Sabtu, 23 Mei 2009

Risiko PAP pada Lansia Tinggi

MENUA, suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normal tubuh. Akibatnya, mudah menderita penyakit. Salah satu penyakitnya, Penyakit Arteri Perifer (PAP) yang merupakan petanda adanya proses aterosklerosis sistemik.
Masalah ini dikupas dalam disertasi dr. R.A. Tuty Kuswardhani, Sp.Pd. K.Ger lewat kajian terhadap risiko terjadinya penyakit arteri perifer pada penderita diabetes melitus tipe 2 lanjut usia, dalam ujian doktornya yang berlangsung terbuka di Gedung Program Pascasarjana Unud, Jumat (8/5).

Menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 dan WHO, yang disebut lansia mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Diproyeksikan penduduk lansia di Indonesia tahun 2010 sebanyak 23.992.552 jiwa. Berdasarkan data US Bureau of Census tahun 1990 hingga 2020 jumlah penduduk lansia di Indonesia mengalami pertambahan 414%. Berdasarkan BPS 2005 ditengarai Indonesia menjadi negara keempat terbesar yang memiliki penduduk lansia setelah Cina, India, dan AS. Menua berasosiasi dengan peningkatan risiko terjadinya PAP terutama dimulai usia 40 tahun. Kejadian PAP sangat tinggi terjadi di kalangan perempuan berusia lebih dari 70 tahun.
PAP merupakan pertanda adanya proses aterosklerosis sistemik. Perkembangan aterosklerosis pada PAP sama halnya aterosklerosis koroner. Perkembangannya sangat dipengaruhi banyak faktor seperti penyakit jantung koroner klasik atau faktor tradisional seperti hiperkolesterolemia, hipertensi, riwayat diabetes melitus dan kebiasaan merokok. Beberapa peneliti menemukan proporsi PAP pada diabetes sekitar 16-30%.

Salah seorang penguji yang juga promotornya, Prof. Dr. dr. Wayan Wita, menanyakan mengapa faktor risiko baru diteliti pada usia lanjut. Mengapa bukan pada usia awal sehingga dapat dilakukan pencegahan.
Dokter Tuty mengungkapkan, melakukan penelitian ini pada lansia karena tolok ukur kesejahteraan bangsa bisa dilihat dari tingginya usia harapan hidup penduduk. Pencegahan tidak saja dilakukan pada awal tetapi saat memasuki lansia banyak faktor yang harus dihindari untuk mencegah PAP.
Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila menanyakan langkah apa yang harus dilakukan sejak dini sehingga penyakit ini dapat dicegah. Dokter Tuty menjelaskan, pencegahan dilakukan dengan pemberian komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tepat. Tidak bisa mereduksi perpanjangan usia. “Selagi muda melakukan usaha yang sehat jasmani dan rohani, psikologis dan mental agar tidak menjadi beban setelah lansia, sehingga penuaan bisa diperlambat. Begitu banyak faktor penyebab penyakit lansia.

Dalam mengajukan bertanya, Prof. Adi Putra sempat berseloroh, apa tidak sebaiknya istilah ’lansia’ (lanjut usia) diganti dengan ’sialan’ (usia lanjut).
Dokter Tuty mengatakan umur tua tidak bisa dihindari. Mereduksi usia tidak mungkin. Yang perlu dilakukan menghindari faktor risiko sejak dini seperti menjaga keseimbangan berat badan ideal,” ujar istri Dekan FK Unud Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD ini.
Menurutnya istilah ’lansia’ sudah dibakukan. Jadi tidak usah diganti menjadi ’sialan’. “Lansia rumah masa depan kita dan semua orang akan memasuki usai tua,” ujarnya.
Prof. Czeresna Heriawan menanyakan apa manfaat penelitian ini? Dokter Tuty yang adalah Kepala Divisi Geriatri SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RS Sanglah menilai hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan memberikan KIE kepada masyarakat. “Kondisi lansia harus diantisipasi. Faktor risiko harus dihindari .Faktor risiko baru dikurangi,” paparnya.

Dalam pertanyaannya, Prof. Budi mengungkapkan lansia menderita banyak penyakit sehingga perlu diberi obat-obatan. Apa strategi yang dilakukan agar obat tidak memberi efek samping bagi lansia. Menurut dr. Tuty, keadaan fisik orang muda dengan orang tua berbeda. Respons lansia sangat lemah apalagi sampai minum obat lebih dari 5 butir. “Strategi yang dilakukan dalam pemberian obat adalah tepat indikasi, dan tepat dosis. Satu golongan obat diusahakan untuk dua jenis penyakit,” kata Juara II Nasional dalam Temu Ilmiah Nasional I dan Konferensi Kerja III di Semarang Tahun 2003 ini. Sebenarnya, katanya, pemberian obat diperlukan untuk kasus tertentu atau berat. Pada kasus nyeri dapat dilakukan akupuntur, akupresur atau hypnoterapi. Mengobati lansia bukan hanya mempertimbangkan faktor fisik tetapi juga psikologisnya.

Prof. Dewa Wijana menilai penderita PAP cukup tinggi. Apa yang bisa disarankan untuk menghindari PAP? Menurut dr. Tuty usai harapan hidup Indonesia tahun 2010 yakni 71,4 tahun untuk perempuan dan 73,6 tahun untuk laki-laki. Untuk menghindari PAP, KIE dilakukan sewaktu muda.
Prof. Sutirkayasa menanyakan apa perbedaan pemberian antiaging pada usia tua atau muda? Dokter Tuty menjelaskan, proses penuaan itu terjadi justru ketika hidup itu ada. Menurutnya seharusnya antiaging diberikan saat masih janin. Namun, hal itu bisa menimbulkan efek samping. Untuk menghambat menjadi tua sudah ada rekomendasi WHO dengan kloning dan transpalasi sumsum tulang. Namun, katanya, siapa yang mau menjadi kloning tubuh mudanya untuk para lansia?

Dr. drh. Ida Bagus Komang Ardana menanyakan
tindakan apa yang dapat dilakukan penderita diabetes agar tidak menderita PAP? Menurut dr. Tuty penyebab diabetes adalah obesitas, gaya hidup, penggunaan glokosa yang banyak dan genetika. KIE harus terus dilakukan kepada pasien. “Bagi yang sudah mengidap diabetes 10 tahun bisa saja menginduksi PAP sehingga perlu dilakukan pemeriksaan akurat. Bagi penderita diabetes golongan usia di bawah 50 tahun dan sudah menderita diabetes 10 tahun perlu waspada, termasuk pasien stroke dan jantung koroner. Penderita diabetes sebaiknya melakukan regulasi gula darah 1 minggu 2 kali. Kuratif biasanya diberikan obat-obatan. Rehabilitasi PAP tergantung derajat penyakitnya apakah ringan atau sedang.

Tim penguji memutuskan dr. Tuty lulus dalam ujian disertasi doktro ini dengan predikat cumlaude. –ast

Tidak ada komentar: