dan 4 megawatt dari anaerobic digestion.
Ia mengatakan potensi listrik ini masih bisa ditingkatkan lagi hingga 12 megawatt.
Pasokan listrik ini pun nantinya sudah disetujui dibeli PLN dengan penandatanganan MoU.
Sudarma menilai proyek ini dapat menjawab banyak hal sekaligus. Selain mampu menyelesaikan masalah TPA yang lahannya kian terbatas dan dianggap mencemari lingkungan, tidak perlu lagi mencari lahan baru.
Disamping itu, masalah pencemaran dapat dikendalikan, sampah menghasilkan energi listrik untuk memenuhi suplai daya listrik di Bali yang kian pas-pasan dan pemanfaatan hutan manggrove dengan penghijauan kembali pada lahan bekas manggrove.-ast
Sudah dimuat di Koran Tokoh edisi 471, 13 – 19 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar