Kamis, 05 Maret 2009

Satu Kamar Hotel Perlu 3000 Liter Air

Bali menempati posisi menengah hasil penelitian Nasional Geografis sebagai tujuan wisata. Penelitian ini dilakukan pada 111 pulau di dunia yang menjadi tujuan pariwisata. Dengan metode panel 522 ahli yang dilibatkan untuk melihat bagaimana kondisi pulau yang menjadi objek tersebut dan proyeksinya ke depan. Ada 6 katagori penelitian yang dijadikan tolok ukur yakni kualitas lingkungan dan ekologi, integritas sosial dan budaya, kondisi bangunan bersejarah dan situs arkeologi, daya tarik keindahan, kualitas manajemen wisata dan proyeksi masa depan.
“Bali berada diposisi menengah, tidak diatas dan tidak dibawah. Artinya, Bali memiliki kerentanan ke depan,” ujar Direktur Eksekutif Wahli Bali Agung Wardana.

Menurutnya kerentanan ini menyangkut manajemen dan pertumbuhan pariwisata yang tidak berjalan dengan baik. Ia menilai investasi yang ada di Bali tidak pernah terkontrol dengan baik. “Para investor begitu saja mengkapling kawasan startegis dan daerah yang masih asri. Bali sebagai destinasi wisata tengah berada dalam sebuah perputaran investasi modal bagi yang ingin mengeruk keuntungan di Bali,” kata Agung.

Jika ini tidak dikelola, kata Agung, berpotensi melibatgandakan kerusakan lingkungan yang sudah dirasakan sekarang. Belum lagi, kata dia, otonomi daerah turut memberi peluang yang lebih besar kab/kota untuk mendatangkan investor. “Bagaimana kawasan strategis seperti danau Buyan bisa diberikan konversi pada sebuah perusahaan? Padahal, danau Buyan maupun danau Tamblingan dan yang lainnya tidak hanya dimiliki satu kabupaten, tapi juga dimiliki kabupaten/kota di Bali yang seharusnya dikelola dengan holistik,” ujarnya.

Ketika terjadi ego di masing-masing kab/kota muncul dampak kerusakan lingkungan. Hal ini, kata Agung, juga berdampak pada kehidupan social ekonomi masyarakat. “Kita lihat bagaimana dampak reklamasi pulau Serangan. Reklamasi telah merubah pola dan mengerus pantai selatan di Bali yang kemudian mengakibatkan abrasi yang parah. Kawasan Sanur dan Pantai Lebih hancur sedemikian rupa. Hal ini berdampak bagi kehidupan para nelayan di sana,” paparnya.

Ia sendiri mendengar penuturan para nelayan di pantai Lebih. Mereka mengaku menjadi lebih sulit dengan kondisi pantai yang abrasi. “Sebelum abrasi mereka bisa dengan bebas menambatkan jukung di pantai. Setelah kawasan pantai menjadi curam, nelayan harus menambatkan perahunya jauh diatas sehingga ketika ingin melaut mereka harus membayar Rp 20.000 sekali menurunkan perahunya. Artinya ada biaya tambahan,” ujar Agung.

Celakanya lagi, penataan kawasan pantai saat ini hanya diproritaskan pada pantai yang masih laku dijual untuk pariwisata.
Ia menyayangkan kawasan Pantai Kuta yang sudah tergerus akibat pariwisata harus diambilkan pasir dari pantai Gelgel untuk memoles kembali sehingga pantai Kuta makin cantik dan laku dijual tanpa peduli mengorbankan pantai yang lain. “Pantai Sanur masih laku dijual.

Tetapi, bagaimana dengan pantai Ketewel dan pantai Lebih yang notabene tidak ada pariwata di sana,” tanya Agung dengan retorik. Artinya, pola pembangunan Pemerintah Bali saat ini masih memrioritaskan pengembangan sektor pariwisata dramatis dengan mendatangkan investasi yang boros lahan dan sumber daya alam.

Menurut Agung sumber daya alam di Bali tidak dihabiskan masyarakat lokal Bali. Justru ia menilai, sumber daya alam Bali seperti air lebih banyak diserap untuk hotel. “1 kamar hotel memerlukan 3000 liter perhari. Sedangkan konsumsi masyarakat lokal hanya 100 liter perhari. Ini merupakan ketidakadilan. Contoh lain, 1 lapangan golf dengan 18 hold membutuhkan air 3 juta liter perhari. Berapa banyak desa dapat dihidupkan oleh air sebanyak itu? Sementara disatu sisi lapangan golf hanya diperuntukkan golongan elit,” ungkap Agung.

Ketika berbicara kerusakan lingkungan, ia menilai dampaknya sangat dirasakan masyarakat lokal. Ia menilai masyarakat tidak memunyai cukup sumber daya untuk memulihkan kerusakan yang sudah terjadi. “Kita juga tidak memiliki kemampuan finansial untuk melakukan perbaikan pada lingkungan hidup. Berapa anggaran yang didapat Balai Lingkungan Hidup untuk memperbaiki lingkungan hidup dibandingkan anggaran yang diberikan untuk promosi pariwisata?” tegas Agung.

Ia berpandangan lingkungan hidup belum menjadi agenda prioritas pembangunan. Namun, kondisi pemilu ini lingkungan hidup malah dijadikan komoditas yang ditawarkan para politisi untuk menggalang dana kampanyenya. Artinya, lingkungan sumber daya alam sudah menjadi komoditas bukan menjadi prioritas pembangunan utama. Prioritas pembangunan utama masih pada investasi pariwisata. Ketika kerentanan ini bertemu dengan permasalahan perubahan iklim akibatnya berlipat ganda.

Menurut Agung banjir yang melanda belakangan ini bukan saja karena perubahan iklim tetapi juga disebabkan kerentanan kerusakan lingkungan di tingkat lokal. “Bagaimana dengan peradaban Bali ketika diramalkan tahun 2050 Sanur dan Kuta akan tenggelam? Apakah masih ada Pariwisata di Bali?” tanya Agung dengan suara meninggi. –ast

Sudah dimuat di koran Tokoh Edisi 529, 1 Maret 2009

10 komentar:

Izka mengatakan...

Saya suka Bali... Alamnya dan budayanya sungguh eksotis

Anonim mengatakan...

@buat Izka:
iya , sekarang mulai byk kerusakan lingkungan di Bali, kasian bgt

Anonim mengatakan...

Mari kita dukung perbaikan kerusakan alam Bali. Ini harus dikampanyekan dengan gigih sob. Sebagai pecinta 'orang bali' dan sebagai bangsa Indonesia tentunya, aku harus mendukung pelestarian alam di Bali demi keadilan sosial.
Thanks for sharing...

Cheers, frizzy.

Anonim mengatakan...

mulailah dibudayakan untuk hemat air bersih secara bijaksana. agar kelestarian bumi akan terjaga...

Anonim mengatakan...

@buat frizzy:
sebagai pencinta ornag Bali?? siapa tuh????

@buat duniamaya98:
mari kita bersama hemat sumebr daya alam. Ini dimulai dari diri sendiri dan keluarga.

Unknown mengatakan...

sebenarnya jika saja otonomi berjalan dengan baik, tentu masyarakat Bali tidak hanya menghandalkan pariwisata.
Masih banyak sumber2 alam terutama pertanian dan kelautan yang sangat potensial, tidak digarap dengan serius. Jadi, bali kadang identik dengan Denpasar/badung. Karena pemerataan bidang2 tertentu kabupaten/kota2 yang lain hampir tdk diberi kesempatan mengelola industri2 sesuai kemampuan dan geografisnya.
Contoh:
1. Jembrana memiliki potensi perikanan, tambak udang, ikan dll plus pabrik-pabrik sardines dan tepung ikan di buat disana, tapi di Denpasar juga ada Benoa yang juga urusan masalah Ikan. Kenapa tdk di jadikan satu saja berpusat..?
Nah, disananlah urbanisasi akan terus numplek-plek ke Bali (Denpasar)Tentu masalah air bersih akan semakin memprihatinkan. Begitupula gesekan-gesekan sosial.

Anonim mengatakan...

ke lombok aja,,cuma nyebrng ke timur dari bali...
alamnya bener2 indah dan bener2 alami..

air bersih makin langka,,tidak...

mbak boleh kita bertukar link?
linknya dah kupsasang...

Anonim mengatakan...

@buat boykesn:
wah aku setuju banget, jadi orang ga nmplek ke Denpasar, bikin macet dan polusi

@buat kakve-santi:
ok deh

Andri Journal mengatakan...

Sudah lama gak ke Bali,jd gak tahu kondisinya kayak apa skr. :) Pantai yg kutahu cm Pantai Sanur ama Pantai Kuta.Terakhir ke sana sih pasir di Sanur kotor.Tp ke Kuta masih mendingan kok.Dan baru tahu ternyata ditambahi pasir dari pantai lain. :p

Oh iya,di Kuta aku sempat ketemu abang jual bakso dari satu daerah lho. :D

Anonim mengatakan...

@buat andri:
heheheh, andri, kapan ke Bali lagi, kita telusuri Bali deh, semaumu, hehehhehehe