Selasa, 14 September 2010

Senang Sepak Bola tetapi Minta Gratis

CABANG olahraga sepak bola belum mampu dijadikan lahan pekerjaan yang menjanjikan. Sangat berbeda dengan di luar negeri, sepak bola sudah dikembangkan secara profesional. Atlet sepak bola juga sudah dibina sejak dini, sehingga prestasinya maksimal. Demikian diungkapkan Ketua Umum KONI Bali Made Nariana.
Pembibitan atlet sejak dini khususnya di Bali belum maksimal dilakukan karena kurangnya sarana dan prasarana. Padahal, Bali memiliki banyak potensi olahraga yang bisa diunggulkan. Olahraga unggulan Bali saat ini, menembak, kempo, biliar, atletik, yudo, angkat besi, pencak silat, golf, karate, voli pantai, bermotor, tarung derajat dan panjat tebing. Ia menilai, selama ini prestasi lebih banyak didapatkan dari cabang perseorangan. Sedangkan nomor beregu seperti sepak bola atau tenis meja masih lemah.

Ia menilai, banyak orang yang senang sepak bola, tetapi ketika menonton mereka ingin gratis. “Semestinya, masyarakat ikut memikirkan kemajuan sepak bola dengan cara ikut memberikan bantuan, terutama perusahaan swasta ikut memberi dukungan dana,” kata Nariana. Ia mengakui, pengembangan sepak bola membutuhkan dana besar. Sekolah sepak bola membutuhkan lapangan untuk bewrlatih, sedangkan lapangan masih minim. Perlu perhatian lebih pemerintah untuk melakukan perbaikan sarana dan prasarana olahraga, terutama cabang unggulan.

Sejak tahun 2008, pemerintah sudah memberikan perhatian khusus kepada atlet berprestasi. Ada tiga kriteria yang dipersyaratkan yakni meraih medali emas dalam PON, meraih medali emas, perak, perunggu dalam kejuaraan dunia atau sea games.
Pemprov. Bali juga lewat KONI Bali sejak tahun 2009 juga memberikan dana tali kasih kepada atlet yang berhasil meraih emas dan pelatihnya di PON. Mereka berhak mendapatkan dana stimulus Rp 1 juta per bulan sampai PON berikutnya. Tahun 2010, Menpora berencana memberi hadiah rumah kepada atlet dan pelatih berprestasi. “Karena ini ruang lingkupnya seluruh Indonesia tentu didata dulu siapa yang berhak. Ada enam atlet sudah disurvei di Bali, tetapi keputusan yang berhak untuk menerimanya belum turun,” kata Nariana. Ia mengimbau induk organisasi agar lebih memberikan kesempatan kepada atlet asli Bali. “Hanya kebanggaan semu membeli atlet luar. Lebih baik kita bina atlet putra-putri Bali,” tandas Nariana. —ast

Koran Tokoh, Edisi 610, 12 s.d 19 September 2010

Denpasar Minim Sarana-Prasarana Olahraga

SARANA dan prasarana sepak bola di Kota Denpasar masih minim. Hadirnya Stadion Sepak Bola Kompyang Sujana belum menjamin terjadinya peningkatan prestasi sepak bola warga Kota Denpasar. Prestasi cabang olahraga ini memang belum berbuat banyak di ajang kompetisi besar. Hal ini ditegaskan Ketua Harian KONI Denpasar Drs. Nyoman Mardika, M.Si. Menurut Mardika, penyediaan sarana dan prasarana olahraga di Kota Denpasar belum maksimal. “Sepak bola masih mendingan karena punya stadion, cabang olahraga lain malah belum memiliki lapangan,” ujar pria yang juga dosen Universitas Warwadewa Denpasar itu.

GOR Kompyang Sujana tidak hanya digunakan untuk berlatih sepak bola. Cabang olahraga lainnya juga sering memanfaatkanya untuk berlatih seperti atletik, panahan, tenis, dan bola voli. Stadion tersebut tak jarang juga dimanfaatkan untuk menggelar kegiatan sosial pemerintah dan masyarakat. GOR Kompyang Sujana disewakan untuk masyarakat umum dengan tarif Rp 500 ribu - Rp 1 Juta sekali pakai. Klub sepak bola yang berlatih dikenai sewa Rp 125 ribu per jam. Untuk pertandingan Rp 150 ribu per jam. Mardika yang juga berprofesi sebagai wartawan ini mengatakan, KONI Denpasar hanya melaksanakan administrasi penyewaan, sedangkan uang sewa disetor ke Pemkot Denpasar, karena biaya perawatan lapangan ditanggung pemerintah.
Untuk biaya perawatan lapangan berkisar Rp 30 juta per tahun. Biaya ini mencakup air untuk menyiram lapangan, pemeliharaan dan pencukuran rumput, pemeliharaan mesin rumput, dan pernambahan pasir ketika lapangan berlubang. Kalau ada kerusakan parah biasanya diperbaiki Dinas PU Kota Denpasar. Uang sewa lapangan, kata Mardika, belum mampu menutupi biaya pemeliharaan lapangan sehingga subsidi pemerintah masih terus diperlukan.

Ia mengakui, Denpasar memang belum memiliki sarana dan prasarana lengkap untuk semua bidang olah raga. Renang masih berlatih di Blahkiuh. Belum lagi minimnya fasilitas untuk menggembleng atlet panahan dan gate ball. Ia menegaskan, sulitnya atlet Denpasar mencapai prestasi puncak karena tidak ada dukungan sponsor yang membantu kegiatan. “Saat ini masih mengandalkan bantuan pemerintah,” ujarnya. Olahraga unggulan Kota Denpasar ke tingkat nasional selancar dan pencak silat. Sedangkan unggulan di daerah atletik, senam, tenis meja dan renang. Untuk pembibitan atlet sejak dini, kata dia, dipantau dari Porsenijar. “Atlet yang menjadi juara masuk prioritas,” jelasnya.

Klub-klub sepak bola memang sudah memiliki sekolah sepak bola untuk pembibitan atlet sejak dini. Namun, sekarang yang masih menjadi kendala lapangan tempat berlatih. Pemerintah daerah memberikan anggraan paling besar pada cabang olahraga sepak bola Rp 800 juta lewat KONI. “Namun, biaya untuk sekali kompetisi dan kegiatan bisa menghabiskan ratusan juta rupiah. Di sinilah kelemahan mengapa kita belum mampu mencapai prestasi puncak,” tandas Mardika. —ast

Koran Tokoh, Edisi 610, 12 s.d 19 September 2010

Senin, 13 September 2010

Perbakin Gagas Program 1000 Pelajar

Diah dan Pramita Petembak Andalan Bali.

Doorrrrrrrr……………! Suara tembakan menakutkan bagi sebagian besar orang termasuk kaum perempuan. Namun, bagi kedua perempuan cantik ini senapan bukanlah barang yang menakutkan. Memegang senapan dan melakukan tembakan, membuat mereka merasa bangga dan lebih gagah. “Ada suatu keasyikan tersendiri ketika menembak,” tutur I Gusti Agung Diah Pramesti, salah seorang atlet petembak Bali.
Awal mulanya ia mengaku takut mendengar suara tembakan. Namun, lama-kelamaan, setelah makin digeluti, ia menjadi tertantang. Bagi istri Cok. Gede Putra Tri Andayana ini, menembak memberikan banyak manfaat secara emosional. Ia mengaku menjadi lebih tenang, sabar dan dapat mengontrol emosi. “Karena, kalau saya menembak memerlukan konsentrasi tinggi dan fokus untuk mengenai sasaran,” ujarnya. Selain itu, kata Diah, sangat penting melatih pernapasan dan menjaga stamina. Semua persyaratan secara fisik itu sudah dipenuhi Diah. Sebelum menekuni dunia menembak, Diah merupakan atlet renang. Olahraga renang ditekuninya sejak kelas 5 SD.
Ketika masuk SMP Negeri Semarapura, Klungkung, ia tertarik mencoba ikut kegiatan ekstrakurikuler menembak di sekolahnya. Pembinanya, alm. Hj. Yusuf dan A.A. Sayang yang merupakan pengurus Perbakin (Persatuan Menembak Indonesia) Cabang Klungkung. Program 1000 pelajar yang digagas Perbakin Bali memang dikhususkan menyasar siswa untuk mencari atlet muda berprestasi di seluruh Bali.
“Awal mula hanya iseng mencoba menembak, tetapi kok jadi ketagihan,” tutur staf Disdikpora Prov. Bali ini. Cukup lama ia melakukan penyesuaian. “Sekitar 2 tahun, saya menyesuaikan diri agar lebih memahami senapan. Caranya, dengan biasa memegangnya dan membersihkannya dengan mengelap, agar perasaan takut dan degdegan hilang,” kata perempuan usia 20 tahun ini, yang baru beberapa bulan lalu melangsungkan pernikahan. Setelah menamatkan SMP-nya, ia diterima di SMAN I Denpasar. Di SMA-nya itu tidak ada ekstrakurikuler menembak. Setelah menamatkan SMP, ia langsung bergabung dalam pembinaan atlet muda menembak. Untuk pelatihan kering, biasanya tidak menggunakan peluru. Ia melakukan pelatihan di rumah seperti di depan cermin, bagaimana posisi menembak yang benar. Pelatihan fisik ia lakukan tiap Senin, Rabu, dan Jumat, pukul 16.00 di lapangan Renon. Pelatihan fisik berupa lari untuk melatih otot. Pelatihan menembak di Lapangan Pakse Bali Klungkung tiap Jumat dan Sabtu pukul 17.00 s.d 20.00. Saat ini ia memegang senjata api kaliber 22 dan senapan angin ARM laras panjang.

Diah menikah di usia yang sangat muda. Menurutnya, keinginan menikah karena ia dan suaminya yang bekerja di kapal pesiar ini ingin menjadi lebih bertanggung jawab terhadap hubungan yang mereka jalani. “Suami sangat mendukung dan tidak melarang. Saya juga tidak menunda kehamilan. Semua saya serahkan kepada Tuhan,” tutur perempuan yang masuk dalam program atlet andalan Bali ini.

Takut Kena Peluru
Sebagaimana Diah, suara tembakan awalnya juga membuat atlet menembak loainnya, Made Ayu Pramita Suari, ketakutan. Apalagi, awalnya ia sempat berpikir, takut terkena peluru. Sampai-sampai ia menutup telinganya saat bunyi tembakan. Ia mengaku tangannya gemetar saat mengangkat senjata. “Keringat dingin sampai keluar saking takutnya,” tuturnya sembari tertawa mengingat kejadian itu. Selama tiga bulan, ia mencoba bersahabat dengan senapan angin yang digunakan untuk berlatih. Keinginan mendalami menembak sangat didukung keluarganya. Bahkan, ibunya sering mengantarnya berlatih. Lama-kelamaan, Pramita akhirnya benar-benar mencintai olahraga menembak.
Namun, saking sibuknya berlatih, pelajarannya sempat tertinggal satu semester saat SMP. Pramesti mencoba melakukan perbaikan agar kesibukannya berlatih tidak mengganggu pelajarannya di sekolah. “Untungnya, penurunan nilai saya segera terkejar. Hanya satu semester turun,” ujarnya.
Dalam program 1000 pelajar, Pramita mendapatkan juara II sehingga ia bersama Diah masuk dalam pembinaan atlet muda menembak.

Prestasi yang paling anyar yang diraihnya mendapatkan emas dalam beregu bersama Diah dalam PON XVII di Kaltim. Dalam hari ulang tahun Kota Jakarta 2010 ia mendapatkan Juara III ARM perseorangan.
Ia mengaku sudah memunyai pacar. Sang pacar pun diminta mengerti kondisinya sebagai atlet menembak. Kalau ada masalah, ia berusaha mencari jalan keluarnya segera, dan tidak mau persoalan pribadinya berlarut-larut dan menganggu konsentrasi berlatih. Biasanya menjelang pertandingan, ia melakukan relaksasi ke salon dan jalan-jalan bersama teman-temannya. “Agar lebih santai dan tidak tegang,” kata Pramita.

Putri pasangan Nengah Siam Kastawan dan Gst. Ayu Putu Sari Ningsih ini awal mulanya sempat diolok-olok kakak laki-lakinya. “Biasanya perempuan takut dengar suara tembakan. Kok ini berani. Ajari kakak menembak juga,” ujarnya mengutip olokan kakaknya itu. Pramita menawakan sang kakak untuk ikut ke lapangan. Namun, sesampainya di lapangan, kakaknya mengurungkan niatnya karena merasa takut mendengar suara tembakan. “Sejak itu, saya tidak diledek lagi. Apalagi beberapa prestasi sudah saya capai. Keluarga bangga pada saya,” ujarnya sumringah.

Minim Peminat
Menurut Humas Perbakin Bali Nyoman Sri Mudani, S.H. atlet yang berlatih di lapangan diperkenankan membawa senjata ke rumah dengan persetujuan induk organisasi. “Senjata angin dapat dibawa pulang untuk pelatihan kering di rumah tanpa peluru. Mereka biasanya berlatih bagaimana cara memegang senjata dan posisi berdiri dan membidik sasaran,” kata perempuan yang akrab disapa Manik ini. Atlet yang dalam kondisi hamil, kata dia, biasanya cuti dan hanya melakukan pelatihan kering di rumah.
Ia menilai, peminat menembak di kalangan generasi muda khususnya perempuan masih minim. Dengan program 1000 pelajar yang digelar Perbakin, ia berharap, akan ditemukan atlet muda menembak khususnya perempuan. Sebagai apreasiasi pemerintah kepada atlet berprestasi, Diah dan Pramita yang berhasil mendapatkan emas dalam PON di Kaltim diangkat menjadi PNS dan ditempatkan di Disdikpora Provinsi Bali. Mereka juga menerima uang pembinaan. Manik berharap, para pengusaha ikut memberi kontribusi dengan menjadi bapak angkat agar pembinaan atlet berkesinambungan. “Apalagi menembak merupakan olahraga unggulan Bali,” katanya. –ast

Tokoh, Edisi 609, 12 s.d 19 September 2010

Rabu, 08 September 2010

Tas Daur Ulang Limbah Seharga Rp 300 Ribu

YUNITA Amalia Resta, ibu rumah tangga di Denpasar memanfaatkan limbah menjadi barang berguna. Sampah organik dijadikan kompos. Sampah anorganik, seperti kemasan deterjen dan minuman, didaur ulang.
Yunita merupakan salah seorang ibu rumah tangga yang dibekali materi pelatihan pembuatan kompos di Banjar Buana Asri Desa Tegal Kertha, Monang-Maning, Denpasar Barat. Awalnya tahun 2003, LSM Bali Fokus memberikan pelatihan tersebut di desanya. Yunita bersama kaum ibu PKK lainnya diajari memilah sampah organik dan anorganik. Mereka juga dapat tambahan pengetahuan mendaur ulang sampah.

Sebelum itu, menurut istri Aryo Kusuma Wardana ini, kegiatan tersebut didahului arisan rutin ibu-ibu PKK di Banjar Buana Asri. Saat itu, kaum ibu ini juga berdiskusi tentang kesulitan membuat kompos dan mendaur ulang sampah. Saat arisan kelompok Dasa Wisma tiap minggu II dan III, mereka kembali berkumpul. Masalah sampah menjadi bahan diskusi lagi. Sejak itu mulailah kegiatan memilah dan mendaur ulang sampah. Namun, kegiatan ini hanya berjalan setahun. Alasannya, kata Yunita, para ibu tersebut rata-rata sibuk bekerja dan mengurus rumah tangga. Mereka mengaku kesulitan menentukan waktu memilah sampah dan melakukan daur ulang.

Mereka biasanya menaruh sampah di depan rumah. Petugas kebersihan datang mengambilnya. Namun, Yunita bersama suaminya, tetap melakukan pemilahan sampah rumah tangga. Ia juga mengajarkan kepada dua anaknya untuk belajar memilah sampah. Sampah organik, seperti daun-daunan dan sisa makanan, ia olah menjadi kompos. Sampah organik yang sudah berhasil dikumpulkan ia timbun dan olah menjadi kompos. Tiap dua minggu sekali, ia menghasilkan 8 kilogram kompos. Satu kilogram kompos dijual Rp 1.000. Yunita mempunyai pelanggan khusus pupuk komposnya Sampah anorganik, seperti botol air mineral, besi, kardus, dijual ke pemulung. “Biasanya ada pemulung yang datang mengambil pagi hari,” jelas ibu dua anak ini.
Untuk jenis sampah lain seperti pembungkus sabun cuci, pengharum pakaian, mie instan, dan kopi, didaur ulang menjadi barang yang berguna, seperti tas, pulpen, dan bunga hias.

Untuk mendapatkan satu tas, ia membutuhkan sekitar 20 lebih bekas pembungkus kopi atau minuman jus berukuran kecil. Setelah dicuci dan dikeringkan, istri Kaur Administrasi Kantor Desa Tegal Kertha ini menjahit satu per satu menjadi lembaran. Kemudian, ia sesuaikan dengan model tas yang ingin dibuat. Tas daur ulang dijual Rp 300 ribu per pcs. —ast